Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Sunday, July 29, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part3]


Sama halnya dengan penyakit kanker, setelah dioperasi tidak semuanya tuntas begitu saja. Sisa serabut akar kanker akan tumbuh kembali menjadi kanker. Aku tak mau melihatnya, apakah masih dengan “tikus” yang sama ataukah sebuah kelompok baru. Jawabannya adalah “keduanya”. Aku cukup hafal dengan suara mereka. Keberadaan sang revolusioner (ibu kos) yang tidak menetap di kos ini membuat tikus-tikus dapat kembali dengan mudah di malam hari dan mereka takut dengan siang hari. Mulai sekitar semester 2 kemarin, aku baru tahu kalau kos ini baru intens dipelihara oleh 2 orang pemuda. Ia adalah Lono dan Pri, namun keduanya tak berani sedikitpun menghalangi aksi tikus-tikus itu. mereka berdua menyadari, mereka bukanlah anak orang kaya yang banyak uang untuk menyekolahkannya atau kuliah. Hanya fisik dan kesetiaan kepada ibu koslah yang menjadi modal, lagipula pekerjaanya disitu tidak diberi mandate untuk menjaga keamanan kos. Sebatas mengepel, membersihkan kamar mandi, memperbaiki instalasi listrik, instalasi air dan jika ada proyek membangun sesuatu iapun wajib campur tangan. Lono dan Pri bukanlah Dwarapala seperti yang ada di pintu gerbang candi-candi tapi bagi ibu kos ia tak lebih berharga daripada mahasiswa-mahasiswa penghuni kosnya. Mereka berdua berwajah kembar dan fisiknya tampak kuat tapi mereka memiliki cacat yang sama yaitu masalah penglihatan. Dan semua alasan inilah yang membuat tikus lama tetap berani masuk. Jangankan berani menarik ekor tikus itu, untuk bermain gobak sodor di pintu gerbang Dian Ratnapun ia tak berani. Dian Ratna, bagaikan Negara tanpa tentara. Sama juga seperti “lelaki yang tak memakai cawat” kata Benedict Anderson.

Dunia memanglah luas, aku tetap menyewa Kos 1 kamar untuk dua orang, dan akupun pasrah siapakah orang yang akan menggantikan kawanku Ponco tuk mendampingi hidupku dalam satu kamar. Aku berpindah dari kamar no.40 ke kamar no.42, bekas kamar dulu yang ditempati Idris dan Akip. Aku tak berani terlalu lama liburan di rumah dalam fase peralihan ini. ini adalah saatnya aku menunjukan diri bersama kawan-kawan Hima Sejarah 2009 dibawah Diyah Ari untuk tampil di depan adik-adik kelas baru. Mendidik dan menggebleng mereka dalam KEMAS. Otomatis sebelum ajaran baru dimulai, aku harus sudah berada di Semarang, dan aku langsung mengetahui siapa teman sekamarku. Dia adalah Andis, mahasiswa baru Ilmu Sejarah berasal dari Blora. Begitu juga dengan kamar-kamar yang lain, diisi oleh mahasiswa-mahasiswa baru angkatan 2009 dari berbagai jurusan. Awal kedatanganku kesana, mereka tengah sibuk dengan kegiatan PPA dan bertanya-tanya kepadaku tentang bagaimana mempersiapkannya.

Ada sebuah tradisi tahunan di kos ini, yaitu malam keakraban. Tahun lalu juga aku tidak melewatkanya. Pada dasarnya acara keakraban ini adalah acara untuk kesenanagan anak-anak kos saja, tidak ada campur tangan ataupun control dari ibu kos sendiri. Sehingga kepanitiaanyapun dirancang sendiri, celakanya panitia-panitia itu adalah “tikus-tikus kotor” itu. Jika tahun lalu hanya dikenakan iuran Rp.10000/orang untuk satu porsi ayam bakar, lalap, es teh, jajanan ringan, stiker Dian Ratna dan BookNote, bagiku itu adalah tariff yang jujur dan pada saat itu masih ada mas Setiawan Wibisono (Pak Guru) yang juga turut menjadi panitia. Sedangkan tahun ajaran 2009-1010 biaya iuran keakraban kos naik menjadi Rp.20.000/orang dengan menu yang sama. Panitia kali ini masih sama (tikus-tikus itu) hanya saja sudah tanpa pak Guru. Tikus-tikus itu adalah mahasiswa-mahasiswa paling tua disitu, sekarang tidak ada lagi orang seangkatannya yang masih baik-baik disitu jadilah ia penguasa dan pengendali segala malam keakraban itu. Jika dalam menu yang sama dan perkiraan inflasi harga pertahun maka dapat diperkirakan semahal-mahalnya hanya naik Rp.5000 dari tahun lalu, dengan total iuran seharusnya Rp. 15000. Jadi kemanakah uang Rp.5000 dari sisa dikurangi harga normal Rp.15000??uang Rp.5000 jika dikali dengan jumlah minimal anak kos  yang ada missal 60 orang maka total itu menjadi Rp.300.000. Mungkinkah mereka mengkorupsinya hingga sejumlah itu untuk acara kecil-kecilan ini?. Aku saat itu masih menjadi mahasiswa semester 3, hanya diam saja (kalah senioritas), dan bertekad untuk tidak mengikuti acara ini di tahun depan.

