Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Friday, February 6, 2015

20 DESA DI BANYUMAS SULIT AIR


Ilustrasi: Pengeboran

BANYUMAS - Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Banyumas, mencatat ada 20 desa yang dipastikan sulit air. Data tersebut didapat dari kajian mmelalui alat geolistrik.

Kabid Geologi, sumber daya mineral dan air tanah Dinas ESDM Banyumas, Sigit Widiadi mengatakan sejumlah wilayah yang sulit didapati air adalah daerah diluar cekungan air tanah. Selain iu juga lapisan lempung yang tebal sudah dipastikan sulit didapati air.

"Untuk cekungan air tanah, atau yang memiliki potensi air yang melimpah diantaranya kecamatan Baturraden, Sumbang, Kembaran, Purwokerto, Karanglewas, Kedungbanteng, Sokaraja, Kembaran, dan Banyumas. Kalau yang sulit itu Banyumas bagian selatan hingga ke Barat, Lumbir hingga Gumelar dan Ajibarang," kata Sigit.

Sementara 20 desa paling sulit air versi ESDM diantaranya di Patikraja (Pegalongan, Karangendep), Purwokerto Selatan (Karangklesem), Cilongok (Batuanten), Purwojati (Kaliputih), Kembaran (Purwodadi), Kalibagor (Kaliori, Srowot), Somagede (Somakaton, Somagede), Jatilawang (Pekuncen, Kedungwringin, Bantar ), Kebasen (Kebasen, Kalisalak), Lumbir (Dermaji), Kemranjen (Alasmalang, Petarangan),  Tambak (Kamulyan, Buniayu).

Dari 20 desa tersebut 11 diantaranya sangat tidak memungkinkan dilakukan pengeboran. Sementara sisanya masih bisa, namun lapisan ekuifer, pasir atau yang terdapat air ada pada kedalaman 20 - 120 meter. Sementara diluar desa desa tersebut potensi air bersih cenderung masih banyak.

"Wilayah tengah Banyumas mulai dari Kalibagor kebarat, hingga Patikraja cukup banyak lapisan lempung, sulit didapat air. Sementara Karangklesem untuk belakang eks terminal mungkin masih aman, tapi kalau sekitar Gunung Tugel disana sudah mulai sulit," papar Sigit.

Demikian pula untuk kawasan Banyumas barat yang juga kaya akan bukit lempung. Sehingga untuk mendapatkan air perlu penggalian cukup dalam. "Kalau bagian Banyumas selatan, memang disana ada air, tapi kurang layak konsumsi sebab cenderung asing," jelasnya.

Sigit juga berharap untuk 20 desa paling sulit air ini bisa mendapat jaringan air dari PDAM. Tentunya dengan mengandalkan air dari aderah cekungan air tanah.

Ia juga menjelaskan daerah cekungan air tanah umumnya memiliki lapisan batuan kerikil yang tebal, dimana air lebih mudah mengalir. Jika dibuatkan sumur bor bisa mengalir sebanyak 8liter per detik. Sementara bagian sulit air hanya mampu maksimal 2liter/ detik. Namun sayangnya seiring banyaknya perubahan tata guna lahan menjadi perumahan, bisa mengurangi kapasitas air tanah ini.

"Seharusnya setiap perumahan itu perlu ada sumur resapan, atau biopori. Kemudian adanya ruang terbuka hijau atau hutan kota juga bisa menjaga air tanah. Tapi untuk sekarang memang khususnya Baturraden masih aman sebab masih banyak hutan," katanya.

Pemetaan mengenai daerah sulit air tersebut dijadikan dasar bagi ESDM ketika ingin membantu pembuatan sumur bor. Hasil pemetaan tersebut menggunakan alat geolistrik untuk bisa mengetahui lapisan lapisan tanah yang memiliki potensi air.


