Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Tuesday, October 29, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 26]


Dulu, disini adalah semak belukar yang dipenuhi rumput gajah. Tak pernah bisa dibajak atau ditanami padi karena hampir tak ada sungai yang mengurat nadi di ujung bukit ini. Hanya terdapat segelintir koloni pohon rambutan. Sepanjang tahun ada yang berbuah dan ada yang tidak, menandakan benih bukan sengaja ditanam. Melainkan biji-biji yang jatuh tersebar liar oleh kawanan Codot sisa kelebihan rejeki di musim penghujan. Jarang ada burung pipit yang mampir di dahan pohon rambutan terlantar ini. Transitpun tidak, sumber padi dan biji-bijian terlampau jauh dari sini. Justru paling sering adalah burung Cucak Rowo yang datang sendirian, hinggap dan mengkibas-kibaskan ekornya yang indah. Dia adalah penari soloist yang eksotik. Tapi ia tak bisa bertahan lama disini, karena terlalu panas untuk tempat pentas.

Sekarang lahan ini mulai ditanami tembok beton. Jalan-jalan kecil mulai bermunculan, seperti simpul yang saling menghubungkan jalan satu ke jalan yang lain. Dulunya jalan ini menyerupai offroad terlebih ketika pasca hujan akan tercipta bubur lempung. Namun berkat kebijakan walikota, jalan ini sudah tertutup paving stone yang tidak lagi membuat roda selip dan bebas kubangan air. Ditengah modernisasi ini, berdiri sebuah rumah yang menyendiri di pinggir bukit. Terbinalah sebuah rumah kos yang dihuni oleh lima sekawan subur jibar-jibur dan memiliki cerita yang berbeda-beda. Kita bisa datang ke tempat ini dari gang Cempakasari Timur hingga jalan habis diujung Timur dan masuk lagi ke jalan kecil. Jika ke Utara kita akan tembus sampai ke Gor dan lapangan Golf FIK.

Jika pilih ke Barat kita akan semakin dalam dan mendapati kos-kos putri yang super liar, atau Kos Kêmprét. Kêmprét dalam bahasa setempat berarti “Cabul”, jadi kos Kêmprét berarti Kos Cabul. Padahal orang yang disitu belum tentu cabul. Hanya saja konon disitu markasnya pergaulan bebas. Aslinya adalah kos putri, tapi tak jarang kaum adam yang suka memarkirkan motor hingga bermalam disitu. Jika ingin Kêmprét  disini termasuk aman, seolah telah menjadi kawasan yang dikorbankan atau sebuah sentra, ketimbang fonomena Kêmprét terjadi berdiaspora. Kanan-kirinya gelap, tak ada pengamanan, juga tak ada pengawasan. Aku yang berpengalaman masuk ke kosnya iX khayalanku kebablasan bagaimana tentang kos Kêmprét ini. Kosnya iX saja yang tergolong kos normal, bukan kos cabul atau kos yang sudah berstandar SNI ini saja penghuninya suka berpakaian minim, atau setidaknya membuat hangat selangkangan lelaki. Lalu bagaimana dengan kos Kêmprét, diperkirakan pakaian mereka lebih “seadanya”.

Lain jika ke Timur, kita akan menuruni bukit menuju lembah yang lebih teduh dan masih banyak rumput-rumput segar. Peternak seringkali membawa sekalian sapinya untuk menemaninya menyabit rumput. Namun jika memandang ke hamparan bukit sebelahnya ternyata lembah tadi adalah jurang pemisah antara bukit Gunungpati dengan kawasan perkotaan Banyumanik dan Srondol Wetan. Terlihat dari jauh hutan tower seluler, hutan beton, kantor, Universitas dan terdengar sedikit dengungan suara kendaraan mobilitas kesibukan kota megapolitan Semarang.

Sebelah kosnya persis kini dibangun kos putri khusus Akhwat (Muslimah Tulen) yang tidak akan menerima tamu laki-laki dan tidak sembarangan dalam berpakaian. Dinding pembatasnyapun tinggi, sehingga orang ingin memandang jemuran-jemuran seksinya pun tentu tak bisa, apalagi saling temu pandang dengan penghuninya. Jangan harap bisa ngefek menggodanya dengan  lempar rayu-gombal di balik dinding seperti kisah cinta di film “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Percuma saja, eksperimen itu takkan pernah berhasil sekalipun dipancing godaan dengan suit maut dari seorang Ikhwan.

