Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Tuesday, October 23, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 13]


Memang betul adanya, jangan pernah menilai buku dari sampulnya. Kata-kata bijak hanya omong kosong belaka, itulah mengapa aku selalu butuh pelajaran langsung. Ar[t]my di Kalimasada dilambangkan sebagai kontrakan yang tak pernah sepi dari pemuda dengan berbagai model. Model pecinta vespa, model berambut gondrong, seniman, model pecinta motor-motor kuno. Ada lagi kawan-kawan Sejarah ku yang sering datang kesini jadi ketambahan ada orang-orang model bingung masa depan. Penampakan ar[t]my tetaplah kusut. Siang hari yang terlihat adalah pemuda melamun, bermata berat, rambut berantakan, menggaruk-garuk kepala, mereka baru bangun tidur. Sore hingga malam baru terlihat ada kehidupan, dan pagi tetaplah pagi yang sepi yang berbicara adalah sampah-sampah terabaikan yang bergerak sendiri tertiup angin di depan pintu atau lambaian pohon-pohon di samping rumah yang semakin meninabobokan penghuni kontrakan. Namun jarang orang yang tahu apa yang ada di ruang belakang kontrakan ini. Setelah, tahu rasanya kita harus kembali mendengar dan mulai menghargai makna lirik lagu Reggae nya Steven & Coconut Treez – Bebas Merdeka:

Banyak yang bertanya, aku ini mau jadi apa?
Koq nggak kuliah, juga nggak kerja
Tapi ku jawab inilah ku adanya

Tapi jangan kira, aku ngak berbuat apa-apa
Aku berkarya, dengan yang ku bisa
Dan yang penting aku bahagia

Yang penting aku gak nipu
Gak bikin susah kalian
Yang penting gak terlibat 378

Reff: kujalani, apa adanya aku bahagia
Bebas lepas, tanpa beban, aku merdeka (reff 2x)

Meski mereka mahasiswa, dari luar terlihat seperti pemalas. Seperti tidak bekerja, juga seperti tidak kuliah tapi di ruang belakang kontrakan ini adalah sebuah laboratorium anak-anak seni rupa. Bergulung-gulung kanvas dan yang paling besar adalah laboratorium sablon dengan berbotol-botol cat. Yah selain mereka sering menerima pesanan lukisan, mereka juga memiliki keahlian menyablon. Aku mengamati kebanyakan pesanan sablon adalah kaos-kaos yang dipakai oleh maba ketika keakraban jurusan di Unnes, termasuk kaos Exsara juga disablon disini. Tidak sebatas menyablon mereka juga melabelkan sablonya dengan merk “BELIMO”. Karena mereka adalah anak-anak seni rupa maka “belimo” adalah sebuah ide dari kata “B5” atau nama gedung kuliah mereka di Unnes. Dalam satu proyek, tentu kadang nilainya jutaan rupiah. Inilah yang membuat mereka bahagia tinggal disini, ketimbang terlihat sibuk kerja atau kuliah keluar.

Dari musim kemarau pertengahan Juli hingga musim hujan pertengahan Oktober aku telah tahu semua tentang ar[t]my dan Kalimasada. Ar[t]my bukan hanya wadah maskulinitas, ar[t]my juga bukan soal kongsi orang-orang culun yang takut dengan wanita, juga bukan kongsi orang-orang lusuh yang tidak didekati wanita. Bahkan aku memandang kebahagiaan mereka sungguh lengkap karena ada wanita-wanita disini. Nampaknya tetangga-tetangga telah mafhum, dan aku yang telah empat tahun di Semarang menjadi mahasiswa juga harus memeklumi fenomena ini. Teman atau pacar wanita boleh menginap di kontrakan ini bahkan satu kamarpun tak mengapa, selama tidak ketahuan petugas, FPI dan tidak ada undang-undang yang melarangnya di kontrakan ini. Jika di Dian Ratna menyikapi hal ini bersifat semi-bebas, orang pasti ragu untuk menginapkan pacarnya di kamarnya bukan karena ada penjaganya atau bukan karena ada rasa malu tapi kerena Dian-ratna berbentuk kos-kosan, sama halnya dengan asrama dan petugas merasa halal saja melakukan inspeksi di sebuah kos-kosan. Namun ar[t]my tidak disangkal lagi bahwa ia adalah sebuah rumah kontrakan, dimata siapa saja akan menganggap ini seperti rumah warga biasa yang tidak perlu adanya inspeksi, satu rumah adalah satu otoritas penghuninya. Ini adalah nilai plus sendiri kepada mereka yang mencintai nilai-nilai romantisme. Bebas mengapresiasikan seni pergaulan dengan pacar di dalam kamar.

Hampir semua penghuni di sudut kamar kontrakan ini sudah memiliki seorang kekasih dan sempat membawanya ke kamar. Mungkin kecuali aku dan Agus. Aku memang baru putus dan sulit menentukan kapan lagi aku akan kembali berpacaran, sedangkan Agus. Aku tak tahu. Kembali tentang kebebasan di ar[t]my, meskipun mereka bebas bersama pacarnya di dalam kamar, namun selama ini aku belum pernah mendengar suara yang aneh-aneh dan negatif diantara mereka. Dari suara kalbu aku hanya bisa menangkap bahwa mereka sedang bercanda dan kelihatannya memang menyenangkan.    

Jujur saja semenjak semester 2 aku ingin sekali merasakan hal seperti itu. Punya pacar anak Unnes yang sedikit gampangan lah, minimal dia manis. Yang sekiranya mau diajak ke kamar kosku di Dian Ratna. Memang tak terbayangkan membawa seorang kekasih yang paling dicintai ke tempat yang lebih personal. Meski aku tak mengerti apa yang akan dilakukan dan apa tujuanya tapi sungguh memang sepertinya menyenangkan. Mungkin didalam bisa ngobrol tentang hal-hal yang indah dari cinta hingga hal-hal yang mendetail layaknya pembicaraan tingkat professor cinta yang Detail. . . sungguh detail. . .

Wanita adalah sumber gairah kehidupan pria, wanita adalah sosok yang lebih berharga daripada harta benda semahal apapun. Disini aku merasakan kesepian yang tak terperi jika berfikir tentang wanita. Wanita adalah harapan hidup, dan tanpanya sungguh mimpi buruk, aku sungguh mengakui kebenaran teorinya Sigmund Freud. Sekalipun aku tak memiliki kekasih, setidaknya dalam imajinasi, selalu dapat aku bayangkan wajah sosok wanita idaman, membayangkan bahwa ia adalah milik kita dan bangga memilikinya, disitulah aku bisa tiba-tiba tersenyum kemudian bangkit. Itu adalah proses Self Hypnosis, kunci kebahagiaan salah satunya ya seperti itu. Membohongi diri sendiri, aslinya gak punya tapi merasa punya, aslinya kekurangan tapi merasa kaya.

Namun keinginan untuk memiliki seorang kekasih disini tak pernah tersampaikan sepanjang hidupku di Semarang. Karena setiap setelah sholat fardhu aku hampir pasti berdo’a agar aku selalu dituntun ke jalan lurus-Nya. Alhasil aku selalu dijauhkan dari hal-hal yang mendekati maksiat. Dan anehnya lagi aku tak bernafsu untuk memiliki pacar dari Unnes, secantik apapun se-solehah apapun Allah tidak pernah mengkaruniakannya padaku disini. Sinyal-sinyal cinta seringkali ku dapatkan tapi aku tak pernah menanggapinya dengan penuh gairah. Inikah yang dinamakan terkabulnya do’a?? aku memang tidak senang dengan terkabulnya do’a ini tapi bagaimanapun juga ini adalah jalan terbaik yang Allah berikan. Dari hati selalu berbisik bahwa lebih baik aku mencari seorang kekasih dari dalam negeri saja ketika aku pulang. Negeri yang aku maksud adalah negeri yang terbentang dari lembah-lembah Gunung Slamet hingga teluk Penyu, karena mereka adalah satu dialek.

Sendiri disini tak masalah, selama kemampuan imajinasiku masih luar biasa jika membayangkan tentang kekasih. Ya, jadi aku bisa saja merasa sedang memiliki seorang kekasih ketika otakku sedang dalam level gelombang Alfa. Sedikit merasa tenang dan bahagia sebelum tidur. Masih bisa mendengar setiap denyut kehidupan di sudut kamarku. Suara gaduh tikus yang sedang becanda di balik plafon MMT, bunyi kodok yang masuk ke bagian kusen yang keropos, serta kerik jangkrik yang asalnya entah dari kolong sebelah mana. Ketika otak menginjak pada level Theta, barulah aku tak sadarkan diri tidur pada kelelapan, meninggalkan waktu yang tak pernah kembali.


written at:
Payung parkiran FIP, 23 Oktober 2012

Sunday, October 14, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 12]


Hidup yang dipenuhi dengan trik dan tingkah yang kehati-hatian biasanya tercermin  kalau dia adalah bagai orang  yang susah bernafas. Disini seolah memang aku begitu namun aku masih tetap bisa berespirasi. Semua hanya soal mindset saja. Aku positif thinking dengan mereka, dan merekapun juga sama. Meski kamar ini lebih gelap dari kamar ku di Dian Ratna dulu dan tidur hanya beralaskan kasur lantai tingginya tak lebih dari 3 Cm, tapi rasanya jauh lebih memendam kedamaian. Aku yakin dalam perhitungan Feng Shui pun akan memberikan jawaban yang sama. Meski di Dian Ratna lebih mahal tapi dekorasi dan penataan ruangannya sangat menjenuhkan. Kamar seluas 5X2,5 meter tak berjendela. Ada kaca itupun bukan jendela yang bisa dibuka dan itu juga ditutupi kertas agar isi ruangan tidak terlihat dari luar. Ada fentilasi, sebagian juga ditutup agar nyamuk tidak mudah masuk. Meski siang hari tapi seandainya pintunya ditutup, suasana akan gelap gulita, lebih gelap dari penjara sekalipun. Jika berjalan keluar yang ada hanya pemandangan barisan kamar yang sama, menyerupai bangsal di rumah sakit.

Belum lagi pakaian-pakaian kotor tergantung-gantung di setiap depan kamar, pakaian yang usai dijemur tapi pemiliknya lupa tidak mengambilnya lagi berhari-hari, berbulan-bulan, satu semester dan ketika sudah satu tahun tak ada yang mengambilnya Trio Dian Ratna (Lana, Prie, dan Ibu Kos) meringkus pakaian itu semua dan membakarnya di tempat sampah. Begitu kumuhnya jika diingat-ingat?? Bahkan ketika aku masih disitu kawanku Paemo (Karunia Rima) yang sedang mampir pernah bertanya sekaligus menjawabnya sendiri “Gan, kau tahu kosmu ini seperti apa?? Seperti di Film Slumdog Millionaire!!”

