Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Friday, September 14, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 7]


Potret-potret masa laluku di Dian Ratna hanya teringat di kepala, tak sampai terabadikan dalam gambar-gambar baik tentang persahabatanku dengan Noval, Andis atau dengan ilmuwan-ilmuwan cerdas Marham, Ponco, Deny dll. Hanya saja aku sempat berfoto di depan pintu kamarku, kamar no.42. Tapi rasanya itu tak akan cukup untuk merekonstruksi sejarah. Let the dead be dead.

Di Semarang, aku terlahir di Dian Ratna, tapi mungkin aku takkan berakhir di disana juga. Ini lah mengapa catatan “Dari Setanjung ke Kalimasada” menjadi penting bagiku. Gerilyawan Che Guevara terlahir di Argentina, berjuang demi Revolusi di Kuba sekaligus menjadi negarawan disana, dan ia tertangkap da mati dieksekusi di Bolivia, itulah mengapa ia menjadi begitu terkenal. Ketidakonsistenan tidak selalu menjadi hal yang buruk selama ia punya alasan rasional meski tidak secara yuridis, apakah demi kemanusiaan atau demi survival.

Aku pindah ke Jl. Kalimasada karena alasan survival, ini adalah strategi ekonomisku. Seandainya tidak pindah mugkin aku akan membayar 1,7 juta lagi, padahal aku akan menempuh 3 bulan saja, maka kerugian yang bisa dihitung sebesar Rp 1455.000. Namun dengan pindah ke Jl.Kalimasada (kontrakannya Winarso) aku hanya mengeluarkan dana Rp. 250000 + 75000 = Rp.325000, jelas menghemat sebesar Rp 1130.000 atau kira kira 77,6% dari dana yang seharusnya dikeluarkan.

Dari mimnimalisir dana itu tentu aku telah memikirkan sebuah konsekuensi. Kawanku Aris sebelumnya telah mengabarkan, jika aku memilih tinggal di kontrakannya Winarso itu maka aku akan bergaul dengan orang-orang yang sama sekali tidak satu disiplin denganku. Itu menandakan bahwa idealismeku akan kembali diuji apakah aku akan tetap pada kebiasaanku seperti di Dian Ratna atau aku akan mengikuti arus begitu saja berangkulan dan mengikuti gerakan mereka bersama sama sekompak penari tarian Seudati (Aceh).Quod sumus, hoc eritis?  (as we are you shall be?).

Aku tidak ingin menantikan apa yang akan terjadi. Sekarang aku telah berada di depan rumah kontrakan itu, Jl. Kalimasada No.43. Raut mukaku penuh dengan kebohongan kalau aku merasa tidak apa-apa dan seolah aku akan betah tinggal di rumah ini. Sebelum masuk, kupandang sejenak rumah ini dari sisi kanan dan sisi kiri mencoba menebak-nebak tentang bagaimana karakter penghuninya.

“Penghuninya tentu bukan orang culun”, itu predksi pertamaku. Orang culun memiliki azas “jangan pernah terlihat menonjol soal penampilan”, baik orang culun yang kaya maupun orang culun yang miskin tidak pernah menonjolkan diri soal apa yang disandangnya. Jika berpakaian secara sekilas terlihat sangat plain (polos) dan sangat biasa, karena ia sangat tidak senang jika ia menjadi magnet sorotan mata setiap orang. Jika ia menjadi magnet sorotan mata setiap orang maka ia akan jatuh ke dalam jebakan salah tingkah, merasa paranoid, merasa tidak nyaman, rasanya ingin menangis dan lari sekencang-kencangnya meninggalkan perhatian dari mereka. Jadi, orang culun adalah penyamar yang baik dan kebalikan dari sifat para selebriti. Coba pikirkan, tidak ada seorang intelijen yang sok selebriti.

Orang culun paham batas kewajaran. Jadi tentu bisa dibedakan antara orang culun yang dibuat-buat dengan orang culun yang murni. Jika menjumpai penempilan culun bergaya retro atau bergaya ala Betty Lafea tentu itu bukanlah orang culun yang murni, tapi culun yang dibuat-buat. Aku anggap kontrakan baru ini memang tidak dirawat oleh orang culun. Coba melihat sebuah dekorasi di sebelah pintu, terdapat roda tiga yang berjajar dan semuanya diberi tangan, dan berumbai-rumbai. Aku tak mengerti apa makna dibalik itu, tapi dekorasi yang tidak terlalu besar itu membuat suasana kontrakan ini dari kejauhan nampak seram, bukan seram seperti berhantu, tetapi seram bagaikan markas surganya orang gila yang lusuh. Dinding depan berbalut cat merah, lantai semen, sangat kusam, penuh debu dan di sana sini retak dan terbongkah. Belum lagi di teras tergeletak beberapa motor Piagio Vespa, ada Vespa yang masih terlihat standar, ada Vespa yang terlihat asal-asalan motor, berwarna hitam doff mirip semut hitam yang gigitannya paling menyakitkan, dan satu lagi ada Vespa gembel yang semrawut dan tak enak dipandang mata,  Vespa ini sampingnya disambung dibuatkan tempat duduk baru yang beroda. Mirip motor-motor yang dipakai para serdadu di Perang Dunia II atau mirip motor dalam game Road Rash di PS. Ada satu hal lagi yang yang menampakkan bahwa kontrakan ini bukan dihuni oleh orang culun, yaitu kursi tamu yang seluruh isi perutnya acak-acakan keluar.

Tidakkah menarik perhatian  bagi siapa saja yang lewat?? Setiap mata pasti terhipnotis dan memproyeksikan ke dalam otak mereka “Penghuni macam apa membuat kesan depan seperti itu”. Bahkan kemarin (14.09.12) kawanku Idris (Ex-sahabat Dian Ratna) mensurvei ingin melihat kontrakan baruku itu secara sekilas, kemudian ia mengirimkan inbox kepadaku“wah nekat nement gan, milih kosan lwih sadis maning ah.. kos preman diparani, jatuh pd lubang yg sama..hha”. .  .  . . .

(bersambung)

written at:
Gazebo C3 Fakultas Ekonomi, 15 September 2012