Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Wednesday, October 16, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 25]


“Burung-burungpun bernyanyi
Bungapun tersenyum, melihat kau hibur hatikuuuuu
Hatiku mekar kembali, terhibur simphonii
Pasti hidupku kan bahagiaaa. . . .”
Sore yang tenang ini aku berbaring santai, menyenandungkan lagu itu di atas risban. Wisudawan mana yang lupa tentang lagu itu. Meski telah terlewat satu tahun silam, namun musik dan lirik lagu itu masih memiliki resonansi yang sanggup menghidupkan kembali memori-memori wisudawan tentang hari-hari yang gilang gemilang itu. Enam belas Oktober 2012.

Dalam mata yang terpejam sekalipun, musik itu akan mengantarkan kembali sebuah visualisasi yang sangat jelas, sejernih kualitas Blue-Ray movie, dan akan mampu bertahan hingga berpuluh-puluh tahun bersemayam dalam otak dikelilingi jaringan, sel, dan neurotransmiter hingga kejernihan itu takkan melapuk, selapuk kualitas 3gp meski di usia senja nanti.

Aku akan teringat terus tentang lagu ini, tepat mengenang satu tahun yang lalu maka aku memasukannya di playlist di mp3 handphoneku. Kuputar sekali dalam sehari, kadang malah beberapa kali, karena memang memiliki efek yang bisa kembali mengobarkan semangat sebagaimana lagu Chariots of Fire by Vangelis yang menyemangati Olimpiade 2004 di Athena.

Nampaknya ini adalah lagu wajib untuk acara apa saja yang beratmosfer kebahagiaan.  Ketika wisuda jurusan, pak Ibnu Sodiq mengajak  duet dengan sang biduan, menyanyikan lagu ini, kemudian aku mendengarnya lagi di wisuda universitas, kemudian wisuda fakultas. Adalah lagu yang berjudul “Simphony yang Indah”, ciptaan Robby Lea. Pernah dipopulerkan oleh Bob Tutupoly di era 80-an. Sementara di era sekaranng aku baru mendengarnya sekitar tahun 2008-an, dan beruntung lagu ini jatuh ke seorang penyanyi yang menurutku memiliki kualitas suara terbaik se-indonesia, Elfonda Mekel (Once) secara single tanpa Dewa19. Dan diaransemen pula menjadi beraliran orchestra yang maha agung.

Kawan, akan aku ceritakan bagaimana satu lagu ini berproses di otakku, memanggil kembali memori-memori detik detik wisuda universitas yang maha megah itu. Mari kita tekan tombol “PLAY” Simphony yang Indah by Once:

Dimulai dari sebuah intro lagu, seperti himpunan suara biola yang berlarian balapan menuju oktaf yang tinggi. Angan kita persis terhipnotis seperti sedang ditarik kembali oleh mesin waktu yang berdinding gelap melaju cepat menuju satu titik cahaya, baru ketika bunyi piano masuk kita seperti baru sampai di sumber cahaya. Cahaya itu adalah setting ruang dan waktu di 16 Oktober 2012. Terdengarlah bunyi alat musik triangle yang sebening air embun menetes. Dan kisahpun dimulai.

Kamera men-shoot kontrakan Ar[t]my dari kejauhan pagi itu. Dari luar berjalanlah  Agus Nur Fuadi menuju pintu masuk. Dilihat dari raut mukanya ia seperti baru pulang begadang entah dari mana. Mengetuk pintu kamarku “Gan!, Gan!” dan terbukalah pintu yang tak ku kunci itu. Ia melihatku yang sudah terbangun, “Oh jebul wis tangi, eembok urung tangi, mengko wisuda”. Aku tak menjawab apapun, kecuali menggeliatkan tubuh saja. Meskipun dia tidak juga berwisuda hari ini namun lelaki yang berwajah mirip Dony Ada Band itu, cukup solider juga, mengingatkanku tanpa ada rasa iri dengki. Aku salut memang kebanyakan mahasiswa-mahasiswa yang pernah berasrama di PKM FIS memang memiliki watak seperti ini. Sama halnya Sastro, mas Kingkong mereka berjiwa solider: sosialis, dan baginya tidak ada istilah sikut-sikutan untuk sesama teman. Maka Agus membangunkanku.