Itu Dian Ratna, berbeda dengan Ar[t]my. Disini kamar-kamar dinamai dengan nama-nama bunga, aku menempati kamar Flamboyan. Hanya seluas 3x2 meter, dua dinding bercat hitam dan dua dinding bercat putih. Satu hal yang membuatku betah adalah sebuah jendela yang rendah. Disitu aku bisa memandang suasana luar, pohon mangga pohon rambutan bergoyang diterpa angin dan mengipas udara segar masuk ke ruanganku. Seringku melamun berpandangan kosong ke luar jendela ketika pikiran bawah sadar sedang bergejolak, tapi teduhnya suasana bawah pohon itu telah memfilter dari pikiran-pikiran jahat dan Penyebab-penyebab depsresi.

Pemandangan depan rumah adalah sebuah perempatan jalan (depan Gg. Kalimasada III). Tempat orang lewat dari berbagai penjuru. Jarang sekali seorang mahasiswa di depan yang lewat dengan jalan kaki. Peradaban telah berubah, semua berangkat kuliah minimal menggunakan sepeda motor. Setiap pagi mereka berangkat dengan berwajah tegang dan sedikit ngebut, ekspresi takut terlambat. Siang hari mereka berangkat dengan wajah berminyak sedikit mengerutkan alis dan di hatinya sambil berzikir “malasterpaksaberangkat, malasterpaksaberangkat, malasetrpaksaberangkat. . . . (33x)”. Malam hari baru terlihat wajah cerianya, mereka bertebaran menjemput pacar, mencari makan dan mencari tempat tongkrongan. Ramai hingga jam dua dinihari.

Segenap ruang dan waktu dikala subuh yang dingin dan berbintang, giliran diambil alih oleh segolongan kaum-kaum tua keropos untuk beraksi. Depan kontrakanku juga terdapat sebuah surau. Terlihat seorang kakek-kakek selalu datang berjalan sangat pelan sambil memasang satu per-satu kancing baju kokonya melangkah menuju surau. Instingnya selalu tepat kapan ia harus bangun tidur dan kapan saat ia harus mengumandangkan adzan subuh itu tanpa melihat jadwal solat yang akurat sekalipun. Saat suaranya masuk ke mikrophon dan keluar melalui corong megaphone, maka saatnya lah sebuah (gejala) kiamat sugra bagi telinga-telinga penghuni ar[t]my. Selain karena corong megaphone (mungkin sengaja) tepat akurat menghadap kontrakan, suara kakek-kakek itu juga sangat tidak enak didengar. Meski yang diucapkannya salah satu petikan ayat Al-Qur’an yang biasanya mampu merasuk ke kalbu, tapi jika beliau yang membacakannya akan terdengar tidak karuan. Kau tahu beliau suaranya bagaimana?? Suaranya kasar seperti suaranya Doraemon masih dipadukan dengan kasarnya suara drum yang diisi gragal (kerikil besar) kemudian diseret-seret di jalan berbatu. Aku mengakuinya, dan teman-teman kontrakan juga. Seringkali kita tak dapat mengelak untuk bangun juga di kala subuh itu.

Inilah visualisasi sehari-hari disini. Aku akan tahu, hipotesis-hipotesis orang yang mengatakan ini adalah kontrakan yang buruk lama-lama itu akan terpatahkan. Nyatanya aku merasa lebih betah dan nyaman tinggal disini ketimbang di Dian-Ratna. Suasana desa lebih terasa, disini aku masih bisa mendengar kokok ayam, selalu melihat orang pergi ke surau, ibu-ibu berangkat yasinan, anak-anak kecil bermain di depan kontrakan, dan yang terpenting adalah disini aku sudah tidak melihat lagi sosok yang bernama “IBU KOS”.

written at:
ar[t]my jl.Kalimasada, 14 Okt 2012

Wednesday, October 10, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 11]


Aku lebih sering pergi ke luar dari pada bersemayam di kontrakan. Jujur saja aku agak takut jika aku menjadi bagian dari mereka. Aku paling muda dan takut jika dimanfaatkan dalm hal negative. Sengaja aku membuat mind-set orang-orang kontrakan bahwa aku disini seperti pelanggan hotel saja, yang kadang check-in dan kadang check-out tak usah bagitu dipikir yang penting aku selalu membayar iuran listrik dan air dan tidak membuat keributan. Mas Santo ibarat sang kapten di kontrakan ini juga nampak melakukan hal yang sama, dia seorang guru dan tetap menjaga jarak dengan tingkah laku teman-teman kontrakan yang lain. Aku lihat dia lebih sering pergi ke luar bersama Kirana. Begitulah aku selalu merasa tenang ketika ada orang lain yang satu presepsi denganku, sedikit apapun itu.

Ada saja caraku untuk membuat mindset orang-orang kontrakan bahwa kehadiranku disitu tidak perlu dipikirkan. Yang pertama adalah bayar Listrik dan air tepat waktu. Meski mereka terkesan semrawut, tapi ada beberapa tulisan terleminating yang digantung di beberapa sisi. Tentu tulisan tegas itu adalah berisi peraturan. Aneh memang, anak freedom tapi ada sisi dogmatisnya. Nah salah satunya di pasang di sebelah cermin dan papan itu bertuliskan “USAHAKAN BAYAR LISTRIK SEBELUM TANGGAL 10 BEN RAK KABOTAN”. Aku tahu dan aku tertib mematuhinya, setidaknya dengan begitu aku bebas dari bahan pergunjingan mereka.

Trik yang kedua adalah jangan banyak menampakan diri dengan mereka ketika di kamar. Tujuannya adalah, menghindari dari ajakan mereka yang aneh-aneh. Beberapa hari aku mengamati tentang kebiasaan mereka di kontrakan, terutama jadwal-jadwal ketika mereka sedang ngumpul bersama di teras. Hasil pengamatannya adalah setiap pagi jam 7 hingga pukul 1 siang suasana kontrakan sangat sepi karena umumnya mereka masih tidur, beberapa yang sudah bangun adalah yang sudah bekerja atau ada jadwal kuliah itupun sekedar mandi dan berangkat. Pukul 1 siang hingga 1 dinihari bagiku ini adalah REDZONE yang harus aku hindari. Pada jam ini hampir pasti mereka sedang berkumpul-kumpul dengan teman-teman mereka yang datang dari luar, atau kalau gak ya hanya kumpul-kumpul anak kontrakan. Biasanya obrolan demi obrolan akan menjurus hal-hal yang lebih dalam dan detail, bisa saja spontan akan membahas tentang diri mereka sendiri dan orang-orang disitu. Namun dengan meninggalkan kontrakan ketika jam-jam itu, kamarku bagitu sepi dan seperti tak berpenghuni, mereka tidak ingat lagi tentang aku dan kamarku.

Beruntung aku sudah tidak ada kewajiban-kewajiban lain di pagi hari, sehingga aku tak perlu takut tuk bangun kesiangan. Aku iseng saja meninggalkan kontrakan pukul 1 siang untuk sekedar ke kampus atau berbincang bincang di kosnya Aris dan pulang-pulang ketika maghrib hanya untuk mandi dan sholat. Jam 7 malam aku kembali beraksi ke luar mencari makan sekaligus mencari ilmu dari hotspotan di kampus hingga pukul 1 dinihari. Hal ini cukup merubah kebiasaanku yang ketika di Dian Ratna aku terbiasa tidur pukul 11 malam dan bangun pukul 5, 6 atau 7. Kini aku harus tidur pukul 2 dan bangun pukul 9. Artinya jam tidurku mundur sebanyak 3 jam. Sementara tak mengapa, anggap saja aku sedang berada di Teheran, Iran yang yang zona waktunya 3 jam lebih muda ketimbang di Semarang. Sehingga kini aku anggap pukul 2 dinihari adalah pukul 11 malam. Beberapa waktu yang lalu aku juga menemukan sebuah artikel di website kesehatan yang terpercaya bahwa umumnya Remaja me-release hormone melatonin (penyebab rasa kantuk) yaitu ketika pukul 1 dinihari, jadi aku memaklumi jika aku belum tidur pukul ini dan aku akan sangat merasa bersalah jika aku baru tidur jauh sesudah pukul 1 ini. Karena akan dapat menyebabkan liver bahkan penyakit jantung. Kebiasaan pulang ke kontrakan pukul 1 tidaklah jadi masalah besar. Inilah dua trik ampuh yang aku gunakan dalam rangka mengubah mindset mereka tentang aku.

Suatu kali aku ingin berlagak seperti Sinichi Kudo, aku sengaja memadamkan kamar seolah aku tak berada di dalam dan diam-diam aku mendengarkan obrolan-obrolan mereka di ruang depan. Sebenarnya mereka adalah orang yang suka dengan humor, obrolan-obrolan mereka juga tidak terlalu berat, sebatas membahas hal-hal hubungan dirinya dengan kawannya atau kawannya dengan kawan yang lain. Dari luar paling sering datang segerombolan anak-anak pemilik Vespa, kadang-kadang kawannya Agus kadang juga kawannya mas Eqy karena mengingat keduanya adalah sama-sama pecinta vespa. Mereka hadir ke situ obrolannya juga banyak seputar Vespa. Kadang-kadang mereka sekedar senang-senang bermain gitar dan bernyanyi lagu-lagu Regae.

Pembicaraan mereka masih tergolong mudah diserap juga oleh pikiranku. Tidak pernah membahas tentang materi kuliah teori-teori yang pernah dimengerti kemudian diopinikan. Atau berbicara tentang profesionalisme diri seperti dalam forum HIMA atau aktifis yang saling mempertanyakan profesionalisme orang lain kemudian saling menyalahkan mengumpat dibelakang, bagai api dalam sekam. Tidak, tidak pernah membahas tentang hal-hal itu, karena pembicaraan seperti itu hanya akan menimbulkan rasa diri bersalah, pesimis dan berujung depresi. Nikmati saja hidup, mereka anggap semuanya professional dan baik-baik saja. Itulah yang membuat persahabatan mereka tetap kompak dan cenderung langgeng.

