Warisan budaya masa lalu berupa bangunan atau situs mungkin begitu mudah dikenali. Namun warisan budaya sebuah sistem yang mungkin tidak terpahat atau tidak terpoles masih begitu sulit untuk dinyatakan warisan budaya. Saya memang tertarik dengan cerita-cerita dari Mas Agus Suyono. Kawan yang berumah di Desa Kedungwuluh, Kalimanah Purbalingga ini sering menceritakan tatanan aneh di sebuah persawahan antara perbatasan Desa Sambeng Kulon dan Desa Kramat Kecamatan Kembaran, Banyumas. Cerita itupun juga ia dapatkan dari penuturan kawannya dari desa setempat. Lebih membuat penasaran lagi ketika ia mengatakan lokasi itu wingit. Citra yang langsung terkesan dalam benak bahwa disitu banyak dikuasai makhluk halus, harus hati-hati dan jangan sembarangan, untuk datang kesitu konon harus menentukan hari pasaran yang tepat agar tidak apes.
Mas Agus menceritakan dengan persuasi agar aku bisa melihatnya secara langsung. Kamis 15 Desember 2016, rasa penasaran itu coba saya buktikan. Pilihan hari itu memang tidak kami tentukan dengan metode magis, karena saya orang yang realistis bahwa apes untung tidaklah ditentukan oleh makhluk halus, akan tetapi oleh Sang Pencipta.
Kurang lebih 1 kilometer dari rumah Mas Agus tepatnya setelah masuk tugu gerbang Desa Kramat. Kita perlu berhenti di kompleks beberapa rumah yang berada di tepi barat Jl. Sambeng Wetan – Kramat. Hanya sekedar memarkirkan motor. Selebihnya kami harus berjalan ke sawah-sawah dan tidak ada jalan lain selain menapaki galengan sawah.
Tatanan unik pertama yang kami dapati adalah gundukan batu di tengah petak sawah. Sayangnya kami tidak memotretnya dari kejauhan. Namun intinya ini seperti sebuah dataran lingkaran lebih tinggi dari permukaan sebuah petak sawah. Tepi dataran ini tersusun dari tumpukan batu yang tidak direkatkan selain dengan tanah diatasnya. Salah satu tepi daratan tersebut terdapat tumpukan batu ukuran lebih kecil yang disusun kerucut dan saat ini kondisinya tertutupi oleh semak perdu.
Melangkahkan kaki ke barat lagi dan menyebrangi sebuah sungai. Disini kami mendapati hal yang tidak biasa lagi. Tebing-tebing kecil terasering sawah disini umumnya dilapisi tumpukan batu. Ini berlaku sebagian besar petak sawah di sekitar sini. Menurut warga tatanan batu tersebut sudah ada sejak zaman dulu. Jika membandingkan dengan sawah-sawah yang pernah saya jumpai umumnya tidak menggunakan sistem penguatan pondasi susunan batu seperti ini.
Terasering dari tatanan batu |
Masih di kompleks persawahan yang termasuh dalam Dusun Cikokrok Desa Sambeng Kulon ini kami menemukan sebuah batu, yang sejauh saya kenal ini adalah Arca Yoni. Ini merupakan benda warisan budaya dari zaman Hindu - Budha. Sayangnya benda yakni retak hingga terbelah, serta sisi-sisinya sudah terpecah.
"Batu ini sudah ada sejak lama, hanya saja masyarakat tidak tahu kalau ini benda bersejarah. Masyarakat malah menyebutnya ini pondasi tiang bendera,” kata Mas Agus diamini oleh Pak Jasim salah satu petani yang sedang memeriksa sawahnya disekitar situ.
Padahal tidak logis ada pondasi itu di tengah sawah yang jauh dari pemukiman. Kami meyakini ini sebuah Yoni dilihat dari bentuk. Diperkirakan Yoni yang terbuat dari batu andesit ini berasal antara abad 9 - 15 Masehi atau ketika agama Hindu tengah berjaya di tanah Jawa. Yoni tersebut memiliki luas sisi atas 60 x 60 cm dan tinggi 75 cm. Agus juga menjelaskan posisi Yoni ini sudah berubah dari posisi asalnya.