Akhirnya kupakai juga baju Toga ini. Aku menyebutnya baju bergembira. Karena modelnya yang tidak wajar. Krahnya bulat dan berwarna warni seperti bendera Ukraina yang dipasang melingkar ke leher. Belum lagi topinya yang segi lima dan berkuncir. Semuanya hampir saja menyerupai Badut. Tapi tetap saja orang-orang menyebutnya sebagai pakaian kebanggaan. Mendapatkan pakaian ini sebenarnya gampang saja, tinggal sewa ke Kopma. Namun yang  tidak mudah adalah mendapatkan keabsahan untuk memakainya. Mahasiswa yang belum lulus akan boleh-boleh saja dan bisa-bisa saja memakai toga dan ikut datang ke Auditorium, meski paling tidak akan mendapatkan anugrah gelar Orang Sinting. Tapi untuk memperoleh sebuah keabsahan, baru didapat bagi mereka yang telah lulus menempuh  sekian SKS, belum lagi harus melewati sensasi cemas dan penasaran lotrean ploting KKN, PPL dan dosen pembimbing, Lolos Sikadu, lolos SISkripsi. Dan tentu dia juga harus lolos dari pencabik-cabikan mental saat sidang skripsi, jika tidak maka ia akan pulang dalam keadaan gila, pandangan kosong, melongo, frustasi dan perlu dibawa ke panti rehabilitasi penderita Dosenofobia.

Jalanan raya dipenuhi mahasiswa berkostum serupa bersliweran. Wisudawati konon telah mempersiapkan penampilannya semenjak jam 3 pagi, dikala kelelawar mulai merasa ngantuk atau dikala pedagang sayur sedang memanasi motornya untuk bersiap berangkat ke pasar. Wisudawati mengantri bermake-up setebal mungkin, sampai bopeng sedalam setengah sentipun bisa diratakan. Yang mustahil adalah menyembunyikan tahi lalat yang besar, karena tidak ada jasa tatarias yang terampil mengoperasikan adobe photoshop. Tidak ada juga wisudawati yang tak berdandan, sekalipun ia tomboy lesbi sekalipun, selanang-lanange cah wadon mesti dandan, dan seboke-bokenya mereka untuk membiayai tatarias juga berdandan meski otodidak atau dengan hutang.

Mayoritas yang telah dipersiapkan mereka sebelumnya adalah baju kebaya. Mudah sekali mengamatinya, ketika persis acara wisuda selesai, akan ada ajang pamer kebaya. Mereka segera melepas baju badut toga itu, kemudian memepertontonkan keelokan lekukan tubuhnya yang dibalut kebaya. Tatanan rambutnyapun bermacam-macam. Ada yang memilih mengadopsi sanggul model sinden jawa, bulat melebar ke samping, ada yang memilih ditutup kerudung,  atau mungkin turban dan ada pula yang mengadopsi model angin puting beliung, juga angin ribut yang tak dapat ku mengerti polanya. Semuanya telah tertata rapi, berikut disambungkan dengan topi wisudanya. Kalau perlu terus dijaga jangan sampai terkena guncangan hebat. Bisa rontok nanti. Sehingga cara berjalan mereka sangat berhati-hati, sehati-hati cara berjalan peserta lomba nyunggi tampah saat tujuhbelasan. Mereka benar-benar tampak berbeda pada hari itu. Yang cantik tambah cantik, yang jelek tambah cantik, semakin cantik mereka semakin tidak kukenal, karena semakin tidak teridentifikasi wajah asli mereka.

Jika wanita adalah makhluk tuhan yang paling seksi. Maka pria adalah makhluk tuhan yang paling simpel. Bagi pria wisudawan, tidak ada acara macak atau bersolek disini. Mereka kebanyakan bangun jam 6, atau paling bagus bagun ketika subuh yaitu ketika kelelawar sedang mendengkur atau ketika pedagang sayur dipasar telah laku separuh dari dagangannya. Kemudian sepaket mandi, bahkan sarapan pun tidak. Pria memang cenderung mblaur (pemalas), jika bangun agak kesiangan setidaknya mereka hanya cuci muka dengan facial wash dan gosok gigi, jika lebih telat lagi mereka minimal hanya gosok gigi saja. Tak perlu kebaya. Hem putihpun cukup atau menggunakan T-shirt bahkan singlet pun tidak akan kelihatan dan tidak akan peduli. Yang kami tahu bahwa hari ini adalah upacara wisuda, bukan upacara pernikahan.