Friday, September 28, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 10]


Kenalan satu kontrakanku yang lain aku kurang begitu akrab. Entah mengapa, aliran penampilan saja sudah berbeda, apalagi soal pola pikir dan selera. Begitulah mungkin yang ada dalam pikiran mereka. memang benar selama ini aku tidak pernah berdandan neko-neko atau paling tidak sedikit semrawut lhah, tapi satu hal yang sama dari diriku dengan mereka adalah kesederhanaan. Aku tidak membawa barang yang lebih mewah dari laptop, dan merekapun memilikinya, sedangkan sepeda motorpun tak aku bawa. Persamaan kesederhanaan akan mencegah kesenjangan social, dan membuat orang disekitar kita enggan untuk “menjaili” kita, coba jarang sekali orang miskin dijaili, kemalingan atau dirampok. Meskipun dirampok mungkin hanya sekala kecil saja, dan menjadi orang kaya adalah sebaliknya. Selain menjadi incaran para maling juga kerap menimbulkan rasa kesenjangan social dari kalangan lebih rendah.

Sebalah kamarku ada mas Dedi satu peraduan dengan mas Londo (aku tak tahu nama aslinya). Mas Dedi tampak paling dewasa, tinggi. Soal pergaulan di kontrakan mungkin dia sama halnya dengan pemain sepak bola bernomor punggung 10 dalam suatu kesebelasan. Pemain bernomor 10 biasanya adalah orang yang paling sering mandapat bola, sering diberi umpan dan paling sering memberi umpan, yaitu menjadi tumpuan serangan. Begitu juga dengan mas Dedi, nampaknya ia adalah orang yang paling sering ditongkrongi oleh kawan-kawannya. Mas Londo terlihat paling menakutkan, karena ia berambut gondrong dan menggunakan anting, paling keren dibanding yang lain. Begitu juga dengan mas Sis, juga berambut gondrong.

Aku juga sering bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa para seniman, seringkali berambut gondrong. Entah itu pelukis, penyanyi, penulis novel, sastrawan, bahkan sejarawan pun kadang-kadang juga gondrong. Namun, aku juga sering menjawab pada diri sendiri bahwa menurutku gondrong adalah cerminan orang orang yang bebas dogma (aturan hukum), artinya ia merasa bahwa dalam dirinya tidak ada yang mengekang ataupun yang menyetir dirinya, semua yang dilakukan dan dipikirkannya adalah berasal dari diri sendiri. Lawan dari gondrong adalah rapi, siapakah yang menjadi representasi orang rapi? Jawabannya adalah Tentara, Polisi, Guru. Yah itulah orang rapi, sehingga orang rapi sering di interpretasikan sebagai orang-orang yang dogmatis (taat aturan). Perhatikan, mana mungkin tentara, polisi, atau guru membangkang aturan dari atasan, kecuali djika dirinya ingin dipecat. Jadi orang rapi adalah gambaran orang-orang yang jiwa dan raganya disetir dan dikomandoi dan seolah-olah pasti dia punya atasan. Berbeda dengan seniman (gondrong), jika ingin berkarya tentu mengikuti suara hatinya, jika dipaksa oleh kehendak orang lain tentu hasilnya kurang bagus.

Itulah aku, aku berpenampilan rapi dan seolah-olah kebalikan dari pikiran mereka. Soal gondrong Vs rapi ini sebenarnya bukanlah sebuah patokan yang nyata akan tetapi menurut sosiologi ini hanya sekedar “Labeling”, atau “pemberian cap”. Padahal kenyataan sebenarnya banyak juga seniman yang tak berambut gondrong seperti Volakis S.I.D, Bondan, sastrawan Nugroho Notosusanto, Sartono Kartodirjo dll dan masih banyak pula orang gondrong yang ternyata dogmatis, misalnya para intellijen, tokoh agama, bahkan orang-orang jaman nabi seringkali digambarkan berambut gondrong, termasuk nasi Isa juga gondrong, serta tentara-tentara Taliban juga gondrong, bukankah semua orang-orang ini adalah orang-orang dogmatis??.

Mungkin hal pertama yang mereka lihat dari sisi dogmatisku adalah Sholat pergi ke mushola. Ku akui diantara mereka tidak pergi ke mushola. Inilah perbedaan adat yang pertama, namun aku tidak pernah takut akan perbedaan ini, justru dengan sholat kadang malah menjadikan diri ditakuti dan dihormati, yang terpenting adalah selalu sama-sama positif thinking dengan mereka. Soal sholat untung saja tidak aku saja yang melakukannya, tetapi Agus juga, bahkan seringkali Agus yang membangunkanku tuk sahur atau mengajak untuk berjamaah di masjid. Yah setidaknya sikap Agus yang seperti ini membuat hatiku lebih lega, dia bagaikan perisai keduaku disini. Mas Eqy juga kerap berangkat jumaatan. Hatiku lebih tenang lagi.

Gazebo Perpus Pusat, 28.09.2012

Wednesday, September 26, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 9]


Kontrakan ar(t)my namanya, aku menemukan identitas kontrakan ini dari sebuah undangan yang ku temukan di atas cermin gantung di samping pintu. Sebenarnya itu adalah undangan Pameran Tugas Akhir 2012 dari anak-anak seni rupa yang diadakan di gedung B5 lt 1, bertemakan desain poster dengan aplikasi fotografi arsitektur kuna di Kota Yogyakarta sebagai media publikasi. Bisa diterjemahkan bahwa kontrakan ini tidak lain adalah dinastinya anak-anak jurusan seni rupa. Bagi orang-orang nama ar(t)my sudah menjadi representasi kontrakan milik anak-anak seni rupa. Ketika aku baru memesan air depot pertamakali di kontrakan ini, pegawai depot pun bertanya “ini kontrakannya orang-orang seni itu kan?”. Ternyata representasi itu sudah kondang di telinga orang-orang. Lambat-laun aku lama tinggal disini berfirasat bahwa para penghuni kontrakan ini sudah bukan lagi sekedar mahasiswa, tapi para dedengkot-dedengkot atau gembong-gembong anak jurusan senirupa. Maksudnya adalah bahwa mereka sudah dikenal oleh kakak-kakak kelas mereka yang sudah lulus dan juga dikenal oleh adik-adik kelasnya hingga dijadikan sebagai tempat konsultasi kegiatan kampus, karya seni dan bisnisnya. Dengan catatan mereka terkenal bukan karena kecerdasan intelektualnya atau prestasinya, tapi  terkenal karena keluasan pergaulan dan gaya hidup yang freedom nya. Jika diibaratkan jurusan sejarah maka dedengkot-dedengkot yang dimaksud sama halnya seperti Winarso, Feby, Aris, Marwan, Nanang, Harry. Lihat, mereka tidak cukup cerdas dalam kuliah, namun seringkali mereka tetap menjadi tempat tongkrongan adik-adik kelas bahkan mahasiswa jurusan lain. Beda dengan dedengkot macam Erika, Artha, Annas, Eny, Riesty, Revita mereka terkenal karena kerajinannya, IP nya yang tinggi namun mereka adalah orang bertipe fast and arrogant, sama sekali berbeda dengan apa yang dimaksud sejiwa dengan ar(t)my.

Meski terkenal kontrakan anak-anak seni rupa namun nyatanya tidak semua penghuninya dari jurusan seni rupa. Sepanjang yang aku kenal ternyata didalam ada Agus Vespa, dia seangkatan denganku namun ia dari jurusan Sosiologi-Antropologi, aku mengenalnya karena dia juga mantannya Pinky. Konon di Sos-Ant ada banyak yang namanya Agus, sehingga setiap Agus ada sebutannya sendiri-sendiri seperti Agus Pinter, Agus Bodho dan Agus Vespa, nah yang satu kontrakan denganku adalah Agus Vespa atau Agus Nur Fuadi, ia adalah pecinta vespa sejati dan aktif dalam komunitasnya. Teman sekamarnya juga bukan dari seni rupa, namanya Eqy. Meski aku tak tahu dia kelahiran tahun berapa namun aku memanggilnya “Mas Eqy” dari jurusan Menejemen. Aku dulu sempat bertemu dengannya di salah satu fotocopyan, kini aku baru tahu ternyata dia tinggal disini. Melihat mas Eqy memang cukup menarik perhatian, bagiku dia tampan dan sangat kharismatik. Memang bingung untuk meyakinkan bagaimana dia bisa dikatakan tampan, karena secara logika dia tidak berkulit putih bahkan lebih gelap dari kulitku, badanya juga tidak tegap atletis, hanya saja dia memeiliki jambang yang lebat. Jadi memang cukup aneh tapi bisa diibaratkan saja kopi, kopi adalah buah yang gosong, hitam dan pahit tapi ia menjadi minuman yang sangat special jika diberi gula. Begitu juga dengan mas Eqy, meski jika dipikir dengan otak kiri (kritis-analitis) dia sudah jelas-jelas berkulit gelap dan berjambang lebat, namun dengan pikiran bawah sadar aku yakin orang-orang akan banyak yang menganggapnya tampan dan kharismatik. Jika dikira-kira dia memang seperti blasteran keturunan Persia dengan Spanyol.

Penghuni non seni rupa yang lain yaitu ada Winarso dan Mas Kingkong (Wawan Budiharjo). Kamar mereka berdua inilah yang aku huni saat ini. Mereka memanfaatkan kontrakan ini hanya untuk transit barang-barang mereka, selebihnya terbengkalai. Karena mereka berdua lebih mencintai tinggal di PKM FIS. Selain di PKM FIS labih banyak teman sehobby nya, disana juga dekat dengan kampus. Winarso sempat mencoba betah tinggal di ar(t)my, namun lama kelamaan ada rasa bersalah dari dirinya karena suasana kontrakan yang nyaman dan tenang ini membuatnya malas untuk ke kampus dan itu berlarut-larut hingga ia sangat sering membolos tidak masuk kuliah. Sedangkan mas Kingkong rasanya ia tidak mau lepas pergaulan dengan anak-anak KSG dan Geografi, selain itu dia juga punya bisnis jual beli online barang-barang outdor, namun posisinya sebagai perantara saja bukan pemilik barang dagangan. Sistemya ia menjualnya di website sehingga dia merasa jangan sampai terlewatkan permintaan pembeli di internet dan ia setiap beberapa jam sekali harus online, nah PKM adalah gudangnya sinyal Wifi gratis, tidak seperti di kontrakan ini, makanya ia betah tinggal di PKM. Satu alasan mengapa mereka memilih kontrakan ini sebagai tempat barang-barangnya, yaitu karena biayanya yang sangat murah yaitu Rp.5.000.000/tahun dibagi 10 orang jadi Rp.500.000/tahun/orang, coba apakah ada yang lebih murah dari ini?

