Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Friday, July 27, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 2]


Semenjak hidup di Dian Ratna dalam beberapa hal kami selalu bersama. Ketika musim awal-awal kuliah, kami selalu makan siang dan makan malam bersama di Warteg Bu Dewi yang letaknya di kompleks depan jl.Setanjung. Sebenernya tidak karena murah tapi karena kami belum mencoba pilihan lain selain warteg itu. Namun ketika Ramadhan menjelang kami mencoba beranjak ke warteg lain yang berada di belakan Fakultas Mipa ketika sahur. Kami hampir selalu konsisten tuk terus berada di situ, karena ada menu yang khas yaitu kering kentangnya yang tidak membosankan, selain itu di akhir-akhir bulan ramadhan kami menjumpai pelayan wateg ini ada yang baru, ia mungkin masih SMA dan wajahnya mengingatkan ku pada Acha Septriasa. Ia menjadi ikon kekompakan kami tuk terus bersama dan memilih makan berada disitu. Yang berbeda dari kami ketika makan hanyalah ketika sarapan. Beberapa dari kami seringkali malas untuk sarapan. Diantara sekian anak, hanya aku yang terus mendisiplinkan diri tuk sarapan sebelum jam 7. Aku melakukan ini karena nasehat ibuku agar aku jangan sampai meninggalkan sarapan pagi. Sarapan pagi adalah hal yang sangat penting, agar tidak lemas dan bisa konsetrasi ketika kuliah. Kawan-kawanku yang masih malas umumnya sering kali nitip juga membelikan sarapan kepadaku.

Dalam satu tundun pisang tidaklah semuanya baik. Dari berpuluh-puluh kamar kos Dian Ratna tidak aku sangka, didalamnya terdapat “tikus-tikus kotor” yang menciptakan sejarah kelam penghuni Dian Ratna. Mereka tidak lain adalah mahasiswa-mahasiswa tua yang frustasi tak kunjung lulus, solusinya adalah dengan sering berpesta minuman keras. Bukan hanya dirinya saja yang melakukannya, tapi dia juga mengajak generasi-generasi muda Dian Ratna lain yang respek dengan dirinya. Hampir dua hari sekali mereka tidak lepas dari miras ini. Celakanya lagi para “tikus-tikus kotor” ini kamarnya tepat di koridor utama menuju kamar-kamar putera dan mereka selalu melakukannya diisitu.

Pesta miras itu sering dilakukan sekitar pukul 22:00. Suasanannya terdengar ada sebagian mereka yang sedang tertawa-tawa, ada yang sedang berbicara mencurahkan rasa kekesalan yang ada di dalam hati ia berbicara makin panjang dan nada bicaranya makin meningkat dan tiba-tiba ia dengan sendirinya marah-marah berapi-api, memanggil-manggil nama orang yang dibencinya itu. Kalau bertemu bisa langsung ditantang untuk berkelahi, dan aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu. aku hanya mendengarnya saja dari dalam kamar. Pesta miras diiringi dengan music dengan volume tinggi, dan para peminumnya terdengan sedang kesetanan. Sesungguhnya ketika mereka sedang mabuk itu berada dalam dunia kesadaran yang lain. Mereka sering terpancing oleh amarah ketika dia sedang mengungkit-ungkit masa lalunya sendiri, dan berbicara ngelantur. Saat itu seolah-olah kos ini tengah dijaga oleh setan-setan yang sedang siap mengamuk, berwajah dan bermata merah. Ketika kita pulang ke kos terlalu malam dan menjumpai mereka tengah berpesta di koridor utama, lebih baik jangan pulang sekalian untuk sementara itu. Pulanglah untuk numpang tidur di kos teman. Itu kalau tidak ingin dicegat pesta miras itu yang bisa saja mereka memalak, meminta uang dengan jumlah yang tidak sedikit atau kalau tidak ya bakal turut diajak terbang dan larut bersama pesta bodoh itu.

