Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Wednesday, September 10, 2014

Sejarah dan Makna Jempol Dijepit Telunjuk dan Jari Tengah

 

OLEH: HENDRI F. ISNAENI


Mano in fica, simbol sanggama pada meriam Si Jagur. Pernah diyakini perempuan dapat memberikan kesuburan.

PADA suatu kesempatan, pembesar Majapahit, Pamandana didekati perempuan gila. Dia memberi isyarat penuh makna: menjepit jempol tangan kanannya di antara jari telunjuk dan jari tengah. Kisah ini termuat dalam novel sejarah Majapahit: Bala Sanggrama karya Langit Kresna Hariadi.

Isyarat penuh makna tersebut jelas rekaan dan anakronisme. Sebab, bukti dari isyarat cabul itu baru terdapat pada meriam Si Jagur di Museum Fatahillah, Jakarta. Meriam ini terbuat dari hasil melebur 16 meriam kecil, sebagaimana tulisan Latin pada meriam itu: Ex me Ipsa renata sVm (dari saya sendiri aku dilahirkan kembali).

Meriam ini dibuat Manuel Tavares Bocarro di Makau, Tiongkok. Master pengecor senjata Portugis ini berasal dari Goa, India, di mana dia belajar membuat meriam dari ayahnya, Pedro Tavares Bocarro. Meriam itu dipersembahkan dan ditempatkan di benteng St. Jago de Barra di Makau, sebelum akhirnya dibawa ke Malaka. Nama Si Jagur diduga hasil penyederhanaan dari nama orang suci St. Jago de Barra.

Menurut João Guedes, pada 1627 Manuel Bocarro mengecor beberapa meriam besar yang bisa menembakan proyektil seberat 50 pound. Semua meriam didedikasikan untuk orang-orang suci: St. Alphonse, St. Ursula, St. Peter Martyr, St. Gabriel, St. James, Paus St. Linus dan St. Paul, dan lain-lain. “Selama bertahun-tahun mereka menjaga Makau dari posisinya di benteng masing-masing,” tulis João Guedes dalam “Weapons of Yesteryear,” dimuat macaomagazine.net.

Setelah VOC menguasai Malaka, meriam Si Jagur dibawa ke Batavia pada 1641 dan ditempatkan di Kasteel Batavia untuk menjaga pelabuhan dan kota.

Menurut Adolf Heuken, SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, meriam Si Jagur memiliki keistimewaan: tangan mengepal dengan ibu jari tersembul di antara telunjuk dan jari tengah. “Mano in fica ini merupakan simbol sanggama,” tulis Heuken.

Mano in fica merupakan simbol hubungan seksual kuno yang berasal dari Italia. Ia berasal dari kata Italia: mano (tangan) dan fica (vulva) yang dalam bahasa Inggris diartikan fig (buah ara), idiom untuk organ genital perempuan –buah ara bila dibelah dua seperti kemaluan perempuan. Bagi orang Roma, buah ara berkaitan dengan kesuburan perempuan dan erotisme; ia sakral bagi Bacchus atau Dionysus (dewa anggur dan kemabukan).    

Mano in fica, tulis Jeanette Ellis dalam Forbidden Rites, merupakan jimat yang terbuat dari perunggu, perak, karang atau plastik merah. Ia menggantikan gambar atau patung Phallus (kelamin laki-laki, red) bangsa Pagan, yang dilarang oleh Gereja Katolik Roma.

Menurut symboldictionary.net, jimat itu digunakan untuk melawan kekuatan jahat dengan keyakinan bahwa kecabulan berfungsi sebagai pengalih perhatian kejahatan; bahkan setan menolak gagasan seks dan reproduksi sehingga melarikan diri dari tanda itu.

Mano in fica pada meriam Si Jagur pun pernah dianggap dapat memberikan kesuburan. Banyak perempuan mendatangi meriam berbobot 24 pound atau 3,5 ton itu. Mereka menaburkan bunga di muka meriam itu setiap hari Kamis. “Mereka mengakhiri ‘upacara’ dengan duduk di atas meriam itu supaya kelak dapat menjadi hamil,” tulis Heuken.

1946 Seorang lelaki tampak mengelus bagian ujung meriam si Jagur, dengan beberapa sesajen di sekelilingnya




Untuk membuang takhayul itu, meriam dipindahkan ke ruang bawah Museum Wayang; sumber lain menyebut ke Museum Nasional. Museum tetap dikunjungi banyak perempuan yang ingin mendapatkan anak. Ada kisah lucu: seorang ibu dari Jawa Timur beserta dua anak perempuannya datang ke museum untuk meminta pertolongan Si Jagur. Setahun kemudian, dia kembali dengan marah-marah. Sebab, yang hamil malah putrinya yang belum menikah, bukan yang sudah bersuami.   

Pada masa Gubernur Jakarta Ali Sadikin, meriam Si Jagur dipindahkan ke halaman utara Museum Fatahillah. Kendati sudah sejak lama tak ada lagi yang meminta kesuburan kepada Si Jagur, yang membekas di ingatan banyak orang adalah simbol sanggama: mano in fica. (Sumber: Majalah Historia)
 

Thursday, June 19, 2014

MSI KOMISARIAT PURBALINGGA TERBENTUK

Kadinbudparpora Purbalingga memberikan sambutan

PURBALINGGA- Siang tadi, 19/6/2014 menjadi hari yang bersejarah bagi sekumpulan pegiat sejarah dari Purbalingga. Bersama dengan Bidang Budaya Dinbudparpora Kabupaten Purbalingga mereka bekerjasama mendirikan sebuah organisasi yang bernama Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) khususnya untuk komisariat Purbalingga.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinbudparpora Kabupaten Purbalingga, Sri Kuncoro mengungkapkan bahwa MSI Komisariat Purbalingga ini anggotanya terdiri mayoritas dari guru-guru mata pelajaran sejarah maupun IPS, guru SD dan beberapa pegiat sejarah. Arah terbentuknya organisasi ini adalah menciptakan masyarakat yang sadar sejarah, mencoba mengungkap kembali khususnya sejarah lokal yang ada di Purbalingga.

"Karena dengan MGMP saja tidak cukup, oleh karena itu dengan terbentuknya MSI komisariat Purbalingga ini diharapkan banyak mengungkap sejarah lokal tentunya untuk keperluan pendidikan bagi guru sejarah maupun juga memiliki kontribusi untuk para peneliti sejarah," ungkap Sri Kuncoro dalam sambutannya kemarin (19/6).

Acara disambung dengan pelantikan pengurus MSI komisariat Purbalingga, yang secara langsung dilakukan oleh Ketua MSI Jawa Tengah Prof Dr Singgih Tri Sulistiyono MHum dan Kepala Dinbudparpora Kabupaten Purbalingga Drs Akhmad Khotib MPd. Pengurus yang dilantik dengan ketua umum dari Guru sejarah SMA Negeri 1 Kejobong, Arifin SPd, selain itu juga ada dari guru sejarah dan beberapa Jurnalis surat kabar juga diharapkan bisa membantu berperan.

Singgih mengungkapkan bahwa selama ini belum ada atau masih jarang ada organisasi dari bidang ilmu lain yang seperti MSI. Umumnnya maksimal hanya pada dalam bentuk MGMP yang dibawah naungan Dinas Pendidikan. "Kita harapkan MSI ini suatu saat akan menjadi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Mereka menerapkan standar-standar tertentu bagaimana menjadi dokter seharusnya. Begitu juga dengan MSI yang suatu saat bisa saling menetapkan standar profesionalisme manjadi seorang guru Sejarah," terangnya.

Pihaknya juga berharap bahwa MSI bisa membawa muatan profesionalisme yang lebih memadai. Bisa menyentuh filosofi, tentunya untuk kepentingan nasional. Kata dia, potensi MSI adalah peluang besar untuk memperkaya pengalaman dan kinerja guru sejarah dan juga bisa membantu para peneliti sejarah. MSI diharapkan bisa bersinergi dengan pemerintah daerah baik kepada Dinas Pendidikan, Dinbudparpora agar bisa mendapatkan dukungan dalam menjalankan setiap program kerjannya nanti.