Dulu, Nanang datang dari seberang Kos Rawarontek gang Jeruk yang sempit dan bising. Anggoro datang dari kos sekitar pertigaan Jl Taman Siswa Banaran lebih bising lagi untuk orang secerdas dia. Harry datang dari depan lapangan Banaran ingin menyingkir dari keamburadulan peradaban di kosnya yang suka Mabok dan Madon. Marwan datang tak jauh juga dari pedalaman belakang warnet Cempaka, namun terlampau sederhana untuk orang setampan dia. Sementara Aris datang dari kos gang Cempakasari Timur, ingin melarikan diri dari mata-mata Menwa yang ingin menangkapnya perkara desersi. Keempat orang ini bersatu dan bertemu bersemayam di kos ini, membentuk semacam keluarga kecil. Mereka berlatar belakang sama dari jurusan sejarah. Keempat orang ini terbukti tumbuh subur dan gemuk-gemuk semenjak tinggal disini. Tentu karena tempatnya yang lebih damai, banyak elemen warna hijau yang memanjakan mata. Harry semakin gemuk, matanya semakin sipit, bukan menyerupai sipit orang Asia Timur melainkan sipit kudup Sleepy Eye, karena disini ia lebih hobby tidur. Anggoro,  postur dan wajahnya mengingatkanku akan pembawa acara “Makan Besar” di Trans|7. Wajah Nanang yang mirip Syahrul Gunawan memudar dan berubah mirip Pak Romadi, dosen MPS. Aris paling ironis, karena ia lebih mirip dengan budak Negro yang bergaji tinggi, biar hitam plontos tapi tubuhnya terlihat seperti orang yang selalu kenyang. Semantara Marwan paling bisa menjaga postur tubuhnya, tapi ia paling tertinggal soal akademis keempat kawan gemuknya yang sudah lulus duluan.

Kini, Nanang telah jauh pergi ke Lampanah, Aceh. Harry juga pasrah dibuang ke Landak, Kalimantan Barat. Anggoro justru paling semangat dengan tugasnya ke Ende, NTT. Sedangkan Marwan merasa terasing di kos ini karena tak ada yang bisa diajak ngobrol dan nyambung tentang kesukaanya: Endang Soekamti, Efek Rumah Kaca dan band-band Indie yang lain. Akhirnya ia pindah kos ke sekitar Patemon. Tinggallah Aris.  Yah, Aku sedang tinggal di kos pinggir lembah ini bersamanya. Meski ini bukan tempat tinggalku, tapi lebih banyak meninggalkan jejak sejarah pentingku ketimbang di Kalimasada. Termasuk hari ini, aku sedang menunggu matahari terbit untuk mengikuti Wisuda Fakultas.

Aku tak khawatir kalau mantan pacarku kembali ke pelukan mantannya yang sekarang sudah jadi Brimob itu. Aku tak khawatir kalau besok orang tuaku akan mengetahui bagaimana sebenarnya Kosku di Kalimasada. Aku tak khawatir kalau malam yang gelap nan sepi ini tiba-tiba Aris jujur kepadaku kalau dia sebenarnya suka sesama lelaki dan meminta yang aneh-aneh, karena aku telah menaruh buku tebal disampingku sebagai senjata untuk mengantisipasi. Aku juga tak khawatir kalau pagi nanti aku dimarahi ibu kosnya Aris, karena aku bermalam, buang dan mandi disini tanpa ijin. Tapi, entah apa yang aku khawatirkan, sehingga malam ini aku tak bisa tidur. Apakah karena jam biologisku yang selalu membarengi jam tidur di Teheran, Iran?. Kurasa tidak, karena sepanjang siang tadi aku sengaja memperbaiki jetlag dengan menyempatkan seluruh waktunya untuk beraktifitas, tanpa tidur siang. Seharusnya malam ini aku sedang tertidur lelap, bahkan seharusnya bisa tidur lebih awal. Tapi masih saja aku belum bisa memejamkan mata. Miring ke kanan, melihat tumpukan buku-buku dan berkas-berkas milik Marwan yang belum sempat di boyong ke kos barunya. Miring ke Kiri, melihat Aris yang tengah mendengkur dan tertidur pulas menandakan bahwa ia memang lelaki tulen dan tidak ada niat jahat itu kepadaku. Sedangkan melirik ke Jendela terlihat garis-garis cahaya bulan yang menerobos lewat celah celah gorden.