Begitulah kesimpelan pria dan kerumitan wanita. Pandang saja di dunia luar. Ibuku seorang penjahit busana wanita, yang sepanjang tahun hampir tidak pernah kehabisan pelanggan dan setiap harinya paling tidak bisa mendapatkan Rp.200.000,-. Namun tak ayal, persis didepan rumahku adalah seorang penjahit pakaian pria yang  realitanya berjungkirbalikan dengan ibuku. Dia lebih sering tertidur di ruang kerjanya karena saking sepinya pelanggan, bahkan sekali-kali ia rela mengerjakan borongan konveksi yang hanya dibayar murah itu. Mudah dan murahnya garapan konveksi itu karena hanya mengandalkan standar S, M, L, XL dst. Sementara ibuku menggarap busana wanita wajib mengukur  tubuh pelanggan mulai dari lebar badan, lebar leher, lebar lengan , lebar pinggang, lebar pinggul, lebar lingkar dada, panjang ke pinggul, dan panjang pakaian, dan semua itu kemudian dikumpulkan menjadi database yang suatu saat bisa digunakan kembali di pelanggan yang sama. Lelaki seringkali kurang minat dengan pengukuran detail seperti ini, karena dipastikan harganya tidak murah, maka pria lebih suka pergi ke distro mencari hasil konveksian S,M,L dst juga tentu harganya lebih terjangkau kadang juga rela agak kedodoran, rela agak kekecilan, dan paling beruntung mereka dapat yang pas. Bagi wanita cara asal-asalan S,M,L ini tentu kurang estetis, meski mereka membeli di distro dengan ukuran yang kurang pas, mereka akan memabawakan ke tukang jahit untuk merombaknya. Baginya kedodoran sedikit saja akan sangat mengganggu reputasi dan merasa risih.

 Pria hampir tak peduli bagaimana pria kurus seharusnya berpakaian bermotif horizontal agar terlihat ideal dan pria berbadan gemuk seharusnya menggunakan pakaian bermotif vertikal. Sementara pria ideal akan terlihat lebih gagah dan tampan jika menggunkan pakaian yang press body dsb. Semuanya hampir tidak diperhatikan. Makanya dalam hal fashion lebih banyak majalah wanita daripada majalah pria (majalah dewasa jangan dihitung). Di indonesia, yang aku tahu dan yang sering kubaca hanya majalah Men’s Guide, itupun baru-baru ini mencantumkan soal fashion dalam kontennya akhir-akhir ini, sebelum-sebelumnya majalah ini murni membicarakan soal seks, tips bercinta, tips cinta, nutrisi, kebugaran dan kesehatan pria. Bagitulah pria, ini baru sebagian kecil, dalam bidang yang lain pun tentu tidak akan jauh berbeda. Makhluk Tuhan yang paling simpel.

Aku berjalan di sepanjang gang Kalimasada, menuju ke jalan Taman Siswa, karena Aris tak kunjung menjemputku. Aku hanya mengenakan hem putih yang sudah ku bungkus baju toga hitam dan mengabaikan topi dan krah gembira itu yang kukira sudah kutaruh di tas untuk dipakai disana saja. Pakaian seperti inipun terlihat sangat ganjil seperti menegnakan jubah dukun serba hitam. Sampailah aku dan Aris di parkiran Auditorium.