Selain dibentuk panitia kepengurusan juga dibumbui dengan Seminar Nasional yang bertajuk Revitalisasi Nasionalisme Indonesia dalam Rangka menghadapi Era Globalisasi dan Pasar Bebas dengan pembicara Ketua MSI Jawa Tengah, Prof Dr Singgih Tri Sulistiyono MHum. Kepala Dinbudparpora Kabupaten Purbalingga, Drs Akhmad Khotib MPd dalam sambutannya mengungkapkan bahwa nasionalisme dalam era kekinian sedang loyo. menurutnya bahwa sumber kebangkitan kembali nasionalisme yaitu terletak dari pendidikannya.

"Yang saya khawatirkan Indonesia yang besar, terkenal memiliki budaya yang besar ini namanya ada tapi jiwanya sudah tidak Indonesia lagi. Untuk membangkitkan nasionalisme ini subernya yaitu dari pendidikan kita. Selama ini mata pelajaran sejarah yang ada itu terkesan tidak nyambung antara tujuan dengan materinya, dan di kurikulum 2013 ini akan menjadi tantangan sendiri bagi para guru sejarah," terangnya. (gan)

Wednesday, June 18, 2014

Pergowokan: Kekayaan Budaya Banyumas yang Hilang

Satu kekayaan kebudayaan dari leluhurku ini hampir hilang. Pergowokan namanya. Pertama aku dengar dan baca istilah itu dari novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya novelis kebanggan orang Banyumas, Ahmad Tohari.

Makna Pergowokan kurang lebih memang sangat mengesankan. Disitu diceritakan Srintil dipinjam oleh salah seorang juragan boled. Disitu ia disuguhkan kepada putra juragan tadi untuk 'latihan'.

Namun sayang anak itu tak mengerti makna kehadiran Srintil. Sebagai anak lelaki yang belum belum begitu dewasa, ia masih begitu polos. Belum mengerti apa dan bagaimana itu bercinta.

Disinilah peran Srintil sebagai gowok hadir. Srintil mengajari anak laki-laki tadi tentang bagaimana mengapresiasi rasa cinta kepada wanita. Hingga pada titik tertingginya yaitu berhubungan intim. Srintilah sebagai gowok ia harus menjadi media latihan anak itu dalam berhubungan intim.

Sejatinya Srintil sebagai Ronggeng dan tercitra sebagai wanita yang tercantik kala itu. Tapi ia tidak lagi jadi wanita yang anggun nan suci melainkan separuh sundal, yang bisa 'dipakai' lelaki dengan harga tertentu. Karena kecantikannya maka hanya skala juragan saja yang mampu. Dan kali ini diperankan sebagai gowok.

Pergowokan adalah soal gengsi dari juragan itu untuk putranya. Beharap nanti ketika sudah masanya menikah anak itu sudah tidak canggung lagi dan sudah mahir di ranjang. Karena pengalaman dan pelajaran yang diberikan gowok tadi. Benar-benar menjadi lelaki yang beruntung ketika sang orang tua bisa menunjukan gengsinya mengundang gowok untuknya.

Tapi lantas pandanganku banyak berubah tentang pergowokan ini setelah aku ngobrol dengan pak Kasirun selaku kepala seksi seni budaya di Dinporabudpar Banyumas sabtu (14/6) kemarin. Dia membubarkan bayangan indah cita penuh seni tentang pergowokan tadi. Intinya ia menyangkal pergowokan ini rupanya sama dengan apa yang diinterpretasi Ahmad Tohari.

"Aslinya tidak seperti yang diceritakan itu. Malah nuwun sewunya itu mengesankan citra negatif menurunkan norma kesopanan budaya leluhur kita," katanya.

Lalu ia ceritakan tentang bagaimana pergowokan yang sebenarnya. Pergowokan itu layaknya sebuah terapi untuk calon pengantin baru pihak laki-laki.

"Jadi bukan wanita cantik seperti Srintil yang didatangkan, akan tetapi biasanya adalah orang sepuh yang ahli meracik herbal," lanjutnya.

Mengapa sepuh? Ini berarti memang belum ada generasi penerus yang ahli meracik herbal itu. Yaitu herbal untuk kagagahan dan kejantanan vitalitas pria.

Sayangnya pak Kasirun tak menjalaskan, apakah ini hanya berupa ramuan saja atau mungkin juga ada semacam pijatan. Tapi aku yakin ini adalah keahlian yang langka, dan tidak banyak orang bisa. Pak Kasirun akhirnya bisa lanjutkan cerita.

"Jadi jelang menikah lelaki itu dibawa ke rumah yang persis menghadap ke laut. Dia tinggal disitu hanya bersama ahli ramuan tadi. Konon juga angin laut ini jadi salah satu elemen untuk menambah vitalitas pria itu juga. Mereka disitu dalam jangka waktu beberapa hari saja,"  ungkapnya.

Tapi sayang ia sudah tidak bisa bicara lebih detail lagi tentang pergowokan tadi. Seperti racikannya itu apa saja, cara konsumsinya bagaimana. Tak dipungkiri ini adalah kekayaan budaya yang hilang. Seandainya ada yang bisa bangkitkan kembali maka pria Banyumas termasuk aku akan terkenal kejantanannya, oleh wanita-wanita dari berbagai penjuru.

Tapi siapakah lagi yang mewarisi?? Aku ingin ada orang yang angkat bicara soal ini. Pak Kasirun berbisik bahwa masih ada orang yang sedang mendalami istilah pergowokan ini. Tapi sayang aku tak hafal namanya. Sedikit clue yang kuingat bahwa dia adalah salah satu pemilik dari tempat wisata pemandian Tirta Husada Kalibacin, Rawalo, Banyumas. . .

By: Ganda Kurniawan, Jurnalis JPNN

Wednesday, June 11, 2014

Tak ada puasnya

Semua orang ingin enaknya saja, tanpa ingin merasakan pahitnya awal perjuangan. Hari ini akhirnya teman lamaku jujur, dia ingin kembali jadi wartawan. Janwar Priadi.

Dia dulu keluar tak tahan betapa pahitnya masa-masa pendidikan awal jadi wartawan. Berangkat pagi, pulang jam 11 malam.Akhirnya ia sesekali mbolos, dan gajinya dikurangi. Dia keluar, sedikit marah dengan tidak mengembalikan caz kamera titipan perusahaan. Dia tak tau, selepas beberapa hari kemudian bos Feldi yang feodalis itu selesai mendidik kami. Kemudian kami bebas lepas jadi wartawan, bebas tentukan tema berita sendiri. BanPres sudah minimalisir impor berita dari RadarMas.

Janwar tengah kesulitan lagi bekerja di tempat lain. Ingin jadi wartawan lagi, tapi kali ini ingin jadi koresponden Banjarnegara, biar tak bertemu Feldi lagi mungkin. Wartawan biasanya harus betul-betul punya SDM tinggi dan berkarakter. Dia mungkin sudah tak dipercaya lagi. Kenangan lama.

Aku dengar pepatah. "Kau putuskan berhenti di tengah jalan, tak tahu padahal selangkah lagi ada kebahagiaan". Ini doktrin, agar kita pantang menyerah. Ada nyatanya ada tidaknya.

Betul apa kata kawanku, Fajar. Kerja di swasta seperti dikebiri tak lagi berminat wirausaha. Hilang semangat tuk mandiri. Aku jadi bingung, mau usaha apa yang sekiranya bisa ungguli gajiku sekarang.

Orang tua selalu sepelekan wirausaha untukku. Padahal mereka wirausaha bisa punya penghasilan lebih dariku. Apa mereka inginkan aku lebih rendah daripada mereka?.LUCU!!!

Dua elemen itu telah mengkebiri aku dari kewirausahaan. Sebenarnya yang paling dibutuhkan adalah melawan arus. Salah satu ikhtiarnya adalah semangat subuh dan jauhi maksiat. Aku yakin itu pintunya. Tapi sekali lagi itu butuh doktrin dan asupan sugesti-sugesti hypnosis yang masuk ke pikiran kita. Siapa yang bisa???

Hidayah

Tuesday, June 10, 2014

Sejarah Bali dengan Budaya Asing

Oleh: IDG Windhu Sancaya, Fakultas Sastra Unud


SETELAH membahas tentang subak secara mendalam dan sistematis, Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul “Negara, The Theatre State in Nineteenth Century Bali” (1980) sampai pada suatu kesimpulan, bahwa di seluruh dunia tidak ada organisasi sosial pengairan yang seefektif subak. Demikian pula halnya dengan V.E. Korn dalam bukunya “Het Adat Recht van Bali” (1938) menyatakan kekagumannya kepada kepandaian dan kehebatan orang Bali dalam membuat saluran-saluran air di bawah tanah (bhs. Bali: aungan). Korn menyebut mereka sebagai para insinyur Bali. Kehebatan orang Bali dalam bidang arsitektur bangunan tradisional juga sudah diakui luas oleh para ahli arsitektur modern.