Beberapa yang sedang kesetanan itu, merasa mentang-mentang dirinya sedang mabuk dan mengira dirinya ditakuti orang lain ini mencoba berkeliling ke kamar-kamar lain. Tentunya kamar-kamar lain sudah terkunci rapat dan lampu dimatikan, seolah-olah penghuni kamar tengah tidur meskipun kadang hanya berpura-pura tidur saja. Mereka mengedor-gedor kamar kami, aku tahu apa yang akan dia minta dari kami yaitu kontribusi berupa uang. Namun sering kali kami tak sudi membukakan pintu kamar kami untuk mereka. Tetaplah kami berpura-pura tidur lelap, hingga mereka pesimis tuk membangunkan kami dan berpindah mengetuk pintu kamar yang lain.

Itulah gambaran suasana-suasana mencekam di Dian Ratna yang bisa saja terjadi setiap dua hari sekali. Kawanku Ipan pernah menjadi korban akan kemurkaan salah satu dari mereka yang kesetanan itu. Padahal masalahnya hanya sepele yaitu soal join rokok saja yang sedikit dianggap tidak sopan, dan itupun terjadi siang sebelumnya ketika mereka belum dalam kondisi mabuk. Iphan menjadi buronan salah seorang dari pemabuk itu untuk dihajar, padahal Ipan adalah teman yang sama polosnya denganku. Akhirnya sebelum kontraknya habis di Dian-Ratna, Ipan lebih memilih untuk hengkang. Sahabat baikku itu entah lagi pindah kemana dan hampir aku tidak pernah berjumpa dengannya lagi saat itu, ia menjauhi Jl.Setanjung. Marham sebagai kawan sekamarnya pun memilih untuk pindah kamar. Barang-barang milik Ipan di kamarnya sudah dibawanya pergi, akupun tak tahu kapan barang-barang itu diselundupkannya dibawa oleh pemiliknya. Kini kamarnya telah kosong tinggalah dihuni oleh debu-debu yang tidak pernah tahu sejarah kelam pemilik kamar itu.

Akhir tahun ajaran 2008-2009 kami mulai sedikit terpisah. Iphan entah kemana, Marham kini berganti kamar yang sedikit terpisah, Idris, Deni, dan Akib mulai memikirkan untuk pindah kos, Setiawan Wibisono (alias Pak Guru) akan segera diwisuda. Sementara Dimas dan Agung bersahabat baik dengan para pemabuk itu, meskipun mungkin mereka berdua tidak terlibat di setiap pesta itu. Mas Wahid, penghuni kamar lain datang dan akrab bersama kami di sekitar semester 2, ia adalah kakak kelasku, orang NU yang rajin beribadah diapun sudah tidak tahan lagi dengan lingkungan seperti itu, dan sudah mempersiapkan untuk pindah. Kawan sekamarku, Ponco mungkin telah bersepakat dengan Sudharmono juga unutk meninggalkan kos ini, mereka memilih kos bersama di belakang Masjid al-Mutaqqin Jl.Waru. Meskipun Dimas telah bersahabat baik dengan orang-orang koridor itu, tapi Dimas tetap memutuskan untuk pindah dan meyakini ada yang lebih baik daripada kos ini. Yang masih mencoba menetap tinggalah Aku,Gilang, Marham dan Agung.

Sejarah kelam Dian-Ratna nampaknya tercium oleh ibu Kos yang ada di Boja. Ia terlambat menyadari ini, bahwa beberapa anak kosnya telah memperburuk citra kosnya itu. Jika eksistensi para “tikus-tikus kotor” itu masih dibiarkan, maka cepat atau lambat kos ini akan tidak diminati lagi oleh mahasiswa-mahasiswa baru yang lain. Tinggalah menjadi bangunan megah yang kosong dan dihuni oleh “tikus-tikus kotor” itu saja. Akhirnya ibu kos melakukan sebuah REVOLUSI yaitu dengan ritul, pemecatan atau pengusiran terhadap “tikus-tikus kotor” itu, mungkin tanpa peduli apakah mereka sudah lunas tagihan atau belum. Langkah ini berhasil ditempuh ibu kos sebelum ajaran baru berlangsung, sehingga sejarah kelam itu tidak sempat terdengar oleh mahasiswa-mahasiswa baru yang hendak meminati kos ini.

