Apa yang kita tahu tentang situs Gunung Padang?
Bagi sebagian dari kita, Gunung Padang mungkin cuma identik dengan isu piramida. Ada dari kita yang mungkin tak mengetahui bahwa di luar soal piramida yang entah eksis atau tidak, Gunung Padang juga menyimpan peninggalan kebudayaan megalitikum yang berharga, istimewa sekaligus menarik untuk dieksplorasi.
Kamis (29/5/2014) hingga Jumat (30/5/2014), tim Kompas.com mengeksplorasi situs megalitikum Gunung Padang.
Berbekal drone yang dilengkapi kamera, tim berniat menyajikan video dan foto aerial resolusi tinggi pertama situs megalitikum Gunung Padang. Hasil foto dan video aerial telah dirilis Kompas.com pada Kamis (5/6/2014). Mari terbang melihat situs Gunung Padang dari udara dengan foto-foto Kompas.com.
http://www.youtube.com/watch?feature...&v=DCcC5NpQJn0Lewat foto aerial, Kompas.com menyuguhkan bentang alam situs megalitikum Gunung Padang yang dahulu digunakan sebagai tempat pemujaan dan kegiatan seni terkait.
Tampak situs yang berlokasi di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu berada di puncak bukit kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon yang hijau serta perkampungan penduduk di bawahnya.
Tampak pula Gunung Gede Pangrango di utara situs.
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan, gunung itu adalah kiblat dari situs megalitikum Gunung Padang. Masyarakat yang membangun situs tersebut diyakini memiliki kepercayaan untuk menyembah leluhurnya.
"Masyarakat pada masa lalu ada yang menganggap leluhur mereka ada di gunung. Sementara, ada juga yang menganggap leluhur ada di laut," kata Harry.
Orientasi bangunan disesuaikan dengan kepercayaan akan tempat leluhur mereka. Dengan orientasi ke Gede Pangrango, masyarakat yang membangun situs Gunung Padang diduga meyakini bahwa leluhur mereka ada di gunung. KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Situs megalit Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 30 Mei 2014. Tim Riset Mandiri Gunung Padang mengungkapkan bahwa situs dibangun oleh empat kebudayaan berbeda, yang tertua diperkirakan mencapai umur 10.000 tahun.
Foto lain menyuguhkan pemandangan keseluruhan dari situs Gunung Padang.
Situs megailitikum Gunung Padang merupakan sebuah punden berundak yang tersusun atas lima teras. Pada setiap teras, terdapat titik-titik yang memiliki fungsi tertentu. Satu teras dengan teras lain dihubungkan dengan tangga batu.KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Formasi batu berbentuk persegi panjang. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertunjukan seni. Batu pipih berbentuk lingkaran di sudut dipercaya sebagai gong. Sementara, dua batu pipih di sebelah kanan merupakan batu gamelan.
Lewat foto dan video aerial, Kompas.com juga menunjukkan titik-titik penting di situs itu. Di teras pertama, ditunjukkan dua formasi batuan berbentuk persegi panjang.
Formasi pertama dihiasi oleh batu besar dengan permukaan datar di salah satu sudutnya. Masyarakat setempat meyakini, tempat itu dipakai untuk kegiatan seni. Sementara, formasi batu lain digunakan untuk tempat ibadah.
Di sebelah tempat yang digunakan untuk kegiatan seni, terdapat batu yang disebut batu gamelan.
Batu tersebut bila dipukul dengan batu lain akan menghasilkan nada tertentu. Oleh karena itu, ada keyakinan bahwa batu itu dipakai seperti alat musik atau setidaknya sebagai alat serupa ketungan untuk mengumpulkan orang.
Harry mengatakan, "itu mungkin saja."
Meskipun demikian, Lutfi Yondri, arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung mengatakan bahwa istilah batu gamelan tersebut baru dikenal akhir-akhir ini dan bukan muncul dari hasil penelitian arkeologi. "Tahun 80-an belum dikenal ada batu gamelan itu," katanya.
Ia tidak yakin batu yang bisa menghasilkan nada itu berfungsi sebagai batu gamelan.
Di samping itu, masyarakat kebudayaan megalitikum yang membangun situs Gunung Padang diyakini belum mengenal alat musik.
KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Tangga menuju teras ke-2 di situs megalitikum Gunung Padang. Ada lima pagar yang dibentuk dengan dua batu berdiri pada kanan kiri tangga. Mahkota dunia terletak di puncaknya, tepat di bawah pohon.
Foto lain menunjukkan tempat yang disebut "Mahkota Dunia".
Mahkota Dunia berada di teras kedua. Antara teras pertama dan teras kedua dihubungkan oleh tangga dengan lima pagar. Namun, bila berkunjung ke Gunung padang, tangga yang tersusun atas batu itu tak boleh dilewati. Penunjung harus lewat jalur lain.
Lutfi mengatakan, istilah Mahkota Dunia sebelumnya juga tak dikenal.
"Memang sebelumnya dikenal ada leluhur yang berdiam di Gunung Padang bernama Hyang Kuta Dunia. Tapi istilah Mahkota Dunia itu tidak ada. Tidak tahu mengapa Hyang Kuta Dunia berubah menjadi Mahkota Dunia," kata lutfi.
Dari Mahkota Dunia, pengunjung bisa memandang gunung Gede Pangrango.
KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Susunan batu yang diduga digunakan sebagai tempat bermusyarawah.
Foto lain menunjukkan sebuah formasi batu berdiri yang melingkar.
Harry mengatakan, formasi batu tersebut dahulu digunakan untuk tempat bermusyarawah. "Masyarakat yang membangun situs itu memang sudah mengenal musyawarah," katanya saat dihubungi Kompas.com beberapa waktu lalu.
Lutfi Yondri, mengatakan, ada petunjuk bahwa ruangan itu digunakan untuk bermusyawarah.
"Tanda tempat digunakan bermusyawarah adalah adanya kursi-kursi batu. Ini tidak berbentuk kursi tetapi hanya batu-batu yang didirikan. orang-orang yang bermusyawarah duduk di batu tersebut," katanya.
KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Pengunjung duduk di formasi batu yang diyakini sebagai Singgasana Prabu Siliwangi.
Tempat lain yang ditunjukkan lewat video dan foto adalah apa yang diyakini sebagai Singgasana Prabu Siliwangi.
Singgasana tersebut terdiri dari dua batu berdiri, satu batu yang miring dan batu-batu lain yang ditata sebagai semacam alas. Bisa diibaratkan, formasi batu itu membentuk sofa bagi Prabu Siliwangi.
Meski demikian, belum diketahui apakah formasi batu itu memang singgasana raja itu.
Harry mengungkapkan, "kita masih harus meneliti apakah memang situs Gunung Padang sendiri berhubungan dengan Prabu Siliwangi."
Menurut Harry, kemungkinan relasi itu ada. Namun, Prabu Siwilangi sendiri mungkin ada setelah situs tersebut dibangun.
Lutfi mengungkapkan, banyak situs di Jawa Barat yang dihubungkan Prabu Siliwangi. "Ada pandangan bahwa situs Gunung Padang hancur karena Prabu Siliwangi marah sebab istananya belum selesai dibangun," katanya.
Selain lewat foto aerial, pembaca Kompas.com juga dapat menjelajahi situs Gunung Padang lewat foto 360 derajat berikut.
Situs Gunung padang, di luar soal ada tidaknya piramida, masih menyimpan banyak pertanyaan.
Salah satunya adalah pertanyaan mendasar, kapan situs itu dibangun? Apakah pada masa prasejarah seperti yang sempat dianggap sebelumnya.
Harry mengatakan, Gunung Padang dibangun pada masa sejarah, saat adanya kemunduran Hindu Buddha di Jawa Barat, sekitar abad ke 6 hingga 8 Masehi. "Saat Hindu Buddha mundur, kepercayaan terhadap leluhur berkembang lagi," ungkapnya.
Sementara itu, Lutfi mengatakan bahwa situs Gunung Padang mungkin dibangun pada masa awal sejarah atau akhir prasejarah di Indonesia. "Sekitar abad ke-2 hingga 5 Masehi," katanya.
Petunjuk datang dari gerabah Bumi yang sempat ditemukan di Gunung Padang. kompas.com
Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)
Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju
Catatan Hidupku
Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku
Petualangan Hidup
Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar
Sejarah Nasional dan Dunia
Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan
Pola Hidup Sehat
Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya
Friday, May 30, 2014
Puisi: Gelora
Aku sulut api rindu
Biar kau tak meringkuk kedinginan
Aku pemberi harapan
Dan kau jadi pemabuk harapan
Sampai kita benar benar mabuk
Sampai kau paksa aku
Aku senang
Tak ingin ada api lain
Biar kita satu pandang, saling pandang
Tak ingin ada angin
Biar gelora tak dituntut padam
Dalam nyata mungkin, dalam mimpi pasti
Dalam nyata ragu, dalam mimpi yakin
Akankah hanya dalam angan
Padahal api ini nyata
Paksalah aku, biar gelora tetap menyala
Raihlah aku, biar kau tak sepi melara
Padamara, 30 Mei 2014
Thursday, May 29, 2014
Tentara Romawi dan jaman Nabi
Semalam sampe didebat mba Indri, wartawan Edutainment soal orang brewokan. Dia setengah mati benci dan memandang brewokan itu tanda pria yang tidak resik. Begitu juga dengan mba Iien Mutmainah, senada dengan bilang wanita yang dapat pria brewokan itu tanda dia tak resik dalam menyapu. Benar benar kental mitos Jawanya.
Indonesia belum sepenuhnya menerima pria brewokan. Masih identik dengan tukang becak yang jorok dan pemalas. Tapi selama hidup di Semarang aku pernah menyaksikan pria brewokan itu seleranya cewek moderen.
Bagiku brewok sudah masuk pada era mode. Seperti yang aku rasa sendiri sekarang. Terlihat lebih dewasa, lebih percaya diri, bahkan lebih disegani. Brewokan iyu sexy kataku. Mana aktor Hollywood yang tak brewokan??. Di Inggris, Amerika, Spanyol sudah jadi trend, tapi belum untuk Prancis dan Indonesia.
Brewok itu mirip tentara Romawi, dan mirip kebiasaan pria di jaman kenabian. Sejarah itu berputar, akan ada kembalinya masa brewok itu lebih digemari.
Indonesia belum sepenuhnya menerima pria brewokan. Masih identik dengan tukang becak yang jorok dan pemalas. Tapi selama hidup di Semarang aku pernah menyaksikan pria brewokan itu seleranya cewek moderen.
Bagiku brewok sudah masuk pada era mode. Seperti yang aku rasa sendiri sekarang. Terlihat lebih dewasa, lebih percaya diri, bahkan lebih disegani. Brewokan iyu sexy kataku. Mana aktor Hollywood yang tak brewokan??. Di Inggris, Amerika, Spanyol sudah jadi trend, tapi belum untuk Prancis dan Indonesia.
Brewok itu mirip tentara Romawi, dan mirip kebiasaan pria di jaman kenabian. Sejarah itu berputar, akan ada kembalinya masa brewok itu lebih digemari.
Wednesday, May 28, 2014
Masa laluku lebih puitis
Aku ingin reuni dengan pemikiranku yang dulu. Aku baca lagi Catatan Seorang Pendiam sembari merevitalisasi blogku yang satu ini. Aku yang dulu benar benar bisa menggabungkan antara pemikiran mendalam dengan kepolosan. Hasilnya memang CSP sangat bagus menurutku. Mungkin keidealisan cukup mempuitiskan kita.
Sekarang waktuku lebih ku pakai untuk memahami realita. Tidak lagi teoritis seperti zaman kuliah. Benar benar banyak mengubah karakter tulisanku. Atau bisa juga dulu aku suka mendalami filsafat, sedang sekarang adalah novel.
Aku yang sekarang benar-benar kekurangan asupan intelegensi. Yang ada hanya pengalaman-pengalaman dan kemahiran mengkritik dan menulis berita. Jauh dari serapan kata-kata mutiara.
Mungkin mahasiswa banyak yang mengagumi profesiku. Terbukti di kampus kadang ada yang namanya pelatihan jurnalistik. Peserta yang ikut otomatis adalah mereka yang bercita-cita menjadi seorang jurnalis, yang sekarang sudah jadi peofesiku ini.
Tapi tahukah, betapa aku merindukan masa laluku. Inilah yang membuat aku semakin cinta dengan sejarah. Tapi tak mungkin aku menjadi daun yang bertahan sendirian di musim gugur. Semua ada masanya aku harus mengikuti perubahan zaman, agar aku selalu merasa baru dan baru. . .
Tuesday, May 27, 2014
BLK JADI SECERCAH HARAPAN
Kata bu Lily (Dinsosnakertrans) faktor terbesar pengangguran bukan karena masalah SDM atau kelangkaan lowongan. Tapi pencakernya yang kebanyakan pilah pilih kerja. Berarti jaman sekarang yang paling dibutuhkan itu kenekadan, bukan lagi SDM kesesuaian ijasah atau keterampilan.
Adanya BLK (Balai Latihan Kerja) bagiku itu bisa jadi secercah harapan. Pencaker yang pilah pilih kerja itu karena mereka tak pede dengan keterampilan. Setidaknya jika sudah pede itu bisa menambah kepedean cari kerja. Itu yg bisa kusimpulkan dari kunjungan liputanku ke BLK Dinsosnakertrans di Pabuaran, Purwokerto Senin (26/5).
Aku tahu rasanya menganggur, begitulah seolah cari- cari kerja tidak ada yang cocok. Padahal banyak lowongan, pertimbangan gaji, pertimbangan gengsi. Padahal intinya semua cuma satu, cari duit.
Aku lihat banyak pemuda pemudi seumuranku latihan kerja disini. Servis handphone, servis motor, bikin busana, bikin kue. Tahun depan katanya juga mau ada pelatihan las listrik.
Belajar disini gratis kata pak Eko Yunianto kepala BLK. Peminatnya bisa belasan anak per jurusan, dididik satu bulan selesai. Tapi dia punya prioritas, yang lolos seleksi adalah mereka yang benar-benar butuh keterampilan karena belum punya kerja, bukan untuk menngisi waktu saja, kata dia.
Aku sering ketemu bu Lily tapi baru kali ini aku baru ke BLK, sindir pak Eko. Mengira aku tak punya sifat handarbeni sebagai warga Banyumas. Aku malu sedemikian sempitnya wawasan ini, sampai BLK di Purbalingga pun aku tak tahu dimana tempatnya.
Banyak hal menarik disini, aku kunjungi tiap jurusan. Mereka serius semua. Tak ada yang cengengesan seperti pelajar sekolah. Mungkin mereka sudah sadar betapa pahitnya menganggur, jadi insaf.
Jujur aku juga ingin belajar di BLK. Meski pekerjaanku sekarang cukup bergengsi tapi aku masih milik orang swasta, bukan wirausaha. Ibuku penjahit terkenal, tapi belum ada yang mewarisi, aku ingin punya keterampilan menjahit. Bapakku tukang las berpengalaman, aku ingin punya keterampilan mengelas.
Orang tuaku tak pernah inginkanku seperti mereka. BLK bagiku juga seperti secercah harapan. Ia adalah benih harapan yang kusimpan seandainya aku nanti collapse.
Ganda Kurniawan, reporter Banyumas Ekspres (Jawa Pos Group)
Monday, May 26, 2014
BERKUNJUNG KE KUBE HARAPAN TANI MAKMUR
Disana bertemu pak Kasun. Ia jelaskan semua. Mulai dari mesin pembuat konsentrat. Fermentasi pakan. Perkembangan sapi. Pengolahan kotoran jd pupuk hingga dimanfaatkan jadi bio gas. Nyaris sempurna. Semua hal bisa dimanfaatkan, tidak terlepas dari bantuan pemerintah.
Yang aku sayangkan, yaitu yang terakhir, Biogas. Sebenarnya bisa dimanfaatkan banyak, hanya saja bocor. Pak Kasun dkk ini mendapat bantuan instalasi biogas ini dari BLH, agar gas methan yang ditimbulkan kotoran sapi ini bisa dimanfaatkan jadi bahan bakar.
Kebocoran ini cukup disayangkan. Mungkin BLH Banyumas harus banyak belajar lagi bagaimana konstruksi biogas yang benar. Sudah diperbaiki masih bocor lagi. Dindingnya retak halus sebesar rambut, tapi ini masalah besar. Sudah satu setengah tahun mangkrak, tak bisa digunakan katanya.