Di bidang ilmu pengobatan tradisional (usada) misalnya, Wolfgang Weck (1976), seorang ahli kedokteran berkebangsaan Jerman, memberikan perhatian yang khusus tentang usada. Dalam bukunya yang berjudul “Heilkunde und Volkstum auf Bali”, disebutkan bahwa tata cara pengobatan tradisional Bali memberi sumbangan yang penting bagi metode pengobatan dalam ilmu kedokteran modern, yang perlu mendapatkan perhatian kita. 

Semua penyataan tersebut di atas menunjukkan adanya landasan yang kuat dan segi-segi positif dari kemampuan orang Bali dengan kebudayaannya yang masih bersifat tradisional, untuk maju dan dikembangkan dalam dunia modern serta globalisasi saat ini. Memang tidak semua nilai-nilai budaya tersebut dapat hidup dan berkembang dengan baik dalam kemajuan zaman saat ini, dan tidak semua nilai-nilai yang bersifat tradisional bersifat positif. Namun seringkali nilai-nilai budaya tradisional yang positif tersebut justru terdesak oleh kuatnya arus modernisasi dan globalisasi, karena kurangnya pemahaman terhadap makna tradisi dan modernisasi. Dunia pendidikan modern misalnya, seringkali “menyingkirkan” nilai-nilai budaya tradisional tersebut, sehingga tidak mendapatkan tempat yang sepantasnya dalam sistem pengajaran dan pendidikan, sehingga proses transmisi dan transformasi budaya sering mengalami hambatan. Meskipun arus modernisasi dan globalisasi melanda begitu kuat, sejumlah pengamat dan ahli mengakui bahwa Bali sampai saat ini masih diakui sebagai tempat di mana tradisinya masih hidup dan berkembang dengan baik.

Dualitas tradisi dan modernitas Bali misalnya dikatakan oleh MacRrae (2005:5), “Bali sudah terkenal sebagai pulau yang sangat tradisional, akan tetapi kenyataannya Bali juga menjadi pulau yang sangat modern bila dibandingkan dengan wilayah Indonesia pada umumnya”. Di sisi lain Michel Picard (2006) mengemukakan: dalam sejarahnya orang Bali tampaknya telah memperlihatkan suatu bakat istimewa dalam menyerap secara selektif pengaruh-pengaruh luar, dengan hanya memilih unsur-unsur yang cocok dengan nilai yang ada pada mereka, kemudian dipadukan dengan selaras dalam sistem budaya mereka. Hasilnya bukanlah pelapisan berbagai strata budaya yang terpisah-pisah melainkan suatu perpaduan yang orisinal dari benda-benda dan citra-citra dari parktik-praktik dan kepercayaan yang meskipun berbeda asalnya, namun lambat laun mengambil wujud menjadi sesuatu yang bersifat khas Bali.

Dalam kaitannya dengan kebudayaan Bali pada umumnya dan sastra Bali pada khususnya, setidak-tidaknya untuk saat ini, tradisi dan modernitas dapat hidup saling berdampingan dan saling melengkapi, sebagaimana diungkapkan Diana Askovic, seorang antropolog berkebangsaan Amerika. Pandangan Askovic tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa di satu sisi Bali tetap bisa menjaga kebudayaan tradisional yang dilestarikan selama berabad-abad di tengah cepatnya arus modernisasi yang sedang berlangsung saat ini, namun di sisi lain kehidupan kesenian Bali menunjukkan suatu dinamik perubahan bentuk artistik dan gaya yang konstan (terus-menerus). Pernyataan Askovic memang lebih ditujukan untuk menyebutkan tradisi dan modernitas dalam kaitannya dengan seni pertunjukan Bali (Balinese Performing Arts). Meskipun demikian, konsep dan kerangka pemikirannya tersebut dapat juga digunakan untuk memahami aspek realitas sosio-kultural kehidupan masyarakat Bali yang lebih luas, yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan tradisi dan modernitas. Walaupun masyarakat Bali telah mengalami gelombang terpaan kebudayaan yang datang dari Timur dan Barat, yang telah menimbulkan terjadinya perubahan-perubahan, menurut Prof. Ngurah Bagus (1995) pada hakikatnya perubahan yang diakibatkan oleh pertemuan budaya tersebut belum begitu berarti, karena masyarakat Bali masih bercorak kolektif, komunal dan ritualistik. Namun seiring dengan makin kuatnya terpaan konsumerisme dan materialisme, kini orang Bali juga sudah menjadi semakin individualistis dan asosial.


Pertemuan dengan Budaya Asing

Hubungan dan interaksi orang Bali dengan kebudayaan asing bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Jauh sebelum bangsa Eropa menginjakkan kakinya di Nusantara masyarakat Bali sudah dipengaruhi secara mendalam oleh pengaruh-pengaruh luar, khususnya yang dibawa oleh kebudayaan India dan Jawa—tanpa melupakan pengaruh lebih tersamar dari kebudayaan China (Gde Agung, 1987; Picard, 2006). Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dikemukakan oleh Hildred Geertz (1988), bahwa orang Bali telah sejak dahulu kala berkenalan dengan budaya asing dan sudah bersifat internasional. Hildred Geertz selanjutnya mengatakan, masyarakat desa-desa di Bali pada zaman kuno bukan tertutup dan terpencil, malah bersifat ‘internasional’. Hal itu terbukti dari adanya lalu lintas orang-orang dari luar desa (malah mungkin dari luar Bali), adanya beberapa bahasa dan sastra, adanya orang-orang terpelajar, adanya perbedaan sosial yang ditunjukkan dari gelar-gelar, adanya pembuatan perahu dan layangan, adanya emas, perak dan lain-lain barang-barang diimpor dari luar Bali. Semua ciri-ciri itu berarti bahwa dari zaman purbakala sampai sekarang ini penduduk Bali sudah biasa dan lancar mengadakan hubungan-hubungan dengan pendatang dari luar lingkungannya sendiri (Geertz, 1988).

Proses Indianisasi misalnya telah melahirkan sejumlah kerajaan yang pada mulanya betul-betul menjadi negeri-negeri serupa dengan di India, kemudian berubah mengikuti lokal jenius tersendiri akibat kebudayaan setempat (Coedés, 2010). Berkat pengaruh agama Hindu, berkembanglah sistem pertanian yang tangguh, sistem sosial-politik, bahasa dan sastra, serta seni lainnya sehingga mencapai tingkat yang tinggi (Bagus, 1995). Melalui pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan luar tersebut Bali diperkaya dengan berbagai ciri yang selanjutnya digabungkan dalam subtrat Austronesia melalui suatu proses sinkretis yang khas dan mempesona (Picard, 2006).

Pada abad ke-7 Masehi orang-orang Cina telah mengenal Bali dan memberi nama pulau ini dengan sebutan Dva-pa-Tan (Gde Agung, 1989). Pernyataan-pernyataan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa hubungan kebudayaan Bali dengan kebudayaan asing bukan baru terjadi pada abad ke-18, melainkan jauh sebelum itu. Akibat adanya hubungan kebudayaan tersebut menyebabkan kebudayaan Bali juga mengalami perkembangan dan perubahan. Selain mendapat pengaruh dari kebudayaan India dan China, kebudayaan Bali juga mendapatkan pengaruh yang sangat intensif dari kebudayaan Jawa, terutama setelah ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit. Sebelum ditaklukkan oleh kerajaan Singhasari tahun 1284 Masehi, dan oleh Majapahit tahun 1343 Masehi, Bali telah mengalami masa keemasannya. Raja Bali Kuna terakhir yang gilang-gemilang adalah Jaya Pangus, yang membuat tiga puluh buah prasasti, prasasti terbanyak dari raja-raja Bali Kuna yang lain (Goris, 1974). Setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, dan Sri Astasura Ratnabhumi Banten, raja Bali terakhir dikalahkan, menurut Zoetmulder (1984),

Kraton-kraton di Bali sejak saat itu mengalami suatu proses “Jawanisasi� yang sistematis; demikian juga masyarakatnya. Para Brahmin dari Jawa kemudian menetap di Bali dengan membawa serta ajaran dan praktek keagamaan Hindu-Jawa yang berbeda dengan Hindu-Bali, memperkuat pengaruh India yang telah aktif sejak berabad-abad sebelumnya. Sejak pertengahan abad XIV Bali telah masuk ke dalam lingkup pengaruh “Hindu-Jawa� seperti terasa lewat berbagai pusat kebudayaan dan religi, di mana bahasa dan sastra Jawa Kuna dipelajari, ditiru, dan dikembangkan. Sejak saat itu Bali harus dipandang sebagai bagian dari dunia kebudayaan Hindu-Jawa.