Aku, Gilang, Marham dan Agung yang masih menetap di kos ini penuh harap, semoga Revolusi yang telah dilakukan oleh Ibu Kos kemarin akan membawa dampak baik ke depannya. Kami juga berharap semoga tidak muncul lagi embrio-embrio “tikus-tikus kotor” di kos ini. Tahun ajaran baru 2009-2010 nanti benar-benar penuh harap.
 Semoga mentari pagi terbit tak tertutup mendung kelam lagi. . . . . .

(bersambung)

Jl.Kalimasada, 27 Juli 2012

Thursday, July 26, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 1]

Tiga belas hari sudah aku tinggal di Jl.Kalimasada. Ini adalah catatan kecilku tentang perubahan lingkungan tempat tinggal yang aku jalani selama di Semarang. Ini adalah cerita-ceritaku yang muncul dari permukaan saja, karena pengamatan temporal yang tidak seimbang, di Jl.Stanjung aku telah menempuh hidup selama setengah windu, sementara di di Jl.Kalimasada baru dua minggu.

Empat belas Juli 2008. Rasanya bapakku lebih mencintaiku sebagai anak laki-laki yang tidak memegang kendaraan selama tinggal di Semarang. Bukan maksud ia untuk menghalangiku tuk bisa berkeliaran kemana-mana sekehendak hati. Tapi ia tak tega nanti motor yang ku pakai juga sering dipakai oleh teman-temanku yang lain. Tak hanya kekasih saja yang diperlakukan demikian, tapi sepeda motorpun bisa membuatnya tidak ikhlas jika dipakai oleh bukan pemiliknya. Mempertimbangkan alasan itu aku hanya menganggukan kepala saja, akhirnya bapakku memilihkan kos yang terdekat dengan kampusku, Kos Dian-Ratna Jl.Setanjung.

Empat belas Agustus 2008. Bapakku mengantarkan aku ke Semarang untuk yang terakhir kalinya. Aku bertemu dengan kawan baruku yang akan menjadi teman sekamarku, Purnomo Ponco Nugroho. Perasaanku tenang, melihatnya pertama kali sedang sholat. “artinya ia anak baik-baik” kata bapakku. Tak dapat dipungkiri, bapakku paham betul saat itu aku adalah seorang remaja yang masih manja, sungguh sayang jika berpisah dengan orang tua. Mentalku seperti kuda-kuda yang dimiliki oleh seorang kusir, hanya terbiasa berlari di jalan umum yang rata dan dalam rentang pendek. Tidak seperti remaja lain yang sudah terbiasa mencoba hidup liar, seperti kuda-kuda yang dimiliki oleh kepala suku yang sudah terbiasa mendaki dan menuruni bukit, hutan, menyeberang sungai. Ketahananku jelas berbeda dengan mereka. ku akui aku memang tipe orang yang haus ilmu pengetahuan, hal ini sering membuatku melihat potret diri sebagai lelaki yang culun yang tidak pernah mengerti penampilan keren dan pergaulan bebas ala anak muda. Orang culun kadang identik dengan anak pintar atau anak pintar itu pasti culun? Aku tak mengerti. Yang jelas aku tak terlalu pintar tapi aku begitu culun.