Tak terpikirkan untuk mencari cara ampuh yang biasa kupakai untuk mengatasi insomnia. Biasanya aku akan cepat tertidur jika mendengar musik klasik seperti Concerto for Piano and Orchestra in D Minor No.20 Romance by Mozart, kemudian semua musiknya Kevin Kern, Yiruma, atau Sleep Away nya Bob Acri. Semua itu adalah senjata ampuhku yang memang khusus sebagai lullaby. Aku takut Aris akan merasa terganggu jika aku memutarnya, karena setiap orang memiliki selara yang berbeda-beda. Sepanjang yang ku tahu Aris adalah pecinta dangdut, jadi bisa saja dia akan merasa nyaman di telinga dengan dangdut sebagai pengantar tidurnya. Mustahil rasanya aku tiba-tiba memutar musik itu di tengah malam seperti ini.

Gelisah demi gelisah tak kunjung menemukan jawaban untuk mengatasi insomnia ini. Hingga pukul tiga dini hari baru aku tertidur, otomatis melewatkan waktu subuh. Dan kaget dibangunkan oleh budak Negro bergaji tinggi itu pukul 6 pagi. Orang tuaku telah menunggu di MUA (Masjid Ulul Albab) semenjak jam 4 pagi dari Purbalingga berangkat jam 10 malam. Miris sekali orang tuaku yang telah membiayaiku kuliah selama 4 tahun di hari yang gemilang ini tidak kuajak transit di kosku yang seharusnya terhormat, layak dan menyatukan silaturahmi antara pemilik dan penghuni kos dengan orangtuaku. Jauh hari sebelumnya aku telah jujur kepada bapak: “Pak, mengko nek mangkat ming Unnes mending transite neng Mesjid gemiyen kae pas ngeneh (MUA). Inyong turu neng kose kancaku kae sing ireng gemiyen tau mampir ngumah kae. Kosku sing siki neng kalimasada mandan semrawut pak, langka ruang tamune tur ra kpenak karo bocah-bocaeh. Neng mesjid tli kpenak, pan solat gari solat, pan adus gari adus” demikian doktrinku yang dengan mudah diterima begitu saja. Mamak ku belum pernah singgah dan tahu tantang Semarang, apalagi tentang bagaimana Kos ku di Setanjung yang sering ku ceritakan dulu ketika aku pulang ke Purbalingga. Bapakku sudah dua kali. Sementara keadaan sekarang memang berbeda. Aku tak lagi di Setanjung, bukan di kos yang terhormat. Dan kami hanya bertemu di MUA.
Area parkir Auditorium lebih sesak ketimbang kamarin, karena kali ini melibatkan kedatangan orang tua. Berbagai macam mobil berjajar, dan yang lebih gila ada yang membawa serombongan tetangga kampungnya menggunakan bus mikro. Stand fotografi menjamur, umumnya memilih berfoto di pagi ini dengan alasan belum berkeringat. Dalam hitungan jam saja selepas acara, foto sudah bisa diambil. Semuanya adalah foto minim manipulasi, sehingga banyak yang kecewa. Aris muring-muring setelah mengetahui hasil cepretannya tidak bagus. Dalam foto, wajahnya yang hitam dan gempalnya kali ini tidak lagi mirip dengan budak Negro yang bergaji tinggi, melainkan seperti kreasi seni patung yang terbuat dari gemuk atau fat. Gemuk atau fat adalah semacam pelumas colek yang biasa digunakan untuk melumasi engsel atau lakher, warnanya hitam kecoklatan dan mengkilat. Dia manyalahkan fotografernya yang dianggap tidak profesional yang salah mengambil spot angle nya sehingga ada sepercik cahaya blitz kurang sempurna mengenai kulitnya dan kembali terpantul ke kamera. Padahal bisa juga salah editornya yang saking gugupnya dikejar target cetak dari banyaknya order ada kemungkinan tak sengaja tersenggol menu saturation nya dan ke-drag sedikit sehingga yang seharusnya Aris hitam manis berubah menjadi hitam jenuh. Bahkan bisa juga salah Aris sendiri yang ceroboh tidak mengelap keringatnya saat berfoto atau dia sendiri lupa tidak cuci muka setelah bermasker dengan minyak zaitun.