"Dulu kadang bisa dipakai buat masak kalo lagi ronda disini. Bisa bertahan lama, apinya juga tidak berbahaya, mudah dimatikan tidak seperti gas elpiji," kata Kasun.
Kasun juga optimis kalau biogas ini juga nantinya bisa digunakan untuk menggerakkan mesin pembuat konsentratnya. Hanya saja mimpi mereka harus tertunda dulu. Katanya, sejauh ini dia sering ikut Diklat di Semarang soal petrnakan. Dia sedang menggagas agar konstruksi biogas yang dibuat oleh BLH yang terbuat dari beton ini diganti dengan yang berbahan fiber. Mungkin itu akan jadi solusi bagus. Sungguh disayangkan bau kotoran sapi yang menyengat itu tidak dimanfaatkan.
Ganda Kurniawan, jurnalis Banyumas Ekspres (Jawa Pos Group)
Melawan Tendensi Minimnya Wawasan dengan Ekspedisi
Oleh: Nanang Pratmaji (Mantan Ketua Umum Exsara)
Saya meyakini sekali apa yang menjadi judul diatas. Seandainya saya bukan pelajar, rasa-rasanya hal diatas menjadi kurang berarti, seperti halnya dengan katak dalam tempurung.Pembaca yang budiman tentu sudah tahu bahwa factor terbesar yang membuat kita jenuh adalah disebabkan oleh ketidakadaan/ minimnya variasi dalam kehidupan.
Exsara yang saya cetuskan satu tahun lalu ini sekiranya bisa menjawab hal diatas. Melalui trip-trip akan menambah wawasan kami baik itu historis, social dan geografis. Kemudian saya bentuk wadahnya berupa sebuah Komunitas Persahabatan yang punya selera sama dan bersifat volunteer/ suka rela. Di dalamnya tidaklah ada jeratan aturan berat atau sanksi tegas, walau begitu Exsara tetap bergerak dalam hal-hal yang positif, manusiawi dan akademis. Jadi ada prasangka yang salah ketika Exsara dianggap sebagai organisasi boneka, organisasi oposisi/ tandingan apa lagi kalau dianggap sebagai organisasi separatis (terhadap organisasi lain).
Saya begitu bersyukur Alhamdulillah atas keselamatan dan kelancaran kegiatan yang dilaksanakan Exsara yang sudah berdiri selama satu tahun ini. Walaupun pada awalnya muncul kontroversi namun ketika disadari ternyata hal itu hanyalah hipokrisi saja dibuktikan dengan kenyataan yang ada sampai sekarang hal yang menjadi perdebatan itu 0% tidak terjadi, artinya bahwa Komunitas Exsara ini adalah organisasi yang safe.Sehingga Exsara mampu mendapatkan banyak anggota dan akrab di dalamnya bahkan akhirnya sebagian besar dari mereka memberanikan diri dan diterima menjadi fungsionaris HIMA Sejarah UNNES 2009 ini. Hal ini menjadi jelas terkesan bahwa Exsara adalah jelmaan dari fungsionaris HIMA Sejarah, sebuah hal yang membanggkan dari Exsara.
Semua acara ekspedisi berjalan dengan aman dan sesuai semestinya. Ekspedisi yang pernah dilakukan antara lain melakukan trip ke Desa Promasan (kaki G. Ungaran), Tinjomoyo (Semarang), keliling Semarang (ke Museum Ranggawarsita, Mandala Bhakti, Sam Poo Kong, dan Kota Lama), Situs Purbakala Pati Ayam dan sekitar Muria (Kudus), Benteng Pendem Cilacap dan Benteng Karang Bolong Nusakambangan serta yang teakhir yaitu ke Jepara yang terdiri dari Museum Kartini, Benteng portugis dan Karimunjawa.
Ketika disana kami tidak hanya mengunjungi/ melihat-lihat saja. Hampir di setiap trip itu kami selalu berinteraksi dengan masyarakatuntuk ramah tamah dan saling kenal atau bias juga dengan dinas tertentu seperti ketika trip ke Situs Pati Ayam dengan senang hati ketua DISPARBUD dating member penjelasan kepada kami. Intinya dengan melakukan pendekatan itu mereka malah memfasilitasi kami. Selain berinteraksi dengan masyarakat sesekali kami juga melakukan pendakian gunung bila dekat dengan objek dan hanya untuk yang berminat saja.
Di dalam pertemuan bias seringkali kami melakukan diskusi Sejarah. Diskusi ini terkesan ilmiah namun juga terkesan lugu hal ini terjadi karena kebanyakan dari kami memang masih tahap belajar. Akan tetapi karena perasaan ketidak profesionalan itu malah justru mendorong kami untuk menjadi lebih baik.
Saya harap di umur Exsara yang baru ini akan membawa hal yang segar lagi dalam tubuh Exsara ini dengan peningkatan mutu dan intelektualitas dari generasi penerus yangfresh…. Sugeree!!
Sejarah Berdirinya Exsara (Ekspedisi Sejarah Indonesia)
Bermula dari sebuah gagasan dua mahasiswa jurusan sejarah universitas negeri semarang yaitu Winarso dan Nanang Pratmaji sekitar tahun 2008 Exsara lahir. Namun, keberadaannya masih sebagai sebuah nama kelompok. Pada awalnya gagasan ini muncul karena atas sebuah kesamaan kegemaran antara mereka berdua. Karena atas latar belakang jurusan dibangku kuliahnya mereka memilih untuk jalan-jalan sekaligus memiliki banyak manfaat, terutama untuk tambahan ilmu dan pengatahuan mereka dibangku kuliah. Sebenarnya di lingkungan kampusnya sudah banyak organisasi ataupun komunitas yang dapat menampung hoby mereka. Namun, mereka beranggapan bahwa organisasi yang ada sangat mengikat dan untuk kajian terutama tentang sejarah belum cukup untuk mendukung.
Disebuah kamar kecil, kotor dan berantakan antara winarso dan nanang pratmaji berdiskusi kecil-kecilan untuk menggagas sebuah organisasi yang sekiranya dapat menampung hobynya serta juga untuk menjadikan wadah teman-teman yang sejalan dikampusnya. Diskusi ini tidaklah seperti diskusi DPR, diskusi para Aktivis ataupun diskusi serius yang lainnya. Mereka membicarakan sebuah nama yang akan menjadi sebuah identitas organisasi gagasan mereka. Lama mereka berdebat banyak nama yang terbayangkan, namun belum ada yang tepat untuk menjadi nama organisasi mereka yaitu jalan-jalan yang juga menjadi bahan kuliah luar kampusnya yang mengacu pada pengetahuan sejarah. setelah lama kemudian sebuah nama muncul, yaitu Exsara atau singkatan dari Ekspedisi Sejarah Indonesia.
Mereka memilih nama Exsara tidak karena apapun kecuali atas kesesuaian dengan bayangan dan harapan mereka. Setelah nama muncul, perbincangan kemudian dilanjutkan dengan membahas agenda kegiatan. Dengan melihat kondisi yang masih amatir dalam segala hal, mereka bermodal nekat untuk melaksanakan sebuah kegiatan. Kegiatan pertama kali dari hasil diskusi dan kemudian dilaksanakan adalah berekspedisi ke makam Wali Sanga di Demak dan Kudus Jawa Tengah yaitu mengunjungi dan ziarah dimakam sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sunan Muria di gunung Muria.
ber
sambung,...
Pamflet Pertama Exsara |
Exsara Tlah Membunuh Frustasiku
Oleh: Lutfi Amiq (Ketua Umum Exsara2011)
Diksar dan reorganisasi yang diadakan di Tinjomoyo menjadi lembaran baru bagi saya. Dalam mo-men tersebut, saya dinobatkan menjadi Ketua Exsara menggantikan Nanang Prat-maji. Berbagai harapanpun muncul, tatkala saya ingin memajukan Exsara menjadi lebih baik lagi dengan per-juangan segenap anggotanya.
Menjadi Ketua Umum di dalam organisasi ini menjadi semangat baru untuk hidup saya, selain harus bisa menjadi contoh yang baik juga, kiranya mampu menghandle seluruh anggotanya. Kemandirian dan kedewasaan dalam berorganisasi sangat diperlukan dalam organisasi ini, maka saya yang menginjak usia 20 tahun dan dilahirkan di Jepara, sangat menyadari bahwa nasehat dan pengalaman berharga dari mantan kepemimpinan Nanang Pratmaji sangat diperlukan.
Mengkaji sejarah secara terstruktur dan ilmiah menjadi cambuk semangat saya dalam menjalani hidup ini. Setelah cukup frustasi karena cita-cita saya tidak terwujud. Sewaktu kecil saya ingin sekali menjadi pemain sepakbola berbakat. Berbagai seleksipun telah saya coba, namun semuanya gagal. Itu karena postur tubuh saya yang terlalu kecil. Saya pun mengubur dalam-dalam mimpi ini karena hanya akan menambah frustasi diri. Dan dengan kehadiran Exsara yang menawarkan kajian sejarah bersifat lebih variatif mampu menghibur diri saya.
Kehadiran Exsara yang mampu menghibur diri saya, juga motto hidup yang senantiasa menjadi obor cahaya terang dalam diri saya bahwa "hidup saya, ibarat panas itu keberhasilan dan hujan itu kegagalan, maka kita butuh keduanya untuk melihat pelangi”.
Dan pula saya sangat berharap, cita-cita Exsara merupakn cita-cita bersama seluruh anggotanya. Oleh karena itu, ayo rekatkan barisan anggota Exsara sehingga kajian sejarah lebih variatif, inovatif, berbeda dan pastinya berkesan. Saya harap pula, kebersamaan seluruh anggota Exsara akan menjadi angin segar dalam organisasi ini yang makin SUEGGEERREEE…….!!!!
LIMA MENIT BERSAMA NANANG PRATMAJI
7 July 2013 at 08:25
“Apa kau paham, Nanang itu rupanya seperti apa?” tanyaku pada teman kuliahku pada hari pertama kuliah. Aku mencari-carinya. Bu Nina telah membagi kelompok dan tugas Sejarah Eropa. Teman sekelompokku telah meregisterkan diri padaku, dan tinggalah Nanang, dimanakah dia?. Kawan-kawan kuliah satu per satu pulang.
Masih ku bertanya-tanya di esok harinya. “Apa kau paham, Nanang itu yang seperti apa?”. Maksimal menjawab “Nanang yo bocahe sing koyo ngono iku lah pokoke”. Tidak ada jawaban yang lebih terang.
Itulah awal pencarianku terhadap Nanang. Kelak aku mengenalnya dan mengerti bahwa Nanang memang seperti lelaki kebanyakan. Jika di pasar ia adalah tukang tawar. Jika di loket tiket dia adalah jago sandiwara serius agar dapat kortingan. Jika bertemu dengan orang yang kaku, dan sok tegang, dia bisa mengubahnya menjadi rekan komedinya. Dan ketika sedang bicara dengan orang dungu, Nanang adalah ahli jail mencuci otaknya dan membuat orang itu seperti tambah dungu.
Sosok yang kelak menjadi fouding father kami yang humoris. Tubuhnya pendek seperti celengan. Wajahnya sebenarnya hampir tampan mirip Anjasmara seandainya dia tinggi dan proporsional, namun karena pendek nan gemuk ujung-ujungnya teman-teman menyamakannya dengan postur Pak Romadi, dosen kami.
Lagaknya yang suka guyon membuatku pertama menilainya bahwa dia seperti anak yang tidak bisa diajak serius. Tak satu hurufpun dia sumbangkan untuk tugas sejarah Eropa. Dia hanya beruntung ditunjuk untuk presentasi, itupun dengan cara membaca dan teman yang lain susah-susah bertugas menanggapi pertanyaan. Hingga akhir kuliahpun aku sering mendapati banyak keberuntungan selalu berpihak padanya.
Semester awal kuliah aku tak sering bergaul dengannya. Aku ikut HIMA kala itu, sementara Nanang tidak ia memilih menjadi orang merdeka. HIMA mendapat undangan dari KSG untuk mengirim perwakilan untuk ikut partisipasi menanam Mangrove di Pantai Tirang. Yang menyanggupi hanya aku, kemudian kakak kelas : mas Zaenal Mutaqin dan mas Fiston Cresendo. Sebelum berangkat kedua kakak kelas ini tiba-tiba mangkir jadinya hanya aku yang berangkat. Winarso meliahatku haru karena aku anak sejarah sendirian di bak truk kala itu. Sorenya ia menjemput ke pantai dengan sepeda motor, bersama Nanang. Aku sedikit lega, kami bertiga akhirnya beradu sungging senyum. Kegirangan bermain di pantai dan sempat berfoto bersama saat sunset, muka kami berdua tidak kelihatan jelas karena melawan cahaya sunset. Cahaya siluet dua orang sahabat menyatu seiring sayup lembayung senja.
Semenjak sunset itu aku menjadi benar-benar merasa akrab dengan teman baru yang sebenarnya sudah lama ku kenal ini. Tuhan telah mengkaruniaku semacam emotional connection dengan Nanang, kemudian ia dimasukan ke dalam Data Base “Sahabat akrab”. Sahabat akrab adalah sahabat yang tidak usah dicanggungkan lagi saat kembali bertemu, dan ia adalah tempat berbagi cerita tempat pelampiasan canda dan gurau.
Winarso dan Nanang adalah dua sahabat kompak, itu karena mereka satu grup saat KEMAS 2008. Konon keakraban mereka berdua telah membawa mereka saling berekspedisi ke kota-kota timur Semarang, berdua satu motor layaknya Alberto Granado dan El Fuser dalam film The Motorcycle Diaries. Dan mungkin pengalaman itu telah membawa mereka pada perasaan senasib. Mereka berdua bagiku adalah Dwi Tunggal Exsara, dua orang paling cikal pendiri Exsara.
Nanang terpilih menjadi Ketua Exsara mulai saat dideklarasikannya tanggal 24 Oktober 2009. Sebelumnya aku tak pernah menyangka Exsara akan menjadi organisasi serius. Namun hari itu aku benar-benar merasakan bahwa di bawah sana Exsara memiliki dapur magma yang besar dan siap dimuntahkan dahsyat nantinya. Semua teman-teman takut tuk menjadi ketua, aku dan Winarso tentu menolak dengan dalih karena masih terikat dengan HIMA. Tinggal yang memiliki legitimasi terbesar adalah Nanang Pratmaji. Ketua bagi kami saat itu adalah benteng pertama pertahanan, bukan rajanya dan kami yakin Nanang adalah tipe orang yang bisa mengelastiskan orang kaku ketika di depan sana. Hingga saat inipun, orang yang gila dan humoris seperti Nanang dijadikan prasyarat patokan sebagai calon Ketua Exsara untuk generasi berikutnya, karena terbukti berhasil memimpin dengan baik.
Jika dalam pemilihan Ketua HIMA ketika sesi fit and provert test akan ada adu kecerdasan dalam menanggapi pertanyaan, dimana yang terpilih biasanya adalah orang yang cakap menaklukan tes itu. Seandainya Exsara diadakan fit and provert test, yang bisa memenangkan menjadi ketua adalah dia yang paling banyak diketawai, disoraki bahkan dijatuhkan atau digoblok-gobloki. Bukan ahli lawak, bukan gila yang dibuat-buat juga bukan gila sakit jiwa, tapi dia yang gila, tegas dan bertanggungjawab. Itulah Nanang Pratmaji. Tidak perlu ilmu yang mumpuni, tidak perlu kebanyakan teori. Kita harus pandai memimpin maka kita bisa mengendalikan dan memanfaatkan orang yang berilmu. Kita harus praktek dan menjalani dulu nanti baru mendapatkan pengalaman tuk mencocokan teori. Begitulah aku menterjemahkan Nanang.