Seketika turun dari motor, aku begitu terkesiap, dan shock ketika di tasku tidak ku temukan krah gembira itu. Mencari-carinya hingga ruang rahasia di tasku, padahal aku sudah yakin telah ku masukkan ke tas. Aku menjadi plin-plan dan terpikirkan bahwa aku mendapat paket toga itu tanpa krah gembira semenjak dari Kopma karena sebelumnya belum pernah ku-cek. Kemudian berfikir bagaimana jika aku pergi ke Kopma saja untuk mengambil krah gembira itu. Tapi ini baru pukul setengah tujuh, dan kopma paling tidak buka pukul delapan. Sampai-sampai Aris yang terbiasa memujiku kali ini dia malah memakiku “Ta akui kowe iki pinter gan, tapi iso-isone urusan sepele koyo ngene kowe  iso teledor tingkat jagat gan!!, padahal iki acara penting !! (sambil geleng-geleng). Betul ini adalah acara maha penting, akan malu sekali jika aku akan tetap masuk tanpa mengenakan krah itu, dan tentu lebih baik tidak berangkat sekalian. Kemudian muncul ide, “Bagaimana kalau aku pinjam ke anak FIK atau MIPA dimana mereka akan wisuda di kloter ke dua”. Suasana bertambah darurat ketika kami tidak menemukan no hp sahabat di jurusan-jurusan itu. Apa boleh buat aku mencoba mengajak Aris untuk mengecek kembali ke kontrakanku. Perasaanku begitu cemas, secemas menjadi ketua panitia peringatan Isra-Miraj dimana Kyai penceramahnya tak kunjung datang.

Tiba-tiba di tengah jalan pulang itu aku merasa optimis, karena telah mengingat sesuatu, kalau kemungkinan besar krah itu terselip tertinggal di plastik tas kresek dari kopma dan itu ada di kamar. Betul, begitu ke kamar aku menemukannya. Benar-benar sujud syukur alhamduliillah aku menemukannya. Benar-benar lega, ploong dan senang sekali seperti sehabis mendapat dispensasi dari malaikat Izroil agar tidak mencabut nyawaku hari ini.

Lalu kami langsung beranjak berangkat, dan tidak sempat menjawab sapaan dari kakek-kakek tua yang terbiasa menyapu lingkungan kontrakan Ar[t]my “Badhe wisuda mas?”. Dengan wajah keheranan dan di benak ia berkata “Bagaimana bisa, anak kontrakan Ar[t]my yang semrawut ini bisa wisuda juga????”.

Di jalan Aris bilang “Sori Gan, sori Gan”, ia meminta maaf atas makiannya tadi kepadaku.

 Semua hampir saja tersia-siakan oleh kecemasan bodoh itu. Apa jadinya jika aku memutuskan membolos, kejiwaanku bisa terguncang mendekati abnormal, frustasi di kamar. Masih mending jika aku berangkat telat karena mengambil krah gembira itu dari kopma, setidaknya aku hanya terpacu adrenalin karena ditangkap menwa. Dan tersial mungkin jika aku jadi meminjam krah gembira itu dari anak FIK atau FMIPA, karena ternyata motif corak krah tiap fakultas berbeda, mungkin nanti aku akan terlihat seperti anak ayam cemani yang nyasar diantara peternakan ayam broiler, itu akan membuatku sangat malu lalu menyembunyikan muka setelah mungkin aku akan berjanji seumur hidup bahwa aku akan selalu mengenakan topeng dan tidak akan melepaasnya, seperti halnya Rey Mysterio atau Bang Napi.

Nasib malang semua itu akhirnya lenyap seketika. Beruntung aku memutuskan pulang ke Ar[t]my. Sebuah keputusan yang tepat yang membuka simpul ingatan akan letak dimana krah gembiraku bersemayam. Aku telah memilih memotong kabel yang tepat, sehingga bom waktu itu berhenti berdetik. Padahal sekitar 10 menit kemudian, acara baru segera dimulai.
*****


Akhirnya kami masuk ke Auditorium yang maha megah itu. Bangunan yang belum pernah direnovasi semenjak 4 tahun lalu ini selalu mengingatkanku ketika awalku masuk Unnes  saat registrasi paling awal. Aku sangat ingat, teman sejarah yang pertama kali ku kenal adalah Hasan Wahid (anak ilmu sejarah 2008) namun kami belum sempat akrab. Dan teman sejarahku yang pertama akrab adalah dengan Yuli Setyo Nugroho yang saat itu berambut plontos mirip tahanan di Kamp Auschwitz. Gadung ini membawa banyak kenangan. Kenangan kedua adalah pengisian KRS masal yang dilakukan di balkon Auditorium, itu untuk pertama kalinya aku menyentuh laptop dan menyentuh Synaptic Mouse. Ketika aku telah menjadi kakak kelas di HIMA, disini aku menggiring calon-calon adik kelas untuk datang ke stand pembayaran KEMAS. Sebagai penerima beasiswa aku sering diundang ke tempat ini guna menyambut kedatangan menteri-menteri negara. Kemudian tes akhir Kuliah Ahad Pagi dan Pembekalan KKN juga disini. Belum lagi acara penganugrahan Mapres dan menyaksikan kejahilan teman-teman mengambil snack sebanyak-banyaknya dan diselundupkan ke tasku. Mungkin hari itu dan esok 17 Oktober 2012 adalah moment terakhir menginjak gedung paling bergengsi di Unnes ini.