Hubungan Bali dengan kebudayaan Barat baru mulai lebih mendalam sejak abad ke-18. Meskipun demikian, hingga awal abad XX hubungan kebudayaan Barat dengan kebudayaan Bali belum banyak membawa pengaruh perubahan terhadap kebudayaan Bali, karena hubungan tersebut lebih banyak diwarnai dengan peperangan dan penaklukan. Pengaruh intensif kebudayaan Barat terhadap kebudayaan Bali baru terjadi ketika Bali telah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Kolonial Belanda sejak awal abad XX, ketika seluruh kerajaan di Bali telah dikuasai pada tahun 1908. 

Semakin dikenalnya Bali sebagai daerah tujuan wisata menyebabkan hubungan Bali dengan dunia Barat menjadi semakin intensif masuk ke dalam berbagai aspek kebudayaan Bali. Interaksi dengan dunia luar melalui pariwisata tersebut di satu sisi dapat memperkaya, namun juga memperlemah posisi kebudayaan Bali, tergantung dari kemampuannya menyaring masuknya pengaruh budaya luar. Ida Bagus Mantra (1995) mencatat bahwa dalam periode modern ketika Bali belum lama mendapat pengaruh dari budaya Barat, pada tahun 1930-an generasi pada saat itu telah berhasil menyaring unsur-unsur yang baik dari kebudayaan luar, sehingga seni dan budaya Bali mendapatkan potensi yang lebih besar untuk memperkaya masyarakatnya, baik dari segi rohani maupun rohani.

Diskusi-diskusi tentang modernisasi masyarakat Bali tergambar dalam tema-tema yang dikenal dengan baik dalam perdebatan akademis yang lebih luas. Pusat pembicaraan mereka tentang modernitas saat ini telah bergeser dari pembahasan tentang pengaruh budaya Barat yang dibawa oleh bangsa Eropa yang diidentifikasikan sebagai subalter dari modenisasi yang bersifat plural, sebagaimana dikemukakan Picard (1996), Vickers (1996), Vickers dan Darma Putra (2000). Diskusi-diskusi tersebut kini secara keseluruhan berkisar pada pertempuran serta perdebatan mengenai pengaruh modernisasi pada zaman Kolonial sebelum Perang Dunia II, atau ketegangan-ketegangan yang terjadi pada abad XX, yaitu ketegangan antara keinginan untuk berpatisipasi dalam realita kehidupan modern dan rasa kepedulian masyarakat Bali terhadap pelestarian tradisi dan budaya, serta kehidupan keagamaan mereka. Bagi masyarakat Bali sendiri, menjadi modern, sebagaimana halnya dengan masyarakat lain yang pernah dijajah, lebih merupakan sebuah proses daripada sebuah perwujudan final. Sebagaimana pernah dikhawatirkan oleh Vickers (1996), perkembangan modernisasi tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang terhubung secara mudah antara budaya Barat dengan budaya Bali. Vickers mengakui bahwa perubahan dan modernisasi telah terjadi dalam masyarakat Bali sebelum mereka bersentuhan dengan Kolonial Belanda, yang telah mengambil alih kehidupan sosial, politik dan kebudayaan masyarakat Bali. Meskipun demikian, banyak ahli berpendapat bahwa proses modernisasi yang terjadi dalam masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari pengaruh datangnya dan intervensi kolonial Belanda di Bali. Sebuah periode perubahan kehidupan sosial dan budaya yang signifikan telah terjadi dalam masyarakat Bali setelah Bali ditaklukkan sepenuhnya oleh Belanda tahun 1906 melalui Puputan Badung dan 1908 melalui Puputan Klungkung.



Sumber: Bali Post


Gadis Bali apa adanya di masa lalu ...

Awá, Suku Hutan Amazon Terancam Punah

Kampanye internasional oleh kelompok advokasi Survival International berharap untuk menyelamatkan suku yang "paling terancam di dunia" — suku Awá di Brasil — dari orang luar yang berusaha mengambil tanah mereka.



Orang-orang suku Awá hidup dari berburu dan berkumpul. Mereka berperjalanan dalam keluarga besar sekitar 30 orang. Mereka akan pergi berburu dalam ekspedisi selama beberapa minggu. Meski begitu, kelompok kecil ini menjadi rentan terhadap serangan orang-orang bersenjata yang disewa oleh para pembuka hutan dan penebang kayu.



Pria-pria Awá adalah pemburu yang membuat sendiri panah serta busur mereka. Kehidupan suku ini sangat tergantung pada hutan dan gaya hidup berburu-berkumpul mereka.




Hemokoma'á berdiri di antara hutan yang terbakar di teritori suku Awá territory - 31% persen kawasan mereka sudah dibakar dan dirusak oleh pembuka hutan ilegal.



Apãranã ("Kupu-kupu kecil") berayun dari akar liana melewati sungai tempat anak-anak mandi dan bermain. Orang-orang suku Awá memancing ikan di sungai di kawasan mereka dan menyukai daging kura-kura.



Seperti banyak suku Indian lain di Amazon, Awá menggendong bayi mereka - biasanya gendongan ini terbuat dari serat palem namun kini terbuat dari kain.



Suku Awá di Brasil kini terlibat dalam proses hukum untuk melindungi tanah mereka dari pembalakan liar dan pembuka hutan. Amerintxia kemungkinan adalah orang Awá tertua. Dia hidup sendiri dinaungi pohon palem, bersama dengan banyak hewan peliharaannya. Dia masih mengumpulkan sendiri makanannya di hutan.









Sumber: Viva

Hanya ada di Novel dan Film

Surya Esa, berambut gondrong


"dr Istanto itu orangnya lurus. Tapi lurusnya kemana dulu, kalau menyimpang ya salah sasaran. Lebih baik kita tempuh jalan berliku tapi tepat sasaran," kata bapak Keluarga Kembang Cahaya (KCa), Surya Esa

Itu yang akan selalu aku ingat dari wawancara tadi siang dengan dia. dr Istanto, dinkes dikecam olehnya karena dinilai mendiskreditkan para pecandu narkoba yang ingin sembuh. Mereka disamakan dengan perilaku bunuh diri sehingga pemerintah tak sudi membantu, bahkan katanya tarif IPWL justru dimahalkan khusus mereka.

Hari ini pak Esa nampak puas. dr Istanto jadi kena tegur Bupati. Dan kedamaianpun kembali mengalir. Kita harus terima berlikunya jalan. Seribu satu orang seperti pak Esa ini. Dia terlalu disegani karena mau sukarela membantu rehab sos pasca pemulihan para pecandu narkoba, yang kini terus bertambah menjadi 30 orang.
Kusebut dia Lokal Hero. Hanya baru ku temui orang seperti dia di novel, atau film. Tak ada yang sia-sia pengabdian dari orang orang seperti itu.

Ada yang nyaris mirip. Sahabatku Winarso juga punya kepedulian yang tinggi kepada mereka yang tersingkirkan. Hanya saja dia terlalu ingin terekspos, dipamerkan, pencitraan. Bahkan kadang ada yang palsu dan dibuat jadi 'seolah-olah'.

Kawan yang lain juga ada yang mirip. Ialah mas Wanto, guru mengaji di kampungku, dia terlampau peduli dengan anak-anak kecil dan pemuda disini. Mendidik tanpa ada imbalan. Hanya saja dia terlalu fanatik dengan keNU-annya.

Mereka punya tujuan mulia, untuk banyak orang dengan cara cara mereka sendiri. Tak seperti aku, meski banyak yang mengenalku. Tapi pergerakanku begitu individu. Hatiku masih keras untuk luluh tapi ketika bertindak reaksioner aku masih kalah telak kerasnya dengan perjuanjuangan mereka.

Dinkes vs BNK

Sunday, June 8, 2014

Mengenal Ratna Sari Dewi Soekarno

Kisah Cinta Soekarno dengan Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi)



"Dewiku tercinta, Saya dalam keadaan baik dan sangat sibuk dengan konferensi bersama semua panglima militer untuk menyelesaikan konflik di kalangan militer. Jangan khawatir, sayang!, Sayang dan 1000 ciuman, Soekarno." 