Acaranya memang tak semegah hari kemarin. Tapi ada satu hal yang unik, yaitu tempat duduk. Jika urutan tempat duduk wisuda universitas kemarin berdasarkan nomor registrasi sikadu, sementara nomor urut tempat duduk kali ini berdasarkan ranking. Tempat duduk orang tua dan wisudawan terpisah, namun dengan nomor urut yang sama. Nomor urut inilah penentu seberapa besar pengabdian kita kepada orang tua. Semakin belakang ranking kita maka semakin belakang pula kita menempatkan tempat duduk orang tua. Ini adalah soal reputasi dan harga diri. Seharusnya aku mendapat ranking-13, berhubung minus Anggoro dan Revita yang ikut SM3T maka aku menjadi urutan ke-11. Sebuah angka yang tidak terlalu buruk dari 73 lulusan. Sebelah kananku ada Ema, kuakui dia memang Akhwat yang cerdas dan pantas mengungguli aku. Sementara sebelah kiriku, lagi-lagi si manusia multidimensi Eko Nurrohmad, tapi aku cukup berbesar hati diakhir ini rankingku bisa sejajar dengan teman yang pernah menjadi orang nomor satu di semester-semester awal itu.

Tak ada Rektor, adanya Dekan. Tak ada Unnes Choir, adanya FIS Choir. Tak memakai sound system utama, tapi memakai sound system dadakan. Tak ada Karawitan, tak ada Orchestra, tak ada bunga-bunga di tepi karpet merah. Dan tak ada acara pamer kebaya lagi. Dandanan wisudawati juga banyak berubah dari hari kemarin. Agaknya hari ini mereka lebih banyak yang mengenakan jilbab, ketimbang sanggul.

Orang kadang lupa, bahwa yang ganjil seringkali justru lebih menarik perhatian ketimbang yang lurus-lurus saja cari aman. Misalnya saja ketika sampai pada sambutan dari pak Subagyo, sebagai Dekan. Siapapun tahu kalau beliau memang orang yang ramah, sopan dan tentu terlihat cerdas. Sepanjang yang aku rasakan ketika sedang mengajar, beliau selalu mengeluarkan kata-kata yang sangat lurus dan sangat formal. Akibatnya memang cukup membosankan. Orang yang mendengarnya akan terkantuk-kantuk, menguap-uap, pura-pura sedang merenungi ceramahnya dengan serius sambil memegangi dahi padahal sebanarnya sedang menutupi mata kantuknya, mahasiswa justru lebih konsen dengan tawon Bambung yang masuk melalui celah fentilasi ruangan kuliah kemudian mondar-mandir di dalam dan hampir-hampir hinggap ke mahasiswa yang diajar. Atau lebih terpancing sekedar melamun ke arah luar jendela menatap pergerakan awan. Perhatian ke pelajaran masih kalah dengan perhatian mengamati perpindahan presensi yang sedang bergilir ditandatangani. Dan yang paling memalukan adalah ketika di tengah kuliah, Aris mulai nekad nyletuk “Laut. . .Laut!!!”. Pertanda mahasiswa menginginkan acara belajar mengajar saat itu segera diakhiri. Bagaimana tidak? Bakat mengajar pak Bagyo yang lebih mengantukan ketimbang lagu lullaby manapun dan lebih membosankan ketimbang menunggu atrian mandi di kos Dian-Ratna itu rupa-rupanya diterapkan juga dalam pidato sambutan acara wisuda kali ini. Mari kita simak cuplikan pidato berikut ini:

