Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Thursday, April 25, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 21]


. . . . . jingga,kelelawar kemudian gelap.

Hingga segelap itu aku belum berganti baju, meletakan tas apalagi melepas sepatu pantofelku. Terlalu asyik ngobrol dan hotspotan di samping gedung C5 bersama mas Khikam. Hingga gelap menyatukan kami tuk berbuka puasa bersama, berboncengan dan berhenti di sebuah penjual es buah depan Masjid Ulul Albab. Lanjut makan di angkringan Kalimasada depan, digratisi pula. Hari itu adalah titik terdekatku dalam sebuah persahabatan dengan sosok Mas Khikam kakak kelas. Aku dulu sempat digembleng olehnya saat KEMAS 2008, kemarin kami menjadi teman seperjuangan menghadapi bimbingan pak sodiq dan kini tak terasa kami malah hampir lulus bersama. Kawan-kawan seangkatannya sudah tak disini lagi. Seringkali ia jadi sering bertandang kekontrakan ar[t]my, hanya untuk ngobrol.

Malamnya kami berpisah. Ini adalah Ramadhan ke-empat yang ku alami di Semarang. Kala di Setanjung teringat Marham dan Mas Wahid kami adalah orang-orang yang paling survive Sholat Tarawih hingga menjelang liburan. Perlu perjuangan mental untuk melaluinya, jika ke Ulul Albab terlalu jauh maka kami lebih sering ke Al-Mutaqien gang Waru. Di tahun pertama malam-malam kami harus melewati pematang kuburan di belakang kos ku. Tahun ketiga lebih terang karena sampingnya dibangun rumah dan pematang berubah menjadi paving batu ubin.

Tak terbiasa hidup di lingkungan mayoritas NU, aku canggung membiasakannya. Awal Jum’atan diAl-Mutaqien aku harus bingung mengapa Adzannya dua kali dan solat sunahnya juga dua kali. Ditambah bingung pula saat Khatib khotbah harus sambil memegang semacam “tongkat sakti”, tapi aku tak tahu itu untuk apa dan dengar dari teman lain juga memang biasanya masjid NU memiliki tradisi serupa. Saat Tarawih pola rakaatnya 2(10)+2+1=23 tanpa Khotbah. Bagaimana mungkin jamaah betah sholat 23 rakaat dengan imam membaca suratan yang tartil (pelan), jadi imamnya pasti ngebut. Seandainya boleh saja mungkin aku akan sholat sambil geleng-geleng kepala kagum mendengar imam yang super ngebut seperti ini. Mungkin saja kecepatan bacaannya setara dengan Snoop Doog, seorang Rapper dengan rekor mimik tercepat didunia. Aku dan mungkin saja teman-teman Muhammadiyah yang tarawih disitu, biasanya cukup mengambil 8 rakaat saja dan pulang.

Kala di Kalimasada aku hampir merasakan hal yang sama. Mushola terdekat yang cukup 20 langkah saja dari ar[t]my juga mushola NU dengan segala kulturnya aku hanya sekali dua kalisaja tarawih disitu (kecuali fardhu). Mushola terdekat kedua juga NU. Untungnya Masjid Ulul Albab dengan kultur Muhammadiyah tidak terlalu jauh dari Kalimasada, aku paling sering kesana. Disini mudah saja membedakan masjid Muhammadiyah dengan Masjid NU secara sepintas. Masjid Muhammadiyah biasanya pasca Adzan tidak terdengar suara puji-pujian, diam saja tau-tau beberapa menit kemudian terdengar Iqamah. Masjid NU sebaliknya sehabis Adzan hampir dipastikan selalu ada suara puji-pujian, sholawatan atau lagu-lagu. Aku memilih Masjid Ulul Albab semata bukan karena sentimen aliran, tentu beralasan. Pertama, Tarawih pasti disisipi kultum yang mencerahkan, biasanya kultum diisi oleh dosen-dosen agamis umumnya bergelar master, doktor kadang juga tokoh sekaliber Prof Masrukhi. Materi-materi yang sama sekali tidak membosankan, paling sering mengkaitkan antara ilmiah dengan agama. Kedua, meski pola rakaat menganut 4+4+3 namun aku banar-banar merasakan sensasi ibadah yang sesungguhnya. Imamnya tidak sekedar tartil tapi makhrajnya juga jelas dan dibaca secara qira’ah dengan improvisasi menggaung sangat indah, kualitas audionya juga sudah sekelas lah dengan masjid agung. Bisa dirasakan,masjid atau mushola kebanyakan biasanya menggunakan speaker stereo atau bahkan mungkin mono, namun untuk masjid besar biasanya sudah sekelas DTS. Lebih enakan mana, dengar lagu pakai speaker biasa atau pakai home theater?. Volume ruangan Masjid Ulul Albab tentu cukup luas, meski sof rapat namun suhunya tetap nyaman. Karpet sajadahnya juga dipilih dengan sangat tepat yaitu warnanya yang kalem dan tidak bergambar atau bercorak apapun. Semuanya seolah diciptakan untuk mendukung kekhusukan dalam sholat. Bukan jumlah rakaat yang dikejar, tapi kualitas sholatlah yang paling utama. Karena ada sebuah as-sunah berbunyi “Shalat dua rakaat dengan penuh khusyuk, labih baik daripada shalat semalam suntuk, namun hati tidak konsentrasi (kacau balau)”.