Untaian kata cinta itu dilayangkan oleh Soekarno kepada pujaan hatinya, Ratna Sari Dewi. Surat singkat itu dikirim melalui kurir Sang Presiden pada 2 Oktober 1965. 

Situasi yang memanas di dalam tubuh militer setelah peristiwa 30 September 1965 nampaknya meluluhkan hati Soekarno yang keras. Cintanya membuat Soekarno tak melupakan Dewi, tak lupa melayangkan seribu ciuman kepada wanita Jepang itu. 


Lahir Dengan Nama Naoko Nemoto Nemoto Naoko Di Tokyo





Naoko Nemoto adalah nama aslinya. Perkenalan dan kisah cintanya dengan Sang Proklamator membawanya ke Indonesia, kemudian menjelma menjadi Ratna Sari Dewi, ketika Indonesia baru saja lahir. 

Naoko dilahirkan dalam keluarga sederhana pada 6 Februari 1940. Keluarganya menetap di Tokyo, Jepang, tepatnya di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho. 
Dialah geisha yang begitu sempurna di mata Sukarno. Kecantikannya begitu mempesona, sehingga tak kuasa Sukarno meredam hasrat cintanya yang berkobar-kobar. Gadis Jepang ini lahir tahun 1940, sebagai anak perempuan ketiga seorang pekerja bangunan di Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Naoko harus bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada tahun 1955.



Empat tahun kemudian, nasib mengubah hidupnya. 
1956 ia mengundurkan diri, dan menekuni profesio geisha Akasaka’s Copacabana yang megah, salah satu kelab malam favorit yang sering dikunjungi para tamu asing. Ke kelab inilah Sukarno datang pada 16 Juni 1959. Bertemu Naoko, dan jatuhlah hatinya. Setelah itu, Bung Karno masih bertemu Naoko dua kali di hotel Imperial, tempat Bung Karno menginap. Akan tetapi, versi lain menyebutkan, pertemuan keduanya terjadi setahun sebelumnya, di tempat yang sama.
Usai lawatan dua pekan, Bung Karno kembali ke Jakarta. Tapi sungguh, hatinya tertinggal di Tokyo… hatinya melekat pada gadis cantik pemilik sorot mata lembut menusuk, sungging senyum yang lekat membekas. Seperti biasa, Bung Karno mengekspresikan hatinya melalui surat-surat cinta. Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Isyarat itu ia tangkap melalui surat balasan Naoko.
Tak lama, Bung Karno segera melayangkan undangan kepada Naoko untuk berkunjung ke Indonesia. Sukarno bahkan menemaninya dalam salah satu perjalanan wisata ke Pulau Dewata. Benih-benih cinta makin subur bersemi di hati keduanya. Terlebih ketika Naoko menerima pinangan Bung Karno, dan mengganti namanya dengan nama pemberian Sukarno. Jadilah Naoko Nemoto menjadi Ratna Sari Dewi. Orang-orang kemudian menyebutnya Dewi Soekarno.
Tanggal pernikahan keduanya, ada dua versi. Satu sumber menyebut, keduanya menikah diam-diam pada tanggal 3 Maret 1962, bersamaan dengan peresmian penggunaan nama baru: Ratna Sari Dewi berikut hak kewarganegaraan Indonesia. Sumber lain menyebut mereka menikah secara resmi bulan Mei 1964. Agaknya, sumber pertamalah yang benar.

Lahir Di Tokyo Jepang 6 Februari 1940 Dengan Nama Naoko Nemoto Lahir

Saat itu, Juni 1959, Soekarno melepas lelah di salah satu kawasan kenamaan di negeri Sakura, Akasaka's Copacabana. Sang Presiden merasa perlu melepas penat di sela kunjungan kerjanya yang padat, menguras tenaga dan pikiran. 

Tanpa rencana, pandangan mata Soekarno menghampiri Naoko Nemoto yang anggun dan gemulai. Melalui perantaraan kolega di Jepang, Soekarno akhirnya berhasil bercengkrama dengan sang dara. 

Hari berganti, keduanyapun semakin akrab. Semakin lama Soekarno memandang Naoko, semakin luluh hatinya, dan jatuhlah hati itu dalam dekapan dara Sakura. Bukan Soekarno kalau tidak melakukan hal yang di luar kebiasaan. Dia boyong Naoko ke Tanah Air. Sejumlah literatur menyatakan keduanya sempat berkelana ke Pulau Dewata, hingga akhirnya bersanding di pelaminan pada 1962. 


Jadilah Naoko dara nusantara, Ratna Sari Dewi, lengkap dengan status kewarganegaraan Indonesia. Jadilah dia Ibu Negara, bersama empat Ibu Negara lainnya yang telah disunting oleh Soekarno sebelumnya.

Cinta Soekarno kepada Ratna Sari Dewi meluap-luap. Ia ceritakan semua seluk beluk pekerjaan kepada Dewi. Dalam setiap surat yang dia kirim di tengah sibuknya aktivitas sebagai petinggi negeri, Soekarno selalu menyapa Dewi dengan sebutan "Dewiku" atau "Sayang". Saking dekatnya hati mereka, para wartawanpun berusaha mendekati Dewi dengan satu alasan, hanya Dewi yang mengetahui apa yang dilakukan oleh Soekarno.

Begitupun Dewi. Dia menyayangi suaminya sepenuh hati. Meski kadang fisik mereka terpisah samudera, hati Dewi melayang menghampiri Soekarno di tanah air. Hatinya menyertai Sang Presiden dalam setiap pekerjaan, sampai akhir hayatnya.

Secara fisik, Dewi datang ke Indonesia pada 20 Juni 1970, malam hari, sekitar pukul delapan. Bersama anak buah kasihnya dengan Soekarno, Kartika, yang saat itu masih berumur empat tahun. Dewi langsung menuju Wisma Yaso. Dewi mendampingi suaminya menghembuskan nafas terakhir dalam kekuasaan Orde Baru. 

Kepustakaan Presiden yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyebut Soekarno menambatkan hati kepada Dewi bukan hanya karena kecantikannya, namun karena cita rasa Indonesia yang tertanam dalam diri wanita itu. 

Kepustakaan tentang para presiden Indonesia itu menyebut Dewi fasih melantunkan tembang "Bengawan Solo" saat hati dan mata mereka petama kali bertemu di negeri Sakura. Sampai kini, 65 tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Dewi tetap merasa sebagai warga negara Indonesia (WNI).


"Saya lebih lama jadi WNI daripada Anda, ya. Dari 1959. 51 tahun saya WNI," kata Dewi ketika ditemui di Istana Merdeka setelah upacara penurunan bendera untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Foto Masa Tua












Sumber: Cuy Cuya

Saturday, June 7, 2014

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 27]


Sengaja aku bangun agak pagi, karena aku ingin melihat banyak dan mempotret suasana terakhir aku disini. Biasa, kontrakan Ar[t]my justru paling sunyi ketika pagi seperti ini. JIka malam, kursi beranda depan ini ramai sekali, teman-teman kontrakan pada bertengger bercanda tawa diatas kursi yang tidak klimis lagi dan cita rasa pemandangan kursi di pemukiman kumuh. Namun pagi ini, aku bisa menguasai sepenuhnya kursi kursi ini meski hanya untuk duduk dan melamun pandangan kosong.

Aku memandangi awan, mengamati pergerakan arah sekawanan burung pipit terbang membawa sepotong rumput kering untuk merajut susuh. Hingga melihat aktifitas semut yang sedang memboyong potongan kecil roti yang tidak muat dimasukan ke mulut gua rumahnya di salah satu pojok dinding. Kucing yang lewat di depanku pun seperti tak mengakui keberadaanku, lewat tanpa mengeong atau melirik sedikitpun.


Aku bangkit dari kursi, ingin merekam kejadian alam yang lainnya di sekitar kontrakan. Aku lebih tertarik menuju jalan tembusan Jl. Kalimasada - Gg. Goda. Berjalan santai dengan tangan saling bersilang di belakang, mirip kades yang sedang blusukan ke pelosok desa untuk mensurvei rakyatnya. Tapi orang mungkin melihatku seperti ini aneh. Jarang ada seorang mahasiswa yang iseng melihat alam desa ini. Tapi gelagatku ini memang lain. Karena mungkin besok aku tidak lagi melihat alam ini lagi untuk jangka waktu yang sangat lama. Atau bahkan hari itu anggap saja hari terakhir aku berjumpa dengan Semarang.

