Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Thursday, September 1, 2011

Catatan seorang Pendiam 1 September 2011


Rasanya tak satu alineapun aku pernah menyempatkan menulis catatan soal rasa cinta kepada lawan jenisku dalam lembaran CSP ini. Kalo dalam dunia Nasrani mungkin orang membaca tentang diriku sebagai orang yang sok jadi Pastor ketimbang jadi Domine. Salah kaprah. Sebenarnya bukan perkara out of Context, tapi aku hanya takut akan menulis tanpa henti dan tak berujung. Karena tiap kata manis dalam cinta senantiasa memiliki makna yang sulit dijelaskan dan hanya berputar-putar tak berujung untuk menemukan kata yang tepat. Bagaimanapun juga aku adalah lelaki yang sangat mendambakan kasih sayang dari wanita.

Jika aku menulis soal kriteria, aku takut ini akan menjadi pertimbangan yang rasialis (padahal hampir semua orang juga kadang rasis). Biarkan mulut yang diam ini berbicara dengan hati, tentang kepada siapa saja aku bisa welcome. Kadang aku seringkali menghindar untuk statement yang sengaja kuisolir.

Tadi siang aku silaturahmi ke keluarga yang ada di Bobotsari dan Bojongsari. Seberarnya disitu kekerabatan kami semu dalam hal trah. Keluarga di Bobotsari adalah keluarga dari ayah yang melahirkan ayahku. Sementara keluarga di Bojongsari adalah keluarga dari ibu yang yang melahirkan ayahku. Keluarga Bobotsari sangat luas karena ternyata Mbah Kakungku (Alm. Kasam Singadikrama) telah mengahamili banyak wanita (meski diluar nikah). Keluarga bojongsari adalah salahsatu wanita Mbah Kakungku yang dicampakkan dan melahirkan ayahku. Singkatnya dalam bahasa sekarang bahwa Mbah kakungku ternyata Playboy. Sebegitu mudah menikmati tiap wanita, hingga aku turut dinasehati oleh keluarga Bojongsari agar aku tidak menirunya.

Tanpa dinasehati aku sudah menjadi orang yang pemalu dan kalem.
Aku akan memilih wanita. Dan bagiku tak jadi masalah jika pilihanku hasil dari intuisi. 

Wednesday, August 31, 2011

Catatan seorang Pendiam 31 Agustus 2011


Ini Catatan ke seratus dalam akun Facebookku tapi bukan catatan ke seratus dalam rangkaian mozaik CSP (Catatan seorang Pendiam) yang telah aku susun. Tulisan jauh telah melukiskan watak dan pola pikir. Meski aku tengah studi di dunia kesejarahan namun, hingga kini tulisanku tak ada yang berbau revolusioner, atau tulisan menggebu-gebu memiliki rencana besar terhadap perubahan Negara ini. Semuanya tak membias dari presepsi pembaca tentang diriku, yaitu pribadi yang tenang, lebih banyak bertindak namun aku bukan orang yang suka larut dalam melankolis.

Catatan seorang Pendiam semoga akan dikenang oleh generasi setelahku kelak. Keturunanku akan tahu bagaimana pemikiran dari orang yang darahnya juga tengah mengalir pada dirinya. Aku bukan putera dari seorang tokoh masyarakat, tapi kakekku (dari garis matrilineal) adalah mantan Imam masjid yang banyak disanjung. Namun aku ingin menjadi manusia biasa. Kata orang, ketika aku belum sekolah aku bercita-cita ingin menjadi seorang sopir, sehingga aku banyak mengoleksi mobil-mobilan. Namun sekarang aku malah bercita-cita ingin menjadi seorang “Farmer (Petani-Peternak-Pembudidaya)”, sudah banyak kurencanakan, tinggal soal Capital, sedangkan sejarah hanya akan menjadi konsumsi pribadi. Aku ingin segala perjuanganku tak terlihat oleh masyarakat, bukan menjadi orang yang terpandang dimasyarakat, karena itu aku lebih suka menjadi pendiam.

Memilih mind-set untuk melangsungkan hidup di dunia ini memang membingungkan. Setelah solat Id tadi pagi aku mendengar sepenggal kata dalam sebuah khotbah: “Berfikirlah duniawi seolah kau akan hidup selamanya,dan berfikirlah untuk akhirat seolah kau akan mati besok”. Ungkapan itu tak salah, hanya saja tak mudah. Karena sama dengan mencari rumus kimia untuk membuat minyak dan air bisa larut. Tapi nyatanya banyak muslimin yang bisa kaya, misalnya dosen faforitku Pak Ibnu Sodiq. Atau jika memandang sejarah, Dinasti Abbasiyah sekitar abad 13 juga pernah Berjaya dan pernah menjadikan Baghdad menjadi kota yang tak tertandingi. Ini membuktikan bahwa hidup kaya di dunia dan selamat di akhirat menjadi bukan hal yang mustahil.