Kesulitan tersebut diakui oleh Handoyo Kades Srowot, Kecamatan Kalibagor. Secara geografis tanah desanya berupa perbukitan lempung. Meskipun sebelah timur dan selatannya dikelilingi Sungai Serayu namun air cukup sulit didapat.
“Air cukup sulit terutama saat musim kemarau. Ada sebagian yang masih mandi di sungai. Untuk air minum kebanyakan lebih memilih menggunakan galon (air mineral). Belum ada saluran PDAM, jadi kadang dapat dropingan air. Untuk mendapatkan air sumur juga cukup dalam, sampai 15 meter,” katanya.(gan)
KECAMATAN
DESA
POTENSI AIR TANAH
REKOMENDASI SUMUR BOR
Cilongok
Batuanten
Kecil – Sedang
30 – 80 meter
Patikraja
Pegalongan
Kecil dan setempat
42 – 58,8 meter

Karangendep
Langka – kecil
Tidak Potensial
Purwojati
Kaliputih
Langka – kecil
Tidak Potensial
Kembaran
Purwodadi
Sedang
30 – 80 meter
Kalibagor
Kaliori
Kecil – sedang
52 meter

Srowot
Langka – kecil
Tidak Potensial
Somagede
Somakaton
Langka – kecil
Tidak Potensial

Somagede
Kecil dan setempat
32 – 46,4 meter
Jatilawang
Pekuncen
Terlalu dalam
Tidak potensial

Kedungwringin
Langka - kecil
Tidak Potensial

Bantar
Langka - kecil
Tidak potensial
Kebasen
Kebasen
Kecil
46 meter

Kalisalak
Langka - kecil
Tidak Potensial
Lumbir
Dermaji
Langka - kecil
Tidak Potensial
Kemranjen
Alasmalang
Sedang
35 – 98 meter

Petarangan
Langka - kecil
Tidak Potensial
Tambak
Kamulyan
Sedang
46 – 85 meter

Buniayu
Sedang
20 – 74 meter
Purwokerto Selatan
Karangklesem
Langka - kecil
Tidak potensial
Data dari Dinas ESDM Banyumas


HANYA MENGANDALKAN KEMIRIPAN, SAPOEN DIDUGA KAKEK RAYMOND SAPOEN

HANYA MENGANDALKAN KEMIRIPAN, SAPOEN DIDUGA KAKEK RAYMOND SAPOEN

Oleh: Ganda Kurniawan
SOMAGEDE - Darah sebagian orang Suriname memang bisa diakatikan dengan darah orang Jawa. Sebab pemerintah kolonial hindia Belanda sempat merekrut tenaga kuli kontrak dari Jawa untuk dikirim ke negara jajahan lainnya, yaitu Suriname.
Mr Raymod Sapoen

Pilpres di Suriname kali ini cukup menarik perhatian orang Indonesia. Salah satu kandidat untuk jadi orang nomor satu di Suriname, Mr Raymond Sapoen akhir-akhir ini tengah disebut-sebut sebagai turunan orang Jawa, khususnya Banyumas.

Penelusuran itu bermula dari pencarian asrsip database orang Indoesia yang dipindahkan ke Suriname melalui website Nationaal Archief di www.gahetna.nl. Nama 'Sapoen' ini menjadi asumsi nama marga yang bisa dicari. Hasil pencarian itu menunjukan 2 nama Sapoen. Satu diantaranya Sapoen dari desa Kedungwuluh, Kabupaten Purbalingga, satunya lagi Sapoen dari desa Kanding, Kabupaten Banyumas.

Sapoen, asli desa Kanding

Wajah keduanya dibandingkan dengan Mr Reymond Sapoen sekarang nyapres. Namun, Sapoen asli Desa Kanding Banyumas lebih banyak memiliki kemiripan, terutama pada sisi rahang dan tulang pipi. Adanya kemiripan ini, lantas sempat menggegrkan warga desa Kanding, kecamatan Somagede Banyumas bahwa Mr Raymod Sapoen memiliki nenek moyang dari desa tersebut.

Maraknya isu tersebut lantas membuat Radar Banyumas mendatangi desa tersebut, guna menelusuri jejak sanak saudara yang mengetahui tentang Sapoen, yang diduga sebagai Kakek dari Mr Raymond Sapoen ini. Kepala Desa Kanding, Awal Nurhandoko menunjukan arah sejumalh sesepuh yang dimungkinkan pernah menjadi saksi kehidupan Sapoen.

"Ada tiga sesepuh yang masih tersisa disini, itu Mbok Miah, Mbah Sugin dan Mbah Sangin. Mbah Sangin dan mbah Sugin ini sudah pikun. Jadi harapannya yang bisa ditanyai itu Mbok Miah," ucap Awal mengarahkan.

RadarMas pun mendatangi kediaman Mbok Miah atau yang bernama lengkap Sumiah, perempuan berusia (79) tahun yang berada di RT 01/01 Desa Kanding. Meskipun kondisinya yang sudah membungkuk, namun ia masih bisa berjalan, berbicara lancar dan memiliki ingatan yang baik. Ketika ditanyai soal sosok yang bernama 'Sapoen', iapun langsung merespon bahwa ia mengenalnya. Lantas menceritakan hubungan persaudaraan dirinya dengan Sapoen.