Tembusan ke gang Goda ini adalah terowongan papringan yang sejuk.  Ini adalah jalur yang selalu aku tempuh kalau ke kampus semenjak aku di kalimasada. Tapi aku tak habis pikir mengapa Jl.Kalimasada ada tembusan gang Goda. Istilah Kalimasada dalam pewayangan Islam berasal dari kata Jamus Kalimasada, atau senjata Islami. Digunakan untuk menumpas kebathilan musuh, karena kalimasada sendiri berasal dari kata Kalimah Syahadat. Kalimah yang digunakan agar eling kepada sang pencipta. Tapi mengapa Jalan Kalimasada ini ditembus oleh yang namanya Gang Goda. Apakah artinya ditengah kita sedang eling dengan sang pencipta selalu ada godaan??. Menurutku ini adalah tembusan jalan yang keramat kalau mendalami makna tadi.

Aku ingin melintas jalan ini sekali lagi. Masih sepi sekali, hanya terdengar detak titik-titik air jatuh dari ujung daun bambu yang tak kuat menampung butir-butir embun. Seiring dengan sendu mataku yang juga ingin menitikan air mata di hari terakhir ini. Aku lintasi tapak demi tapak batu ubin yang sudah berlumut. Rumah-rumah yang kulewati berada di tepi kebon seperti ini benar-benar mengingatkanku akan kampung halamanku.

Hingga pada ujung pemukiman di sebelah barat terdapat rumah model tahun 50-an. Berdinding kayu dan anyaman bambu yang dicat dengan labur (sejenis cairan kapur). Gentengnya terlihat tak sekokoh genteng buatan jaman sekarang. Tapi genteng yang tipis terlihat rapuh seperti telah berpengalaman terkikis air hujan berpuluh-puluh tahun. Penghuni rumah ini adalah sepasang lansia yang sudah tidak giat menekuni banyak aktifitas. Seringkali hanya duduk-duduk di kursi beranda yang masih berlantai tanah, memandangi lalu lalang mahasiswa-mahasiswi yang berangkat atau pulang kuliah yang melintas jalan tembusan ini. Aku juga kerap menyapanya dengan senyum, untuk lebih menghangatkan suasana mereka.

Tapi pagi itu aku tak melihat salah satu diantara mereka sedang duduk-duduk di beranda. Aku hanya melihat kepulan asap putih yang keluar dari sela-sela atap rumah itu. Aku tahu, mereka di dalam pasti sedang menanak nasi atau memasak air menggunakan tungku yang masih menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Aku yakini, rumah ini adalah rumah paling tradisional di tengah-tengah Sekaran-Banaran. Bau asapnya mengingatkanku akan masa kecilku ketika bangun pagi ke rumah nenek di sebelah. Hmm benar-benar serupa aromannya. Aroma aktifitas pagi di perkampungan yang permai.

Sebelahnya lagi terdapat sungai kecil yang tak terlihat dari jalan ini. Hanya terdengar gemriciknya saja. Sungai itu terhalang oleh rumpun bambu ampel di belakang rumah dua lansia tradisional tadi. Suara gemriciknya lumayan keras seperti curug kecil dan seperti banyak cadas di sungai itu. Sehingga suara gerak airnya sangat terasa. Tapi jika melihat kos-kosan yang tak jauh dari sungai tadi, imajinasinya bisa berubah. Tepat di pertigaan gang Cokro terdapat kos putri yang bertingkat. Kos itu membuang limbah airnya sepertinya mengarah ke sungai tadi.

Jadi jika dipikirkan mungkin sungai yang tak tampak tadi sebenarnya adalah sungai kotor yang airnya putih bercampur limbah sabun, berbau. Belum lagi pasti pembalut  banyak berserakan. Aku prihatin memikirkannya. Tapi beruntung, kaum lelaki memang dikaruniai kemampuan seribu imajinasi. Kupejamkan mata dan dengarkan baik-baik suara gemricik sungai tadi. Aku bayangkan bahwa itu adalah sungai yang amat bersih dan jernih. Didalamnnya terdapat ekosistem yang damai hidup berdampingan, kepiting pemalu yang bersembunyi di sela-sela cadas, ikan-ikan Spat yang berkilau berkejar-kejaran dan keraca-keraca hitam yang legowo dikaruniai kemampuan berjalan sangat pelan. Sungai itu teduh didampingi rumpun bambu bertebing cadas yang ditumbuhi paku-pakuan dan lumut yang hijaunya surgawi.

Pemandangan sungai seperti ini sebenarnya hanya ditemukan di kawasan hulu di dekat pegunungan.  Tapi cukup dengan suara gemricik itu masuk ke indra pendengarku, aku mampu menghadirkan imajinasi yang indah tadi. Padahal aku tak tahu bagaimana rupa sebenarnya sungai itu. Prinsipnya hampir sama dengan membayangkan telanjangnya dari wanita yang sebenarnya sedang berpakaian rapi dan tertutup rapat. Sepanjang kita tahu seberapa mulus kulitnya, seberapa kenes bibirnya, seorang lelaki bisa saja berfikiran hingga sejauh itu.

*****

Diam-diam aku merasa sudah berjodoh dengan lingkungan di Ar[t]my. Bukan dengan orang-orangnya. Tapi suasana sekitar. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan pengapnya Dian-Ratna, lalu dipindah ke Kontrakan yang cukup asri untuk melamun itu. Dan aku cukup puas mengakhiri masa-masa kuliahku di tempat ini. Betul kata Sastro sebelumnnya, “Suasana disini dijamin berbeda dengan Dian Ratna, Gan,” ucap dia. Sambil mata kami tertuju pada anak-anak kecil disini mandaulat jalan sedang bermain kembang api dan mercon putar. Ahh Kenangan pada malam ramadhan kemarin.

Benar-benar terasa berat langkahkan kaki meninggalkan Ar[t]my dan Semarang. Aku bawa setumpuk sisa barang yang tersisa untuk dibawa pulang.  Sudah jauh-jauh hari aku persiapkan. Hari itu (25/10/2012) sudah ku tekadkan bulat-bulat adalah hari-H eksekusi aku meninggalkan kota Lumpia ini untuk jangka waktu yang lama. Aku pergi tanpa pamit kepada para penghuni Ar[t]my. Biarkan mereka masih terlelap. Mereka tidak akan merasa kehilangan kepergianku. Hingga dalam jangka waktu yang agak lama nanti mereka baru membicarakan, bahwa aku sudah tidak pernah kelihatan lagi disitu. Biarkan.

Dadaku sesak ketika pertama kulewati mushola depan kontrakan. Aku rasa sudah tidak akan mendengar adzan lagi dari dari kakek tua bersuara serak kasar itu. Aku sudah tidak mendengar lagi lagu-lagu darinya. Lagu kesukaannya adalah “Syi’rian Sufi”, atau orang kampung biasa menyebutnya “Singiran”. Ini adalah lagu kreasi orang NU. Meskipun aku bukan pegiat budaya NU, tapi aku jadi nyaris hafal Singiran ini berkat kakek tua itu melantunkannya setiap kali sehabis adzan melalui Toa yang keras dan persis menghadap kontrakanku.
“ duh bolo konco, prio, wanitoouo.
Ojo mung ngaji syariat bloko.
Gur pinter dongeng tulis lan moco.
Tembe mburine bakal sengsoro , tembe mburine bakal sengsoro”

“Akeh kang appal, quran hadiseeeie.
Seneng ngafirke marang liyane.
Kafire dhewek gak digaaAtekke
Yen esih kotor, ati akale. Yen esih kotor, ati akale”
Dan seterusnya, kurang lebih seperti itu kemudian ditutup dengan “Ya uhai lalju, diwal karomi, ya uhai lalju diwal karomi”
Ini adalah lagu kaum NU paling terkenal seJawa. Lagu ciptaan Gus Dur ini menjadi lagu-lagu pengantar sebelum Iqamah di setiap masjid seantero Jawa, apalagi di pantura seperti di Semarang ini. Lagu itu menjadi kenangan tersendiri bagiku. Syair ini pula yang kelak akan selalu mengingatkanku, akan kehidupanku ketika di Kalimasada ini.