Dalam setiap pidato dan sambutan kepemimpinannya di Exsara, dapat dirasa hampir ia tidak pernah membahas soal bidang yang ia geluti: sejarah, apa lagi membahas mendalam mengenai materinya. Atau ketika dalam acara diskusi sejarah, Nanang hanya diam atau mampu menjawabnya dengan mereka-reka nalar saja bukan berdasar pengetahuan kognitif. Yang dapat ku mengerti bahwa Nanang memang mencintai sejarah dari segi esensinya dan kearifannyaa saja bukan dari pengetahuan kognitifnya. Buktinya, Nanang menjadi orang yang selalu muncul di permukaan, memimpin Exsara, memimpin KMK, dan ia menjadi penasehat utama ketua PPL di Magelang. Berjuang demi organisasi berarti berjuang demi kepentingan orang banyak, sama seperti perjuangan layaknya para tokoh sejarah, namun ia tak selalu hafal dengan cerita sejarah. Hal ini berlawanan dengan kawanku yang lain bernama Furqan yang seperti orang kekenyangan pengetahuan bahkan kedalaman ilmunya mungkin sudah pada tingkat nano, amat detail, hanya saja dia sulit untuk muncul ke permukaan. Itulah kebalikan dari yang dimiliki Nanang. Namun ketika kedua orang ini bertemu, bukanya kesempurnaan yang tampak, melainkan becanda yang tak pernah usai.
Nanang anak kedua dalam keluarganya, kakak pertama merantau ke Jakarta. Dan Nanang sendiri tinggal di rumah. Sebelum ayahnya meninggal, Nanang adalah tumpuan keluarga yang harus rela sering bolak-balik Semarang – Klaten mengurusi ayahnya yang sudah lemah dan kadang sakit-sakitan. Kepedulian, kebaktian dan kasih sayangnya kepada orang tua sungguh tak terperi. Setelah ayahnya pergi, Nanang tetap tegar menerima kenyataan, bahkan masih sempat-sempatnya ia menegur canda ketika rombongan Exsara dan sejarah 2008 datang untuk taziah malam itu. Menemani Nanang menabahkan hatinya melewatkan malam menjelang pagi pertama ia terbangun tanpa sosok ayah lagi di hidupnya.
Semanjak diangkat sebagai Pemimpin Exsara, peranannya dalam segala hal banyak berubah total. Jika dalam tugas sejarah Eropa ia tak acuh, maka dalam era kekinian ia bisa menjadi sahabat yang solid dalam kelompok. Aku pernah mengajaknya tuk mengambil gambar di seantero Kota Lama Semarang, ku ajak dia menusuri pedalaman Somagede, Banyumas. Belum lagi puluhan ekspedisi yang telah ia jajahi bersama laskar Exsara. Puluhan kali ia menjadi penasehat Ketua-ketua Exsara sesudahnya. Kemampuan intrapersonalnya yang melejit membuatnya selalu menyanggupi setiap tantangan yang menghadangnya: termasuk menjadi panitia KEMAS 2010 yaitu sebagai kakak pendamping. Tantangan besar berikutnya adalah kesanggupan pertisipasinya dalam program SM3T, itu adalah kesempatan langka dan langka peminat, orang ekspeditor sekaliber Nanang tentu memang seharusnya tidak menolak kesempatan itu.
Keahliannya dalam jago berdalih, tidak pernah dilupakan oleh banyak orang yang telah mengenalnya. Apa lagi ketika membawa banyak orang ke depan loket pintu masuk. Selalu ada saja cara yang bisa mengurangi harga tiket masuk. Tidak hanya ketika membawa rombongan anak-anak Exsara, tapi Nanang juga pernah menjadi pahlawan membawa rombongan teman-teman Sejarah 2008 yang ingin liburan menuju Baturaden kala senggang masa-masa KKN Brebes. Di depan Loket ia beralasan “Pak ini kami dari mahasiswa Unnes jurusan sejarah, niatnya mau survey di lokasi ini, karena mungkin suatu saat nanti kami akan mengadakan kegiatan disini, jadi boleh kami minta keringanan biaya tiket masuk??”. Penjaga tiket percaya-percaya saja kerena posisi teman-teman juga sedang menggunakan seragan KKN, alhasil tiket yang seharusnya berharga Rp.10.000/orang menjadi Rp.5000/orang.
Ada juga sifat Nanang yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, khususnya jika berkaitan dengan makanan. Lebih sering terjadi ketika universitas sedang mengadakan event besar. Pertama ketika ada semacam acara pesta selamatan doktoral dari salah satu dosen FIK, Nanang masuk saja padahal di dalamnya berisi pejabat-pejabat kampus, ketika dicegah, Nanang menjawabnya “kami dari pers pak”. “oh ya silahkan masuk” sahut penjaga. Menjelang acara berakhir banyak teman-teman Sejarah 2008 diundangnya ketempat itu, seraya diserbu makanannya. Bahkan Winarso juga sempat mengajak duet biduan yang sedang menggung disitu. Di kasus yang sama, ketika teman-teman penerima beasiswa wajib menyaksikan penganugerahan mahasiswa berprestasi (Mapres) di akhir acara baru ada pembagian snack yang berdesakan, Nanang mengambilnya satu dimasukan ke tasku, masuk dalam kerumunan meminta snack lagi, kaluar, lalu meminta lagi, lagi dan lagi hingga tasku penuh namun tidak ada yang mencurigai. Sebagian dimakan sendiri, sebagian dibagikan ke teman-teman di PKM dan teman Sejarah 2008. Kelihaian serupa juga saat ia bekerja kepada perusahaan catering dan ia mulai beraksi saat ada pesta resepsi. Tak banyak yang diperbuat saat acara berlangsung, namun ketika acara selesai Nanang tidak sungkan-sungkan melahap sisa prasmanan, es, dsb sampai ekastra kenyang. Sedikit kerja tapi banyak memanfaatkan situasi. Dapat disimpulkan, Nanang memang ahli dalam memimpin dan mengorganisir namun pemikirannya tidak selalu lurus. Ada kalanya ia harus bersikap lurus, dan ada kalanya ia harus “ng-edan” seperti hal-hal diatas.
Nanang bagiku adalah benar-benar sosok pemimpin yang tidak pantas mempunyai musuh. Dimanapun ia akrab dengan siapapun, termasuk anak-anak kecil ketika ia di Posko KKN, di Aceh tempat ia mengajar. Siapa lagi yang meng-edan-kan Pak Harso kalau bukan Nanang, Eko?. Pengalaman telah membuktikan kalau Pak Harso baru tampak “ng-edan” ketika sempat mengajar angkatan kami. Pada tahun-tahun sebelumnya beliau memang terlihat serius, murung dan seperti banyak masalah. “ng-edan” telah banyak melenturkan mereka yang kaku.
Tak banyak yang diketahui tentang Nanang oleh teman-teman Sejarah 2008. Yang mereka tahu hanyalah Nanang orangnya tidak pintar-pintar amat, tapi kekeluargaan, humoris, bisa bersahabat dengan siapa saja, dan ia adalah orang yang selamanya tidak akan punya musuh. Mereka tidak akan pernah menyangka tentang apa yang ku tulis diatas. Masih teringat jelas apapun tentang Nanang. Flash back tentangnya mambuatku melamun dan seolah semua kembali ke masa-masa itu.
Masih aku terlihat cupu, masih aku seperti anak udik, masih aku belum punya banyak teman sendirian berjalan menuju ruang 215. Tiba-tiba ada yang mengejar langkahku dari belakang dan menepuk bahuku, aku berhenti dan menoleh, “Gan, gan iki aku gan, Nanang Pratmaji, konco sekelompokmu, Tugas Sejarah Eropa”. . . . . “owalah kowe tho”. .
TAMAT
Masih ku bertanya-tanya di esok harinya. “Apa kau paham, Nanang itu yang seperti apa?”. Maksimal menjawab “Nanang yo bocahe sing koyo ngono iku lah pokoke”. Tidak ada jawaban yang lebih terang.
Itulah awal pencarianku terhadap Nanang. Kelak aku mengenalnya dan mengerti bahwa Nanang memang seperti lelaki kebanyakan. Jika di pasar ia adalah tukang tawar. Jika di loket tiket dia adalah jago sandiwara serius agar dapat kortingan. Jika bertemu dengan orang yang kaku, dan sok tegang, dia bisa mengubahnya menjadi rekan komedinya. Dan ketika sedang bicara dengan orang dungu, Nanang adalah ahli jail mencuci otaknya dan membuat orang itu seperti tambah dungu.
Sosok yang kelak menjadi fouding father kami yang humoris. Tubuhnya pendek seperti celengan. Wajahnya sebenarnya hampir tampan mirip Anjasmara seandainya dia tinggi dan proporsional, namun karena pendek nan gemuk ujung-ujungnya teman-teman menyamakannya dengan postur Pak Romadi, dosen kami.
Lagaknya yang suka guyon membuatku pertama menilainya bahwa dia seperti anak yang tidak bisa diajak serius. Tak satu hurufpun dia sumbangkan untuk tugas sejarah Eropa. Dia hanya beruntung ditunjuk untuk presentasi, itupun dengan cara membaca dan teman yang lain susah-susah bertugas menanggapi pertanyaan. Hingga akhir kuliahpun aku sering mendapati banyak keberuntungan selalu berpihak padanya.
Semester awal kuliah aku tak sering bergaul dengannya. Aku ikut HIMA kala itu, sementara Nanang tidak ia memilih menjadi orang merdeka. HIMA mendapat undangan dari KSG untuk mengirim perwakilan untuk ikut partisipasi menanam Mangrove di Pantai Tirang. Yang menyanggupi hanya aku, kemudian kakak kelas : mas Zaenal Mutaqin dan mas Fiston Cresendo. Sebelum berangkat kedua kakak kelas ini tiba-tiba mangkir jadinya hanya aku yang berangkat. Winarso meliahatku haru karena aku anak sejarah sendirian di bak truk kala itu. Sorenya ia menjemput ke pantai dengan sepeda motor, bersama Nanang. Aku sedikit lega, kami bertiga akhirnya beradu sungging senyum. Kegirangan bermain di pantai dan sempat berfoto bersama saat sunset, muka kami berdua tidak kelihatan jelas karena melawan cahaya sunset. Cahaya siluet dua orang sahabat menyatu seiring sayup lembayung senja.
Semenjak sunset itu aku menjadi benar-benar merasa akrab dengan teman baru yang sebenarnya sudah lama ku kenal ini. Tuhan telah mengkaruniaku semacam emotional connection dengan Nanang, kemudian ia dimasukan ke dalam Data Base “Sahabat akrab”. Sahabat akrab adalah sahabat yang tidak usah dicanggungkan lagi saat kembali bertemu, dan ia adalah tempat berbagi cerita tempat pelampiasan canda dan gurau.
Winarso dan Nanang adalah dua sahabat kompak, itu karena mereka satu grup saat KEMAS 2008. Konon keakraban mereka berdua telah membawa mereka saling berekspedisi ke kota-kota timur Semarang, berdua satu motor layaknya Alberto Granado dan El Fuser dalam film The Motorcycle Diaries. Dan mungkin pengalaman itu telah membawa mereka pada perasaan senasib. Mereka berdua bagiku adalah Dwi Tunggal Exsara, dua orang paling cikal pendiri Exsara.
Nanang terpilih menjadi Ketua Exsara mulai saat dideklarasikannya tanggal 24 Oktober 2009. Sebelumnya aku tak pernah menyangka Exsara akan menjadi organisasi serius. Namun hari itu aku benar-benar merasakan bahwa di bawah sana Exsara memiliki dapur magma yang besar dan siap dimuntahkan dahsyat nantinya. Semua teman-teman takut tuk menjadi ketua, aku dan Winarso tentu menolak dengan dalih karena masih terikat dengan HIMA. Tinggal yang memiliki legitimasi terbesar adalah Nanang Pratmaji. Ketua bagi kami saat itu adalah benteng pertama pertahanan, bukan rajanya dan kami yakin Nanang adalah tipe orang yang bisa mengelastiskan orang kaku ketika di depan sana. Hingga saat inipun, orang yang gila dan humoris seperti Nanang dijadikan prasyarat patokan sebagai calon Ketua Exsara untuk generasi berikutnya, karena terbukti berhasil memimpin dengan baik.
Jika dalam pemilihan Ketua HIMA ketika sesi fit and provert test akan ada adu kecerdasan dalam menanggapi pertanyaan, dimana yang terpilih biasanya adalah orang yang cakap menaklukan tes itu. Seandainya Exsara diadakan fit and provert test, yang bisa memenangkan menjadi ketua adalah dia yang paling banyak diketawai, disoraki bahkan dijatuhkan atau digoblok-gobloki. Bukan ahli lawak, bukan gila yang dibuat-buat juga bukan gila sakit jiwa, tapi dia yang gila, tegas dan bertanggungjawab. Itulah Nanang Pratmaji. Tidak perlu ilmu yang mumpuni, tidak perlu kebanyakan teori. Kita harus pandai memimpin maka kita bisa mengendalikan dan memanfaatkan orang yang berilmu. Kita harus praktek dan menjalani dulu nanti baru mendapatkan pengalaman tuk mencocokan teori. Begitulah aku menterjemahkan Nanang.
Dalam setiap pidato dan sambutan kepemimpinannya di Exsara, dapat dirasa hampir ia tidak pernah membahas soal bidang yang ia geluti: sejarah, apa lagi membahas mendalam mengenai materinya. Atau ketika dalam acara diskusi sejarah, Nanang hanya diam atau mampu menjawabnya dengan mereka-reka nalar saja bukan berdasar pengetahuan kognitif. Yang dapat ku mengerti bahwa Nanang memang mencintai sejarah dari segi esensinya dan kearifannyaa saja bukan dari pengetahuan kognitifnya. Buktinya, Nanang menjadi orang yang selalu muncul di permukaan, memimpin Exsara, memimpin KMK, dan ia menjadi penasehat utama ketua PPL di Magelang. Berjuang demi organisasi berarti berjuang demi kepentingan orang banyak, sama seperti perjuangan layaknya para tokoh sejarah, namun ia tak selalu hafal dengan cerita sejarah. Hal ini berlawanan dengan kawanku yang lain bernama Furqan yang seperti orang kekenyangan pengetahuan bahkan kedalaman ilmunya mungkin sudah pada tingkat nano, amat detail, hanya saja dia sulit untuk muncul ke permukaan. Itulah kebalikan dari yang dimiliki Nanang. Namun ketika kedua orang ini bertemu, bukanya kesempurnaan yang tampak, melainkan becanda yang tak pernah usai.
Nanang anak kedua dalam keluarganya, kakak pertama merantau ke Jakarta. Dan Nanang sendiri tinggal di rumah. Sebelum ayahnya meninggal, Nanang adalah tumpuan keluarga yang harus rela sering bolak-balik Semarang – Klaten mengurusi ayahnya yang sudah lemah dan kadang sakit-sakitan. Kepedulian, kebaktian dan kasih sayangnya kepada orang tua sungguh tak terperi. Setelah ayahnya pergi, Nanang tetap tegar menerima kenyataan, bahkan masih sempat-sempatnya ia menegur canda ketika rombongan Exsara dan sejarah 2008 datang untuk taziah malam itu. Menemani Nanang menabahkan hatinya melewatkan malam menjelang pagi pertama ia terbangun tanpa sosok ayah lagi di hidupnya.
Semanjak diangkat sebagai Pemimpin Exsara, peranannya dalam segala hal banyak berubah total. Jika dalam tugas sejarah Eropa ia tak acuh, maka dalam era kekinian ia bisa menjadi sahabat yang solid dalam kelompok. Aku pernah mengajaknya tuk mengambil gambar di seantero Kota Lama Semarang, ku ajak dia menusuri pedalaman Somagede, Banyumas. Belum lagi puluhan ekspedisi yang telah ia jajahi bersama laskar Exsara. Puluhan kali ia menjadi penasehat Ketua-ketua Exsara sesudahnya. Kemampuan intrapersonalnya yang melejit membuatnya selalu menyanggupi setiap tantangan yang menghadangnya: termasuk menjadi panitia KEMAS 2010 yaitu sebagai kakak pendamping. Tantangan besar berikutnya adalah kesanggupan pertisipasinya dalam program SM3T, itu adalah kesempatan langka dan langka peminat, orang ekspeditor sekaliber Nanang tentu memang seharusnya tidak menolak kesempatan itu.