Angkatan 2009 tetaplah paling akrab bergaul dengan sesama angkatannya. Termasuk Andis, meski fisikku kalah besar darinya tapi ia tetap menganggapaku sebagai seniornya. Mungkinkah ia menganggapku sebagai senior yang kalem, pendiam dan baginya mungkin menganggap sikapku ini sedang membatasi diri dan menjaga kewibawaan terhadap adik kelas. Padahal tidak, memang beginilah sifatku. Mungkin banyak orang yang mempercayai bahwa orang pendiam memang untuk sementara waktu terlihat lemah, kalem, mudah dibujuk dan cukup moderat. Tapi ia tidak bagus untuk dijadikan teman, karena ia adalah orang yang memendam rahasia, dan sering pula dikisahkan dalam film-film bahwa orang pendiam umumnya tumbuh menjadi manusia aneh apakah itu menusuk dari belakang atau tumbuh menjadi psikopat-psikopat ganas sebagai pembunuh berdarah dingin, untuk sekali ia diusik. Siapa saja yang belum berkenalan denganku lebih dalam akan merasakan sensasi-sensasi pikiran itu. Termasuk Andis, ia jarang sekali tidur satu kamar denganku, ia tidur bersama kawannya yang lain dalam kos ini dan kadang ia rela untuk tidak tertidur di kasur. Sekali ia mencoba tidur denganku, tampaknya ia tidak bisa tidur, karena aku diam tanpa kata. Andis datang ke kamar hanya ketika ia ingin mandi, mengambil peralatan mandi, atau untuk sekedar ganti baju. Andis tampak takut jika ia membuat sedikit kesalahan dihadapanku, sehingga ia sedikit menjauhiku, takut jika kesalahannya itu membuatku berubah seperti Hulk.

Suara-suara “tikus-tikus kotor” yang sedang mabuk itu masih menggaung di kos ini. Meski tidak seintensif dahulu. Aku tak tahu apakah Andis terlibat didalamnya atau tidak, tapi aku menduga kelihatanya banyak pemula-pemula pesta miras ini, karena seringkali terdengar orang yang muntah-muntah setelah pesta ini.

Suatu pagi aku juga mendengar, ada anak kamar belakang yang kehilangan Laptop. Anak kamar belakang mayoritas adalah orang-orang Batak. Sekitar pukul 6 pagi, semua kamar kos ini digedor-gedor keras oleh salah satu dari mereka. Mereka meminta agar semuanya keluar dari kamar utnuk sementara. Semua kamar digledah satu per satu. Tapi tak menemukan apa yang ia cari itu. Belum puas, akhirnya siang itu diadakan penggledahan ulang, hanya Andis yang menjaga kamar, aku tengah kuliah dan lemariku juga terkunci. Sepulang kuliah aku kaget melihat kunci lemariku yang agak rusak dan di dalamnya agak acak-acakan, aku mengiranya bahwa ini ulah maling. Namun Andis kemudian menjelaskan padaku lewat SMS bahwa tadi lemariku dibobol karena ada penggledahan dari orang-orang BAtak itu.

Semester pertama di tahun ajaran 2009-2010 ini memang banyak masalah, sayangnya aku tidak tahu kapan dan apa sebab-sebabnya tiba-tiba kebobrokan Dian-Ratna meletus. Munkinkah sebuah konflik internal? (aku belum menanyakan kepada yang tahu pasti). Nampaknya Andis juga turut dalam perpecahan ini. Dia frustasi, disamping di kos ini ia tidak nyaman bersama denganku dia juga terlibat konflik bersama kawan-kawan yang lain. Dalam jangka yang tidak lama ketika aku sedang tidak berada di kos, ia mengambil barang-barang miliknya di kamar. Dan entah ia pergi kemana, tanpa pamit kepadaku. Tapi beberapa masih banyak barang-barang yang tertinggal. Sebelum ujian semester aku sudah merasa memiliki sepenuhnya kamar ini.

Diantara kawan-kawan mahasiswa angkatan 2009 di Kos ini aku hanya akrab dengan 2 orang saja, yaitu Amin Sayuthi dan Eko Nugroho. Aku akrab dengan mereka karena alasan satu rumpun satu bahasa, Amin sesama dari Purbalingga dan Eko dari Banyumas. Keduanya sama-sama dari jurusan sosiologi. Eko bertubuh agak gendut, pintar main gitar dan bernyanyi. Sedangkan Amin bertubuh tinggi, kekar, tampan, pendiam, namun aura pendiamnya masih kalah mengerikan dengan pendiamku, sehingga di kos ia masih sering terlibat dalam adu ejek-ejekan guyonan.    

Menginjak semester 4, aku baru merasakan apa yang aku inginkan dari kos ini. Bisul yang pecah itu membuat semua isinya keluar dan penyembuhan berjalan dengan cepat. Tikus-tikus kotor malas kembali ke kos ini, meskipun tak ada proteksi di kos ini tapi tikus itu tengah bingung ketika bersinggah, karena sudah tidak ada lagi yang satu pemikiran dengannya. Menuju akhir tahun ajaran 2009-2010 berjalan mulus, tanpa ada hambatan. Hanya ada petasan-petasan kecil yang meledak, yaitu bentakan-bentakan kemarahan ibu kos yang kehilangan anak kosnya kabur tanpa melunasi tagihannya. Sementara aku memutuskan untuk memperpanjang tahun depan untuk tetap tinggal di kos ini, aku tetap menjadi anak kesayangan ibu kos. . . . . . . . (bersambung)


Jl.Kalimasada, 29 Juli 2012