Selanjutnya aku menoleh ke kanan, persis warung makan di samping kontrakan Ar[t]my. Sepagi ini warung itu masih tutup. Biasanya semakin ramai menjelang siang. Namanya warung mbak Kiss, namanya nyaris mirip dengan langgananku ketika di Setanjung yaitu warung makan Bu Kiss. Mba Kiss ini tentu lebih muda seumuran 30-an, agak cerewet tapi judes-judes manis. Kalau dipikir-pikir mirip artis Medina Kamil. Aku pernah ajak Aris makan siang disitu, dia ditanya sama mba Kiss ini. “Kui es teh e nek kurang manis tambahi gulo dewe,” kata dia. Aris nyletuk “Wis manis koq mba, koyo bakule,”.

Soal kecantikan tidak hanya soal mba Kiss saja, tapi disitu juga ada anak kecil mungkin seumuran kelas 2 SD. Tapi aku tak pernah tahu dan tak pernah bertanya, apakah itu anaknya mba Kiss atau adiknya, atau apanya. Yang jelas anak itu cantik, putih, lucu dan menggemaskan. Dia juga terlihat penurut, disitu ia selalu ikut membantu mba Kiss melayani pelanggan, terutama untuk membantu membuatkan pesanan minuman dan mengantarkannya. Aku selalu mencuri pandang melihat kecantikan anak itu ketika sedang beraktifitas. Tatapanku bagai Syekh Puji memandangi bidadari kecil Ulfa. Tatapan Pambudi mengagumi kecantikan Sanis seperti dalam novel “Di balik Bukit Cibalak”, Ahmad Tohari. Atau bisa juga seperti tatapan pak Harso tersihir kecantikan dik Viki.

Ketika dia memandangku, aku berpura-pura memandang yang lain. Terkadang aku juga ikut kesal ketika ada mahasiswa lain pelanggan yang berkunjung kesitu iseng memuji kecantikan anak kecil itu.

Aku geleng-geleng dan senyum-senyum sendiri dalam pandangan kosong yang tertuju pada warung makan yang masih tutup itu. Tak kuasa aku menghapus bayangan itu semua. Tapi aku segera melanjutkan langkah ke penghujung Jl. Kalimasada ini. Belum sampai aku sudah bermandikan peluh, terlalu keras berfikir merelakan untuk meninggalkan kenangan-kenangan tadi.

Belum aku sampai di pangkalan Angkudes yang ada di bawah pohon waru depan lapangan Banaran, seorang calo angkutan sudah paham. Penampilan orang sepertiku yang sedang membawa tas gemuk menandakan iktikad akan mudik. Calo itu langsung menggiringku masuk ke Angkudes yang siap berangkat. Terbiasa, ini adalah angkudes warna hijau trayek jurusan Sekaran-Bandungan yang akan mengantarkanku sampai ke pasar Bandarjo Ungaran.

Angkudes mulai berangkat, aku melihat suasana jalanan Unnes untuk yang terakhir kalinya saat itu. Terlihat sudah mulai semrawut. Mahasiswa-mahasiswi sudah mulai berangkat kuliah mengenakan motor. Adapula yang masih berpenampilan ala kadarnya, hanya memakai hot pants, mungkin mau mencari sarapan. Membuat suasana semakin gerah dipagi yang terik itu. AKu melihat mereka begitu bersemangat beraktifitas, melanjutkan kesempatan hari-hari.  Merekalah generasi-generasi penerusku di Unnes, mahasiswa baru, mahasiswa senior dan mahasiswa sepantaranku yang belum kunjung lulus memadati aktifitas pagi ini.

Tiba saatnya angkudes ini perlahan-lahan melewati depan Jalan yang paling aku tunggu-tunggu,  Jalan Setanjung. Mobil ini berhenti sembari menunggu didatangi penumpang dari jalan itu. Setanjung kini ada disebelah kiriku. Aku menoleh dan memandang plang nama jalan itu. Setanjung diam. Sabar menanti bahasa kalbuku bertanya kepadanya. Tapi seolah-olah dia mengerti, kalau dia akan ditinggalkan oleh salah seorang putranya yang pernah ditempa hidup, manjalani hari-harinya selama tiga setengah tahun di jalan itu. Ialah aku. Inilah terakhir aku berjumpa. Dengan perasaan pilu akan perpisahan. Akhirnya kalbuku memberanikan berbahasa dengannya.

“Terima Kasih Setanjung, tak mungkin aku menjadi daun yang bertahan sendirian di musim gugur, semua ada masanya, maafkan aku. . . . . . . .”


Padamara, 7 Juni 2014

Kamar tidurku yang sederhana di Ar[t]my
Kamar tidurku yang sederhana di Ar[t]my

Jl. Kalimasada terakhir kupotret 2012
Jl. Kalimasada terakhir kupotret 2012

Kotrakan Ar[t]my
Kotrakan Ar[t]my





Tentang Penulis
 Ganda Kurniawan Lahir di Padamara kabupaten Purbalingga 09 Desember 1990. Menamatkan pendidikan formalnya di Jurusan Sejarah (2012), Universitas Negeri Semarang. Lulus tepat waktu tapi skripsinya bermutu rendah. Pengalaman Keorganisasian pernah menjabat sebagai staf ahli Departemen C bidang Sosial dan kemahasiswaan Hima Sejarah Unnes (2009). Sempat menjadi pendiri organisasi Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara) sekaligus menempati posisi Kepala Divisi Penerbitan, dengan nol prestasi. Berpengalaman mengajukan sejumlah proposal kreatifitas mahasiswa (PKM), satu kali berhasil namun banyak gagalnya. Pernah mempermalukan Jurusan Sejarah sendiri dengan kehabisan kata-kata saat lomba debat tingkat Unnes di FIS (2009). Saat ini tengah berkarir sebagai Jurnalis di salah satu surat kabar local jaringan JPNN milik Dahlan Iskhan. Karyanya yang disegani oleh Dikti berjudul Dampak Sosial-Militer Dalam Perang Gerilya Tahun 1947-1949 Terhadap Masyarakat Desa Tanggeran, Kabupaten Banyumas (2011). Karya-karyanya yang lain diantaranya Catatan Seorang Pendiam (CSP), Dari Setanjung ke Kalimasada, Di Bawah Asap Gudang Bata (fiksi, 2013), Lima Menit Bersama Nanang Pratmaji, Sunset di Pantai Tirang, Winarso atau Fidel Sastro, Dari Budak Menjadi Kadiv Sosbudag, Hari-hari bersama Harry dan banyak karya-karya kecil lainnya yang masih tercecer

Wednesday, June 4, 2014

Jus Tebu Itu Sehat

Aku seringkali mampir singgah ke depan gedung Bulog Karang Sentul Padamara. Disitu aku bisa santai sambil minum segelas jumbo jus tebu yang segar di bawah pohon yang rindang dan besar. Aku sangat menyukainya karena aku tahu manfaat jus tebu ini. Meskipun sama-sama manis tapi ternyata manfaatnya berbanding terbalik dengan gula pasir.





"Selain enak, air tebu juga mudah ditemukan dan terjangkau. Anda mungkin akan terkejut setelah mengetahui bahwa ekstrak jus batang tebu ternyata memiliki banyak manfaat kesehatan," kata Denny Santoso 

