Menganti, Penantianpun Berakhir
KARANGDHUWUR - Pantai Menganti, hampir selalu disebut dalam
tiap juguran Alumni Pelita 2005, dan
selalu berulang hanya sebuah frasa dan penantian. Namun, juguran di rumah
Fajariah, Kalitinggar (18/4) banyak mengubah segalanya, keinginan untuk ke
Pantai Menganti terproklamirkan dengan tegas
untuk direalisasikan.
Pantas untuk diberitakan guna mengkawal langkah menuju janji
itu. Hingga semakin nyata ketika Presiden Alumni Pelita 2005 membuat Perpres
tentang teknis keberangkatan. Faktor informasi juga semakin berpengaruh ketika muncul
berita 'Peserta Plesir Tembus 21 Orang'. Berita itu menjadi dorongan para
teman-teman alumni untuk ikut. Bak info penguatan adanya bullish yang mendorong seorang pengusaha membeli saham
dalam bursa efek.
Buah komitmen akhirnya terealisasi, kemarin (14/5). Beberapa
wajah baru akhirnya menampakan batang hidungnya menyatakan ikut plesir seperti
Rudy, Titis, Evi, dan Sobihan.Di sisi lain kami juga kehilangan beberapa konstituen
seperti Siti dan Novi karena lembur, Wagio ada kendala mendadak dan Nita yang
terlambat akibat delay dari bus yang ditumpanginya menuju Purbalingga.
Total konstituen plesir kali ini akhirnya tembus 24,
melebihi target yang terdaftar sebelumnnya yaitu 21. Mereka yang ikut
diantaranya Suminto + pacarnya, Kholis, Eva, Ganda, Feri, Ari, Rudy + Pacarnya,
Daryati, Evi, Aziz, Maryono, Teguh, Umi + Adiknya, Sugeng, Nova, Titis + Pacarnya,
Fajariyah, Sobihan, Amelia dan Anna.
Start keberangkatan dari rumah Eva pukul 08:30, mulur 30
menit dari yang ditetapkan. Awal keberangkatan, masih terkendala adanya rute
yang akan dilalui. Hal itu disebabkan belum adanya satu presepsi dan masih
banyak pendapat rute sendiri-sendiri.
Sebelum berangkat di Rumah Eva Karangjambe |
Saat melintas di jalan provinsi mulai dari Kalimanah hingga
perempatan buntu masih satu pemikiran. Namun saat melintas jalan Nasional
beberapa rombongan terpecah total, sebagian besar rombongan memilih jalur dari
Pasar Sumpiuh (Banyumas) ke selatan, melintasi desa Kemiri. Kemudian masuk ke
Kecamatan Nusawungu Kabupaten Cilacap yakni melewati desa Nusawungkal,
Purwadadi, Karangsembung, di perempatan wisata Karangpakis ambil kiri lurus
hingga masuk Kabupaten Kebumen. Sebagian kecil rombongan ada yang lewat via Jatijajar.
Setelah melewati pantai Logending/Ayah, trek perjalanan
secara mendadak memasuki kawasan perbukitan kapur yang cukup tinggi. Secara
ilmu geografi daerah ini disebut juga perbukitan Karst. Secara marfostruktur
aktif daerah kecamatan Ayah terbentuk karena adanya pengaruh tenaga endogen.
Kecamatan Ayah terbentuk karena proses pengangkatan dasar laut oleh aktivitas tektonisme
lempeng yaitu lempeng samudra Hindia-Australia yang saling bertumbukan yang
terjadi jutaan tahun yang lalu.
Butuh jarak sekitar 5 kilometer dari perbukitan karst menuju
objek wisata Pantai Menganti. Cukup melelahkan melewati perbukitan karst ini.
Butuh kontrol gas yang tepat saat mendakinya dengan motor agar mesin tidak 'ngeden'.
Apalagi jika kapasitas mesin dibawah 110 CC. Begitu juga saat turunan tajam,
selain rem, engine brake juga sangat penting dimanfaatkan agar tidak kebablas
ke jurang.
