Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Saturday, February 13, 2016

Sroto Klamud, Gurihnya Bikin Ketagihan



PURBALINGGA - Sroto Kelapa Muda (Klamud) menjadi khasanah kuliner baru di Purbalingga. Sesuai namanya, kuliner ini bukan memadukan makanan soto yang disandingkan dengan minuman es kelapa muda. Tapi menyatukan antara kelapa muda dengan makanan sroto menjadi Sroto Klamud.

Terdengar janggal, namun bagi yang penasaran tidak usah khawatir karena kombinasi itu justru membuat rasa sroto ini menjadi lebih "buket", nikmat dan berbeda daripada sroto pada umumnnya. Sang chef sekaligus owner Soto Klamud Toyareja, Hadiah Rubi Wahyuni mengatakan kelapa muda yang digunakan sebagai bahan ini, tidak secara mentah langsung dicampurkan dengan sroto.

"Kelapa muda kita ambil kelapanya saja, lalu kita kukus dengan kaldu baru dicampurkan dengan srotonya, sehingga kesan rasa mentah kelapanya hilang," ungkap perempuan yang akrab disapa Yuni ini.

Ide kreatif ini terinspirasi dari kelapa bakar di Jawa Timur, dari situ ia berkesimpulan bahwa kelapa tidak hanya cocok sebagai minuman tapi juga rasa kelapa yang dimatangkan bisa diaplikasikan ke dalam masakan. Ia juga nyaris menggunakan kelapa muda bakar sebagai bahan sebab dirasa lebih enak, namun karena prosesnya yang lebih lama maka kelapa muda cukup dikukus.

Sedangkan bahan baku srotonya ia pilih sama dengan sroto khas Purbalingga atau Sokaraja pada umumnnya. Didalamnnya ada bawang goreng, potongan ketupat, daun bawang, potongan daging ayam kampung, sambal kacang kemudian disiram dengan kuah.

"Yang membedakan adalah kelapa muda tadi dimasukan sebagai pengganti mie bihun yang biasa digunakan. Pilihan kelapa muda justru lebih enak, lebih kenyal dan ada cita rasa yang berbeda," katanya.

Bagi yang penasaran, Sroto Klamud ini satu-satunya hanya bisa ditemukan di Jl Raya Toyareja, Kelurahan Toyareja RT 05 RW 01 Kecamatan Purbalingga. Untuk menjangkaunya, bisa melewati jalan di depan Pengadilan Negeri Purbalingga, atau dari perempatan Kedungmenjangan masuk ke timur.

Harga yang dipatok untuk Sroto Klamud ini cukup murah sesuai dengan tempatnya yang masih berskala Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Untuk Sroto Klamud yang disajikan di mangkuk biasa dihargai Rp 15000 per porsi, sedangkan Sroto Klamud yang disajikan di batok kelapa dihargai Rp 18000 per porsi, sedikit lebih mahal karena sensasi rasa sedikit berbeda. Disini juga tersedia sroto original dengan daging ayam potong seharga Rp 10000 per porsi.

Sroto Klamud Toyareja juga menyediakan sejumlah inovasi minuman, salah satunya yakni es Jondol, yakni es cendol namun bahan pembuat cendol telah dicampurkan ekstrak kajang hijau, sedangkan santannya diganti dengan susu. Jelas tercipta rasa yang lebih enak, es ini dihargai Rp 5000 per gelasnya.(mg05)

Wirasaba : Dari Pusat Kadipaten Hingga Pembangunan Bandara III*

Rencana Pembangunan Bandara WIrasaba Terkatung-katung 10 Tahun


Oleh : Ganda Kurniawan

Terpecahnya Kadipaten Wirasaba pada tahun 1582 menjadi 4 kabupaten membuat kiprah dan nama Wirasaba menjadi redup. Disamping itu juga tidak/belum ditemukan kembali historiografi yang menuliskan bagaimana kelanjutan wilayah Wirasaba yang saat itu dipasrahkan kepada Ngabehi Wargawijaya. Adipati Wargautama II (Adipati Wirasaba ke-7) alias Jaka Kahiman lebih memilih pulang ke daerah asalnya yaitu, Kejawar, Banyumas bahkan hingga kini terkenal sebagai tokoh pendiri Kabupaten Banyumas.

Terpecahnya Kadipaten Wirasaba ini juga belum menjadi patokan tentang berdirinya Kabupaten Purbalingga. Kisah mengenai berdirinya Kabupaten Purbalingga justru menggunakan patokan Babad Onje dan Babad Purbalingga yang usianya 2 abad lebih muda dibanding Kadipaten Wirasaba. Hanya saja sejauh ini ada sejumlah peninggalan sejarah yang berkaitan dengan trah WIrasaba. Diantaranya adalah Pendopo Djayadiwangsa. Tokoh Djajadiwangsa terkenal sebagai pengusaha kaya dari hasil bertani dan berkebun, ia dianggap masih memiliki darah keturunan dari Adipati Wirasaba. Tidak kalah menariknya juga adalah pendopo Tirtasena, bangunan kuno ini adalah eks kediaman Eyang Titrasena (1873-1940) menantu dari Ki Djajadiwangsa.