Keahliannya dalam jago berdalih, tidak pernah dilupakan oleh banyak orang yang telah mengenalnya. Apa lagi ketika membawa banyak orang ke depan loket pintu masuk. Selalu ada saja cara yang bisa mengurangi harga tiket masuk. Tidak hanya ketika membawa rombongan anak-anak Exsara, tapi Nanang juga pernah menjadi pahlawan membawa rombongan teman-teman Sejarah 2008 yang ingin liburan menuju Baturaden kala senggang masa-masa KKN Brebes. Di depan Loket ia beralasan “Pak ini kami dari mahasiswa Unnes jurusan sejarah, niatnya mau survey di lokasi ini, karena mungkin suatu saat nanti kami akan mengadakan kegiatan disini, jadi boleh kami minta keringanan biaya tiket masuk??”. Penjaga tiket percaya-percaya saja kerena posisi teman-teman juga sedang menggunakan seragan KKN, alhasil tiket yang seharusnya berharga Rp.10.000/orang menjadi Rp.5000/orang.
Ada juga sifat Nanang yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, khususnya jika berkaitan dengan makanan. Lebih sering terjadi ketika universitas sedang mengadakan event besar. Pertama ketika ada semacam acara pesta selamatan doktoral dari salah satu dosen FIK, Nanang masuk saja padahal di dalamnya berisi pejabat-pejabat kampus, ketika dicegah, Nanang menjawabnya “kami dari pers pak”. “oh ya silahkan masuk” sahut penjaga. Menjelang acara berakhir banyak teman-teman Sejarah 2008 diundangnya ketempat itu, seraya diserbu makanannya. Bahkan Winarso juga sempat mengajak duet biduan yang sedang menggung disitu. Di kasus yang sama, ketika teman-teman penerima beasiswa wajib menyaksikan penganugerahan mahasiswa berprestasi (Mapres) di akhir acara baru ada pembagian snack yang berdesakan, Nanang mengambilnya satu dimasukan ke tasku, masuk dalam kerumunan meminta snack lagi, kaluar, lalu meminta lagi, lagi dan lagi hingga tasku penuh namun tidak ada yang mencurigai. Sebagian dimakan sendiri, sebagian dibagikan ke teman-teman di PKM dan teman Sejarah 2008. Kelihaian serupa juga saat ia bekerja kepada perusahaan catering dan ia mulai beraksi saat ada pesta resepsi. Tak banyak yang diperbuat saat acara berlangsung, namun ketika acara selesai Nanang tidak sungkan-sungkan melahap sisa prasmanan, es, dsb sampai ekastra kenyang. Sedikit kerja tapi banyak memanfaatkan situasi. Dapat disimpulkan, Nanang memang ahli dalam memimpin dan mengorganisir namun pemikirannya tidak selalu lurus. Ada kalanya ia harus bersikap lurus, dan ada kalanya ia harus “ng-edan” seperti hal-hal diatas.
Nanang bagiku adalah benar-benar sosok pemimpin yang tidak pantas mempunyai musuh. Dimanapun ia akrab dengan siapapun, termasuk anak-anak kecil ketika ia di Posko KKN, di Aceh tempat ia mengajar. Siapa lagi yang meng-edan-kan Pak Harso kalau bukan Nanang, Eko?. Pengalaman telah membuktikan kalau Pak Harso baru tampak “ng-edan” ketika sempat mengajar angkatan kami. Pada tahun-tahun sebelumnya beliau memang terlihat serius, murung dan seperti banyak masalah. “ng-edan” telah banyak melenturkan mereka yang kaku.
Tak banyak yang diketahui tentang Nanang oleh teman-teman Sejarah 2008. Yang mereka tahu hanyalah Nanang orangnya tidak pintar-pintar amat, tapi kekeluargaan, humoris, bisa bersahabat dengan siapa saja, dan ia adalah orang yang selamanya tidak akan punya musuh. Mereka tidak akan pernah menyangka tentang apa yang ku tulis diatas. Masih teringat jelas apapun tentang Nanang. Flash back tentangnya mambuatku melamun dan seolah semua kembali ke masa-masa itu.
Masih aku terlihat cupu, masih aku seperti anak udik, masih aku belum punya banyak teman sendirian berjalan menuju ruang 215. Tiba-tiba ada yang mengejar langkahku dari belakang dan menepuk bahuku, aku berhenti dan menoleh, “Gan, gan iki aku gan, Nanang Pratmaji, konco sekelompokmu, Tugas Sejarah Eropa”. . . . . “owalah kowe tho”. .
TAMAT
Lamunan di Sunset Pantai Tirang
15 September 2013 at 12:15
Aku gelisah memandangi ujung laut. Duduk di bongkahan kayu yang malang terdampar. Sesekali kupandangi Winarso dan Nanang sedang bercanda saling bersirat riak ombak. Sekian kali aku bertemu mereka, tapi ini yang paling spesial. Kali ini melibatkan senja yang memerah di Pantai Tirang, Semarang. Siapakah sebenarnya mereka ini?.
Ku lanjutkan lagi lamunanku. Tangan mengusap-usap pasir dalam pandangan kosong. Persis seperti orang habis terdampar. Mengapa aku terdampar disini?, dan dibelakangku ada orang-orang yang sedang memasak, mendirikan tenda, mengumpulkan kayu untuk api unggun, wajah mereka merona seperti tak sabar ingin menyambut malam di pantai.
Mereka menamakan dirinya orang-orang KSG, kemudian mereka menyebutku orang Sejarah. Dan katanya kita semua disini sedang merayakan Hari Bumi, 22 April 2009.
Mengapa aku terdampar disini ??
Semua berawal dari pujian. Lelaki Lengob (lambat berfikir) seperti aku tiba-tiba ditunjuk ikut lomba Olimpiade Ekonomi tingkat Kabupaten. Wajar SMA pinggiran memilih orang kelas teri seperti aku, karena memang adanya teri, tidak ada kakap disana. Diculik guru dipaksa makan kenyang-kenyang mapel Ekonomi. Meski akhirnya tak menang tapi Sekolah masih percaya padaku untuk dikirimkan lagi di tahun depan. Masih dengan tangan kosong yang kudapat. Namun aneh, setelah itu sahabat dan guru memujiku, padahal hanya karena aku dikirim sebagai “Peserta Olimpiade”. Bila mungkin itu akan membuatku sombong, tapi bisikan hati berkata lain, kalau aku memang sebaiknya merunduk. Aku paling malu bila diekspos, atau jadi buah bibir. Ini malah membuatku prengas-prenges (senyum bodoh) dan sebenarnya aku ingin mengatakan “apalah artinya ini? Aku hanyalah ‘peserta’, bukan ‘pemenang’, sebenarnya masih dangkal otakku”.
Mereka tak pernah tahu bahwa bagiku sebuah pujian adalah tanggung jawab besar, bukan bahan bakar kesombongan. Pikirkan jika hasil ujian nanti tidak sesuai dengan pujian. Maka rasanya seperti jatuh dari tower. Tamparan keras.
Ku ikhtiarkan saja tanggungjawab ini, meski terasa berat. Dan itu berhasil membuat nilai-nilai mapel lain semakin membaik dan membaik. Bahkan yang tadinya aku aktivis remidi mapel Sejarah di kelas X dan XI, kini telah bisa keluar dari zona merah itu.
Aku menjadi terbiasa dengan pujian demi pujian. Namun pujian paling berarti bagiku adalah dari Pak Topan, ketika beliau memberi nilai 100 pada teks skenario drama Proklamasi Kemerdekaan garapanku. Ini adalah terbaik yang pernah beliau baca, sambil menepuk bahuku. Dan akhirnya skenario itu didramakan oleh teman-teman. Hingga pada titik kulminasi, aku berhasil mempecundangi nilai Fajar, kawan terkenal yang cerdas untuk mapel Sejarah.
Aku jadi sedikit mencintai mapel sejuta kisah ini. Yang tadinya namaku selalu duduk di zona degradasi, tapi sekarang aku benar-benar merasakan menempati kursi VIP di puncak klasmen mapel Sejarah. Buku-buku sejarah mulai ku lahap. Banyak terjadi pola pikir dalam otakku, cita-cita hidupku juga menjadi semakin plin-plan, bahkan hampir-hampir aku tak tahu ingin menjadi apa. Sebelumnya aku tak ingin menyia-nyiakan kekayaan ilmu Ekonomiku untuk bisa diterima di Jurusan Akuntansi UNSOED. Namun akhirnya, Ekonomi hanya duduk di bangku cadangan. Ada sebuah buku yang telah membiusku dan menuntunku ke suatu jalan, buku itu adalah “The Mass Killers in Century XX”. Buku itulah yang menyeret tanganku untuk mengarungi samudera sejarah. Sedahsyat game “JUMANJI”. Atau mungkin persis sedahsyat buku “Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien” karya Jan Huygen van Linshoten, buku yang konon menjadi penyebab bangsa Barat menjajah Nusantara.
Sejarah telah menyeretku ke kampus C2 dengan menembus jalur black hole SNMPTN. Mangapa buku “The Mass Killers in Century XX”??. Ini adalah buku terkutuk!!, bagi mereka yang tidak mau tahu tentang pahitnya dunia. Buku yang seharusnya menjadi inspirasi rasa syukur bagi generasi sekarang. Bercerita tantang ngerinya dunia di sekitaran abad 20. Jaman-jaman jauh sebelum aku dilahirkan ke dunia. Puluhan juta nyawa melayang akibat genosida, ataupun perang. Aku membayangkan betapa tak berharganya nyawa pada saat itu. Seperti semut-semut yang mati keracunan kapur ajaib, atau seperti ribuan ayamLeghorn masuk ke ruang jagal di sebuah pabrik nuget.
Terpikir bagaimana jika aku hidup pada zaman itu?, mungkin di usia muda ini aku sudah merasakan betapa sakitnya tertembus timah panas, atau merasakan kehilangan satu tangan karena terkena ledakan mortir, mungkin tewas tertusuk bayonet pasukan Sekutu, mungkin aku mati kedinginan saat ikut perang di Stalingrad, mungkin ikut diberondong peluru oleh orang Khmer Merah di Killing Field Kamboja, mungkin aku mati kelaparan karena beras-berasku selalu dirampas penjajah Jepang, atau mungkin aku ikut disembelih di Bali oleh ABRI karena keterlibatanku di PKI. Kurasa Tuhan sedang tidur saat itu?
Aku merasa bahwa menelusuri kisah-kisah masa lalu memang unik. Sampai-sampai aku lupa tentang profesi yang akan kuhadapi, “Keguruan”. Ah tidak, aku orang yang malas berbicara. Aku tipe orang yang paling sering berbicara dengan diriku sendiri. Aku masuk ke Sejarah tidak lain agar aku bisa menyaksikan movie-movie terbaik dari bioskop manapun tentang peristiwa-peristiwa di bumi ini sebelum aku lahir. Dan satu lagi yang unik bahwa Sejarah memang seperti Red Wine, semakin lama usianya maka semakin nikmat. Demikian aku temui jalan mulus untuk duduk manis, diam dan mendengarkan di setiap ruang-ruang gedung Jurusan Sejarah tertua di Provinsi ini.
Jojo-lah orangnya, lelaki bermata agak juling dan berkacamata tebal itulah yang terus membujukku untuk ikut HIMA. Rasanya seperti berangkat dari status Karyawan Harian Lepas (lebih rendah daripada KTT) tiba-tiba naik jabatan menjadi Supervisor. OSIS pun aku tak pernah ikut, tak pernah punya pengalaman organisasi apapun, mungkin hanya pernah ikut sebagai panitia lomba Agustusan di RT itupun pangkatku hanya sebagai Bawang Kotong alias pelengkap-lengkap jumlah personil dan akupun tak berkontribusi apapun.
Menjadi anak HIMA mendapat status yang berbeda dari teman-teman kebanyakan. Ia lebih banyak dikenal oleh kakak kelas dan adik kelas. Mukanya paling sering nongol di acara-acara penting di kampus, hingga dosenpun hafal. Diwaktu sore, jika yang lain sedang bermalas-malasan di kamar kos atau nongkrong cari sinyal Wi-fi di gazebo sementara anak HIMA sedang duduk bersila melingkar dengan anggota lain rapat membahas program, padahal kebanyakan anggota adik kelas hanya “menyimak” saja. Anak HIMA dirasa paling spesial karena ia punya hak dispensasi ijin tidak hadir kuliah. Dan ia juga memiliki prioritas sebagai penerima Beasiswa. Ada pahit dan ada manisnya. Jer Basuki Mawa Bea, alias No Pain No Gain.
Ada acara penanaman Mangroove di Pantai Tirang. Sifatnya volunteer bagi yang mau ikut. Kebetulan sudah lama aku tak liburan kemanapun. Rasanya sangat jenuh. Hingga sebelum acara itu dimulai aku sudah sempat berkhayal tentang bagaimana indahnya acara disana nanti, menanam pohon, melihat pantai, bermalam dengan api unggun dan tenda. Hanya aku, mas Zaenal dan mas Fiston saja yang menyanggupi. Kami hanya duduk dari sisi mushola FIS, menyangga dagu masing-masing, mengamati teman-teman KSG yang sedang mengangkat-angkat barang ke truk sebelum pemberangkatan. “Ah kayane nggak ada yang dikenal lho, apa bali baen njuh lha” cletukan kata-kata mas Zaenal itu menurunkan mentalku. Payahnya mas Fiston malah nyanyi lagu “Setuju”. Aku mangkel dengan keputusan mereka, biar begitu aku memutuskan untuk tetap ikut. Tak peduli aku tak berteman disana, atau barangkali aku malah dapat teman. Sesuatu yang sempat kukhayalkan keindahannya dan hampir kesampaian itu jika dibatalkan rasanya benar-benar mengecewakan. Seperti senggama yang di tunda di tengah jalan, kecewa berat pasti.
Ketika semua sudah masuk truk, beruntung, tiba-tiba Nanang dan Sastro yang sedang berboncengan sehabis ikut acara Musafir, melihatku di bak truk belakang waktu itu. “Tenang wae Gan, mengko sore tak susul karo Nanang”. “Sip!!!”.
Dalam hitungan sekian tahun, aku baru kembali kali ini melihat pantai. Sastro dan Nanang menepati janjinya sore itu dan aku kembali tak sendirian. Mereka berdua melepaskan dahagaku yang haus akan adanya teman. Betul memang, persahabatan akan terasa berbeda jika setting latar kita berada di tempat yang indah. Semua akan terasa lebih mesra. Ini adalah sebuah inspirasi.
Rasa lelah penanaman Mangroove tadi siang terobati oleh indahnya sunset senja memerah di ufuk barat. Dan kehadiran dua manusia dari dunia peri itu, akan membawa banyak perubahan dalam hidupku di masa yang akan datang.
SEKIAN
Catatan:
Im comin’ home, Im comin’ home
Tell the world I comin’ home
Let the rain, wash away all the pain of yesterday
I know my kingdom awaits
They’ll forgivin’ my mistake
Im comin’ home, Im comin’ home
Tell the world I comin’ home.
[Coming Home – By: Diddy featuring Skylar Grey]
The END
Tulisan ini atas pesanan dari Divisi Merpati Press Exsara 2013. Sebuah warisan untuk mengenang para Vamsakerta Exsara. Nantikan tentang tokoh selanjutnya
Ku lanjutkan lagi lamunanku. Tangan mengusap-usap pasir dalam pandangan kosong. Persis seperti orang habis terdampar. Mengapa aku terdampar disini?, dan dibelakangku ada orang-orang yang sedang memasak, mendirikan tenda, mengumpulkan kayu untuk api unggun, wajah mereka merona seperti tak sabar ingin menyambut malam di pantai.
Mereka menamakan dirinya orang-orang KSG, kemudian mereka menyebutku orang Sejarah. Dan katanya kita semua disini sedang merayakan Hari Bumi, 22 April 2009.
Mengapa aku terdampar disini ??
Semua berawal dari pujian. Lelaki Lengob (lambat berfikir) seperti aku tiba-tiba ditunjuk ikut lomba Olimpiade Ekonomi tingkat Kabupaten. Wajar SMA pinggiran memilih orang kelas teri seperti aku, karena memang adanya teri, tidak ada kakap disana. Diculik guru dipaksa makan kenyang-kenyang mapel Ekonomi. Meski akhirnya tak menang tapi Sekolah masih percaya padaku untuk dikirimkan lagi di tahun depan. Masih dengan tangan kosong yang kudapat. Namun aneh, setelah itu sahabat dan guru memujiku, padahal hanya karena aku dikirim sebagai “Peserta Olimpiade”. Bila mungkin itu akan membuatku sombong, tapi bisikan hati berkata lain, kalau aku memang sebaiknya merunduk. Aku paling malu bila diekspos, atau jadi buah bibir. Ini malah membuatku prengas-prenges (senyum bodoh) dan sebenarnya aku ingin mengatakan “apalah artinya ini? Aku hanyalah ‘peserta’, bukan ‘pemenang’, sebenarnya masih dangkal otakku”.