“. . . . . . hadirin yang berbahagia. Secara personal saya ingin berpesan kepada para wisudawan agar seluruh pengetahuan, skill, sikap konstruktif, nilai dan filosofi, yang didapatkan selama studi, bisa segera diimplementasikan dalam dunia riil. Baik dalam ranah kultural masyarakat madani maupun dalam lingkup lapangan pekerjaan yang makin kompetitif, dewasa ini. Ditunjang dengan pengalaman koognitif yang telah mumpuni ketika di bangku kuliah, diharapkan wisudawan dapat berekspresi dalam aksi psikomotorik yang profesional mampu berjuang hingga pada titik kulminasinya demi mempertahankan kontinuitas kemajuan peradaban. Dan yang paling penting adalah mampu mengembangkan sikap afektif yang berbudi luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai cerminan keberhasilan Unnes konservasi”.

Kira-kira semacam itulah, beliau berucap. Jangankan orang awam. Sesama dosenpun juga bisa bosan mendengar pidato serupa ditambah dengan durasi yang tidak sebentar, tidak ada pengaturan intonasi suara alias dibaca dengan nada do berturut turut, tidak ada body language, yang ada hanya mata pak bagyo yang sesekali menghadap hadirin dan sesekali menghadap ke teks pidatonya di mimbar.

Perasaanku yang hadir saat itu hanyalah sedikit ingin tertawa. Jika dimasa luguku aku masih termangu kagum mendengar rangkaian pidato yang sedemikian kompleksnya memilih diksi dan kata serapan yang begitu intelektualis itu. Tapi sekarang aku ingin menertawakannya layaknya kata yang hampir tak berguna. Alih-alih pak Subagyo ingin dianggap cerdas dengan bahasa pidatonya yang terlampau tinggi. Tapi justru menebar wabah kantuk dimana-mana, termasuk mamakku yang tukang jahit dan bapakku yang tukang las tidak bisa menangkap inti dari pidato itu.

Hiburannya tergolong minimalis, sekadar lagu “Simfoni yang Indah” menggunakan Organ tunggal dan sedikit bantuan efek suara dari FIS Choir. Suasana auditorium masih dalam ingar bingar keceriaan wisuda. Namun detik demi detik ke depan selalu menunjukkan adanya anti klimaksnya. Selapas acara kita semua berpisah, tidak ada acara kembali ngumpul kemudian pesta blitz seperti hari kemarin. Semua hanya terarah pada stand fotografi untuk mengambil hasil jepretannya masing-masing tadi pagi. Ada yang lari menuju spot yang indah untuk berfoto sendiri, seperti taman depan perpus, taman tugu Konservasi, Rektorat, bahkan di gerbang agung Unnes kuil Parthenon itu. Aku tak berbuat banyak, namun disini aku mengamati dan mengumpulkan galeri-galeri senyuman-senyuman dari kawan-kawan bersama orang tuanya, “lihatlah mah pah aku sudah lulus, sudah jadi sarjana, aku siap untuk pulang menjemput masa depan” begitulah kurang lebih makna dari senyuman-senyuman mereka.

Di siang yang terik ini tampak fatamorgana meliuk-liuk diatas aspal, aku sekali lagi ingin menatap auditorium dari kejauhan. Dia adalah saksi bisu awal dan akhirku disini. Kami lega, merasa telah mematahkan mitos bahwa kuliah itu sesuatu yang amat berat. Nyatannya berakhir juga, yakinkan bahwa tuhan pasti menafkahi kita asal ada kemauan dan tekad untuk maju. Berjuta-juta rupiah kudapat dari beasiswa disini, berjuta-juta rupiah kudapat dari proposalku yang tembus ke Dikti, serta berjuta-juta kenangan dan pengalaman di sini yang lebih berharga daripada rupiah. Itu adalah jawaban Tuhan, bahwa dibalik ada kesulitan pasti ada kemudahan. Aku puas dengan masa mudaku menjadi mahasiswa yang merdeka dan tidak terenggut oleh penjajahan zaman. Aku merasa puas telah memilih takdir menjadi seorang mahasiswa. Tatapanku merayap ke atap auditorium, dan berakhir memandang ke cakrawala yang abadi milik Tuhan, dan awan yang terus bergerak layaknya perjalanan hidup manusia. Tersadar bahwa aku harus segera menghentikan lamunan ini, dan kemudian bergerak mengikutinya.