Semua masuk berjalan dengan rapi dan mengular seperti game Snake Xenzia. Jika di waktu gladi bersih ada sedikit ketegangan dan makian dari instruktur acara ketika beberapa wisudawan entah dari S2 atau pendidikan profesi yang menyalahi ritme mengular. Namun ketika acara inti berlangsung, berjalan cukup rapi dan tidak ada yang telat atau nyleneh sedikitpun. Aku segera duduk menempati kursi nomor-0042 sesuai nomor urut registrasi sikadu. Sementara sebelah kiriku ada Eko Nurrohmad manusia multidimensi, dan sebelah kananku ada Zahrotun Aula yang mengeluh mengapa air mineral botolan yang disediakan di snack tidak ada sedotannya, sudah cantik-cantik dandan begitu apakah cara minumnya dengan cara menenggaknya langsung. Butuh kehati-hatian khusus, kalau tidak bisa-bisa make-up di sekitar mulut bisa luntur atau setidaknya mengkocar-kacirkan polesan lipstiknya. Aku tertawa kecil saat itu, alangkah tak menariknya seksi konsumsi acara wisuda ini.

Terbiasa, budaya Unnes yang tidak akan lekang adalah permainan musik karawitan yang mengiringi kedatangan Rektor (atau bisanya juga menteri) dan perangkatnya. Dari pintu masuk lalu mereka berjalan di hamparan karpet merah, alunan musik dari perangkat karawitan yang diperkirakan senilai ratusan juta itu rupiah itu benar-benar sesuai dengan harganya dan membuat setiap langkah dari Rektor CS itu penuh wibawa laksana menyambut raja, kemudian mereka duduk di barisan kursi dan meja yang ditata secara elegan mirip sidang perlemen. Iringan musik ini diakhiri dengan sebuah pukulan gong yang paling besar sebagai pungkasan. Menggema lembut dan begitu ngebass hingga speaker sekelas auditorium pun belum kompatibel mengimbangi nada rendah yang diciptakan gong paling besar itu, sehingga masih terdengar bunyi “crrrrrrk” di membran speakernya.

Hampir-hampir tak ada cela di semua rangkaian wisuda ini. Aku terkesima mendengar penyanyi-penyanyi yang unjuk gigi, meski tak tahu apakah ia adalah mahasiswa atau dosen. Sepertinya suara semua orang disini sangat bagus, berkat penggunaan speaker besar yang bergantung di sisi-sisi dinding dan terpantul dengan sempurna tanpa ada noise “ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing” sedikitpun. Benar-benar spektakuler. Berbeda cerita dengan saat pembekalan KKN dulu atau saat Wisuda fakultas nanti yang hanya menggunakan speaker dadakan yang malah menciptakan echo yang merusak kejalasan makhroj pembicara dan itu cukup tidak lebih baik dari T.O.A.

Tak tahu mengapa, atau aku baru tahu, kalau lagu Simfoni yang Indah – By Once ini menjadi lagu yang berulang kali muncul saat-saat wisuda. Justru dirasa lebih penting dari mars Unnes itu sendiri yang aku sendiri lupa bagaimana lagunya. Lebih tepatnya mungkin ini adalah Mars kebahagiaan, atau Hymne the powerfull of happiness. Mengalunlah lagu Simphony yang indah yang dibawakan oleh seorang wanita paruh baya. Para wisudawan dan penonton kali ini memusatkan perhatiannya ke sisi stage bagian kanan dimana disana terdapat sekumpulan musisi orchestra dan Unnes choir. Sementara para musisi gamelan karawitan di sisi stage bagian kiri dicampakan sementara. Untuk mengiringi lagu Simphony yang indah kali ini bukanlah menggunakan musik organ tunggal apalagi karaoke mp3, melainkan secara orisinal menggunakan seperangkat pemain orchestra yang terdiri dari pemain-pemain Biola, Cello tenor dan bass, Gitar Akustik, Rhytm, Bass, Organ, Grand piano, saxophone, flute, trombone, penabuh symbal dan berbagai alat perkusi dan yang tidak ketinggalan adalah sang Konduktor atau orang Indonesia menyebutnya “dirigen”.