Mereka tak pernah tahu bahwa bagiku sebuah pujian adalah tanggung jawab besar, bukan bahan bakar kesombongan. Pikirkan jika hasil ujian nanti tidak sesuai dengan pujian. Maka rasanya seperti jatuh dari tower. Tamparan keras.
Ku ikhtiarkan saja tanggungjawab ini, meski terasa berat. Dan itu berhasil membuat nilai-nilai mapel lain semakin membaik dan membaik. Bahkan yang tadinya aku aktivis remidi mapel Sejarah di kelas X dan XI, kini telah bisa keluar dari zona merah itu.
Aku menjadi terbiasa dengan pujian demi pujian. Namun pujian paling berarti bagiku adalah dari Pak Topan, ketika beliau memberi nilai 100 pada teks skenario drama Proklamasi Kemerdekaan garapanku. Ini adalah terbaik yang pernah beliau baca, sambil menepuk bahuku. Dan akhirnya skenario itu didramakan oleh teman-teman. Hingga pada titik kulminasi, aku berhasil mempecundangi nilai Fajar, kawan terkenal yang cerdas untuk mapel Sejarah.
Aku jadi sedikit mencintai mapel sejuta kisah ini. Yang tadinya namaku selalu duduk di zona degradasi, tapi sekarang aku benar-benar merasakan menempati kursi VIP di puncak klasmen mapel Sejarah. Buku-buku sejarah mulai ku lahap. Banyak terjadi pola pikir dalam otakku, cita-cita hidupku juga menjadi semakin plin-plan, bahkan hampir-hampir aku tak tahu ingin menjadi apa. Sebelumnya aku tak ingin menyia-nyiakan kekayaan ilmu Ekonomiku untuk bisa diterima di Jurusan Akuntansi UNSOED. Namun akhirnya, Ekonomi hanya duduk di bangku cadangan. Ada sebuah buku yang telah membiusku dan menuntunku ke suatu jalan, buku itu adalah “The Mass Killers in Century XX”. Buku itulah yang menyeret tanganku untuk mengarungi samudera sejarah. Sedahsyat game “JUMANJI”. Atau mungkin persis sedahsyat buku “Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien” karya Jan Huygen van Linshoten, buku yang konon menjadi penyebab bangsa Barat menjajah Nusantara.
Sejarah telah menyeretku ke kampus C2 dengan menembus jalur black hole SNMPTN. Mangapa buku “The Mass Killers in Century XX”??. Ini adalah buku terkutuk!!, bagi mereka yang tidak mau tahu tentang pahitnya dunia. Buku yang seharusnya menjadi inspirasi rasa syukur bagi generasi sekarang. Bercerita tantang ngerinya dunia di sekitaran abad 20. Jaman-jaman jauh sebelum aku dilahirkan ke dunia. Puluhan juta nyawa melayang akibat genosida, ataupun perang. Aku membayangkan betapa tak berharganya nyawa pada saat itu. Seperti semut-semut yang mati keracunan kapur ajaib, atau seperti ribuan ayamLeghorn masuk ke ruang jagal di sebuah pabrik nuget.
Terpikir bagaimana jika aku hidup pada zaman itu?, mungkin di usia muda ini aku sudah merasakan betapa sakitnya tertembus timah panas, atau merasakan kehilangan satu tangan karena terkena ledakan mortir, mungkin tewas tertusuk bayonet pasukan Sekutu, mungkin aku mati kedinginan saat ikut perang di Stalingrad, mungkin ikut diberondong peluru oleh orang Khmer Merah di Killing Field Kamboja, mungkin aku mati kelaparan karena beras-berasku selalu dirampas penjajah Jepang, atau mungkin aku ikut disembelih di Bali oleh ABRI karena keterlibatanku di PKI. Kurasa Tuhan sedang tidur saat itu?
Aku merasa bahwa menelusuri kisah-kisah masa lalu memang unik. Sampai-sampai aku lupa tentang profesi yang akan kuhadapi, “Keguruan”. Ah tidak, aku orang yang malas berbicara. Aku tipe orang yang paling sering berbicara dengan diriku sendiri. Aku masuk ke Sejarah tidak lain agar aku bisa menyaksikan movie-movie terbaik dari bioskop manapun tentang peristiwa-peristiwa di bumi ini sebelum aku lahir. Dan satu lagi yang unik bahwa Sejarah memang seperti Red Wine, semakin lama usianya maka semakin nikmat. Demikian aku temui jalan mulus untuk duduk manis, diam dan mendengarkan di setiap ruang-ruang gedung Jurusan Sejarah tertua di Provinsi ini.
Jojo-lah orangnya, lelaki bermata agak juling dan berkacamata tebal itulah yang terus membujukku untuk ikut HIMA. Rasanya seperti berangkat dari status Karyawan Harian Lepas (lebih rendah daripada KTT) tiba-tiba naik jabatan menjadi Supervisor. OSIS pun aku tak pernah ikut, tak pernah punya pengalaman organisasi apapun, mungkin hanya pernah ikut sebagai panitia lomba Agustusan di RT itupun pangkatku hanya sebagai Bawang Kotong alias pelengkap-lengkap jumlah personil dan akupun tak berkontribusi apapun.
Menjadi anak HIMA mendapat status yang berbeda dari teman-teman kebanyakan. Ia lebih banyak dikenal oleh kakak kelas dan adik kelas. Mukanya paling sering nongol di acara-acara penting di kampus, hingga dosenpun hafal. Diwaktu sore, jika yang lain sedang bermalas-malasan di kamar kos atau nongkrong cari sinyal Wi-fi di gazebo sementara anak HIMA sedang duduk bersila melingkar dengan anggota lain rapat membahas program, padahal kebanyakan anggota adik kelas hanya “menyimak” saja. Anak HIMA dirasa paling spesial karena ia punya hak dispensasi ijin tidak hadir kuliah. Dan ia juga memiliki prioritas sebagai penerima Beasiswa. Ada pahit dan ada manisnya. Jer Basuki Mawa Bea, alias No Pain No Gain.
Ada acara penanaman Mangroove di Pantai Tirang. Sifatnya volunteer bagi yang mau ikut. Kebetulan sudah lama aku tak liburan kemanapun. Rasanya sangat jenuh. Hingga sebelum acara itu dimulai aku sudah sempat berkhayal tentang bagaimana indahnya acara disana nanti, menanam pohon, melihat pantai, bermalam dengan api unggun dan tenda. Hanya aku, mas Zaenal dan mas Fiston saja yang menyanggupi. Kami hanya duduk dari sisi mushola FIS, menyangga dagu masing-masing, mengamati teman-teman KSG yang sedang mengangkat-angkat barang ke truk sebelum pemberangkatan. “Ah kayane nggak ada yang dikenal lho, apa bali baen njuh lha” cletukan kata-kata mas Zaenal itu menurunkan mentalku. Payahnya mas Fiston malah nyanyi lagu “Setuju”. Aku mangkel dengan keputusan mereka, biar begitu aku memutuskan untuk tetap ikut. Tak peduli aku tak berteman disana, atau barangkali aku malah dapat teman. Sesuatu yang sempat kukhayalkan keindahannya dan hampir kesampaian itu jika dibatalkan rasanya benar-benar mengecewakan. Seperti senggama yang di tunda di tengah jalan, kecewa berat pasti.
Ketika semua sudah masuk truk, beruntung, tiba-tiba Nanang dan Sastro yang sedang berboncengan sehabis ikut acara Musafir, melihatku di bak truk belakang waktu itu. “Tenang wae Gan, mengko sore tak susul karo Nanang”. “Sip!!!”.
Dalam hitungan sekian tahun, aku baru kembali kali ini melihat pantai. Sastro dan Nanang menepati janjinya sore itu dan aku kembali tak sendirian. Mereka berdua melepaskan dahagaku yang haus akan adanya teman. Betul memang, persahabatan akan terasa berbeda jika setting latar kita berada di tempat yang indah. Semua akan terasa lebih mesra. Ini adalah sebuah inspirasi.
Rasa lelah penanaman Mangroove tadi siang terobati oleh indahnya sunset senja memerah di ufuk barat. Dan kehadiran dua manusia dari dunia peri itu, akan membawa banyak perubahan dalam hidupku di masa yang akan datang.
SEKIAN
Catatan:
- Enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 24 Oktober 2009 kami bertiga dan beberapa teman seangkatan bertekad mendirikan organisasi kecil: Ekssara, yang dideklarasikan di tepian kebun teh, malam hari di Promasan. Sebuah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan, kecuali jika terkena pikun.
- Dalam waktu dekat nama Ekssara diubah menjadi Exsara, kemudian aku ditunjuk Nanang sebagai kepala Divisi Merpati tanpa ada inaugurasi. Akhir bulan Oktober 2009, Exsara berhasil menerbitkan buletin pertama kalinya bernama “Buleexs” yang disebarkan di C2 dan penjuru PKM di Unnes. Fakta uniknya: para loper Buleexs ini beroperasi tengah malam dari PKM ke PKM sambil menukar sandal jeleknya dengan sandal yang lebih bagus.
- Tanggal 23 Desember 2009 aku menulis gugatan kontroversial dan kukirimkan ke seluruh inbok teman-teman HIMA 2008-2009 bahkan Pak Arif. Gugatan itu berjudul“Divide et Impera”, guna menyangkal prasangka buruk publik tentang Exsara, menyindir sekaligus mengkritik pihak-pihak tertentu yang memfitnah Exsara. Berkat tulisan itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku diteror untuk dihajar oleh kakak kelas. Tapi itu Cuma teror. Revolusi memang pedih. (Demi menjaga keharmonisan dari kedua belah pihak, akhirnya tulisan gugatan ini, diarsipkan secara rahasia, dan tidak dipublikasikan kembali)
- Satu tahun kemudian, tanggal 14 November 2010 aku secara resmi meletakkan jabatanku sebagai Kepala Divisi Merpati dan digantikan oleh Irfan Udin (’09) yang dipilih secara penunjukan dan aklamasi.
- Selang 2 bulan kedepan tanggal 11 Januari 2011 (11/1/11), aku bersama Lutfi Amiq (Ketua Exsara saat itu) adalah orang pertama yang menulis AD-ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) untuk Exsara, sebagai dasar Organisasi dan sebagai persiapan metamorfosis dari komunitas menuju kelembagaan resmi (BSO), di kepemimpinan HIMA yang akan datang. AD-ART ini dikerjakan dan selesai di Kost Dian Ratna kamar No.42 pukul 21:36. Dengan begitu Exsara telah memiliki kaki dan mengabarkan pada dunia bahwa sekarang Exsara bukan lagi roh yang bergentayangan.
- Di tengah menjalankan tugasnya, Irfan turut terkena “Winarso’s Haters Syndrome” atau sindrom pembenci Winarso, sehingga dia tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan melakukan desersi. Untuk sementara aku kembali taking overmembimbing Divisi Merpati untuk kepengurusan darurat hingga musyawarah anggota berikutnya, baru secara resmi tepat posisiku digantikan oleh Marlina.
- Tanggal 22 September 2012, sekaligus hari-hari bebasku menuju wisuda, aku menyempatkan diri menemani Exsara yang telah tumbuh subur untuk acara Lawatan sejarah di Kota Semarang. Perkenalan dan sambutanku kepada calon anggota baru Exsara di taman Tugu Muda menjadi sambutan terakhirku di Exsara saat itu.
- Pada ulang tahun Exsara yang ke-3 (24 Oktober 2012), kami hanya menyempatkan makan bersama sederhana di Angkringan sego kucing tikungan patemon depan masjid, bersama Sastro, Agung, Bayu, Slamet, Ipul, dll. Ini adalah terakhir kaliku dalam kebersamaan dengan Exsara.
- Tepat tanggal 30 Oktober 2012 pagi aku telah pergi tanpa pamit meninggalkan Exsara, meninggalkan jurusan Sejarah, meninggalkan teman-teman, dan meninggalkan Kota Semarang beserta peradabannya.
- Selamat tinggal Semarang, Selamat datang Purbalingga
Im comin’ home, Im comin’ home
Tell the world I comin’ home
Let the rain, wash away all the pain of yesterday
I know my kingdom awaits
They’ll forgivin’ my mistake
Im comin’ home, Im comin’ home
Tell the world I comin’ home.
[Coming Home – By: Diddy featuring Skylar Grey]
The END
Tulisan ini atas pesanan dari Divisi Merpati Press Exsara 2013. Sebuah warisan untuk mengenang para Vamsakerta Exsara. Nantikan tentang tokoh selanjutnya
Aris Fajar Yulianto: Dari Budak Menjadi Kadiv SosBudAg
21 November 2013 at 18:31
Aku sudah lupa mulai dari titik mana aku mulai akrab dengan Aris. Dan aku juga tak menyangka, orang sependiam dan sekalem aku tiba-tiba bersahabat akrab dengannya. Aku sendiri pernah berprediksi akan berteman dengan kawan sesama kalem atau bahkan rohis. Betul, awal semester aku giat ikut mentoring KAP dan sempat akrab dan dididik oleh gembong rohis nomor wahid di Unnes seperti mas Luqmanul Hakim (Sekjen KAMMI) dan mas M. Nur Sodiq (Eks Presma Unnes). Sementara pergaulanku di kampus juga memilih teman yang kalem seperti: Bagas kembar, Yudha, Harry (waktu masih jadi orang kalem), Puji Slamet dan Dwi Setyo.
Dari hati aku pernah mem-black list Aris sebagai calon sahabat. Dia orangnya cerewet dan banyak komentar, terutama untuk hal-hal yang tidak serius. Persis seperti karakter tokoh “Sid” dalam film ICE AGE. Aku punya pengalaman, sebagai orang cupu dan kalem jika bergaul dengan orang yang banyak omong, biasanya hanya akan dikucilkan, djaili, dikerjai. Makanya awalnya aku agak malas bergaul dengan orang seperti Aris. Namun sebaliknya jika yang mendominasi adalah orang yang serius, maka orang seperti Aris adalah sasaran empuk untuk dijaili. Siapa maba 2008 yang tidak kenal Aris saat PPA?. Karena kecerewetannya, ia menjadi maba paling heboh saat di C7 lantai 3. Semua risih mendengarnya, Aris sebagai maba yang paling cemlang-cemlong (ceplas-ceplos bahasa mBanyumasan). Tak salah, ia sering kena tunjuk mas Fatkhan (Ketua BEM FIS) untuk berdiri di depan, dihukum, dipermalukan. Dalam hati aku puas mengumpat “Mampus!, Mampus!, Rasakanlah itu Ris!”
***
Tapi Tuhan berkehendak lain, mungkin sang pencipta tidak ingin aku terus menerus menjadi orang yang datar dan lurus. Maka Dia menjadikan Aris sebagai kawan akrabku agar aku bisa sedikit agak gila, seperti sekarang ini. Aris menjadi salah satu teman yang ikut membentuk karakterku, otomatis aku sepakat dengan teori tabula rasa. Aris secara tidak langsung telah mengajarkanku tentang empat hal.
Pertama, sebagaimana manusia itu seharusnya Pde, tidak menutup diri, tidak mengurung diri dan tidak malu-malu, ada kalanya kita harus berani melepaskan ekspresi kita agar dunia ikut tersenyum, disini kita akan menemukan makna keceriaan. Kedua, Aris salah satu teman yang menyadarkanku akan hukum kekekalan energinya Einstein bahwa energi yang dikeluarkan akan sama dengan energi yang didapat. Ketika kita mengeluarkan energi untuk membantu seseorang maka energi itu akan kembali pula kepada kita. Aku pernah membantu Aris mengerjakan tugas kuliahnya sementara dirinya hanya epleh-epleh atau berleha-leha, ternyata suatu saat dia mau membantuku membawakan pindahan seabrag barang-barang kosku dari Setanjung ke Kalimasada bagai kuli. Juga ketika dia meminta bantuan hutang, setelah dilunasi ternyata dia mau membantuku jelan-jalan ke Gramedia menjadi ojeg gratis, dsb. Itulah yang dinamakan teman sejati. Sederhananyanya itu adalah inisiatif balas budi. Ketiga, Aris mengajariku bahwa sikap merendah diri dan pura-pura bodoh adalah cara untuk memperoleh dan disukai banyak teman.