Segera kulepas baju badut toga ini, ku kemasi ke tas. Dan untuk sekali ini saja, kuajak keluargaku ke kontrakanku Ar[t]my di Kalimasada. Cukup kusarankan saja mereka agar tidak usah turun dari mobil, karena aku hanya ingin memasukan tumpukan kardus barang dan pakaianku dari kos ke mobil. Beruntung suasana kos masih sepi, sehingga kedatangan kami tidak membuat heboh penghuni. Mas Eky datang bersama pacarnya yang berbibir tipis dan rambutnya yang dicat merah sehabis wari warung makan mba Kiss di sebelah kontrakan, beruntung aku telah  selesai memindahkan semua. “Meh balik, Gan!?” tanyanya. “Durung mas, mung meh mbalekno barang disek” jawabku. Orang tuaku tidak menaruh curiga sedikitpun atas semua tingkah anehku yang seolah-olah terus menutup-nutupi dan menghalangi mereka untuk bereksplorasi dengan Ar[t]my dan lingkungan pergaulanku disini. Kedatangan mas Eky bersama pacarnya yang menuju kamarpun tidak jeli dilihat orang tuaku dari mobil. Perhatian mereka hanya tertuju padaku tentang barang-barang yang akan dibawa itu, apakah sudah tidak ada lagi yang tertinggal. Skenarioku berjalan dengan mulus, rombongan keluargaku akhirnya segera menekan pedal gas mobilnya, setelah berpamitan pulang padaku di tepi jalanan Kalimasada depan kontrakan.

Orang tuaku hanya sekelumit saja mampir di Semarang, semalam sebelumnya berangkat kemudian siangnya langsung pulang lagi ke Purbalingga. Tak mencoba menyempatkan mampir ke Simpang Lima, Tugu muda, Kota Lama, Pecinan, Masjid Agung Jateng, atau Gedong Songo, tak tahu lebih dalam tentang Semarang. Yang mereka tahu dari Semarang adalah Unnes dan lebih khususnya MUA. Mereka tidak keberatan dengan kunjungan kilat itu. Memang lebih baik, daripada mereka masuk ke Kontrakan Ar[t]my memeriksa setiap sudutnya yang sangat sederhana. Setiap kamar hanya bersekat triplek, hanya dinding eksternalnya saja yang beton, sementara plafon kamar yang terbuat dari terpal bekas baliho. Belum lagi kebiasaan teman-teman kontrakan yang suka membawa pacarnya berduaan di kamar. Jangankan masuk ke dalam, seandainya orang tuaku hanya duduk-duduk di beranda depannya pun aku sedikit khawatir karena seringkali disitu ada botol Chong Yang tergeletak lupa belum dimasukan ke tong sampah. Apa jadinya orang tuaku menyaksikan sendiri keamburadulan ini. Memang aku tidak ikut-ikutan sebagai pelaku penyelundupan pacar ke kamar, juga tidak pernah jadi konsumen Chong Yang, tapi karena orang kadang punya pandangan “Kita itu cerminan dari rumah kita”.

Aku masih harus berada di Semarang, memanfaatkan sisa-sisa hariku untuk melegalisir ijazah, akta mengajar dan transkrip nilai, itu adalah misi santai. Kemudian aku terbawa suasana oleh kucing yang sedang tertidur lelap di kursi beranda kontrakan siang ini. Baru aku teringat, kalau aku semalam tak bisa tidur. Kelopak mataku serasa semakin berat terbebani hutang-hutang istirahat. Dalam situasi seperti ini tempat tidurku yang amburadulpun terlihat seperti paha bidadari-bidadari tersanding yang menggoda segera ingin ku tiduri. Akupun terlelap      


Padamara, 29 Oktober 2013