Permainan mereka cukup baik, hanya saja terdengar kurang keras dan kurang megah, tidak pernah bisa dibandingkan dengan festival Youtube Smphony 2011 di Sydney kemarin. Maklum, personil orchestranya tidak banyak, sekitar kurang dari 30 bahkan ada yang satu instrumen untuk satu orang saja. Sementara personil Unnes Choir bukan berperan sebagai penyanyi utama melainkan sebagai semacam Backing Vokal yang memperindah penyanyi utama.

Mereka mencoba menunjukan dan menyamakan musik asli milik lagunya Once di auditorium. Sayang sekali keindahan harmoni yang sudah ada, masih ada dua instrumen yang kurang jika ingin menyamakan, yaitu alat musik Oboe dan Harpa. Seharusnya ada bunyi tiupan instrumen Oboe ketika jatuh di sepanjang lirik “ . . . . . . melahirkan kedamaian, melahirkan kedamaian” . Kemudian persis setelah itu dilanjutkan melodi petikan Harpa yang begitu indah, bening dan surgawi yang memisahkan antara lirik verse-1 dan terus dipetik di sepanjang bridge-1: “Syaaaaair dan melodiiii, kau bagai aroma penghapus piluuu, geeelora diihatiii bak mentari kau sejukkan hatiku”.

Seorang drummer sangat bersemangat menggebug drumnya ketika menyambut Reff atau Chorus nya :
“Burung-burungpun bernyanyi
Bungapun tersenyum, melihat kau hibur hatikuuuuu
Hatiku mekar kembali, terhibur simphonii
Pasti hidupku kan bahagiaaa. . . .”
“Cessssss!!!!” suara simbal mengakhiri Reff itu memberi sensasi visualisasi yang menyegarkan seperti disiram ratusan liter air dingin di tengah gurun panas. Demikian semarak yang bergelora di dalam auditorium. Hati para wisudawan kemudian terenyuh ingin meneteskan air mata, ketika lagu ini berkhir dengan musik yang bergitu bergemuruh di lirik “Pasti hidupku kan bahagiaaa!!!!. . . . PASTI HIDUPKU KAN BAHAGIAAAAA!!!!” rasa bercampur aduk sedih mengingat akan  telah terlewatnya masa-masa yang berat saat kuliah serta rasa bangga yang bukan kepalang karena telah puas mendapatkan gelar.
*****

Agak mustahil rasanya jika rektor menyanggupi menyematkan kuncir topi toga dari kiri ke kanan untuk semua (3110) wisudawan hari itu. Bayangkan saja untuk menghadapi satu wisudawan saja seorang rektor, pertama ia harus senyum pamer gigi, kedua ambil ijazah kemudian serah ijazah, ketiga baru sematkan kuncir ke kanan dan terakhir baru bersalaman. Empat langkah itu dikali sebanyak 3110 maka terhitung akan ada 12440 gerakan. Oleh karenanya, pemindahan kuncir ini dilakukan secara otodidak oleh wisudawan melalu aba-aba dari pembawa acara. Setidaknya akan mengurangi kewalahan rektor . Bahkan kalau tak ingin repot semua gerakannya diganti dengan otodidak. Tapi itu adalah hal yang keterlaluan, masa seumur kuliah di Unnes tidak sempat berfoto dan bersalaman dengan sang Rektor??.