Meski rombongan terpisah, namun akhirnya bisa kembali
bersatu di titik puncak Desa Karangdhuwur, Kecamatan Ayah, Kebumen ini pada
pukul 11:00. Dengan demikian total lama perjalanan kurang lebih 2,5 jam, dan
jarak sesuai Google Map adalah 67,5 Km.
"Sementara konsumsi bahan bakar saya hitung untuk bebek
manual 110 CC karbu menghabiskan Rp 20.000 atau 2,7 liter untuk pulang pergi,
itu artinya 135 Km (67,5 x 2) dibagi 2,7 liter = 50 Km/liter. Hal ini wajar
cukup boros sebab medan sering melewati jalan menanjak saat di Kecamatan
Ayah," kata Kepala bidang Penerangan Ganda Kurniawan.
Pemerintah daerah setempat nampaknya cukup serius menggarap
wisata yang sering disebut dengan hidden paradise (surga tersembunyi) ini. Akses
jalan banyak melibatkan pemaprasan tebing dan pembuatan jalan yang halus oleh Bidang
Bina Marga Pemkab Kebumen. Diperkirakan telah menghabiskan puluhan Miliar pagu
anggaran.
Bantuan pemerintah hanya sampai pada pembuatan jalan dan
pembuatan pintu gerbang loket. Pemanfaatan tempat wisata sendiri diserahkan
kepada Kelompok masyarakat Sadar Wisata (Pokdarwis) dari Desa Setempat.
"Terbukti dalam karcis masuk yang dikenakan tarif Rp 5000/orang ini
tertulis berdasarkan Perdes bukan Perda. Penghasilan banyak masuk ke Kas Desa.
Sementara pemerintah sepertinya belum ikut kebagian hasilnya terbukti tarif
parkir masih Rp0," imbuhnya.
Kamipun masuk ke lokasi wisata pantai ini. Sudah kami
prediksi wisata pantai ini dominan berkarakter wisata landscape, dan lebih
sedikit wisata air. Terlihat juga puluhan kamar ganti terlihat mangkrak, rusak tak
terpakai. Pantas saja ketika kami
nongkrong di pinggir pantai tampak sepi pengunjung. Padahal kalau melihat tempat parkir,
kendaraan padat merayap. Jadi, kemanakah sebenarnya para pengunjung?
Alkisah, seorang panglima perang Kerajaan Majapahit
melarikan diri ke pesisir selatan Jawadwipa karena hubungannya dengan pujaan
hati tidak direstui sang raja. Mereka berjanji bertemu di tepi samudra berpasir
putih nan indah. Sepanjang hari, sang panglima pun terus menanti pujaan hati
yang ternyata tak kunjung tiba di atas
bukit kapur sambil memandang laut lepas. Ia menanti dan terus menanti.
Sedangkan Menganti adalah bermakna menanti. "Begitulah mitos masyarakat
setempat," kata Ganda.
Rombongan Alumni Pelita 2005 tetap menyempatkan diri bermain
air dengan ombak yang rendah karena posisi menyerupai teluk. Pantai lebih
banyak karang daripada pasir, sehingga permainan tidak bisa leluasa. Lebih
banyak berfoto diatas karang. Kemudian sebagian juga memilih wisata jelajah
lautan dengan perahu milik nelayan dengan tarif Rp 15.000 bolak-balik.
Setelah itu rombongan naik ke bukit sebelah timur atau yang
disebut dengan Bukit Sigatel. Tanpa disangka disinilah titik kunci keindahan
wisata Pantai Menganti ini. Disinilah kebanyakan wisatawan hadir. Bukit
dipadukan dengan pohon cemara yang masih belum begitu tinggi. Mirip perbukitan
di Wisata Gucci Tegal.
Hanya saja pemandangan utama tetaplah karang-karang hitam
yang memecah debur ombak Samudera Hindia dan angin laut yang menghilangkan
setres. Pokdarwis setempat berinovasi dengan membuat puluhan gubug-gubug mini
dengan atap jerami. Gubug di pasang diatas tanah bukit yang ditata secara
sengkedan.