Teman seni rupa pertama yang ku kenal adalah mas Santo, dia sudah alumni dan sekarang mengajar di SMP Kesatrian Semarang. Rupanya disini dialah yang paling dihormati dan dipercaya sebagai pemegang administrasi pembiayaan kontrakan seperti air dan listrik. Rupanya dia pacarnya Kirana (Sejarah 08), dan rupanya lagi dia adalah TL KKL pertamaku ketika ke Karanganyar-Jogja, hanya saja dia menjadi TL di bus A dan aku di bus B sehingga aku tidak mengenalnya sebelumnya, namun pantas saja banyak kawan-kawan Sejarah 2008 yang mengenalnya rupa rupanya karena itu. . . .

(bersambung)

Ar(t)my Jl.Kalimasada, 26.09.2012
Agus (Naik Vespa biru), Mas Eqy (kemeja kotak-kotak)
Agus (Naik Vespa biru), Mas Eqy (kemeja kotak-kotak)

Monday, September 17, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 8]


Sebelum aku meneba-nebak tentang hal yang kedua, aku diberitahu oleh Winarso kalau mayoritas penghuni kontrakan ini adalah anak-anak seni rupa. Aku baru bilang “Pantas Saja”, orang seperti mereka tentu harus menyukai hal-hal yang aneh-aneh. “Baik atau jelek sebuah karya yang terpenting adalah diperhatikan orang”. Mungkin itu adalah salah satu petikan ayat dari kitab suci orang-orang seni rupa. Penilaian dari orang adalah hal yang paling utama. Apalah arti mengerjakan tugas tanpa dinilai oleh dosen. Like doing for nothing. Ada dua kunci agar diperhatikan orang-orang adalah Keindahan dan Keanehan. Namun sudah terlalu banyak orang yang mengadopsi tentang Keindahan. Ibarat misalnya buku “antologi puisi terindah sepanjang zaman”, tentu pembaca akan bingung jika disuruh untuk memilih puisi mana yang terindah dari yang paling indah dalam buku itu. Hal kedua yang diadopsi oleh seniman adalah Keanehan Strange. Karya seni yang berbentuk aneh memang masih sangat langka, dan aku rasa para mahasiswa seni rupa penghuni kos ini beraliran Strange. Mereka memilih jalan karya seni yang langka, entah karena pesimistis soal persaingan keindahan atau memang itu adalah selera mereka.

Jika melangkah ke dalam kontrakan ini akan dihadapkan pada symbol swastika berwarna merah yang cukup besar sekitar 1x1 Meter. Sepengetahuanku Swastika yaitu logo yang dipakai dalam Weda/ kitab suci agama Hindu sebagai symbol kelangsungan hidup di dunia yang terus berputar dan ber reinkarnasi. Di Era 1930-an logo ini dipakai Hitler sebagai logo Partai NAZI Jerman, cukup melambangkan obsesi Hitler yang menghendaki kekuasaan The Third Reich dapat bertahan hingga ratusan tahun. Namun setelah keruntuhan Partai NAZI beserta Negara-negara Axis (poros Berlin-Roma-Tokyo) tahun 1945 logo ini haram untuk kembali dikibarkan di Jagat ini karena NAZI dicap sebagai penjahat perang kelas berat terkenal dengan istilah Holocaust (Genosida). Meskipun haram namun anak-anak kontrakan ini tetap mengadopsinya. Enyahlah . . . untung Indonesia tidak begitu awas dengan kisah sejarah dunia, swastika pun masih dianggap halal karena banyak orang yang tak tahu apa itu NAZI. Aku juga pernah naik bus dari Purbalingga ke Semarang atau Touring naik motor dari semarang ke Kudus menggunakan atribut lengan Nazi-sawastika toh aku juga tidak ditangkap Polisi. Swastika besar Itu adalah keanehan pertama yang kulihat di Kontrakan ini. Strange juga bisa diartikan melawan arus, paradox, atau memberontak dari hal-hal biasa.

Tak lepas dari studi mereka, pasti mereka juga memamerkan lukisan-lukisan di Kontrakan ini. Lukisan bernada strange banyak terpajang. Pertama, aku dapat melihat lukisan sekelompok kupu-kupu sedang mengendarai vespa. Lukisan aneh kedua adalah gambar kucing hamil terlihat bayinya di dalam perut dan di dalam perut bayi itu terdapat tulang belulang ikan. Segmen ruang kedua ada sebuah lukisan hitam pekat seperti foto hasil Rontgen terlukis tipis kepala bapak-bapak berkacamata (seperti seorang dosen) dan didepannya ada ilustrasi bayang-bayang tengkorak. Di ruang paling belakang ada dua lukisan terpajang, pertama bergambar sepasang kuda yang sedang becanda namun lekuk otot kuda itu nampak aneh seperti lekuk-lekuk akar medan menuju puncak Gunung Muria. Disebelahnya ada lukisan seseorang tegar di hadapan badai gurun pasir, dan badai gurun itu membentuk kepala kuda yang sangat besar. Dan banyak lagi lukisan-lukisan aneh yang hanya tertumpuk tak dipajang.

Kontrakan kala itu begitu sepi, aku belum melihat batang hidung mereka satupun. Barang-barang ku letakan sembarang di kamar Winarso itu. Selebihnya aku, Winarso, Nanang dan Aris masih bercanda di kursi depan namun senyum dan tawaku sedikit aneh, bukan tawa lepas, tapi tawa yang sebenarnya memendam rasa khawatir untuk tinggal di Kontrakan baruku ini, apakah aku akan disambut baik atau sebaliknya. Sedikit ada rasa sesal aku memutuskan tinggal di kontrakan ini namun rasa itu masih taraf menyerah sebelum perang dan aku masih belum tahu bagaimana kedepannya. Saat itu juga aku berfikir ulang tentang tawaran Aris dan Nanang untuk tinggal di kos mereka saja. Meskipun tempat yang dihuni Aris dan Nanang sangat jauh lebih baik dari ini, akan tetapi itu adalah “Kos” bukan “Kontrakan”. Lagipula bapak kosnya berada disitu. Akupun dapat memprediksikan seandainya aku memutuskan untuk tinggal bersama Aris dan Nanang mungkin akan terjadi hal yang lebih fatal ketimbang aku tinggal di Kontrakan ini (dua bulan kemudian prediksi ini akhirnya terbukti ketika kawanku Heraldi mencoba tinggal di Kos Aris, diapun diusir bersama barang-barangnya oleh bapak dan ibu kosnya, sungguh menyakitkan). Sementara aku masih memilih Kontrakan di Jl.Kalimasada ini, aku harus menyingkirkan negative thinking dalam kepala ini, menghapus kesan awal yang buruk tentang kontrakan semrawut ini. Biarlah akan tetap aku jalani.

Takdir itu seperti pemerkosaan, kalau kita tak bisa menghindarinya, maka cobalah untuk menikmatinya. ..
(bersambung)

Jl.Kalimasada, 17-09-12

Friday, September 14, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 7]


Potret-potret masa laluku di Dian Ratna hanya teringat di kepala, tak sampai terabadikan dalam gambar-gambar baik tentang persahabatanku dengan Noval, Andis atau dengan ilmuwan-ilmuwan cerdas Marham, Ponco, Deny dll. Hanya saja aku sempat berfoto di depan pintu kamarku, kamar no.42. Tapi rasanya itu tak akan cukup untuk merekonstruksi sejarah. Let the dead be dead.

Di Semarang, aku terlahir di Dian Ratna, tapi mungkin aku takkan berakhir di disana juga. Ini lah mengapa catatan “Dari Setanjung ke Kalimasada” menjadi penting bagiku. Gerilyawan Che Guevara terlahir di Argentina, berjuang demi Revolusi di Kuba sekaligus menjadi negarawan disana, dan ia tertangkap da mati dieksekusi di Bolivia, itulah mengapa ia menjadi begitu terkenal. Ketidakonsistenan tidak selalu menjadi hal yang buruk selama ia punya alasan rasional meski tidak secara yuridis, apakah demi kemanusiaan atau demi survival.

Aku pindah ke Jl. Kalimasada karena alasan survival, ini adalah strategi ekonomisku. Seandainya tidak pindah mugkin aku akan membayar 1,7 juta lagi, padahal aku akan menempuh 3 bulan saja, maka kerugian yang bisa dihitung sebesar Rp 1455.000. Namun dengan pindah ke Jl.Kalimasada (kontrakannya Winarso) aku hanya mengeluarkan dana Rp. 250000 + 75000 = Rp.325000, jelas menghemat sebesar Rp 1130.000 atau kira kira 77,6% dari dana yang seharusnya dikeluarkan.

Dari mimnimalisir dana itu tentu aku telah memikirkan sebuah konsekuensi. Kawanku Aris sebelumnya telah mengabarkan, jika aku memilih tinggal di kontrakannya Winarso itu maka aku akan bergaul dengan orang-orang yang sama sekali tidak satu disiplin denganku. Itu menandakan bahwa idealismeku akan kembali diuji apakah aku akan tetap pada kebiasaanku seperti di Dian Ratna atau aku akan mengikuti arus begitu saja berangkulan dan mengikuti gerakan mereka bersama sama sekompak penari tarian Seudati (Aceh).Quod sumus, hoc eritis?  (as we are you shall be?).

Aku tidak ingin menantikan apa yang akan terjadi. Sekarang aku telah berada di depan rumah kontrakan itu, Jl. Kalimasada No.43. Raut mukaku penuh dengan kebohongan kalau aku merasa tidak apa-apa dan seolah aku akan betah tinggal di rumah ini. Sebelum masuk, kupandang sejenak rumah ini dari sisi kanan dan sisi kiri mencoba menebak-nebak tentang bagaimana karakter penghuninya.

“Penghuninya tentu bukan orang culun”, itu predksi pertamaku. Orang culun memiliki azas “jangan pernah terlihat menonjol soal penampilan”, baik orang culun yang kaya maupun orang culun yang miskin tidak pernah menonjolkan diri soal apa yang disandangnya. Jika berpakaian secara sekilas terlihat sangat plain (polos) dan sangat biasa, karena ia sangat tidak senang jika ia menjadi magnet sorotan mata setiap orang. Jika ia menjadi magnet sorotan mata setiap orang maka ia akan jatuh ke dalam jebakan salah tingkah, merasa paranoid, merasa tidak nyaman, rasanya ingin menangis dan lari sekencang-kencangnya meninggalkan perhatian dari mereka. Jadi, orang culun adalah penyamar yang baik dan kebalikan dari sifat para selebriti. Coba pikirkan, tidak ada seorang intelijen yang sok selebriti.