Kemudian yang Keempat, adalah pelajaran tentang kisah cinta Aris. Jika kekalahan Rusia atas Jepang 1914 telah menginspirasi nasionalisme orang Asia bahwa mereka juga memiliki kesempatan sama untuk menang melawan penjajah ras Eropa. Maka kemenangan cinta seorang Aris kepada Normanuel telah menginspirasi pemuda-pemuda lain bahwa tampang bukan lagi menjadi alasan minder untuk memperoleh wanita cantik. Melalui Aris, seolah para seniman cinta telah menemukan teori baru. Kini kita tidak usah lagi terheran-heran melihat fenomena “beauty and the beast” (si cantik dan si buruk rupa) kalau lagi jalan-jalan di tempat rekreasi. Tidak perlu dibahas disini, langsung saja tanyakan ke orangnya.
Tingkahnya yang cukup cerewet itu membuat lama-lama teman-temannya menganggap dia memang humoris. Tak ayal saat menjadi peserta Kemas 2008 ia bersama teman-teman segrupnya menampilkan parodi acara Empat Mata dimana Aris berperan sebagai Tukul nya. Sebenarnya ia bukan orang yang banyak omong. Frasa “banyak omong” barangkali sering berkonotasi negatif, karena biasanya diartikan sebagai menyombongkan diri melalui kata-kata yang omong kosong. Sementara Aris bukan tipe orang yang menyombongkan diri, melainkan dia cerewet berbicara tentang hal yang justru merendahkan diri sendiri. Tak salah, hingga kini ia mengoleksi banyak nama panggilan hina untuk dirinnya, ada yang memanggilnya: Kethék, Blék, Coro, Celengan. Lantas itu tidak membuatnya terhina, berontak, ataupun marah justru dia merasa nyaman karena baginya itu adalah indikasi akrabnya persahabatan. Tapi nampaknya ada satu panggilan yang tidak disukainya yaitu “Dabor” atau harfiahnya berasal dari kata “Dandhang Bocor”. Filosofinya bermula gara-gara dia terus menerus nyerocos ketika mendaki Gunung Ungaran di ultah Exsara ke-2. Saking banyaknya kata-kata yang dikeluarkan di perjalanan sampai-sampai ia membocorkan aib kisah cintannya Harry, aib kisah cintanya Sastro juga aib kisah cintanya Aji, dan semua ceritanya didengar semua adik kelas dan maba. “Wah, bocor iki Aris!” kata Harry. Sedangkan Dandhang adalah alat masak yang berwarna gelap dan nyaring bunyinya jika dipukul, memang mewakili personifikasinya Aris. Jadilah Dabor atau dandhang bocor. Bahkan Sastro pernah memposting foto kepalanya Aris yang di-crop dan tubuhnya diganti dengan dandhang. Nemun berhubung sepertinya Aris tidak antusias dengan julukan barunya ini. Maka Dabor tidak seabadi julukan-julukan hinanya yang lain. Aris benar-benar orang yang dowo ususe, soal ini. Namun bermula dari rasa rendah dirinya inilah yang kemudian menjadi suatu cikal bakal munculnya mental mental “budak” dalam dirinya.
Entah mulai kapan ia bersekutu dengan Sastro. Semester awal Aris diajak Sastro untuk ikut Menwa. Setidaknya mereka hanya iseng karena bila diterima di Menwa mereka akan memperoleh penghidupan gratis di markas. Siapapun memang sulit menolak jika sudah jatuh dalam pengaruh bujukan Sastro, apalagi Aris yang masih bagai air di atas daun keladi. Ikutlah mereka dalam pradiksar. Sastro justru gugur di tengah jalan, perkara tidak kuat dan kapok. Sementara Aris justru telah terperangkap dalam kubangan kedisiplinan karena telah kuat melewati ujian dan cobaan. Terdengar lucu memang, yang mengajak malah gugur dan yang diajak malah berhasil padahal penuh dengan keterpaksaan. Soal fisik memang pemuda berkulit hitam ini saat itu cukup kuat dan agresif seperti Yaya Toure atau Claude Makalele eks pemain Madrid.
Resmi sudah Aris menjadi menwa, bukan gadungan, bukan jadi-jadian dan bukan sekedar mengaku-aku saja. Memang sangat cocok sekali Aris sudah berbalut seragam hijau militer satuan 902, dan mengenakan baret ungu. Bisa dibayangkan lah tentu ia lebih sangar dari Sintong Panjaitan, lebih garang daripada kolonel Alex Kawilarang dan kebringasannya seakan lebih bringas daripada tampang perompak Somalia. Menwa sebenarnya tak lebihnya seperti Cakrabirawanya kampus, ia adalah pasukan pengawal pejabat-pejabat kampus, tapi disisi lain ia juga terkadang seperti Banser atau Kamtibmas yang selalu menertibkan setiap acara-acara besar di kampus. Merekalah prajuritnya kampus. Menjadi Menwa keuntungannya adalah menjadi terkenal oleh semua pejabat kampus dan tentu lebih dimurahkan soal IP nya. Aris bisa jadi lebih dihormati oleh pak Subagyo sendiri ketimbang mas Fatkhannya.
Menjadi Menwa adalah peningkatan harga diri bagi Aris. Tapi di sisi lain ia mengalami penderitaan di dalamnya. Setiap kali saja mbolos tidak ke markas untuk satu hari saja, esoknya dipanggil komandan, diinterogasi dan dikenakan hukuman fisik. Ia menjadi sedikit tertutup dengan teman-teman kampus, terlalu banyak kegiatan didalamnya seperti lari sore, pencak silat. Bahkan seringkali dibengisi oleh aktivis. Kedisiplinan selama di markas sangat ketat, ia bolak balik merasakan ditendang, dimaki, dihukum. Ia diperlakukan lagi bukan selayaknya kesatria tapi seperti tawanan perang. Merasa tersiksa. Inilah kemudian menjadi titik jenuh bagi Aris. Kapok betul dia, menjadi Menwa sebenarnya sama halnya dengan militer, ia tidak diperkenankan untuk keluar dari organisasi selama masih terikat dengan administrasi kampus. Aris memutuskan untuk desersi atau kabur dari Menwa. Metode desersi baginya lebih terhormat daripada metode di-persona non grata-kan. Kembalilah Aris ke alam bebas, keluar dari perbudakan militer di kampusnya.
Bulan-bulanan ia menjadi buron. Dicari-cari komandannya. Ketika sedang berkeliaran di Unnes Ia selalu menghindar dari eks markasnya yang waktu itu lokasinya masih di samping BRI. Jika berurusan ke rektorat atau auditorium lebih baik lewat Banaran atau lewat Patemon ketimbang lewat samping MIPA. Pernah akhirnya ia ketahuan ketika kosnya di Cempakasari Timur, untungnya mereka tak menemukan Aris, bodohnya mereka tidak mencoba datang lain waktu tapi malah menitipkan sebuah surat kepada temannya Aris di kos. Aris selalu menyembunyikan dan tidak mau menceritakan apa isi surat itu kepada kami, yang jelas ia terlihat begitu cemas bukan main seperti orang yang divonis hukuman mati. Sehingga ia pindah kos ke tempat yang lebih terpencil. Amanlah dia. Beruntung, Menwa tidak ada kuasa semisal meminta ijin kepada pak Arif untuk menangkap Aris ketika sedang kuliah atau mencabut status kelulusannya perkara berurusan dengan Menwa.
Ketika telah aman tinggal di Kos barunya, komandan yang terus memburu Aris kebetulan telah lulus kuliah dan komandan yang baru adalah sekutunya sendiri sebagai kawan seangkatannya, dulu. Pulas sudah tidur Aris. Semenjak tinggal di kos barunya, dadanya yang tadinya bidang dan terukir karena saking banyaknya push-up, lama lama kembali kendor. Perutnya apalagi, yang tadinya six-pack karena kebanyakan sit-up sekarang berubah menjadi one-pack bahkan cenderung buncit.
***
Perkara desersi dari Menwa belum sepenuhnya menuntaskan tantangan hidup yang dialaminya. Sebagai pelarian dari Menwa ia masuk ke Hima, tetapi bukan sebagai fungsionaris melainkan tenaga sukarela untuk membantu kepanitiaan Kemas 2009. Peralihan dari Menwa menjadi aktivis adalah produk langka. Aris ditunjuk mba Diyah Ari sebagai Disman, ia lakoni tugas ini bersama mba Ika van Persie. Ia benar-benar giat mengikuti rapat persiapan Kemas maupun simulasinya. Lebih giat ketimbang aku sendiri yang membolos berhari-hari karena hampir kehilangan gairah. Penampilannya sebagai juru bentakpun menurutku masih cukup terlihat ganas sebagai seorang ekspatriat Satuan 902. Tapi entah mengapa mba Diyah masih kurang puas dan selalu meliputi tawa ketika Aris sedang memaki maba. “Ris, koe dadi dadi Disman kui ojo koyo Tukul!!” tukasnya ketika sedang evaluasi. Mungkin saja karena mba Diyah masih teringat-ingat terus penampilan parodinya Aris saat digembleng Kemas 2008.
Tak sudah-sudahnya Aris merasa puas dalam pelarian. Ia seperti orang yang habis mentas dari neraka kemudian terbirit-birit lari bumi, sebagai rasa penyesalannya maka ia rela hidup miskin menyerahkan semua hartanya demi jihad fisabillilah. Atau seperti TKI yang melarikan diri dari majikan jahatnya di Malaysia kemudian pulang ke kampungnya rela bekerja apa saja apakah itu sebagai tukang becak atau sebagai penarik gerobak asal ia tidak kembali menjadi TKI. Itulah gambarannya, Aris ingin menyembunyikan diri dari Menwa dengan menyibukkan diri dengan aktivitas kampus. Setelah rela diperbudak menjadi Disman dalam acara Kemas 2009, Aris melanjutkan pelariannya tetap di Hima sebagai tenaga sukarela lagi untuk acara Kompetisi Sejarah. Tapi kali ini lebih parah, akupun tidak nenyangkanya. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa ditempatkan di posisi itu dalam sebuah event. Suatu saat kami semua dibagi tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing, semua terhening mendengarkan baik-baik mba Diyah sebagai Ketua Hima membacakan putusan penugasan untuk anak buahnya. Ketika tiba gilirannya untuk Aris, sang Ketua Hima pun bertitah “Aris, ketika acara berlangsung nanti kamu saya tugaskan untuk mengatur parkir!”.
***
Persis sebelum rezim Diyah Ari berakhir. Ini adalah masa-masa kejayaan kami. Mudah saja menaklukan hati Aris untuk ikut muncak ke Gunung Ungaran kemudian ikut semangat mendirikan Exsara. Aku benar-benar pusing memikirkannya betapa Aris adalah orang yang tidak bisa diam selama naik maupun turun gunung. Ia selalu nyeplos sekenanya sendiri, meski tak ada yang bertanya atau mengajaknya bicara, atau bahasaku menyebutnya dengan “ngromed dewek”. Seperti tidak tahan untuk diam. Sudah hampir seperti orang autis, dan seringkali mengucapkan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Saat itu Aris ngoceh sendiri kurang lebih begini:
“Brimob, brindil mobat-mabit. Brimob, brindil mobat-mabit. Adhem-adhem koyo ngene enake nandur munthul. Ngerti nandur munthul po ora, Gan??”
“Iya, mudheng aku, Ris!” jawabku ringan karena dalam kondisi capek
“Iya, Iya, IYO!!!, Iya PaK, Iya PaK, PaK Sodiq, PaK SodiQ, Gondho. . . . Gondho” tiba-tiba Aris ngoceh sendiri seperti robot Arale yang sedang konslet, menirukan gaya dialek bahasa mBanyumasan ku dengan mengucapkan kata “Pak” dimana huruf “K”nya dilafalkan sangat jelas. Benar-benar tidak penting.
Kemudian dilanjutkan ia menyanyi sendiri “Ya, Allah Gusti paringono bojo ingkang seksi”, itu adalah lagu ngarang yang diplesetkan sendiri, padahal yang sebenarnya nada itu dimiliki oleh lirik “Tombo Ati ono limo perkarane”.
Begitulah serba-serbi ketidak jelasan Aris yang patut kami tertawakan, hingga gelak canda tawa kami mendaulat keheningan hutan pinus Gunung Ungaran sore itu.
***
Kemenangan Sastro dan Anggoro menjadi ketua HIMA 2009 membawa angin sejuk bagi Exsara. Termasuk bagi pendiri-pendirinya. Harry, Feby, Marwan, termasuk Aris diangkat derajatnya oleh Sastro. Harry memang kelanjutan dari rezim lama, sedang aku, Nanang dan Aji memilih tidak bergabung di HIMA demi fokus menghidupkan Exsara. Sementara Feby, Marwan dan Aris adalah eks relawan yang dinaikan pangkatnya. Ibarat sebuah kompi militer, mereka bertiga sebenarnya adalah warga sipil yang mendaftarkan diri sebagai relawan tukang-tukang pijat prajurit. Namun semenjak Sastro jadi Komandan justru mereka resmi direkrut menjadi satuan militer bukan lagi warga sipil, tidak cukup sampai disitu bahkan Komandan Sastro menaikan pangkat mereka meloncat menjadi Letnan Dua. Bisa dibayangkan, meski mereka berasal dari golongan relawan tapi justru mereka kuakui memang lebih kontributif ketimbang staf-staf ahli di HIMA sendiri termasuk aku. Pantas saja Sastro mengangkat mereka menjadi Kadep-Kadep dan Wakadep di HIMA.
Melalui Exsara seolah-olah Sastro membabi buta ingin mengangkat derajat rekan-rekan seperjuangannya tinggi-tinggi. Ini adalah kesempatan baginya untuk meninggikan mereka yang selalu tertindas. Terutama Aris, Sastro menunjuknya sebagai Kepala Divisi Sosbudag (sosial, budaya dan agama). Tidak hanya itu, sebenarnya Aris juga telah ditunjuk sekaligus sebagai Pimpinan Redaksi Buletin Exsara untuk sepanjang masa jabatan kami. Hal ini sebenarnya ditujukan untuk menjungkirbalikan perasaan rezim Hima kemarin yang terlalu merendahkan Aris. Kita bisa lihat ketua HIMA kemarin melongo termangu-mangu melihat Aris yang pernah ditunjuk sebagai tukang parkir olehnya kini berposisi sebagai PimRed Buletin Exsara yang telah tersebar luas di jurusan sejarah maupun di PKM seuniversitas. Aku sebagai Ketua Divisi Merpati, bukan malah iri dengan posisi Aris akan tetapi tertawa terpingkal-pingkal membayangkan bagaimana perasaan orang yang telah menginjak-injak Aris itu. Sebagai pimpinan redaksi saat itu Aris sebenarnya hanya berperan sebagai pencari iklan, dan berhasil memperoleh sekitar seratus ribu rupiah, masalah kebijakan dan isi tetap berada di tangan kami sebagai Divisi Merpati.
Bolehlah Aris sedikit bisa menaikan dagu. Berkat Sastro ia telah bebas dari “perbudakan”. Namun sayang sekali aku tak mengikuti persis perkembangan politik HIMA di era kepemimpinan Sastro. Tapi konon pemerintahan mereka pecah secara damai antara golongn Exsara dan non-Exsara, sehingga personil HIMA banyak berkurang. Mereka harus mati-matian melanjutkan program-program departemennya, dan semua bisa ditangani dengan lancar tanpa hambatan yang berarti.