Tak jarang aku berbuka dikosnya Aris, bersama Nanang, Marwan dan Harry. Meski terlihat abangan namun tak disangka mereka juga disiplin berangkat Tarawih. Banyak mushola terdekat tapi seringkali mereka memilih Ulul Albab, atau Mushola At Taqwa Patemon. At Taqwa juga penganut kultur Muhammadiyah, terletak di tikungan Patemon samping sawah atau depan eks kontrakan seniorku Mas Fatkhan. Mushola ini tidak lain juga kediamannya kawan seangkatanku, Muhammad Burhan Hidayat yang merangkap sebagai takmir dan guru ngaji.

Ramadhan dua tahun lalu aku punya kenangan disini, bersama Eko Nurrohmad dan Burhan pergi ke belakang mushola eksplorasi rimba dan bermain senapan angin membidik burung. Saat itupula aku mengenal Eko sebagai seorang kawan yang sangat multidimensional. Dia memiliki pemahaman agama yang luas, jika disatukan dengan pemuda-pemuda yang agamis sekelas Burhanpun sangat pantas. Jika digabungkan dengan mahasiswa smart dan pandai debatpun bisa. Pernah juga suka bergaul dengan anak-anak cupu macam Jojo dan Yoyok dan menularkan kecerdasannya. Tapi jangan salah diapun juga mahir dan mampu menyesuaikan diri bersahabat dengan kawan yang berwatak preman, suka miras dan berpemikiran cabul. Inilah kawanku yang pernah menjadi orang nomor 1 di sejarah angkatan 2008 sebelum kuda hitam macam: Nadia, Revita, Erika, Artha dll bermunculan.

Malam-malam lain dalam kelegaan ini angkatan 2008 yang telah dinyatakan lulus “mengocok soda” sensasi kemenangan dengan berbuka bersama di salah satu RM di Patemon. Beberapa teman yang belum ujian pun turut menghiasi seperti: Dony, Erika, Winarso, Nung dan Ririn. Malamnya bersenang-senang mongkrong di Jl. Pemuda tepatnya di depan gedung Telkom. Bercengkrama dan berfoto-foto di bawah lampu kota megapolitan Semarang. Aku mendapati foto unik disini, dimana aku bersebelahan dengan dua orang yang pernah bermusuhan “perang dingin”, yaitu Winarso dan Eko Nurrohmad. Diawal semester mereka berdua adalah orang yang saling benci, saling mengumpat dan saling menggunjing, aku tahu karena aku adalah sahabat dekat kedua orang ini. Dan di akhir cerita kini mereka justru bersahabat, satu hal yang menyatukan mereka adalah sebuah “kegilaan”. Jika mereka masih dalam ego kelurusannya masing-masing, maka bagaikan dua rel yang sejajar, tak pernah ada titik temu. Namun karena mereka sama-sama bisa menggila akhirnya mereka menemukan persamaan: dangdut, pemikiran-pemikiran yang terlampau liberal dan lain-lain.

Eko, Winarso, dan Aku: pemandangan langka
Eko, Winarso, dan Aku: pemandangan langka



Hari-hari berikutnya tak lagi menegangkan seperti kemarin dalam misi meretas akun. Agendanya tinggal Burning CD, mengurus bebas perpus, upload file bersama Paemo. Masalah nilai konon telah beres. Aku menunggu Bu Retno memproses Surat Kelulusan hingga sore bersama Paemo, Dila, Novi, Heny, Lisa dan Ratri. Ada sesi mendebarkan diantara kami kala menunggu hasil print out transkrip nilai, kami menanti ingin tahu berapa IPK yang didapat. Akhirnya hari itu tertanggal 13 Agustus 2012, sebuah transkrip nilaiku keluar dari printer lab Komputer atas handle bu Retno, aku dinyatakanlulus dengan IPK 3,41. Meski Skripsiku memperoleh nilai AB tapi itu tak menghalangi kembang senyumku mendapatkan IPK 3,41 dengan predikat sangat memuaskan, tertinggi diantara sekelompok teman yang menunggu di situ.

Lagi-lagi aku harusmeng artiskan dosen. Kali ini aku mengejar tanda tangan pak Dekan untuk SKL ku. Pagi-pagi bolak-balik ke dekanat, pak dekannya malah sedang pergi kesana lah sedang itu lah intinnya beliau sedang tidak ada disitu. Hari-hari sebelumnya aku sudah ditagih orang tua tuk pulang ke rumah, karena sebentar lagi lebaran tiba. Aku telah berjanji akan pulang hari selasa itu, karena menurut perhitungan deadline seharusnya ini adalah waktu yang tepat. Kutunggu hingga pukul 13:00 pak Dekan belum juga datang. Bersama Paemo aku mondar-mandir seperti orang menahan kencing. Berharap trinitas akan terpenuhi sebelum lebaran ini Lulus – SKL – Liburan.

Jam 14:00 aku menyatakandiri untuk pulang ke Purbalingga. . . .

Padamara, 25 April 2013