Mbok Miah (79) isteri Midin (Sepupu Sapoen)

"Yang saya tahu Sapoen itu, putera satu-satunya mbok Sadem. Sementara mbok Sadem itu bibinya almarhum suami saya Rejawikarta alias Midin," kata Miah tanpa perlu mengingat ingat. Namun sayangnya ia hanya mendengar anak bernama Sapoen itu tinggal cerita. Mbok Sadem lah yang dekat dengan dirinya mengeluh terus menerus anak satu satunya, Sapoen tidak pernah pulang lagi. Entah pergi kemana dan tidak memberi kabar. "Anak siji kok ora bali-bali, langka kabare, kebangeten," kata Miah menirukan Mbok Sadem mengeluh. Hingga Sadem meninggal di tahun 1967, Sapoen belum juga pulang.

Miah menceritakan dirinya mulai tinggal di Desa Kanding sejak dibawa oleh suaminya Midin jauh ketika Mbok Sadem sudah kehilangan Sapoen. Perode waktu yang bisa diketahui, Miah mulai datang ketika Indonesia belum lama merdeka yaitu sekitar tahun '48-an. Sehingga Miah bukanlah sumber primer yang mengetahui langsung seperti apa dan bagaimana kehidupan Sapoen. "Yang saya tahu tentang Sapoen itu ya karena Mbok Sadem yang menceritakan. Sapoen itu katanya hilang ketika sudah menikah, istrinya juga dari Kanding tapi sudah meninggal dan sempat punya dua anak dan keduanya juga meninggal waktu masih kecil," jelas Miah.

Dengan demikian sudah tidak ada lagi warga yang masih berketurunan langsung dari Sapoen di Kanding. Ketika ditanya soal kemiripan saat ditunjuki gambar wajah Mr Raymond sapoen dan Sapoen Miah berkomentar, bahwa wajah Mr Raymod Sapoen itu mirip dengan puteranya yaitu Parsono. "Sedangkan wajah Sapoen itu justru mirip dengan suami saya, Midin. Tapi saya tidak bisa menjamin kalau Sapoen itu adalah Sapoen yang saya maksud. Karena sekarang orang mirip itu banyak," imbuhnya.

Sedikit bercerita tentang Mbah Sadem, Miah mengetahui tentangnya yang sempat berprofesi sebagai penjual tempe. Namun Miah tidak mengetahui nama suami dari Sadem yang diketahuinya sudah lama menjanda. Sementara ketika sudah tua renta, Sadem tidak lagi berjualan tempe. Untuk menghidupi dirinya hanya mengandalkan santunan dari tetangga atau meminta dari Miah yang masih ada ikatan saudara dan dinafkahi suaminya yang Petani.

Sadem memiliki rumah yang tidak begitu jauh dari rumah Miah. Kurang lebih berjarak 200 meter. Kini rumah tersebut sudah ditempati oleh Siwan, orang yang tidak ada darah persaudaraan dengan Miah. Rumahnya pun sudah berubah total. RadarMas mendatangi rumah tersebut, Siwanpun menyambutnya.

"Saya kurang begitu paham asal-usul pekarangan disini yang dulu. Ya mungkin dulu memang milik Mbok Sadem, tapi kemudian dibeli oleh orang tua isteri saya," kata Siwan singkat.

Rumah Mbok Sadem (Ibu Sapoen) sudah berubah total. Kini ditempati Bpk Siwan


Sementara, Awal Nurhandoko, selaku kades juga meragukan tentang kesesuaian sejarah yang dimaksud dengan Sapoen yang ada dalam arsip. Ia mempelajari kembali data dalam arsip yang didapat dari www.gahetna.nl. "Saya juga masih meraba-raba kebenarannya. Apakah Sapoen yang dimaksud dalam arsip itu apakah Sapoen yang dimaksud mbok Miah atau bukan. Cuma kebetulan Sapoen yang ada disini itu juga menghilang," kata Awal.

Untuk membuktikan kebenarannya ia menyarankan agar pihak Mr Reymond Sapoen terlebih dahulu memaparkan siapa orang tuanya dan siapa kakeknya. Baru bisa ditarik apkah kakeknya itu benar sesuai yang ada di arsip. (gan)