Tergantung pada varietas tanaman tebu dan tanah, manfaat dari ekstrak jus batang tebu juga bisa bervariasi. Namun, tebu merupakan sumber makanan yang kaya mineral, vitamin, dan antioksidan. Berikut adalah beberapa manfaat kesehatan dari tebu, seperti dikutip Boldsky.comCheck these out:
1. Mengobati penyakit kuning: Jus tebu adalah obat alami untuk menyembuhkan penyakit kuning. Jaundice adalah pigmentasi kuning pada kulit dan membran yang disebabkan oleh adanya billirubin dalam darah. Hati yang kurang berfungsi dan saluran empedu yang terblokir adalah penyebab penyakit kuning. Untuk mempercepat pemulihan, minumlah dua gelas jus tebu segar dengan campuran jeruk nipis dan garam.
2. Infeksi: Beberapa infeksi seperti dysuira, infeksi saluran kemih, penyakit menular seksual dan peradangan pada perut (saluran pencernaan) atau jantung dapat disembuhkan dengan segelas jus tebu.
3. Batu ginjal: Ini adalah salah satu khasiat yang paling efektif dari jus tebu. Batu ginjal biasanya terbentuk karena dehidrasi dan minum air putih yang banyak bisa membantu memecah batu di ginjal. Minum banyak cairan dan jus tebu juga ampuh memecah batu atau melarutkannya.
4. Baik untuk penderita diabetes: Tebu itu sehat bagi penderita diabetes karena mengandung gula alami. Ini adalah alternatif yang lebih baik untuk gula mentah atau pemanis buatan. Jadi, jika Anda dalam program diet penurunan berat badan atau diabetes, minumlah jus tebu. Manfaat jus ini juga mampu menjaga kadar glukosa darah seimbang.
5. Banyak mengandung gizi: Tebu memiliki segudang vitamin dan mineral yang baik untuk tubuh. Jus tebu kaya akan fosfor, zat besi, kalsium kalium, dan magnesium. Penelitian telah menunjukkan bahwa jus tebu dapat membantu memulihkan kehilangan vitamin yang terjadi akibat gangguan demam.
6. Penyembuh pilek, flu dan sakit tenggorokan: Jika Anda berpikir jus tebu bisa berbahaya untuk sakit tenggorokan atau pilek, maka Anda salah. Air tebu justru membantu menyembuhkan radang tenggorokan, pilek dan flu.
7. Mencegah kanker: Karena bersifat alkali, air tebu mampu mencegah kanker, terutama kanker prostat, usus, paru-paru atau kanker payudara.
8. Rehidrasi: Banyak orang tidak cukup minum air dan menderita dehidrasi. Untuk mempertahankan air dalam tubuh, minumlah jus tebu. Bahkan selama musim panas, Anda dapat mendinginkan panas tubuh dengan meminum segelas tebu secara teratur. (jay)

Ternyata kandungan air tebu itu berbeda dengan gula pasir. Walaupun gula pasir berasal dari tebu. 

Hambat Plak
Tebu mengandung senyawa octacosanol sejenis alcohol rantai panjang yang mampu menurunkan kadar kolesterol dalm darah. Octacosanol juga menghambat penumpukan plak pada dinding pembuluh, bahkan ia perlindungan terhadap oksidasi protein darah.

Menurut hasil riset National center for scientific Research Havana Kuba. Octacosanol menekan sintesa kolesterol yang diproduksi di dalam hati. Hal ini terlihat dari adanya pengaturan enzim reductase HMG-CoA--Enzim yang membatasi laju sintesa kolesterol. Pengamatan jangka panjang terhadap konsumsi octacosanol membuktikan senyawa itu dapat menurunkan dan mengontrol kadar kolesterol darah tanpa efek samping.

Pasien diabetespun aman mengkonsumsi tebu. Sebab, pemberian policasanol 10 mg per hari menunjukkan penurunan total kolesterol 17,5% dan DDL-kolesterol 21,8% namun tidak terjadi peningkatan pada kadar glukosa atau glikemik darah. Malah kadar HDL –Kolesterol meningkat 11,3%.

AntiDiabetes
Menurut dr. C.J. Soegiharjo Apt. dari fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, air perasan tebu memiliki efek anti diabetic. “Bila diminum Ia mampu mengatasi diabetes”paparnya ketika ia ditemui TRUBUS. Air tebu mengandung sakaran, senyawa anti diabetik. Sayangnya dalam pengolahan menjadi gula pasir, senyawa itu hilang saat proses pemanasan. Yang bertahan justru sakarosa, senyawa pencetus diabetes. Inilah yang membedakan air tebu dengan gula pasir.

Kandungan karbohidrat dalam tebu yang cukup banyak juga ternyata dapat bermanfaat baik untuk menjaga kesehatan otak , jantung, ginjal dan mata. Tentunya jika di konsumsi dalam bentuk segar alias belum di olah menjadi gula. Karena gula walaupun berbahan asal dari tebu jika di konsumsi terlalu banyak akan menyebabkan diabetes.

Tebu juga mengandung asam lemak yang memiliki efek anti radang dan analgetik. Ini dibuktikan dengan pemberian suatu campuran asam lemak yang diisolasi dari tebu kepada tikus. Tikus yang kesakitan setelah diletakkan diatas piring panas dan diberi asam asetat, menjadi tenang setelah minum larutan itu.

Secara tradisional masyarakat memang sudah memanfaatkan tebu sebagai antiracun, antiseptic, pengencer dahak dan obat lambung. Bahkan ia juga dipakai untuk mengobati kangker paru-paru, beberapa tumor, dan menyembuhkan luka. Gula tebu juga digunakan untuk pengobatan gonore dan gangguan vagina. Ampas tebu dipakai untuk menutup luka dan membalut patah tulang. Di India jus tebu menjadi obat untuk tumor dbagian perut. Jadi manfaat tebu tak hanya sebatas untuk bahan baku gula pasir saja. 


Sumber
Dunia Fitnes
TRUBUS



Aku beralih ke Gula Kelapa



Purbalingga-Banyumas adalah surganya gula kelapa atau gula merah, atau orang lokal menyebutnya dengan gula Jawa. Baru sedikit yang mampu mengungkap apa kelebihan gula Jawa ini. Sebagai wartawan aku seringkali ngobrol dengan Kasi UMKM Banyumas, bu Rozani Umdati, juga Kasi Industri hasil pertaniaan dan perkebunan pak Sugito. Mereka senada bahwa Gula kelapa memiliki kadar Glikemik rendah. Di Banyumas lebih canggih lagi. Mereka mengolah kembali tidak sekedar gula kelapa biasa, tapi gula kelapa kristal (seperti serbuk pada gambar disamping). 

Gula Kelapa Kristal nyaris mirip gula pasir, lebih awet dan kualitasnya semakin baik. Berikut beritaku:

KONSUMSI GULA KELAPA KRISTAL DINILAI LEBIH AMAN

PURWOKERTO- Banyumas sebagai produsen gula kelapa terbesar di dunia mengklaim bahwa gula kelapa kristal yang diproduksinya lebih aman untuk dikonsumsi. Khususnya untuk alasan kesehatan. Pemerintah Kabupaten Banyumas menghimbau agar masyarakat bisa beralih ke gula kelapa dibanding gula pasir.

Hal ini diungkapkan oleh Kasi Industri hasil pertanian dan perkebunan, Dinperindagkop kabupaten Banyumas, Sugito. Menurutnya gula kelapa dinilai lebih aman dikonsumsi untuk penderita penyakit diabetes. Terlebih lagi dengan munculnya produk gula kelapa kristal ini tentu bisa menggantikan gula pasir, khususnya untuk pemanis minuman.

"Setelah diteliti, gula kelapa kristal ini memiliki kandungan glikemik sekitar 35, dibandingkan gula pasir mencapai 100 atau lebih. Pastinya gula kelapa ini lebih aman, bahkan sangat aman sebagai pengganti pemanis gula pasir bagi orang yang menderita diabetes atau yang ingin mencegah dari penyakit tersebut," ungkap Sugito kepada Banyumas Ekspres (31/5) lalu.

Sugito juga mengungkapkan, bahwa gula kelapa juga meningkatkan hormon insulin sehingga justru bisa menurunkan kadar gula dalam darah. Beberapa merek lokal produk gula kelapa kristal kabupaten Banyumas umumnnya mencantumkan tulisan low glykemic. Melalui kelebihan gula kelapa ini, Sugito berharap masyarakat Banyumas sendiri juga turut mengkonsumsi produk lokal ini untuk memajukan industri lokal juga.

"Gula kelapa kristal dari Banyumas ini sudah tembus ekspor ke Korea, Amerika, Jepang, Singapura, Timur Tengah, Belanda dan Kanada. Banyumas menjadi produsen gula terbesar di dunia yang bisa memproduksi sebanyak 206 ton per hari. Purbalingga hanya sekitar 50 ton dan negara lain masih dibawah 10 ton," terang Gito. 

Selain untuk pembuatan gula kelapa kristal, masyarakat Banyumas juga menggunakannya sebagai bahan baku alkohol atau bioetanol. Disamping itu penghasil gula kelapa Kabupaten Banyumas juga menjadi pensuplai beberapa industri kecap ternama nasional. Gito mengklaim bahwa gula kelapa Banyumas ini memiliki kualitas terbaik, sehingga banyak pihak yang tertarik.(gan) 

Demikian aku mulai mengenal manfaat produk hasil kekayaan dua kotaku yang tercinta. Gula merah, akhir-akhir ini aku sering mengganti gula pada kopi hitam pekat ku menjadi gula Jawa. Semakin nikmat, semakin mantap menikmati pagi sebelum berangkat kerja. . . .