Hal yang ku dapat dari akhir hari ini membuka mata adalah mengerti begitu berbedanya antara makna Ilmu dengan Pengetahuan, karena sebenarnya Ilmu tidak bisa didapat dari membaca referensi tapi secara alamiah diciptakan secara pribadi. Tinggal seberapa tepat dan kuatnya kemampuan kita memotret diri sendiri sebagai daftar pustaka instrospeksi.
Sejati jatining ngelmu,
Lunguhe cipta pribadi,
Pustining pangestinira,
Gineleng dadya sawiji,
Wijanging ngelmu dyatmika,
Neng kahanan eneng-ening. (Serat Siti Jenar, oleh Arjawijaya)

Padamara 31 Agustus 2011 

Tuesday, August 30, 2011

Catatan seorang Pendiam 30 Agustus 2011

30 August 2011 at 22:01

Aku bukan mahasiswa sastra, tapi senantiasa banyak dorongan jiwaku untuk menulis. Ini hanya berkat rasa kesepian. Aku tak hanya berminat soal Sejarah tapi lebih dari itu, Filsafat. Itu sebuah pilihan, dan aku telah memilihnya. Tak begitu pandai berbicara dan tak mau berjanji tapi aku hanya bisa diam-diam berkomitmen. Aku memberi underline pada lirik Rap milik Almarhum Tupac Shakur, dalam beat-nya:

“No one knows my struggle# They only see the trouble”

Bagiku itulah kalimat yang memberi hakikat yang sebenarnya, bagaimana menjadi seorang pendiam yang sejati, yaitu ketika dia melakukan hal yang berjasa secara diam-diam tak banyak orang tahu, tapi kemudian ia menuai kritik karena orang umumnya sangat tajam melihat kesalahan dirinya. Ini adalah hal yang indah dimata Tuhan dan begitu memiliki nilai seni yang tinggi jika dituangkan dalam sastra atau sinema.

Pendiam bisa disinonimkan dengan kesepian tapi tidak harus diartikan keegoisan. Aku tak kunjung selesai membaca buku filsafatnya Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh Achmad Chodijm. Kemarin aku mendiskusikannya dengan Awal Fahrudin, kawanku yang tengah studi di STAIN Purwokerto ini abstain atas perdebatan soal benar atau tidaknya mengenai ajaran Syekh Siti Jenar ini, dia juga ragu tentang alasan mengapa Syekh Siti Jenar ini dieksekusi oleh Kerajaan Demak dan tidak disukai oleh wali sanga yang lain.

Jauh hari sebelumnya aku telah dilontari opini oleh kawan PPL-ku Mas LP (A. Laksono Pribadi) bahwa buku ini bisa membuat kita menjadi menjadi manusia Egois, karena memang disitu tersirat kalimat “Kita tidak membutuhkan orang lain, tapi kita hanya membutuhkan Tuhan”.

Aku dan Yuli Setyo teman dekatku di kampus sebagai sesama simpatisan ajaran Syekh Siti Jenar, tak memandang hal yang pendek tentang kalimat yang digeneralisasikan menjadi makna “Egois” itu. Pemahaman kami seperti ini:

“Kita tidak membutuhkan orang lain” artinya sebaiknya kita jangan suka menyuruh-nyuruh orang untuk membantu kita, selalu meminta sesuatu kepada orang karena pada dasarnya semua hal itu sama dengan merepotkan orang lain, membebani orang lain, memaksa orang lain untuk bertindak tidak secara ikhlas. Jika hal ini diakumulasikan maka akan menghasilkan rasa tidak suka orang itu kepada kita atau bahkan menyebabkan penyakit hati atau penyakit sosial (kecuali jika diganti dengan imbalan).

Tidak membutuhkan bukan berarti menolak. Seorang teknisi Komputer yang bisa bekerja sendiri tidak membutuhkan bantuan orang lain tapi dia tidak menolak bantuan orang lain, asalkan bantuan itu adalah murni inisiatif dan tidak meminta/ membebani balas jasa.

“Kita hanya membutuhkan Tuhan”. Setiap diri kita terdapat Roh Tuhan yang membimbing jiwa dan raga kita untuk mencapai apa yang diinginkan Tuhan. Roh Illahiah inilah yang membuat manusia ini menjadi baik, menyatunya (adanya persamaan) realita sifat-sifat mulia Tuhan kepada diri kita (Manunggaling kawulo Gusti). Orang yang sedang sembahyang dan memahami kitab suci adalah orang yang sedang meminta bimbingan Tuhan. Sedangkan orang yang baik adalah orang yang menuruti bimbingan Tuhan itu yaitu ibadah dengan berbuat baik kepada sesama, membantu orang lain yang mengalami kesusahan, melaksanakan lebih dari pada fungsi sosialnya. Sifat kita yang baik kepada orang lain ini adalah sifat Illahiah, berkat bantuan (bimbingan) dari Tuhan.

Kita benar-benar hanya membutuhkan Tuhan. Mengapa ketika nabi Ibrahim hendak dibakar atau Nabi Isa yang disiksa atau juga Nabi Muhammad yang dilempari batu dan kotoran tidak meronta-ronta meminta pertolongan “help!! Help!!” kepada temannya atau kepada saudaranya?. Mereka hanya membutuhkan Tuhan. Berdo’a kepada tuhan. Jika memang itu bukan waktu ajalnya pasti Tuhan membuat skenario yang membuat dirinya selamat. Hasbunallah wa ni’mal wakil. . . . . . .

Lebih singkatnya bahwa “Kita tidak membutuhkan orang lain, tapi kita hanya membutuhkan Tuhan” sama sekali sangat berkebalikan dengan makna “Egois”, tetapi akan lebih mudah dicerna jika diubah dengan kalimat “Upayakan kita membantu, bukan menerima (meminta) orang lain”.

Ini adalah penjelasan lain dari ajaran Syekh Siti Jenar menurut versiku yang lebih mudah dipahami.

Tadi siang sepupuku beru saja mengembalikan buku itu kepadaku, karena dia secara terus terang kesulitan memahaminya. Padahal dia juga mantan mahasiswa, dan bagiku sekarang dia adalah calon pengusaha. Inilah alasan mengapa aku menulis hari ini.


Padamara, 30 Agustus 2011