Orang culun paham batas kewajaran. Jadi tentu bisa dibedakan antara orang culun yang dibuat-buat dengan orang culun yang murni. Jika menjumpai penempilan culun bergaya retro atau bergaya ala Betty Lafea tentu itu bukanlah orang culun yang murni, tapi culun yang dibuat-buat. Aku anggap kontrakan baru ini memang tidak dirawat oleh orang culun. Coba melihat sebuah dekorasi di sebelah pintu, terdapat roda tiga yang berjajar dan semuanya diberi tangan, dan berumbai-rumbai. Aku tak mengerti apa makna dibalik itu, tapi dekorasi yang tidak terlalu besar itu membuat suasana kontrakan ini dari kejauhan nampak seram, bukan seram seperti berhantu, tetapi seram bagaikan markas surganya orang gila yang lusuh. Dinding depan berbalut cat merah, lantai semen, sangat kusam, penuh debu dan di sana sini retak dan terbongkah. Belum lagi di teras tergeletak beberapa motor Piagio Vespa, ada Vespa yang masih terlihat standar, ada Vespa yang terlihat asal-asalan motor, berwarna hitam doff mirip semut hitam yang gigitannya paling menyakitkan, dan satu lagi ada Vespa gembel yang semrawut dan tak enak dipandang mata,  Vespa ini sampingnya disambung dibuatkan tempat duduk baru yang beroda. Mirip motor-motor yang dipakai para serdadu di Perang Dunia II atau mirip motor dalam game Road Rash di PS. Ada satu hal lagi yang yang menampakkan bahwa kontrakan ini bukan dihuni oleh orang culun, yaitu kursi tamu yang seluruh isi perutnya acak-acakan keluar.

Tidakkah menarik perhatian  bagi siapa saja yang lewat?? Setiap mata pasti terhipnotis dan memproyeksikan ke dalam otak mereka “Penghuni macam apa membuat kesan depan seperti itu”. Bahkan kemarin (14.09.12) kawanku Idris (Ex-sahabat Dian Ratna) mensurvei ingin melihat kontrakan baruku itu secara sekilas, kemudian ia mengirimkan inbox kepadaku“wah nekat nement gan, milih kosan lwih sadis maning ah.. kos preman diparani, jatuh pd lubang yg sama..hha”. .  .  . . .

(bersambung)

written at:
Gazebo C3 Fakultas Ekonomi, 15 September 2012

Friday, August 24, 2012

Inilah Skripsiku,Semoga Bermanfaat

Pengaruh Film GIE Terhadap Pemahaman Nilai-Nilai Nasionalisme Pada Siswa Kelas XII IPS SMA Negeri 1 Kutasari dalam Pembelajaran Sejarah Tahun Ajaran 2011/2012






Klik DISINI judul untuk mendownload skripsinya

Monday, August 13, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 6]


Separuh rasa aku menjadi seorang pengkhianat, separuhnya lagi aku merasa seperti pejuang yang menegakkan keadilan. Kamis malam aku merencanakan untuk eksodus ke kontrakannya Winarso di Jl.Kalimasada. Sebelumnya aku telah menjanjikan padanya kalau aku betah tinggal ditempat itu maka hutangnya padaku sebesar Rp.250.000 akan kuhilangkan. Janjiku seperti itu seharusnya membuat Winarso semangat untuk membantuku untuk eksodus ke kontrakannya itu. Tapi nyatanya tidak, malam Jumat yang sudah ku rencanakan matang-matang untuk eksodus gagal begitu saja. Winarso yang sudah bolak-balik ku bujuk melalui sms agar segera membantuku memindahkan barang-barangku ke kontrakannya pada malam itu juga ternyata dia tidak bisa, entah dia sedang dengan siapa yang kabarnya sedang ngopi di angkringan nasi kucing Jl.Cempaka. Katanya bahwa ada sesuatu yang penting pada saat itu sehingga ia memintaku menunda niat ini. Aku begitu memburu untuk pindah pada malam itu juga, karena ini adalah bagian dari konspirasiku agar aku tak perlu lagi melunasi tagihan listrik yang semena-mena dari ibu kos, dan aku memprediksikan kalau ibu kos besok pasti akan menghampiriku dan menagih bayaran itu. Winarso seharusnya mengerti tentang hal ini, tapi dia tidak mau mengerti, dia hanya berjanji bahwa esok subuh akan segera membantuku memindahkan barang-barangnya.

Aku tunggu hingga subuh, dan ternyata janji itu adalah palsu. Pelajarannya adalah jangan percaya pada janji orang yang begadang untuk berurusan dengannya di pagi buta !. Aku tunggu hingga sinar mentari setinggi mata tombak ternyata Winarso mungkin masih terlelap dengan tidur buaian ingkar janjinya itu. ketika aku hendak berangkat ke kampus, apa yang aku takutkan ternyata terjadi. Ibu kos datang jauh-jauh dari Boja masuk ke pintu gerbang Dinasti Dian-Ratna. Itu memang bukan pintu masuk satu satunya tapi sayangnya pintu yang lain selalu terkunci rapat, andaikan ada serombongan Harimau yang masuk ke kos ini melalui pintu itu pasti seluruh penghuni akan mati, karena tak ada lagi pintu alternatif lain. Seperti hanya denganku, mau tidak mau aku jika hendak keluar pasti lewat pintu itu. sebuah kamar yang biasa untuk tempat transit ibu kos juga posisinya sangat strategis, ia lurus menghadap pintu masuk atau berada di tepi arteri sirkulasi keluar masuk penghuni Dian Ratna, sehingga ibu kos akan selalu tahu siapa yang masuh dan siapa yang keluar. Jika diibaratkan Dian Ratna adalah kepulauan Nusantara maka kamar milik ibu kos itu adalah Kerajaan Sriwijaya, letaknya sangat strategis yaitu di tepian lalu-lintas pintu satu-satunya menuju kepulauan Nusantara. Selalu menarik pajak para pelayar-pelayar dari luar yang hendak masuk atau keluar Jawa. Seandainya ingin menghindari pajak maka setidaknya ia akan lewat selat Karimata tapi resikonya adalah akan dicegat oleh perompak liar yang siap membajak kapal bahkan sejarah juga mengabarkan bahwa umumnya perompak-perompak itu adalah kanibal.

Akhirnya aku berpas-pasan dengan ibu kos. Seperti yang telah terpikirkan, dan diapun mengatakan “Lisrtikmu lho nang iseh kurang”. Ucapnya sambil setengah tertawa dan menepuk lenganku, karena sejauh ini yang dia tahu bahwa aku adalah orang yang tidak pernah curang. Aku berwajah tegang dan hanya bilang “Nggih” saja, ibu kos mungkin langsung percaya bahwa dalam waktu dekat itu aku akan segera membayarnya. Pertemuan itu hanya seperti dua semut yang saling bertemu, berhenti hanya satu detik saja, ibu kos berjalan hendak ke tempat transitnya itu dan aku berjalan menuju ke kampus.

Aku masih dalam idealismeku bahwa aku akan tetap tidak akan sudi membayar kekurangan itu. Biar bagaimanapun tariff listrik yang ibu kos kenakan untukku sangatlah tidak adil. Selama satu tahun itu aku hanya intens tinggal di Dian Ratna hanya satu semester saja, karena satu semester lain aku tinggal di Salatiga dan Brebes. Namun ibu kos tetap mengenakan tariff listrik padaku dengan porsi 100% yaitu Rp.180.000/tahun bukan 50%nya saja. Padahal tidak ada perjanjian sebelumnya, kecuali tariff kos yang memang sebelumnya telah ada perjanjian bahwa ingin satu semester atau kurang dari itu tarifnya tetap untuk satu tahun. Selama setahun ini listrik baru aku bayar Rp.100.000 atau 68%. Aku rasa jika aku tidak menepati apa yang diminta ibu kos mengenai tariff listrik itu, aku tidak akan merasa berdosa karena niat yang ada di dalam hati adalah niat menegakkan keadilan, bukan niat licik yang tersembunyi. Bahkan aku merasa telah menyelamatkan ibu kos dari dosa atas ketamakannya itu, dan memberi pelajaran bahwa ketamakan tentu tidak akan disukai banyak orang.

Jumat itu di kampus aku bertemu dengan Nanang dan Aris, dia sangat bersiap untuk membantuku memindahkan barang nanti, bahwa aku tinggal memberinya instruksi saja lewat SMS maka mereka langsung datang. Tidak perlu heran mengapa mereka bagitu sudi membantuku, bahkan jika dipikir-pikir mereka bagaikan kuli bagiku yang yang rela membawakan barang-barang berat tanpa mengharapkan imbalan. Namun itulah yang dinamakan teman yang baik, dalam persahabatan mereka memandang sejarah dan masa depan. Mereka memandang sejarah yaitu mencoba mengingat-ingat kembali kebaikan kebaikan apa saja di masa lalu yang telah aku berikan kepadanya sehingga ia terpacu untuk membalasnya di masa sekarang. Dan mereka juga memandang masa depan, bahwa masa depan tentu akan banyak tantangan dan jalan berliku yaitu dengan membatu seorang kawan di saat ini maka ia akan merasa mendapat jaminan bantuan juga di masa depan sebagai hasil dari balas budi. Mungkin itula yang dimaksud Albert Einstein dengan hukum kekekalan energy, yaitu energy yang dikeluarkan akan sama dengan energy yang diterima atau terkenal dengan rumus E=MC2 . Hanya saja rumus Einsten tentu hasil hitung hitungan, sementara apa yang dilakukan oleh kawan-kawanku itu tidak. Kawan-kawanku tidak menghitung berat beban atau tingkat kesukaran dari sebuah budi, inilah sesuatu yang begitu special dan aku menyebutnya sendiri dengan istilah Uncountable Requite (Balas budi yang tidak mengenal hitung-hitungan).

Jumat sore aku intai kembali, apakah ibu kos sudah pulang ke boja atau belum. Ternyata Allah memberkahiku, Ibu Kos mungkin sudah pulang sementara Pri an Lono juga tidak nampak. Sore itu aku langsung panggil Nanang dan Aris, mereka langsung datang dengan membawa satu tas Carier. Satu per satu barang-barangku langsung dibawa mereka menuju kontrakanya Winarso di Jl.Kalimasada. selekas mereka pergi, tiba-tiba Winarso datang, maka lekaslah sudah aksi eksodusku, dengan cepat barang-barangku telah berpindah tempat.