Semangat Exsara takkan pernah mengempis, meski diperas untuk mengelola dua organisasi sekaligus. Exsara telah tumbuh cukup kompleks terdiri dari berbagai divisinya yang dibentuk mulai tanggal 5-6 Desember 2009. Boleh diakui, variasi divisi-divisi ini tidak lain adalah bentukannya Sastro sendiri yang disetujui oleh para pendiri, dimana salahsatunya terdapat divisi SosBudag (Sosial, Budaya dan Agama). Arislah yang ditunjuk sebagai pemegang tanggungjawab misi divisi ini. Sebagaimana organisasi ekspedisi sejarah seharusnya juga peka terhadap kondisi sosial sekitar, menghindari segala keangkuhan dengan masyarakat dan budayanya serta menghormati multikulturalisme beragama. Makanya Exsara membutuhkan sebuah inisiatif hal-hal seperti ini, yaitu memanusiakan sesama manusia dibawah semangat Exsara. Prinsipnya sebenarnya hampir mirip dengan Departemen C di HIMA. Oleh karena itu, divisi ini kurang begitu berperan besar di Exsara karena semua gagasan dan gerakannya seolah telah di-merge dengan Departemen C. Apalagi kondisi saat itu dominasi HIMA berada di pihak Exsara, sehingga divisi Sosbudag tidak usah disibukan memikirkan program kerjanya. Mereka lebih senang melakukan aksi sosialnya dengan mengatasnamakan Departemen C ketimbang Sosbudag. Mungkin cerita akan banyak berbeda di divisi Sosbudag jika HIMA bukan dibawah dominasi Exsara.
Semenjak kenaikan pangkat, peran Aris baik di HIMA maupun di Exsara sedikit tersamarkan. Yang terlihat hanyalah dia yang rajin berangkat rapat-rapat dan mengikuti agenda tour Exsara serta pandai menasehati, menyemangati anggotannya. Aku, Sastro dan Aris adalah sama-sama pengagum militer. Namun diantara kami bertiga mungkin hanya Arislah yang benar-benar berjiwa militer, mungkin karena kerakter ke-Menwa-anya belum hilang. Sastro menyukai militer, tapi manifestasinya sebatas menyukai produk Army Look saja, sifat disiplinnya tidak ada. Semantara aku menyukai militer terutama kehebatan dari peran Nugroho Notosusanto yang mampu mendoktrin bangsa selama Orde baru hanya melalui historiografi, manifestasinya aku suka menulis memberi makan pikiran-pikiran orang. Namun Aris memang berbeda, ia menyukai peran-peran para tokoh militer yang sempat berperang melawan penjajah maupun pemberontak, aktualisasinya ia sangat mencintai RI apapun keadaannya, meski ia bermental budak namun pola hidupnya termasuk disiplin jarang begadang, kamar rapi, ketakwaannya stabil, serta sifat tegasnya cukup membuat orang enggan mendebatnya. Arislah satu-satunya orang yang mampu menentang kehendak Sastro, misalnya saja saat diksar 2010 (angkatannya Gesang, dkk) dimana Sastro mengusulkan konsumsinya sebungkus nasi untuk berdua. Alasannya untuk mendidik dan menguji kemampuan survival serta sifat solidaritas dan kepedulian sesamanya, namun Aris menentangnya lantang-lantang “Ilmu dari mana itu, Tro!. Apa itu bukan yang namanya penganiayaan? Kita tidak sedang mengajari mereka untuk tirakat. Saya yang pernah dididik di Menwa yang militeris itupun mereka selalu menjamin ketersediaan pangan dan gizi!!”. Meskipun Aris orangnya humoris, bermental budak dan suka ceplas-ceplos tapi ada kalanya dia menunjukan ekspresi diri yang ditakuti orang.
Dewasa ini, kita tentu telah sering melihat Aris tidak seperti apa yang aku ceritakan diatas. Tentu ia kini telah banyak berubah. Lebih kalem, lebih mandito (mendekatkan diri kepada Tuhan). Tentu hal ini ia lakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan-tantangan hebat di depan: skripsi, kelulusan dan karir. Aris tiba-tiba menjadi pengamat politik dan militer paling jeli. Ia sekarang bisa diajak berdiskusi tentang persoalan bangsa dengan sangat serius. Mungkin tidak akan cukup memalukan jika Aris dikirim untuk ikut berkomentar di acara Indonesian Lawyers Club. Inilah nilai plus dirinya dibanding Nanang maupun Harry. Setiap kali nongkrong hotspotan aku amati hal yang paling Aris cari adalah berita-berita politik, dan yang kedua adalah mengunduh video dangdut koplo.
Penampilan fisiknya pun banyak berubah, tidak lagi fashionable dan neko-neko. Akhir-akhir itu Aris selalu berpenampilan sopan dengan celana hitam, kemeja dimasukan, sepatu pantofel, mengenakan jam tangan, serta membawa tas jinjing. Benar-benar seperti pegawai yang pulang baru saja di PHK. Atau malah ia seperti sedang merindukan masa lalunya yang pernah menjadi Menwa, dimana selalu terlihat disiplin, rapi dan gagah.
***
Segenap kisah Aris bersama kami, justru mengingatkanku akan kisah tokoh Bilal bin Rabah, sahabat Rasulullah. Dia adalah seorang muslim, tapi dia seorang budak negro milik kafir Umayyah bin Khalaf. Bilal selalu diinjak-injak harga dirinya bahkan selalu disiksa sekeras-kerasnya oleh Umayyah hanya karena Bilal mengikuti ajaran Rasulullah. Namun keajaibanpun datang ketika Abu Bakar memerdekakannya dari perbudakan dengan membayar 10 keping emas kepada Umayyah. Ia menjadi tokoh muslim yang sangat inspiratif, dari budak hingga dimuliakan menjadi sahabat yang dicintai oleh Rasulullah, menjadi muadzin terindah, ikut berjihad dll. Aris memang takkan bisa dibandingkan dengan Bilal, akan tetapi pesan hidupnya memperjuangkan diri dan Exsara seolah sama dengannya yang ikut memperjuangkan Islam. Dari Budak menjadi Kadiv SosBudAg.
Periode pemerintahan HIMA dan Exsara oleh angkatan kami lambat laun digantikan oleh generasi-generasi baru. Pengaruh kami lambat laun menghilang, dan yang selalu terkenang adalah sejarahnya. Dan sejarahpun juga memiliki keterbatasan. Ada sebuah jawaban dari Aris yang cukup filosofis dan menggugah mata hati dari diri saya sebagai penulis, yaitu ketika ia ditanya “Ris, gebrakan apa yang pernah kamu lakukan selama di HIMA maupun di Exsara?”. Aris hanya menjawab “Gerbakan opo, Gan, aku ga pernah gawe gebrakan opo-opo?”. Akupun bingung, apakah ini yang dimaksud dengan keterbatasan sejarah, dimana Aris sudah tidak mengingat lagi apa yang telah ia lakukan. Ataukah ia sedang mengujiku dengan kalimat isyarat seperti itu bahwa sebenarnya ia sedang tidak ingin memamerkan dirinya sendiri menutupi pencitraan. Namun cukup berbahaya juga bagi mereka yang tak tahu apa-apa tentang Aris, jawaban tadi itu hanya akan memperpanjang presepsi mental “budak” nya. Makna “budak” disini tidaklah sekotor konotasinya, bagiku ia bermakna: ekspresi rendah diri. Begitulah memang Aris, ia adalah orang paling rendah diri sedunia.
***
Padamara, 17 November 2013
Dari hati aku pernah mem-black list Aris sebagai calon sahabat. Dia orangnya cerewet dan banyak komentar, terutama untuk hal-hal yang tidak serius. Persis seperti karakter tokoh “Sid” dalam film ICE AGE. Aku punya pengalaman, sebagai orang cupu dan kalem jika bergaul dengan orang yang banyak omong, biasanya hanya akan dikucilkan, djaili, dikerjai. Makanya awalnya aku agak malas bergaul dengan orang seperti Aris. Namun sebaliknya jika yang mendominasi adalah orang yang serius, maka orang seperti Aris adalah sasaran empuk untuk dijaili. Siapa maba 2008 yang tidak kenal Aris saat PPA?. Karena kecerewetannya, ia menjadi maba paling heboh saat di C7 lantai 3. Semua risih mendengarnya, Aris sebagai maba yang paling cemlang-cemlong (ceplas-ceplos bahasa mBanyumasan). Tak salah, ia sering kena tunjuk mas Fatkhan (Ketua BEM FIS) untuk berdiri di depan, dihukum, dipermalukan. Dalam hati aku puas mengumpat “Mampus!, Mampus!, Rasakanlah itu Ris!”
***
Tapi Tuhan berkehendak lain, mungkin sang pencipta tidak ingin aku terus menerus menjadi orang yang datar dan lurus. Maka Dia menjadikan Aris sebagai kawan akrabku agar aku bisa sedikit agak gila, seperti sekarang ini. Aris menjadi salah satu teman yang ikut membentuk karakterku, otomatis aku sepakat dengan teori tabula rasa. Aris secara tidak langsung telah mengajarkanku tentang empat hal.
Pertama, sebagaimana manusia itu seharusnya Pde, tidak menutup diri, tidak mengurung diri dan tidak malu-malu, ada kalanya kita harus berani melepaskan ekspresi kita agar dunia ikut tersenyum, disini kita akan menemukan makna keceriaan. Kedua, Aris salah satu teman yang menyadarkanku akan hukum kekekalan energinya Einstein bahwa energi yang dikeluarkan akan sama dengan energi yang didapat. Ketika kita mengeluarkan energi untuk membantu seseorang maka energi itu akan kembali pula kepada kita. Aku pernah membantu Aris mengerjakan tugas kuliahnya sementara dirinya hanya epleh-epleh atau berleha-leha, ternyata suatu saat dia mau membantuku membawakan pindahan seabrag barang-barang kosku dari Setanjung ke Kalimasada bagai kuli. Juga ketika dia meminta bantuan hutang, setelah dilunasi ternyata dia mau membantuku jelan-jalan ke Gramedia menjadi ojeg gratis, dsb. Itulah yang dinamakan teman sejati. Sederhananyanya itu adalah inisiatif balas budi. Ketiga, Aris mengajariku bahwa sikap merendah diri dan pura-pura bodoh adalah cara untuk memperoleh dan disukai banyak teman.
Kemudian yang Keempat, adalah pelajaran tentang kisah cinta Aris. Jika kekalahan Rusia atas Jepang 1914 telah menginspirasi nasionalisme orang Asia bahwa mereka juga memiliki kesempatan sama untuk menang melawan penjajah ras Eropa. Maka kemenangan cinta seorang Aris kepada Normanuel telah menginspirasi pemuda-pemuda lain bahwa tampang bukan lagi menjadi alasan minder untuk memperoleh wanita cantik. Melalui Aris, seolah para seniman cinta telah menemukan teori baru. Kini kita tidak usah lagi terheran-heran melihat fenomena “beauty and the beast” (si cantik dan si buruk rupa) kalau lagi jalan-jalan di tempat rekreasi. Tidak perlu dibahas disini, langsung saja tanyakan ke orangnya.
Tingkahnya yang cukup cerewet itu membuat lama-lama teman-temannya menganggap dia memang humoris. Tak ayal saat menjadi peserta Kemas 2008 ia bersama teman-teman segrupnya menampilkan parodi acara Empat Mata dimana Aris berperan sebagai Tukul nya. Sebenarnya ia bukan orang yang banyak omong. Frasa “banyak omong” barangkali sering berkonotasi negatif, karena biasanya diartikan sebagai menyombongkan diri melalui kata-kata yang omong kosong. Sementara Aris bukan tipe orang yang menyombongkan diri, melainkan dia cerewet berbicara tentang hal yang justru merendahkan diri sendiri. Tak salah, hingga kini ia mengoleksi banyak nama panggilan hina untuk dirinnya, ada yang memanggilnya: Kethék, Blék, Coro, Celengan. Lantas itu tidak membuatnya terhina, berontak, ataupun marah justru dia merasa nyaman karena baginya itu adalah indikasi akrabnya persahabatan. Tapi nampaknya ada satu panggilan yang tidak disukainya yaitu “Dabor” atau harfiahnya berasal dari kata “Dandhang Bocor”. Filosofinya bermula gara-gara dia terus menerus nyerocos ketika mendaki Gunung Ungaran di ultah Exsara ke-2. Saking banyaknya kata-kata yang dikeluarkan di perjalanan sampai-sampai ia membocorkan aib kisah cintannya Harry, aib kisah cintanya Sastro juga aib kisah cintanya Aji, dan semua ceritanya didengar semua adik kelas dan maba. “Wah, bocor iki Aris!” kata Harry. Sedangkan Dandhang adalah alat masak yang berwarna gelap dan nyaring bunyinya jika dipukul, memang mewakili personifikasinya Aris. Jadilah Dabor atau dandhang bocor. Bahkan Sastro pernah memposting foto kepalanya Aris yang di-crop dan tubuhnya diganti dengan dandhang. Nemun berhubung sepertinya Aris tidak antusias dengan julukan barunya ini. Maka Dabor tidak seabadi julukan-julukan hinanya yang lain. Aris benar-benar orang yang dowo ususe, soal ini. Namun bermula dari rasa rendah dirinya inilah yang kemudian menjadi suatu cikal bakal munculnya mental mental “budak” dalam dirinya.
Entah mulai kapan ia bersekutu dengan Sastro. Semester awal Aris diajak Sastro untuk ikut Menwa. Setidaknya mereka hanya iseng karena bila diterima di Menwa mereka akan memperoleh penghidupan gratis di markas. Siapapun memang sulit menolak jika sudah jatuh dalam pengaruh bujukan Sastro, apalagi Aris yang masih bagai air di atas daun keladi. Ikutlah mereka dalam pradiksar. Sastro justru gugur di tengah jalan, perkara tidak kuat dan kapok. Sementara Aris justru telah terperangkap dalam kubangan kedisiplinan karena telah kuat melewati ujian dan cobaan. Terdengar lucu memang, yang mengajak malah gugur dan yang diajak malah berhasil padahal penuh dengan keterpaksaan. Soal fisik memang pemuda berkulit hitam ini saat itu cukup kuat dan agresif seperti Yaya Toure atau Claude Makalele eks pemain Madrid.
Resmi sudah Aris menjadi menwa, bukan gadungan, bukan jadi-jadian dan bukan sekedar mengaku-aku saja. Memang sangat cocok sekali Aris sudah berbalut seragam hijau militer satuan 902, dan mengenakan baret ungu. Bisa dibayangkan lah tentu ia lebih sangar dari Sintong Panjaitan, lebih garang daripada kolonel Alex Kawilarang dan kebringasannya seakan lebih bringas daripada tampang perompak Somalia. Menwa sebenarnya tak lebihnya seperti Cakrabirawanya kampus, ia adalah pasukan pengawal pejabat-pejabat kampus, tapi disisi lain ia juga terkadang seperti Banser atau Kamtibmas yang selalu menertibkan setiap acara-acara besar di kampus. Merekalah prajuritnya kampus. Menjadi Menwa keuntungannya adalah menjadi terkenal oleh semua pejabat kampus dan tentu lebih dimurahkan soal IP nya. Aris bisa jadi lebih dihormati oleh pak Subagyo sendiri ketimbang mas Fatkhannya.
Menjadi Menwa adalah peningkatan harga diri bagi Aris. Tapi di sisi lain ia mengalami penderitaan di dalamnya. Setiap kali saja mbolos tidak ke markas untuk satu hari saja, esoknya dipanggil komandan, diinterogasi dan dikenakan hukuman fisik. Ia menjadi sedikit tertutup dengan teman-teman kampus, terlalu banyak kegiatan didalamnya seperti lari sore, pencak silat. Bahkan seringkali dibengisi oleh aktivis. Kedisiplinan selama di markas sangat ketat, ia bolak balik merasakan ditendang, dimaki, dihukum. Ia diperlakukan lagi bukan selayaknya kesatria tapi seperti tawanan perang. Merasa tersiksa. Inilah kemudian menjadi titik jenuh bagi Aris. Kapok betul dia, menjadi Menwa sebenarnya sama halnya dengan militer, ia tidak diperkenankan untuk keluar dari organisasi selama masih terikat dengan administrasi kampus. Aris memutuskan untuk desersi atau kabur dari Menwa. Metode desersi baginya lebih terhormat daripada metode di-persona non grata-kan. Kembalilah Aris ke alam bebas, keluar dari perbudakan militer di kampusnya.