"Konon kata masyarakat, dulu Yoni ini berposisi di atas permukaan tanah sawah. Lalu karena dianggap mengganggu, sekitar tahun 1990 Yoni ini dipindah sekitar 20 meter dengan posisi setengah terkubur di tepi parit kecil," katanya.
Bongkahan batu Yoni |
Ia menjelaskan, benda bersejarah dan sakral berupa Yoni ini juga bisa dijumpai di Desa Kedungbenda, Kecamatan Kemangkon (Purbalingga) dan di Situs Lembuayu, Desa Susukan, Kecamatan Sumbang (Banyumas). Biasanya sebuah Yoni ditemukan bersamaan dengan Lingga, namun kali ini baru Yoni saja yang tampak.
"Oleh masyarakat terdahulu, Lingga-Yoni biasanya digunakan untuk ritual kesuburan pertanian. Oleh karena itu, benda seperti ini pasti ditemukan di wilayah yang subur dan biasanya dekat dengan pertemuan dua sungai, melihat topografi disini memang sudah sesuai, sebelah timur ini ada sungai dan sebelah baratnya malah lurus dengan pertemuan dua sungai," paparnya.
Sekitar 50 meter sebelah barat dari lokasi penemuan Yoni juga ditemukan batu berukir yang tampak timbul dari permukaan tanah setinggi 3 cm. Kata Agus, masyarakat disini menyebutnya "Batu Banteng". Namun batu tersebut sudah tidak berwujud utuh atau sudah pecah dan terpisah di berbagai tempat katanya.
"Batu ini sekilas mirip punggung sapi dengan ekor menekuk ke depan. Diperkirakan ini adalah pecahan Arca Nandi. Namun saya belum bisa memastikan, karena sebagian tubuhnya masih terkubur, dibutuhkan ekskavasi dan perlu izin ke pemilik lahan," katanya.
Pak Jasim menunjuki sesuatu lagi kepada kami agar berjalan sedikit ke arah utara. Disana ada candi dan batu lumpang. Kami pun semakin penasaran membayangkan bagaimana bisa disini ada sebauh candi padahal seumur hidup saya belum pernah menjumpai candi di wilayah Banyumas - Purbalingga. Saya dan mas Agus berjalan menuju tempat tersebut, sementara Pak Jasim memilih tetap berada di gubuk.
Setelah kami datangi yah ternyata ini candinya. Definisi candi bagi masyarakat setempat ternyata bukanlah sebuah bangunan tatanan batu yang dibentuk balok dan berukir seperti candi Borobudur atau Prambanan dsb melainkan ya hanya susunan batu yang ditata melingkar. Batu tersebut batu utuh dan tidak dibentuk menjadi kubus atau balok.
Uniknya candi ini secara tersendiri ditumbuhi beraneka macam pohon seperti pohon kelapa, pohon pisang, dan ada juga pohon merica perdu. Kondisi seperti ini seolah-olah tidak ada orang yang berani mengutak atik keadaan, sepertinya ini adalah sebuah tempat yang sakral. Letaknya pula juga berada di tengah-tengah sebuah petak sawah. Saya mencoba naik ke tengah candi tersebut. Ternyata di tengahnya seperti ada sebuah kuburan. Namun saya masih ragu apakan ini benar sebuah kuburan atau hanya dua batu nisan yang dipasang menyerupai kuburan. Selain itu juga tidak menyerupai gundukan.
Add caption |
Puas menjelajahi persawahan Dusun Cikokrok ini kami kembali pulang. Mitos mistis seperti yang diceritakan orang memang tidak kami rasakan sama sekali. Perjalanan ini berlangsung dengan lancar. Hanya saja kami masih dirundung penasaran dan masih menganggap bahwa kawasan tersebut adalah benar sebuah kawasan sistem persawahan purba. Ditambah lagi ditemukan adanya batu Yoni yang juga merupakan alat ritual kesuburan. Kami harap akan ada arkeolog yang menanggapi tulisan saya ini. SEKIAN