Kamar no.42 Dian Ratnaku menjadi kamar yang gelap, padahal separuh barang-barang milik Noval masih disitu termasuk laptopnya yang masih stand by. Noval entah sedang kemana pada saat itu, kabarnya ia juga akan pindah ke Banaran tapi aku tak tahu sebelah mana. Sebenarnya saat itu aku ingin berpamitan dan berterimakasih telah menjadi teman baik sekamarku selama dua tahun. Namun perpisahan itu terasa hampa, tak ada memo atau pesan-pesan terakhir yang ku tinggalkan, aku pergi begitu saja. . . . . meninggalkan kamar yang telah hampa. .         

Jl.Cempaka Sari Timur (Kos Aris, Nanang dkk), 13 Agustus 2012  

Saturday, August 11, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 5]


Tidak ada liburan panjang untuk akhir semester ini. PPL adalah sebuah beban yang dipikul untuk mahasiswa semester 7 membuatku mengurungkan niat untuk bersenang senang, bersantai-santai di rumah. Kontrakku di Dian Ratna masih ku perpanjang dan Noval selalu positif thinking padaku sehingga ia masih mempercayakanku menjadi teman sekamarnya. Amin, pindah entah kemana. Aku belum sampai berjumpa dengan maba calon-calon penghuni Dian Ratna yang baru. Rombongan PPL Unnes menarikku tanpa belas kasihan kemudian menerjunkanku begitu saja di SMP Negeri 2 Tengaran (sebelah selatan Kota Salatiga).

Terpaksa dalam tiga bulan ini aku harus berpisah dengan Dian-Ratna, dan mendapat lingkungan hidup yang baru yaitu di Desa Bener, persis di belakang Terminal bus Tingkir Kota Salatiga. Desa yang begitu dingin. Untuk beberapa minggu aku merindukan Dian Ratna dan kembali kesana. Aku merasakan perbedaan temperatur yang cukup tajam antara Salatiga dengan Gunungpati, membuat kulit ariku seperti hendak mengelupas. Di minggu kedua aku baru melihat maba di Dian Ratna. Sebelah kamarku adalah orang Batak, mereka memenuhi segala fasilitas untuk dirinya di kamarnya sendiri, termasuk TV dan PS. Sebelah kiri kamarku masih ada Ulin, hanya saja dia sudah kehilangan Amin, namun ia terlihat lebih mantap dan mandiri dalam menjalani hidup hingga mencalonkan diri menjadi Ketua HIMA geografi.

Gilang telah pindah dengan damai entah kemana, dalam waktu dekat Agung juga pindah atau lebih tepatnya diusir ibu kos karena tagihan tahun lalu belum lunas. Marham masih bertahan, aku bingung kepada siapa lagi aku akan bersahabat. Maba memandangiku sedikit menaruh rasa curiga, aku memaklumi, mungkin memang karena kita sama-sama putra Dian Ratna tapi aku adalah orang yang menghilang sejenak ketika mereka lahir disini. Bisa saja mereka berprasangka bahwa aku adalah orang luar, orang asing, orang yang seharusnya tidak tinggal disini. Hampir setiap minggu aku pulang ke Dian Ratna dari Salatiga, namun rasanya mereka tak kunjung akrab denganku. Teman lain suku memang lebih sulit untuk diakrabi, samping kananku adalah orang Batak, sampingnya lagi orang Minangkabau, depanku Orang Batak, sampingnya dia orang Sunda. Hanya sesama orang Jawa yang masih terlihat ramah kepadaku.

KKN membuatku terpental semakin jauh dari Dian Ratna, tapi aku mendapat kebahagiaan di tempat KKNku di desa Kubangwungu, Brebes. Empat puluh lima hari aku meninggalkan Semarang tanpa kembali, tak tahu kabar dari Setanjung.

Ketika PPL dan KKN telah menjadi sejarahku, lembaran baru di Setanjung kembali dimulai. Semester delapan mareka masih berlarut-larut kurang mengenalku, mungkin hanya sebatas tahu kalau aku adalah mahasiswa semester atas. Noval juga telah menjadi senior di kos sekaligus senior di HIMA geografi. Marham telah dinyatakan lulus di semester 7 kemarin, dia tinggal mondar-mandir di kos atau ke kota tuk mencari informasi lapangan pekerjaan, dan pertengahan semester 8 dia pulang ke Kalimantan. Tak kusangka inilah akhir persahabatan 4 tahunku bersamanya, entah kapan lagi aku bisa bertemu dengannya.

Aku sadar ini adalah bulan-bulan, hari-hari, minggu-minggu, jam-jam kemudian menjadi detik-detik terakhirku di Dian Ratna. Memang tak ada yang menarik, tapi aku telah memutuskan tanggal 13 Juli 2012 menjadi hari bersejarahku meninggalkan Dinasti Dian Ratna Jl.Setanjung, dinasti yang cukup untuk menguji idealismeku selama 4 tahun.
Gazebo C5 FIS, 11 Agustus 2012    

Sunday, August 5, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [part 4]


Aku selalu berfikir ulang jika hendak hengkang dari kos ini. Beberapa teman menawari aku kos yang lain karena rasanya teman-teman tidak suka kalau aku terus menetap di kos ini. Mungkin karena di kos ini mereka memandang aku seperti orang yang tak berkawan, selalu menyendiri dan kasihan. Atau mereka juga berpandangan kalau aku disini berkawan dengan orang-orang yang sama sekali tidak cocok berkawan denganku sebagai orang yang kalem, disiplin dan serius dalam kuliah.

Nampaknya reputasi kos ini masih saja dianggap jelek dimata orang-orang luar yang mengerti riwayat kos ini. Bagaikan seorang mantan narapidana yang bertato, di mata masyarakat ia tetaplah dianggap bukan orang baik, meski secara pribadi ia sudah benar-benar bertobat. Begitu juga dengan Kos Dian-Ratna, ada yang beranggapan bahwa kos ini cukup mesum, karena tidak dijaga oleh ibu kos, teman cewek bisa saja dibawa ke kamar lalu pintu dikunci. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan didalam, apakah sedang mengerjakan tugas bersama, ataukah sedang acting pura-pura berperan sebagai bapak dan ibu. Semua orang-orang kos menganggapnya wajar dan tak perlu jadi bahan pembicaraan. Ditambah lagi bahwa kos Dian-Ratna bukanlah sebuah dinasti kos yang hanya dihuni oleh mahasiswa putra saja, akan tetapi juga menerima kos putri. Bedanya kos putri berada di sekitar depan, dan kos putra adalah sisi dalam kos. System kos putra-putri ini juga membuat potret negative dimata public, karena beranggapan sangat mungkin sepasang kekasih dalam satu dinasti kos, bisa sebebas-bebasnya berpacaran. Aku akui semua hal-hal itu memang pernah ada di disini dan semua alasan itu benar, dan pelaku-pelaku itu umumnya adalah orang yang dari luar terlihat baik-baik. Namun satu per satu diantara mereka hengkang dari kos ini, karena sudah ada label buruk jika terus di kos ini. Hanya mahasiswa barulah yang tetap memandang netral mengenai kos ini.

Oleh karena itu, jarang sekali penghuni kos yang bisa bertahan bertahun-tahun di kos ini. Setelah tahu sejarahnya, mereka pasti akan pindah. Namun masih terlihat ada aku, Marham, Agung, Gilang, dan Mas Helmy yang masih mencoba bertahan dari sekitar 60 mahasiswa putra Dian Ratna. Di semester 5 ini aku, Marham, Agung dan Gilang mungkin punya alasan yang berbeda mengapa tidak hengkang. Aku dan Marham punya alasan yang sama yaitu kos ini sangat setrategis karena sangat dekat dengan kampus. Jadi ketika ada jadwal pagi, tidak harus terburu-buru, tidak pula membutuhkan sepeda motor untuk ke kampus, selain itu ketika ada keperluan mendadak seperti tugas atau buku yang tertinggal di kos, maka mobilisasi bisa dilakukan dengan cepat. Mempertimbangkan harga juga tidak terlalu mahal, fasilitas jarang sekali ada kendala seperti kehabisan air dsb. Itu adalah nilai plusnya tinggal disitu.

Seperti biasa aku tetap mengambil satu kamar untuk 2 orang, jadi aku harus selalu menerima aka nada kawan asing baru yang akan menjadi teman sekamarku. Tahun ajaran 2010-2011 aku tak ada kesibukan lain di luar kampus. Di awal September aku berkenalan dengan kawan baruku sekaligus teman sekamar. Sebelum melihat orangnya, aku mengetahui namanya “Novalino Pawori Mingge”, aku beranggapan nama itu sedikit aneh bagi orang Jawa, jadi aku pikir dia adalah orang dari Indonesia bagian Timur. Tepat di bulan Ramadhan aku pertama kali berjumpa dengan dia, ternyata dia berasal dari kabupaten Pati (Winong), sedangkan nama “Pawori” hanyalah sebuah singkatan saja PA=Pati dan WORI=Wonogiri. Itu adalah asal muasal masing-masing kedua orang tuanya. Awalnya aku mengira dia adalah seorang muslim. Maklum aku tidak suka menanyakan agama kepada seseorang karena terkesan diskriminatif. Setiap masuk kos, aku selalu mengucap salam seperti juga yang ku lakukan dulu bersama Ponco. Namun seringkali Noval tidak menjawabnya. Kemudain ketika aku bangun sahur, dia juga bangun untuk memakan sesuatu.
Aku baru mengetahui bahwa dia adalah seorang nasrani yaitu ketika suatu waktu aku menemukan sebuah potongan kertas kecil yang dileminating berisi 1 ayat dalam Alkitab, serta sebuah liflet dari UKK (Unit Kerohanian Kristen), menyusul juga aku melihat sebuah Alkitab. Aku baru yakin kalau dia adalah seorang Kristen Protestan. Rupanya mengapa dia ikut sahur adalah cara dia menghormati orang muslim berpuasa yaitu agar siangnya dia juga tidak makan, dan makan di siang hari ketika bulan puasa adalah hal yang tidak sopan. Paling dia hanya minum air putih saja.

Memiliki teman sekamar yang berbeda agama bagiku tidaklah masalah, dan kami berusaha untuk tidak saling berbicara tentang agama. Persahabatanku dengannya begitu lancar, tak pernah ada persinggungan apapun, dia menghormatiku tapi dia tidak setakut Andis dulu. Dia banyak bertanya, dan aku cukup pendiam. Di semester pertama dia memiliki seorang Pacar, seorang muslimah sesame dari jurusan Geografi. Sering dia bawa ke kamarku, sekedar menemaninya ketika jeda jam kuliah, menjemput Noval tuk berangkat kuliah, sampai kadang sarapan sepiring berdua di kamarku. Aku tak berurusan dengan pacaran mereka. Hingga semester kedua nampaknya mereka sudah putus hubungan. Noval sudah tak pernah lagi membawa pacarnya kesini. Noval juga terlihat lebih gelisah.