Bulan-bulanan ia menjadi buron. Dicari-cari komandannya. Ketika sedang berkeliaran di Unnes Ia selalu menghindar dari eks markasnya yang waktu itu lokasinya masih di samping BRI. Jika berurusan ke rektorat atau auditorium lebih baik lewat Banaran atau lewat Patemon ketimbang lewat samping MIPA. Pernah akhirnya ia ketahuan ketika kosnya di Cempakasari Timur, untungnya mereka tak menemukan Aris, bodohnya mereka tidak mencoba datang lain waktu tapi malah menitipkan sebuah surat kepada temannya Aris di kos. Aris selalu menyembunyikan dan tidak mau menceritakan apa isi surat itu kepada kami, yang jelas ia terlihat begitu cemas bukan main seperti orang yang divonis hukuman mati. Sehingga ia pindah kos ke tempat yang lebih terpencil. Amanlah dia. Beruntung, Menwa tidak ada kuasa semisal meminta ijin kepada pak Arif untuk menangkap Aris ketika sedang kuliah atau mencabut status kelulusannya perkara berurusan dengan Menwa.
Ketika telah aman tinggal di Kos barunya, komandan yang terus memburu Aris kebetulan telah lulus kuliah dan komandan yang baru adalah sekutunya sendiri sebagai kawan seangkatannya, dulu. Pulas sudah tidur Aris. Semenjak tinggal di kos barunya, dadanya yang tadinya bidang dan terukir karena saking banyaknya push-up, lama lama kembali kendor. Perutnya apalagi, yang tadinya six-pack karena kebanyakan sit-up sekarang berubah menjadi one-pack bahkan cenderung buncit.
***
Perkara desersi dari Menwa belum sepenuhnya menuntaskan tantangan hidup yang dialaminya. Sebagai pelarian dari Menwa ia masuk ke Hima, tetapi bukan sebagai fungsionaris melainkan tenaga sukarela untuk membantu kepanitiaan Kemas 2009. Peralihan dari Menwa menjadi aktivis adalah produk langka. Aris ditunjuk mba Diyah Ari sebagai Disman, ia lakoni tugas ini bersama mba Ika van Persie. Ia benar-benar giat mengikuti rapat persiapan Kemas maupun simulasinya. Lebih giat ketimbang aku sendiri yang membolos berhari-hari karena hampir kehilangan gairah. Penampilannya sebagai juru bentakpun menurutku masih cukup terlihat ganas sebagai seorang ekspatriat Satuan 902. Tapi entah mengapa mba Diyah masih kurang puas dan selalu meliputi tawa ketika Aris sedang memaki maba. “Ris, koe dadi dadi Disman kui ojo koyo Tukul!!” tukasnya ketika sedang evaluasi. Mungkin saja karena mba Diyah masih teringat-ingat terus penampilan parodinya Aris saat digembleng Kemas 2008.
Tak sudah-sudahnya Aris merasa puas dalam pelarian. Ia seperti orang yang habis mentas dari neraka kemudian terbirit-birit lari bumi, sebagai rasa penyesalannya maka ia rela hidup miskin menyerahkan semua hartanya demi jihad fisabillilah. Atau seperti TKI yang melarikan diri dari majikan jahatnya di Malaysia kemudian pulang ke kampungnya rela bekerja apa saja apakah itu sebagai tukang becak atau sebagai penarik gerobak asal ia tidak kembali menjadi TKI. Itulah gambarannya, Aris ingin menyembunyikan diri dari Menwa dengan menyibukkan diri dengan aktivitas kampus. Setelah rela diperbudak menjadi Disman dalam acara Kemas 2009, Aris melanjutkan pelariannya tetap di Hima sebagai tenaga sukarela lagi untuk acara Kompetisi Sejarah. Tapi kali ini lebih parah, akupun tidak nenyangkanya. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa ditempatkan di posisi itu dalam sebuah event. Suatu saat kami semua dibagi tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing, semua terhening mendengarkan baik-baik mba Diyah sebagai Ketua Hima membacakan putusan penugasan untuk anak buahnya. Ketika tiba gilirannya untuk Aris, sang Ketua Hima pun bertitah “Aris, ketika acara berlangsung nanti kamu saya tugaskan untuk mengatur parkir!”.
***
Persis sebelum rezim Diyah Ari berakhir. Ini adalah masa-masa kejayaan kami. Mudah saja menaklukan hati Aris untuk ikut muncak ke Gunung Ungaran kemudian ikut semangat mendirikan Exsara. Aku benar-benar pusing memikirkannya betapa Aris adalah orang yang tidak bisa diam selama naik maupun turun gunung. Ia selalu nyeplos sekenanya sendiri, meski tak ada yang bertanya atau mengajaknya bicara, atau bahasaku menyebutnya dengan “ngromed dewek”. Seperti tidak tahan untuk diam. Sudah hampir seperti orang autis, dan seringkali mengucapkan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Saat itu Aris ngoceh sendiri kurang lebih begini:
“Brimob, brindil mobat-mabit. Brimob, brindil mobat-mabit. Adhem-adhem koyo ngene enake nandur munthul. Ngerti nandur munthul po ora, Gan??”
“Iya, mudheng aku, Ris!” jawabku ringan karena dalam kondisi capek
“Iya, Iya, IYO!!!, Iya PaK, Iya PaK, PaK Sodiq, PaK SodiQ, Gondho. . . . Gondho” tiba-tiba Aris ngoceh sendiri seperti robot Arale yang sedang konslet, menirukan gaya dialek bahasa mBanyumasan ku dengan mengucapkan kata “Pak” dimana huruf “K”nya dilafalkan sangat jelas. Benar-benar tidak penting.
Kemudian dilanjutkan ia menyanyi sendiri “Ya, Allah Gusti paringono bojo ingkang seksi”, itu adalah lagu ngarang yang diplesetkan sendiri, padahal yang sebenarnya nada itu dimiliki oleh lirik “Tombo Ati ono limo perkarane”.
Begitulah serba-serbi ketidak jelasan Aris yang patut kami tertawakan, hingga gelak canda tawa kami mendaulat keheningan hutan pinus Gunung Ungaran sore itu.
***
Kemenangan Sastro dan Anggoro menjadi ketua HIMA 2009 membawa angin sejuk bagi Exsara. Termasuk bagi pendiri-pendirinya. Harry, Feby, Marwan, termasuk Aris diangkat derajatnya oleh Sastro. Harry memang kelanjutan dari rezim lama, sedang aku, Nanang dan Aji memilih tidak bergabung di HIMA demi fokus menghidupkan Exsara. Sementara Feby, Marwan dan Aris adalah eks relawan yang dinaikan pangkatnya. Ibarat sebuah kompi militer, mereka bertiga sebenarnya adalah warga sipil yang mendaftarkan diri sebagai relawan tukang-tukang pijat prajurit. Namun semenjak Sastro jadi Komandan justru mereka resmi direkrut menjadi satuan militer bukan lagi warga sipil, tidak cukup sampai disitu bahkan Komandan Sastro menaikan pangkat mereka meloncat menjadi Letnan Dua. Bisa dibayangkan, meski mereka berasal dari golongan relawan tapi justru mereka kuakui memang lebih kontributif ketimbang staf-staf ahli di HIMA sendiri termasuk aku. Pantas saja Sastro mengangkat mereka menjadi Kadep-Kadep dan Wakadep di HIMA.
Melalui Exsara seolah-olah Sastro membabi buta ingin mengangkat derajat rekan-rekan seperjuangannya tinggi-tinggi. Ini adalah kesempatan baginya untuk meninggikan mereka yang selalu tertindas. Terutama Aris, Sastro menunjuknya sebagai Kepala Divisi Sosbudag (sosial, budaya dan agama). Tidak hanya itu, sebenarnya Aris juga telah ditunjuk sekaligus sebagai Pimpinan Redaksi Buletin Exsara untuk sepanjang masa jabatan kami. Hal ini sebenarnya ditujukan untuk menjungkirbalikan perasaan rezim Hima kemarin yang terlalu merendahkan Aris. Kita bisa lihat ketua HIMA kemarin melongo termangu-mangu melihat Aris yang pernah ditunjuk sebagai tukang parkir olehnya kini berposisi sebagai PimRed Buletin Exsara yang telah tersebar luas di jurusan sejarah maupun di PKM seuniversitas. Aku sebagai Ketua Divisi Merpati, bukan malah iri dengan posisi Aris akan tetapi tertawa terpingkal-pingkal membayangkan bagaimana perasaan orang yang telah menginjak-injak Aris itu. Sebagai pimpinan redaksi saat itu Aris sebenarnya hanya berperan sebagai pencari iklan, dan berhasil memperoleh sekitar seratus ribu rupiah, masalah kebijakan dan isi tetap berada di tangan kami sebagai Divisi Merpati.
Bolehlah Aris sedikit bisa menaikan dagu. Berkat Sastro ia telah bebas dari “perbudakan”. Namun sayang sekali aku tak mengikuti persis perkembangan politik HIMA di era kepemimpinan Sastro. Tapi konon pemerintahan mereka pecah secara damai antara golongn Exsara dan non-Exsara, sehingga personil HIMA banyak berkurang. Mereka harus mati-matian melanjutkan program-program departemennya, dan semua bisa ditangani dengan lancar tanpa hambatan yang berarti.
Semangat Exsara takkan pernah mengempis, meski diperas untuk mengelola dua organisasi sekaligus. Exsara telah tumbuh cukup kompleks terdiri dari berbagai divisinya yang dibentuk mulai tanggal 5-6 Desember 2009. Boleh diakui, variasi divisi-divisi ini tidak lain adalah bentukannya Sastro sendiri yang disetujui oleh para pendiri, dimana salahsatunya terdapat divisi SosBudag (Sosial, Budaya dan Agama). Arislah yang ditunjuk sebagai pemegang tanggungjawab misi divisi ini. Sebagaimana organisasi ekspedisi sejarah seharusnya juga peka terhadap kondisi sosial sekitar, menghindari segala keangkuhan dengan masyarakat dan budayanya serta menghormati multikulturalisme beragama. Makanya Exsara membutuhkan sebuah inisiatif hal-hal seperti ini, yaitu memanusiakan sesama manusia dibawah semangat Exsara. Prinsipnya sebenarnya hampir mirip dengan Departemen C di HIMA. Oleh karena itu, divisi ini kurang begitu berperan besar di Exsara karena semua gagasan dan gerakannya seolah telah di-merge dengan Departemen C. Apalagi kondisi saat itu dominasi HIMA berada di pihak Exsara, sehingga divisi Sosbudag tidak usah disibukan memikirkan program kerjanya. Mereka lebih senang melakukan aksi sosialnya dengan mengatasnamakan Departemen C ketimbang Sosbudag. Mungkin cerita akan banyak berbeda di divisi Sosbudag jika HIMA bukan dibawah dominasi Exsara.
Semenjak kenaikan pangkat, peran Aris baik di HIMA maupun di Exsara sedikit tersamarkan. Yang terlihat hanyalah dia yang rajin berangkat rapat-rapat dan mengikuti agenda tour Exsara serta pandai menasehati, menyemangati anggotannya. Aku, Sastro dan Aris adalah sama-sama pengagum militer. Namun diantara kami bertiga mungkin hanya Arislah yang benar-benar berjiwa militer, mungkin karena kerakter ke-Menwa-anya belum hilang. Sastro menyukai militer, tapi manifestasinya sebatas menyukai produk Army Look saja, sifat disiplinnya tidak ada. Semantara aku menyukai militer terutama kehebatan dari peran Nugroho Notosusanto yang mampu mendoktrin bangsa selama Orde baru hanya melalui historiografi, manifestasinya aku suka menulis memberi makan pikiran-pikiran orang. Namun Aris memang berbeda, ia menyukai peran-peran para tokoh militer yang sempat berperang melawan penjajah maupun pemberontak, aktualisasinya ia sangat mencintai RI apapun keadaannya, meski ia bermental budak namun pola hidupnya termasuk disiplin jarang begadang, kamar rapi, ketakwaannya stabil, serta sifat tegasnya cukup membuat orang enggan mendebatnya. Arislah satu-satunya orang yang mampu menentang kehendak Sastro, misalnya saja saat diksar 2010 (angkatannya Gesang, dkk) dimana Sastro mengusulkan konsumsinya sebungkus nasi untuk berdua. Alasannya untuk mendidik dan menguji kemampuan survival serta sifat solidaritas dan kepedulian sesamanya, namun Aris menentangnya lantang-lantang “Ilmu dari mana itu, Tro!. Apa itu bukan yang namanya penganiayaan? Kita tidak sedang mengajari mereka untuk tirakat. Saya yang pernah dididik di Menwa yang militeris itupun mereka selalu menjamin ketersediaan pangan dan gizi!!”. Meskipun Aris orangnya humoris, bermental budak dan suka ceplas-ceplos tapi ada kalanya dia menunjukan ekspresi diri yang ditakuti orang.
Dewasa ini, kita tentu telah sering melihat Aris tidak seperti apa yang aku ceritakan diatas. Tentu ia kini telah banyak berubah. Lebih kalem, lebih mandito (mendekatkan diri kepada Tuhan). Tentu hal ini ia lakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan-tantangan hebat di depan: skripsi, kelulusan dan karir. Aris tiba-tiba menjadi pengamat politik dan militer paling jeli. Ia sekarang bisa diajak berdiskusi tentang persoalan bangsa dengan sangat serius. Mungkin tidak akan cukup memalukan jika Aris dikirim untuk ikut berkomentar di acara Indonesian Lawyers Club. Inilah nilai plus dirinya dibanding Nanang maupun Harry. Setiap kali nongkrong hotspotan aku amati hal yang paling Aris cari adalah berita-berita politik, dan yang kedua adalah mengunduh video dangdut koplo.
Penampilan fisiknya pun banyak berubah, tidak lagi fashionable dan neko-neko. Akhir-akhir itu Aris selalu berpenampilan sopan dengan celana hitam, kemeja dimasukan, sepatu pantofel, mengenakan jam tangan, serta membawa tas jinjing. Benar-benar seperti pegawai yang pulang baru saja di PHK. Atau malah ia seperti sedang merindukan masa lalunya yang pernah menjadi Menwa, dimana selalu terlihat disiplin, rapi dan gagah.
***
Segenap kisah Aris bersama kami, justru mengingatkanku akan kisah tokoh Bilal bin Rabah, sahabat Rasulullah. Dia adalah seorang muslim, tapi dia seorang budak negro milik kafir Umayyah bin Khalaf. Bilal selalu diinjak-injak harga dirinya bahkan selalu disiksa sekeras-kerasnya oleh Umayyah hanya karena Bilal mengikuti ajaran Rasulullah. Namun keajaibanpun datang ketika Abu Bakar memerdekakannya dari perbudakan dengan membayar 10 keping emas kepada Umayyah. Ia menjadi tokoh muslim yang sangat inspiratif, dari budak hingga dimuliakan menjadi sahabat yang dicintai oleh Rasulullah, menjadi muadzin terindah, ikut berjihad dll. Aris memang takkan bisa dibandingkan dengan Bilal, akan tetapi pesan hidupnya memperjuangkan diri dan Exsara seolah sama dengannya yang ikut memperjuangkan Islam. Dari Budak menjadi Kadiv SosBudAg.
Periode pemerintahan HIMA dan Exsara oleh angkatan kami lambat laun digantikan oleh generasi-generasi baru. Pengaruh kami lambat laun menghilang, dan yang selalu terkenang adalah sejarahnya. Dan sejarahpun juga memiliki keterbatasan. Ada sebuah jawaban dari Aris yang cukup filosofis dan menggugah mata hati dari diri saya sebagai penulis, yaitu ketika ia ditanya “Ris, gebrakan apa yang pernah kamu lakukan selama di HIMA maupun di Exsara?”. Aris hanya menjawab “Gerbakan opo, Gan, aku ga pernah gawe gebrakan opo-opo?”. Akupun bingung, apakah ini yang dimaksud dengan keterbatasan sejarah, dimana Aris sudah tidak mengingat lagi apa yang telah ia lakukan. Ataukah ia sedang mengujiku dengan kalimat isyarat seperti itu bahwa sebenarnya ia sedang tidak ingin memamerkan dirinya sendiri menutupi pencitraan. Namun cukup berbahaya juga bagi mereka yang tak tahu apa-apa tentang Aris, jawaban tadi itu hanya akan memperpanjang presepsi mental “budak” nya. Makna “budak” disini tidaklah sekotor konotasinya, bagiku ia bermakna: ekspresi rendah diri. Begitulah memang Aris, ia adalah orang paling rendah diri sedunia.
***
Padamara, 17 November 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)