Pagi itu bapakku hendak meninggalkanku ke Purbalingga. Rasa takut bercampur sedih menghinggapi diriku. Bapakku juga pulang berbekal rasa khawatir tentang keberadaan diriku. Mau tidak mau aku harus menempuh hidup mandiri ini, di Kos Dian Ratna Kamar no.40. Lalu aku menyadari, tinggalah Ponco yang ada dihadapanku. Seseorang yang akan aku anggap sebagai saudara sehidup sekamar. Aku dapat melihat nampaknya dia adalah seorang yang lincah, cerdas namun tetap sederhana. Pertama saling berkenalan ia berbahasa Indonesia, namun setelah saling menyadari bahwa ia adalah orang Brebes dan aku Orang Purbalingga akhirnya kami sepakat untuk berkomunikasi dengan bahasa Jawa Ngapak. Hanya saja studi kami saling berbeda, Ponco belajar di Jurusan Fisika, sementara aku Jurusan sejarah.

Satu persatu aku mulai dikenalkan ke teman-teman yang lain. Aku mulai berkenalan dengan Marham, dari Tanjung Redeb, Kalimantan, kemudian Arifandi Jayanegara (Ipan) dari Lampung. Mereka berdua dari ilmu Geografi. Satu lagi yang aku kenal adalah Deni, dari Demak belajar di Jurusan Matematika, tubuhnya paling besar, namun ia paling muda diantara kami. Kami berlima adalah kelompok persahabatan paling fundamental ketika aku berada di Dian-Ratna. Setelah menyusul kemudian aku berkenalan dengan Dimas (kawan sekamar Deni), Idris (Hukum), Akib (Fisika), Setiawan Wibisono (BK), Sudharmono (Geografi), Agung (Ekonomi). Seorang pendatang baru sebagai kawan di sebelah kamarku adalah Gilang (BK) yang diantar seromobongan keluarganya disitu. Kami adalah segerombolan penghuni Dian-Ratna dari kamar no.37 hingga no.44. Berselang beberapa bulan aku dapat menilai bahwa mereka juga anak baik-baik, sama sepertiku yang belum banyak mengenal tentang nikmatnya rokok, miras, judi dan lain-lain.

Hal paling berat yang pernah menimpaku di Dian Ratna adalah, aku terserang penyakit cacar air. Sungguh menyengsarakan tertimpa penyakit ini di umurku yang sudah 18 tahun ini. Betapa gatal dan demam, cacar tumbuh disekujur tubuhku. Aku tak tahu harus mengobatinya dengan apa. Ponco, aku minta ia sementara tinggal bersama Gilang, agar penyakitku tidak menularnya. Orang tuaku tidak sempat datang menjengukku disini, membiarkanku unutk memecahkan masalah ini sendiri. Tubuhku menjadi sangat kurus dan yang membuat aku stress adalah cacar yang tumbuh di mukaku. Berulang kali aku bercermin memandang betapa buruknya mukaku, cacar yang begitu gatal membuatku kesal dan pecah-pecah. Sebuah rasa yang amat sangat pesimis menimpaku, memiliki muka sehancur ini mungkin setara dengan bagaimana perasaan memiliki satu tangan saja. Ketika terserang penyakit ini pula bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah alis tebal nan panjangku ini berantakan, terpotong-potong oleh pecahan cacar. Selama satu minggu itu aku tidak berani keluar kamar. Menanggung malu wajahku yang hacur, mengurangi ketampananku hingga 80%.

Ponco banyak membantuku untuk membelikan makanan, dan Gilang juga sangat berjasa membantu membelikanku obat di apotik. Selama itu aku tidak pernah mencoba berkunjung ke dokter. Dokter terdekat berada di Patemon, sekitar 2 KM dari kosku, ditambah lagi saat itu kawan-kawan akrab di kos ku tidak memiliki kendaraan disini. Tinggalah berdoa saja, resep-resep obat aku dapatkan dari penjual obat di Apotik lewat Gilang. Bagiku ini adalah ujian sekaligus bencana terbesarku ketika di semester awal di Dian Ratna.
(bersambung)

PKM FIS, 26 Juli 2012