Lingkungan kos aku rasa sudah benar-benar bersih dari tikus-tikus kotor. Berisi mahasiswa-mahasiswa baru. Hanya saja masih ada satu orang yang ditunggangi oleh tikus-tikus kotor itu kemudian kembali menggerakan untuk mengadakan Malam Keakraban. Aku sudah tahu, Gilang sudah tahu, Marham sudah tahu dan Noval ku beritahu, kami memutuskan membuat alasan-alasan untuk tidak bisa mengikuti keakraban itu. Aku tak tahu lagi berapa uang lagi yang dikorupsi.

 Di semester kedua nampaknya Noval giat dalam dunia cyber, dia mencuri ilmu-ilmu yang dipakai oleh orang-orang PKM untuk bisa menembus akses cepat WiFi di Unnes. Noval menularkannya kepadaku. Sebagian teman-teman Dian ratna menjadi sangat bergairah untuk hotspotan ke kampus. Menikmati akses cepat internet hingga lebih dari 1Mbps, seringnya kami mendownload film. Mulai saat inilah aku mulai terjun untuk memperluas wawasanku tentang film dan banyak mendownload film-film yang bernilai moral aku simpan baik-baik. Hingga skripsiku sendiri aku angkat tentang film GIE. Noval memberiku banyak perubahan untuk banyak mengetahui tentang teknologi dan entertainment, game, software dan antivirus. Berkat dia sekarang aku bukanlah lagi orang yang gaptek. Ibarat Noval membuatkanku sungai, aku tinggal menaiki sampan dan mendayungnya hingga he hilir. . .

PKM FIS, 05 Agustus 2012    

Sunday, July 29, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part3]


Sama halnya dengan penyakit kanker, setelah dioperasi tidak semuanya tuntas begitu saja. Sisa serabut akar kanker akan tumbuh kembali menjadi kanker. Aku tak mau melihatnya, apakah masih dengan “tikus” yang sama ataukah sebuah kelompok baru. Jawabannya adalah “keduanya”. Aku cukup hafal dengan suara mereka. Keberadaan sang revolusioner (ibu kos) yang tidak menetap di kos ini membuat tikus-tikus dapat kembali dengan mudah di malam hari dan mereka takut dengan siang hari. Mulai sekitar semester 2 kemarin, aku baru tahu kalau kos ini baru intens dipelihara oleh 2 orang pemuda. Ia adalah Lono dan Pri, namun keduanya tak berani sedikitpun menghalangi aksi tikus-tikus itu. mereka berdua menyadari, mereka bukanlah anak orang kaya yang banyak uang untuk menyekolahkannya atau kuliah. Hanya fisik dan kesetiaan kepada ibu koslah yang menjadi modal, lagipula pekerjaanya disitu tidak diberi mandate untuk menjaga keamanan kos. Sebatas mengepel, membersihkan kamar mandi, memperbaiki instalasi listrik, instalasi air dan jika ada proyek membangun sesuatu iapun wajib campur tangan. Lono dan Pri bukanlah Dwarapala seperti yang ada di pintu gerbang candi-candi tapi bagi ibu kos ia tak lebih berharga daripada mahasiswa-mahasiswa penghuni kosnya. Mereka berdua berwajah kembar dan fisiknya tampak kuat tapi mereka memiliki cacat yang sama yaitu masalah penglihatan. Dan semua alasan inilah yang membuat tikus lama tetap berani masuk. Jangankan berani menarik ekor tikus itu, untuk bermain gobak sodor di pintu gerbang Dian Ratnapun ia tak berani. Dian Ratna, bagaikan Negara tanpa tentara. Sama juga seperti “lelaki yang tak memakai cawat” kata Benedict Anderson.

Dunia memanglah luas, aku tetap menyewa Kos 1 kamar untuk dua orang, dan akupun pasrah siapakah orang yang akan menggantikan kawanku Ponco tuk mendampingi hidupku dalam satu kamar. Aku berpindah dari kamar no.40 ke kamar no.42, bekas kamar dulu yang ditempati Idris dan Akip. Aku tak berani terlalu lama liburan di rumah dalam fase peralihan ini. ini adalah saatnya aku menunjukan diri bersama kawan-kawan Hima Sejarah 2009 dibawah Diyah Ari untuk tampil di depan adik-adik kelas baru. Mendidik dan menggebleng mereka dalam KEMAS. Otomatis sebelum ajaran baru dimulai, aku harus sudah berada di Semarang, dan aku langsung mengetahui siapa teman sekamarku. Dia adalah Andis, mahasiswa baru Ilmu Sejarah berasal dari Blora. Begitu juga dengan kamar-kamar yang lain, diisi oleh mahasiswa-mahasiswa baru angkatan 2009 dari berbagai jurusan. Awal kedatanganku kesana, mereka tengah sibuk dengan kegiatan PPA dan bertanya-tanya kepadaku tentang bagaimana mempersiapkannya.

Ada sebuah tradisi tahunan di kos ini, yaitu malam keakraban. Tahun lalu juga aku tidak melewatkanya. Pada dasarnya acara keakraban ini adalah acara untuk kesenanagan anak-anak kos saja, tidak ada campur tangan ataupun control dari ibu kos sendiri. Sehingga kepanitiaanyapun dirancang sendiri, celakanya panitia-panitia itu adalah “tikus-tikus kotor” itu. Jika tahun lalu hanya dikenakan iuran Rp.10000/orang untuk satu porsi ayam bakar, lalap, es teh, jajanan ringan, stiker Dian Ratna dan BookNote, bagiku itu adalah tariff yang jujur dan pada saat itu masih ada mas Setiawan Wibisono (Pak Guru) yang juga turut menjadi panitia. Sedangkan tahun ajaran 2009-1010 biaya iuran keakraban kos naik menjadi Rp.20.000/orang dengan menu yang sama. Panitia kali ini masih sama (tikus-tikus itu) hanya saja sudah tanpa pak Guru. Tikus-tikus itu adalah mahasiswa-mahasiswa paling tua disitu, sekarang tidak ada lagi orang seangkatannya yang masih baik-baik disitu jadilah ia penguasa dan pengendali segala malam keakraban itu. Jika dalam menu yang sama dan perkiraan inflasi harga pertahun maka dapat diperkirakan semahal-mahalnya hanya naik Rp.5000 dari tahun lalu, dengan total iuran seharusnya Rp. 15000. Jadi kemanakah uang Rp.5000 dari sisa dikurangi harga normal Rp.15000??uang Rp.5000 jika dikali dengan jumlah minimal anak kos  yang ada missal 60 orang maka total itu menjadi Rp.300.000. Mungkinkah mereka mengkorupsinya hingga sejumlah itu untuk acara kecil-kecilan ini?. Aku saat itu masih menjadi mahasiswa semester 3, hanya diam saja (kalah senioritas), dan bertekad untuk tidak mengikuti acara ini di tahun depan.

Angkatan 2009 tetaplah paling akrab bergaul dengan sesama angkatannya. Termasuk Andis, meski fisikku kalah besar darinya tapi ia tetap menganggapaku sebagai seniornya. Mungkinkah ia menganggapku sebagai senior yang kalem, pendiam dan baginya mungkin menganggap sikapku ini sedang membatasi diri dan menjaga kewibawaan terhadap adik kelas. Padahal tidak, memang beginilah sifatku. Mungkin banyak orang yang mempercayai bahwa orang pendiam memang untuk sementara waktu terlihat lemah, kalem, mudah dibujuk dan cukup moderat. Tapi ia tidak bagus untuk dijadikan teman, karena ia adalah orang yang memendam rahasia, dan sering pula dikisahkan dalam film-film bahwa orang pendiam umumnya tumbuh menjadi manusia aneh apakah itu menusuk dari belakang atau tumbuh menjadi psikopat-psikopat ganas sebagai pembunuh berdarah dingin, untuk sekali ia diusik. Siapa saja yang belum berkenalan denganku lebih dalam akan merasakan sensasi-sensasi pikiran itu. Termasuk Andis, ia jarang sekali tidur satu kamar denganku, ia tidur bersama kawannya yang lain dalam kos ini dan kadang ia rela untuk tidak tertidur di kasur. Sekali ia mencoba tidur denganku, tampaknya ia tidak bisa tidur, karena aku diam tanpa kata. Andis datang ke kamar hanya ketika ia ingin mandi, mengambil peralatan mandi, atau untuk sekedar ganti baju. Andis tampak takut jika ia membuat sedikit kesalahan dihadapanku, sehingga ia sedikit menjauhiku, takut jika kesalahannya itu membuatku berubah seperti Hulk.

Suara-suara “tikus-tikus kotor” yang sedang mabuk itu masih menggaung di kos ini. Meski tidak seintensif dahulu. Aku tak tahu apakah Andis terlibat didalamnya atau tidak, tapi aku menduga kelihatanya banyak pemula-pemula pesta miras ini, karena seringkali terdengar orang yang muntah-muntah setelah pesta ini.

Suatu pagi aku juga mendengar, ada anak kamar belakang yang kehilangan Laptop. Anak kamar belakang mayoritas adalah orang-orang Batak. Sekitar pukul 6 pagi, semua kamar kos ini digedor-gedor keras oleh salah satu dari mereka. Mereka meminta agar semuanya keluar dari kamar utnuk sementara. Semua kamar digledah satu per satu. Tapi tak menemukan apa yang ia cari itu. Belum puas, akhirnya siang itu diadakan penggledahan ulang, hanya Andis yang menjaga kamar, aku tengah kuliah dan lemariku juga terkunci. Sepulang kuliah aku kaget melihat kunci lemariku yang agak rusak dan di dalamnya agak acak-acakan, aku mengiranya bahwa ini ulah maling. Namun Andis kemudian menjelaskan padaku lewat SMS bahwa tadi lemariku dibobol karena ada penggledahan dari orang-orang BAtak itu.

Semester pertama di tahun ajaran 2009-2010 ini memang banyak masalah, sayangnya aku tidak tahu kapan dan apa sebab-sebabnya tiba-tiba kebobrokan Dian-Ratna meletus. Munkinkah sebuah konflik internal? (aku belum menanyakan kepada yang tahu pasti). Nampaknya Andis juga turut dalam perpecahan ini. Dia frustasi, disamping di kos ini ia tidak nyaman bersama denganku dia juga terlibat konflik bersama kawan-kawan yang lain. Dalam jangka yang tidak lama ketika aku sedang tidak berada di kos, ia mengambil barang-barang miliknya di kamar. Dan entah ia pergi kemana, tanpa pamit kepadaku. Tapi beberapa masih banyak barang-barang yang tertinggal. Sebelum ujian semester aku sudah merasa memiliki sepenuhnya kamar ini.