Untuk singgah di gubug ini dikenakan tarif Rp 5000/gubug.
Selain itu juga terdapat satu rumah yang sepertinya digunakan untuk studio
prewedding. Namun rombongan alumni tak ada yang menyewa gubug ini. Kami lebih
suka duduk dan tiduran diatas rumput sambil menatap lepas ke laut. Waktu yang
menjelang sore membuat tak ada lagi panas terik dan semakin membuat betah terus
di bukit Sigatel ini.
Kami akhirnya memutuskan untuk pulang pada pukul 16:30.
Rombongan briefing untuk menentukan jalur pulang. Semuanya sepakat untuk terus
melewati jalan raya tepi pantai selatan dan menghindari Jalan Nasional. Sampai
kumandang adzan maghrib petang perjalanan masih di sekitar Kabupaten Cilacap.
Disinilah akhirnya rombongan terpecah lagi. Sebagian besar lewat
Kecamatan Kemranjen yang tembus ke Jalan Nasional. Sementara
sebagian kecil rombongan ada yang terus ke barat hingga Kecamatan Kroya Cilacap
lalu ke Utara. Sedangkan salah satu motor pasangan Maryono - Fajariyah tersesat
sendirian, di Perempatan Kroya ia tetap ambil arah ke barat. Karena kehilangan
jejak semua temannya akhirnya ia pub bertanya kepada orang. "Pak, arah ke
Purbalingga si kemana??," kata Maryono.
Di perempatan Buntu, akhirnya Maryono kembali bergabung.
Sebagian besar banyak robongan yang mampir di SPBU Buntu. Sebagian kecil sudah
ke arah Banyumas. Kamipun melewati tanjakan buntu, tanjakan yang sering disebut
sebagai 'jalur tengkorak' karena paling rawan kecelakaan ini akhirnya berhasil
di lalui dengan selamat. Catatan kami tanjakan Buntu di sekitar desa
Karangmalang lampu penerangan jalan (LPJU) masih terang dan banyak mata kucing
di sekitar marka jalan. Namun untuk kawasan Desa Karangrau banyak LPJU yang
mati dan sangat gelap dan butuh kehati-hatian.
Kami semua berhenti di SPBU Desa Kejawar Banyumas, untuk
istirahat, mengumpulkan rombongan yang terpisah, sekaligus Sholat Maghrib.
Pukul 19:00 dari SPBU Kejawar tercetus keinginan makan malam bersama. Rencana
akan berhenti untuk makan di alun-alun Banyumas. Namun ketika didatangi
ternyata minim pedagang makanan.
Akhirnya berlanjut ke Alun-alun Purbalingga, memilih
menikmati mie ayam dan es teh. Tempat singgah yang murah di Centre of Intersest
kota Purbalingga ini. Pukul 21:00, kemesraan liburanpun berlalu dan pulang ke
rumah masing masing.
Sementara Kepala Bidang SUmber Daya Manusia, Ari Nurani
mengungkapkan kegiatan plesiran seperti ini sangat banyak memberi manfaat bagi
kami semua. "Plesiran jelas bisa menghilangkan setres dan menambah
keakraban. Pengorbanan capek dan uang tidak usah dipikirkan. Yang penting kita
sudah melewati pengalaman langka yang tak terlupakan. Target plesir selanjutnya
bisa kembali dibahas seusai lebaran," katanya.
Presiden Alumni Pelita 2005, Eva Pratama NF juga
mengapresiasi atas suksesnya kegiatan plesir kali ini. "Alhamdulilah
selama perjalanan tidak ada yang tersesat, tidak ada yang bocor atau rusak
motornya, serta sholat 5 waktu juga tidak ada yang tertinggal. Semuanya
berjalan lancar. Agenda selanjutnya menjelang bulan ramadhan segera rencanakan
reuni Buka Bersama (Bukber), harus lebih baik dibanding tahun lalu,"
pungkasnya.(by Humas)
0 comments:
Post a Comment