Sebenarnya apa makna memindahkan kuncir dari kiri ke kanan ini??. Orang mengatakan adalah saatnya menguncapkan selamat tinggal di dunia otak kekirian dan selamat datang menuju dunia otak kanan. Konon semakin tinggi pendidikan orang maka semakin kiri pula otaknya, kiri disini bukan berarti komunis, akan tetapi prinsip kerja otak kiri. Kiri selalu diartikan otak teoritis, matematis, realistis, logis, fokus, linier. Kuliah adalah gudangnya itu semua makanya mereka pandai berteori. Tapi teori hanyalah teori. Sesuatu yang sama-sama abstrak. Kemudian kanan adalah dunia kenyataan, dunia praktek, dunia yang butuh daya intuitif dan imajinatif, dunia yang terkadang tak semudah teori atau juga tak serumit teori. Orang yang telah begitu dalam dan terasah otak kirinya belum tentu dia becus menghadapi kenyataan untuk mempraktikannya. Seorang dosen tata busana yang bergelar profesor sekalipun belum tentu dia trampil manjahit pakaian, ia hanya trampil berteori saat mengajar. Sementara orang yang telah banyak bergerak di bidang dunia nyata otak kanan ia akan mengambil teori setelah ia praktik merasakan sendiri. Makanya jaman sekarang dalam pencarian kerja lebih diutamakan pengalaman daripada gelar. Makanya Gaji dosen sekarang masih kalah dengan pendapatan jasa sedot WC, gaji guru honorer di sekolah negeri ternyata masih kalah dengan pendapatan seorang tukang becak, atau gaji pokok Jenderal berbintang empat pun juga masih kalah dengan pendapatan Bos kuliner Buntil Kutasari. Kasta Ksatria belum tentu menang melawan gaji kasta Sudra. Kaum Bangsawan belum tentu menang melawan kaum Borjuis. Sungguh banyak tipu muslihat di dunia ini. Kita harus segera sadar. Makanya kita harus buru-buru dikanankan atau terjun ke dunia nyata.

Habis sambutan rektor  dan  PR Bid. Akademik ada hiburan, habis pembacaan janji wisudawan ada hiburan, dan habis pembagian jizah juga ada hiburan. Kali ini kami tak kalah terkesima dengan lagu “Simfoni yang Indah” tadi, sungguh kami terperanjat ketika tiba-tiba kamera yang tersambungkan live dengan screen proyektor besar di kedua sisi stage itu men-zoom in tengah-tengah bangku wisudawan FBS. Muncul seorang wisudawati yang berdiri sambil memegang mic kemudian menyanyikan salah satu reff sebuah lagu dengan bening dan sangat lembut sekali: “enn aaaaaiiaii willoweys lav yuuuuu. . . . . .”. Ternyata sebaris reff itu diletakan di pra-intro yang sengaja untuk mengejutkan wisudawan lain dan juga penonton di balkon, terlebih lagi ia tidak muncul dari backstage kemudian ke panggung melainkan dari tengah wisudawan menuju ke panggung. Dan betul sekali, setelah itu Intro baru dimulai semua baru bisa menebak ini adalah sebuah lagu yang berjudul I Will Always Love You. Semuanya bertepuk tangan atas rasa terkejut itu. Wisudawati itu kalau tidak salah bernama Neni Yuniansari dari prodi pend Sendratasik (seni drama, tari & musik). Dia adalah wisudawan yang dipermalukan sekaligus dipuji dalam acara ini. Dipermalukan karena MC menampilkan dia sebagai sosok yang akhirnya wisuda juga setelah kuliah S1 selama 6 tahun, 11 bulan, 15 hari, dimana seharusnya 15 hari lagi dia di D.O karena hampir menempuh 14 semester tanpa ampun. Orangnya tidak begitu cantik ditambah lagi dia obesitas, jadi gemuk sekali, dua buah kelemahan yang paling ditakuti semua wanita tapi tak disangka ia memiliki kelebihan yang sangat telak dibanding semua orang yang ada di situ, yaitu memiliki suara yang bening dan lembut sekali. Ini adalah sebuah pujian untuknya. Untuk menyanyikan lagu yang legendaris, everlasting, dan very romantic ini dia benar-benar hampir setara dengan Whitney Houston, penyanyi aslinya. Saat  meghentikan di lirik “. . . . . . but above all this I wish you love” menuju reff, semuanya seraya ikut menarik nafas. Tiga detik kemudian dilepaskanlah reff dengan suara maha indah itu “Ennd Aaaaaaaaaaaaaiiaaaa wil Loweys Lavyhuuuuuuuuuuuuuuuua!!!!!! . . . . . . will Loweys LavYhuuuuuuuu”. Bulu kudukku berdiri, merinding mendengarnya. Sebuah Peach Control yang dramatis dan benar benar PERFECTO. Aku yakin sekali tak jarang penyanyi yang berani menyanggupi menyanyikan lagunya Whitney Houston yang satu ini ke sebuah pagelaran, mereka takut gagal ketika mencapai intonasi tinggi dan dramatis di reff terakhir itu. Saat lagunya usai seantero auditorium bergemuruh memberikan aplause atas kesempurnaan itu, semeriah Estadio Santiago Bernabeu seusai Madrid menewaskan Barca atau semeriah Eitihad Stadium setelah Man City berhasil mempecundangi MU. Bahkan Rektor Cs sempat standing aplause.