Diantara kawan-kawan mahasiswa angkatan 2009 di Kos ini aku hanya akrab dengan 2 orang saja, yaitu Amin Sayuthi dan Eko Nugroho. Aku akrab dengan mereka karena alasan satu rumpun satu bahasa, Amin sesama dari Purbalingga dan Eko dari Banyumas. Keduanya sama-sama dari jurusan sosiologi. Eko bertubuh agak gendut, pintar main gitar dan bernyanyi. Sedangkan Amin bertubuh tinggi, kekar, tampan, pendiam, namun aura pendiamnya masih kalah mengerikan dengan pendiamku, sehingga di kos ia masih sering terlibat dalam adu ejek-ejekan guyonan.    

Menginjak semester 4, aku baru merasakan apa yang aku inginkan dari kos ini. Bisul yang pecah itu membuat semua isinya keluar dan penyembuhan berjalan dengan cepat. Tikus-tikus kotor malas kembali ke kos ini, meskipun tak ada proteksi di kos ini tapi tikus itu tengah bingung ketika bersinggah, karena sudah tidak ada lagi yang satu pemikiran dengannya. Menuju akhir tahun ajaran 2009-2010 berjalan mulus, tanpa ada hambatan. Hanya ada petasan-petasan kecil yang meledak, yaitu bentakan-bentakan kemarahan ibu kos yang kehilangan anak kosnya kabur tanpa melunasi tagihannya. Sementara aku memutuskan untuk memperpanjang tahun depan untuk tetap tinggal di kos ini, aku tetap menjadi anak kesayangan ibu kos. . . . . . . . (bersambung)


Jl.Kalimasada, 29 Juli 2012

Friday, July 27, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 2]


Semenjak hidup di Dian Ratna dalam beberapa hal kami selalu bersama. Ketika musim awal-awal kuliah, kami selalu makan siang dan makan malam bersama di Warteg Bu Dewi yang letaknya di kompleks depan jl.Setanjung. Sebenernya tidak karena murah tapi karena kami belum mencoba pilihan lain selain warteg itu. Namun ketika Ramadhan menjelang kami mencoba beranjak ke warteg lain yang berada di belakan Fakultas Mipa ketika sahur. Kami hampir selalu konsisten tuk terus berada di situ, karena ada menu yang khas yaitu kering kentangnya yang tidak membosankan, selain itu di akhir-akhir bulan ramadhan kami menjumpai pelayan wateg ini ada yang baru, ia mungkin masih SMA dan wajahnya mengingatkan ku pada Acha Septriasa. Ia menjadi ikon kekompakan kami tuk terus bersama dan memilih makan berada disitu. Yang berbeda dari kami ketika makan hanyalah ketika sarapan. Beberapa dari kami seringkali malas untuk sarapan. Diantara sekian anak, hanya aku yang terus mendisiplinkan diri tuk sarapan sebelum jam 7. Aku melakukan ini karena nasehat ibuku agar aku jangan sampai meninggalkan sarapan pagi. Sarapan pagi adalah hal yang sangat penting, agar tidak lemas dan bisa konsetrasi ketika kuliah. Kawan-kawanku yang masih malas umumnya sering kali nitip juga membelikan sarapan kepadaku.

Dalam satu tundun pisang tidaklah semuanya baik. Dari berpuluh-puluh kamar kos Dian Ratna tidak aku sangka, didalamnya terdapat “tikus-tikus kotor” yang menciptakan sejarah kelam penghuni Dian Ratna. Mereka tidak lain adalah mahasiswa-mahasiswa tua yang frustasi tak kunjung lulus, solusinya adalah dengan sering berpesta minuman keras. Bukan hanya dirinya saja yang melakukannya, tapi dia juga mengajak generasi-generasi muda Dian Ratna lain yang respek dengan dirinya. Hampir dua hari sekali mereka tidak lepas dari miras ini. Celakanya lagi para “tikus-tikus kotor” ini kamarnya tepat di koridor utama menuju kamar-kamar putera dan mereka selalu melakukannya diisitu.

Pesta miras itu sering dilakukan sekitar pukul 22:00. Suasanannya terdengar ada sebagian mereka yang sedang tertawa-tawa, ada yang sedang berbicara mencurahkan rasa kekesalan yang ada di dalam hati ia berbicara makin panjang dan nada bicaranya makin meningkat dan tiba-tiba ia dengan sendirinya marah-marah berapi-api, memanggil-manggil nama orang yang dibencinya itu. Kalau bertemu bisa langsung ditantang untuk berkelahi, dan aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu. aku hanya mendengarnya saja dari dalam kamar. Pesta miras diiringi dengan music dengan volume tinggi, dan para peminumnya terdengan sedang kesetanan. Sesungguhnya ketika mereka sedang mabuk itu berada dalam dunia kesadaran yang lain. Mereka sering terpancing oleh amarah ketika dia sedang mengungkit-ungkit masa lalunya sendiri, dan berbicara ngelantur. Saat itu seolah-olah kos ini tengah dijaga oleh setan-setan yang sedang siap mengamuk, berwajah dan bermata merah. Ketika kita pulang ke kos terlalu malam dan menjumpai mereka tengah berpesta di koridor utama, lebih baik jangan pulang sekalian untuk sementara itu. Pulanglah untuk numpang tidur di kos teman. Itu kalau tidak ingin dicegat pesta miras itu yang bisa saja mereka memalak, meminta uang dengan jumlah yang tidak sedikit atau kalau tidak ya bakal turut diajak terbang dan larut bersama pesta bodoh itu.

Beberapa yang sedang kesetanan itu, merasa mentang-mentang dirinya sedang mabuk dan mengira dirinya ditakuti orang lain ini mencoba berkeliling ke kamar-kamar lain. Tentunya kamar-kamar lain sudah terkunci rapat dan lampu dimatikan, seolah-olah penghuni kamar tengah tidur meskipun kadang hanya berpura-pura tidur saja. Mereka mengedor-gedor kamar kami, aku tahu apa yang akan dia minta dari kami yaitu kontribusi berupa uang. Namun sering kali kami tak sudi membukakan pintu kamar kami untuk mereka. Tetaplah kami berpura-pura tidur lelap, hingga mereka pesimis tuk membangunkan kami dan berpindah mengetuk pintu kamar yang lain.

Itulah gambaran suasana-suasana mencekam di Dian Ratna yang bisa saja terjadi setiap dua hari sekali. Kawanku Ipan pernah menjadi korban akan kemurkaan salah satu dari mereka yang kesetanan itu. Padahal masalahnya hanya sepele yaitu soal join rokok saja yang sedikit dianggap tidak sopan, dan itupun terjadi siang sebelumnya ketika mereka belum dalam kondisi mabuk. Iphan menjadi buronan salah seorang dari pemabuk itu untuk dihajar, padahal Ipan adalah teman yang sama polosnya denganku. Akhirnya sebelum kontraknya habis di Dian-Ratna, Ipan lebih memilih untuk hengkang. Sahabat baikku itu entah lagi pindah kemana dan hampir aku tidak pernah berjumpa dengannya lagi saat itu, ia menjauhi Jl.Setanjung. Marham sebagai kawan sekamarnya pun memilih untuk pindah kamar. Barang-barang milik Ipan di kamarnya sudah dibawanya pergi, akupun tak tahu kapan barang-barang itu diselundupkannya dibawa oleh pemiliknya. Kini kamarnya telah kosong tinggalah dihuni oleh debu-debu yang tidak pernah tahu sejarah kelam pemilik kamar itu.

Akhir tahun ajaran 2008-2009 kami mulai sedikit terpisah. Iphan entah kemana, Marham kini berganti kamar yang sedikit terpisah, Idris, Deni, dan Akib mulai memikirkan untuk pindah kos, Setiawan Wibisono (alias Pak Guru) akan segera diwisuda. Sementara Dimas dan Agung bersahabat baik dengan para pemabuk itu, meskipun mungkin mereka berdua tidak terlibat di setiap pesta itu. Mas Wahid, penghuni kamar lain datang dan akrab bersama kami di sekitar semester 2, ia adalah kakak kelasku, orang NU yang rajin beribadah diapun sudah tidak tahan lagi dengan lingkungan seperti itu, dan sudah mempersiapkan untuk pindah. Kawan sekamarku, Ponco mungkin telah bersepakat dengan Sudharmono juga unutk meninggalkan kos ini, mereka memilih kos bersama di belakang Masjid al-Mutaqqin Jl.Waru. Meskipun Dimas telah bersahabat baik dengan orang-orang koridor itu, tapi Dimas tetap memutuskan untuk pindah dan meyakini ada yang lebih baik daripada kos ini. Yang masih mencoba menetap tinggalah Aku,Gilang, Marham dan Agung.

Sejarah kelam Dian-Ratna nampaknya tercium oleh ibu Kos yang ada di Boja. Ia terlambat menyadari ini, bahwa beberapa anak kosnya telah memperburuk citra kosnya itu. Jika eksistensi para “tikus-tikus kotor” itu masih dibiarkan, maka cepat atau lambat kos ini akan tidak diminati lagi oleh mahasiswa-mahasiswa baru yang lain. Tinggalah menjadi bangunan megah yang kosong dan dihuni oleh “tikus-tikus kotor” itu saja. Akhirnya ibu kos melakukan sebuah REVOLUSI yaitu dengan ritul, pemecatan atau pengusiran terhadap “tikus-tikus kotor” itu, mungkin tanpa peduli apakah mereka sudah lunas tagihan atau belum. Langkah ini berhasil ditempuh ibu kos sebelum ajaran baru berlangsung, sehingga sejarah kelam itu tidak sempat terdengar oleh mahasiswa-mahasiswa baru yang hendak meminati kos ini.

Aku, Gilang, Marham dan Agung yang masih menetap di kos ini penuh harap, semoga Revolusi yang telah dilakukan oleh Ibu Kos kemarin akan membawa dampak baik ke depannya. Kami juga berharap semoga tidak muncul lagi embrio-embrio “tikus-tikus kotor” di kos ini. Tahun ajaran baru 2009-2010 nanti benar-benar penuh harap.
 Semoga mentari pagi terbit tak tertutup mendung kelam lagi. . . . . .

(bersambung)

Jl.Kalimasada, 27 Juli 2012