Tak begitu rugi lah tarif Wisuda sebesar limaratus ribu itu, selain dapat tas jinjing Unnes, Buku Alumni, snack dan ijazah juga dapat pertunjukan sebuah konser  yang nyaris tak ada cela. Banyak pertunjukan yang tak sempat terceritakan disini, karena keterbatasan ingatan.

Bertebaranlah teman-temanku di sekitaran taman dan teras auditorium seusai acara berakhir. Teman-teman perempuan satu per satu mulai melepas baju toganya masing-masing kecuali topinya. Nampaknya mereka ingin memamerkan kebaya barunya yang membuat lekuk tubuhnya semakin terlihat modis. Tak mesti kebaya, yang penting itu terlihat feminim.

Mereka sudah tak sabar ingin memencet tombol “Capture”, atau berpesta blitz dari kamera digital mereka untuk mengabadikan hari yang takkan terulang ini. Bondan, kawan seangkatan yang belum lulus hari ini harus rela menjadi juru jepret. Selasar auditorium, dan sekitaran area parkir dipenuhi stand-stand foto wisuda, yang siap menampung kenarsisan teman-teman dengan background yang berkesan sangat intelek dan kualitas SLR.

Hingga aku akan pulang tiba-tiba aku menemukan baju toga yang tergeletak sembarang di tangga teras Auditorium. Tidak lain ini adalah milik teman perempuanku yang tadi keburu-buru ingin memamerkan kebayanya. Feelingku tepat, ini adalah milik Viki. Tepat sekali aku mengembalikannya sebelum ia menarik handle gas motornya untuk pulang.

Dari kanan atas: Ida, Endah, Aku, Udin
Tengah: Agung, Aris, Viki, Lissa
Bawah kanan: Heraldi, Kholis, Nung, Amanah, Deni
Bawah: Eko Nurrohmad
Dari kanan atas: Ida, Endah, Aku, Udin Tengah: Agung, Aris, Viki, Lissa Bawah kanan: Heraldi, Kholis, Nung, Amanah, Deni Bawah: Eko Nurrohmad




***


Tinggalah besok apa yang akan terjadi. Keluargaku akan datang menemuiku disini. Semarang bagi mereka seperti kota Mekkah yang hanya sekali atau dua kali saja disinggahi seumur hidup. Apakah aku akan menemuiku di Ar[t]my??, rasanya aku harus menghindari ini. Aku tidak ingin orang tuaku kaget melihatku tinggal di tempat seperti itu, seperti sarang setan. Aku sengaja memilih bermalam di kosnya Aris yang letaknya cukup dalam dan sulit dijangkau dengan mobil, sehingga aku bisa meminta orang tuaku untuk cukup menungguku saja dari M.U.A. ini skenario ku.


Aris adalah kawan wisuda yang paling sebatangkara di kontrakannya, setelah ditinggal Nanang, Harry dan Anggoro ke tanah perantauan dan Marwan pindah kos. Sangat sepi, bapak dan ibu kosnya pun selalu tidur lebih awal. Seandainya Aris tidur sambil telanjangpun tak ada orang yang melihatnya. Atau seandainya ia membawa wanita simpanan pun tak ada orang  yang bisa dijadikan saksi atas tingkah bejat Aris. Sangat kesepian. Aku memutuskan untuk menemaninya untuk menghapuskan negatif thinkingku tentangnya itu.

Dan aku tak bisa tidur.


Padamara, 16 Oktober 2013