Sementara untuk Bandara Wirasaba, diketahui mulai eksis tahun 1938 Dibangun oleh Belanda sebagai upaya Belanda mempercepat mobilitas ke wilayah Karesidenan Banyumas. Saat itu sudah ada rel kereta api yang menghubungkan Jakarta – Cirebon – Purwokerto – Purbalingga – Banjarnegara – Wonosobo. Juga lintasan Purwokerto – Kroya – Jogjakarta. Namun rupanya belum cukup  bagi Belanda, sehingga di wilayah ini pun dibangun pangkalan udara. Dipilihlah suatu lokasi di Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, untuk dibangun pangkalan udara.

Tahun 1942-1945 bandara dikuasai oleh Jepang. Tahun 1945-1947 Dengan bertekuk lututnya Jepang, Pangkalan Udara Wirasaba dikuasai oleh pemerintah RI (TNI AU) dengan Komandan yang pertama adalah Sersan Mayor Udara Soewarno. Tahun 1947-1950 Setelah Jepang bertekuk lutut, maka Belanda kembali akan merebut Republik Indonesia. dengan tidak adanya pasukan Pertahanan Pangkalan di Pangkalan Udara Wirasaba, maka dengan mudah Pangkalan dikuasai Belanda.

Tahun 1950, dengan takluknya Belanda pada waktu itu, maka Pangkalan udara Wirasaba diserahkan kembali kepada Pemerintah RI (TNI AU) dengan Komandan yang kedua (yang menerima penyerahan dari Belanda) adalah Opsir Muda Oedara (OMO) Warim. Dalam bulan Juni 1946 Opsir Udara II H.Sujono bersama KASAU Komodor Udara Suryadi Suryadarma terbang ke Wirasaba (Purwokerto) untuk membuka secara resmi lapangan udara tersebut.

Dirintis 2006
Langkah yang telah ditempuh untuk mewujudkan Lanud Wirasaba sebagai bandara komersial sudah dirintis sejak 2006 dengan melakukan studi kelayakan terhadap pengembangan Lanud Wirasaba. Selanjutnya, pada 2007 dilakukan penyusunan rencana induk pengembangan (RIP) "master plan" Lanud Wirasaba dan pada tahun itu pula Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) mengeluarkan izin pemanfaatan Lanud Wirasaba menjadi bandara komersial yang tertuang dalam surat KSAU tertanggal 30 April 2007.

Rencana pengembangan Lanud Wirasaba menjadi bandara komersial berlanjut pada 2008 dengan penyusunan "Detail Engineering Design (DED) yang selanjutnya dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kemudian ditetapkan dalam Peraturan Daerah Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011.Rencana pengembangan Lanud Wirasaba menjadi bandara komersial pun telah dipaparkan di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan pada Juli 2011.

Tekat Pemerintah Kabupaten Purbalingga untuk mewujudkan rencana pengembangan Lanud Wirasaba menjadi bandara komersial inipun semakin bulat setelah adanya pertemuan 12 bupati/wali kota dari wilayah Jateng bagian selatan dan barat di Purbalingga awal Februari 2012 silam yang dimotori Bupati Banyumas Mardjoko. Pertemuan 12 kabupaten/kota wilayah Jateng bagian selatan dan barat, kita sudah sepakat untuk mengembangkan Lanud Wirasaba, guna menunjang perkembangan ekonomi dan pariwisata. Pengembangan landasan pacu di Lanud Wirasaba dinilai masih sangat memungkinkan, jika dibanding perpanjangan landasan Bandara Tunggul Wulung Cilacap.

Tahun 2013 ketidakjelasan persetujuan dari Kemenhub dimulai. Kabar yang sering beredar bahwa Kemenhub masih mempertimbangkan sudah adanya Bandara Tunggul Wulung. Tahun 2014 izin pemanfaatan Lanud Wirasaba menjadi bandara komersial diperpanjang, karena sudah kadaluarsa, demikian pula DED dari tahun ke tahun terus diperbaharui. Tahun 2015 pihak Pemprov dan lima Pemkab sempat bosan karena belum adanya persetujuan dari Kemenhub, sehingga sempat mewacanakan plan B yakni mengganti lokasi lain sebagai rencana pembangunan Bandara yakni Desa Karangcengis Kecamatan Bukateja.

Masa pemerintahan Penjabat Bupati Purbalingga Budi Wibowo kembali meyakinkan lokasi rencana Bandara tetap di Wirasaba mengingat lokasinya yang strategis dan sudah ditunjang Jambatan Linggamas sebagai penguhubung cepat antar kabupaten. Hingga pada akhir 2015 terbentuk komitmen 5 Kabupaten yakni Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo dan Pemalang untuk menganggarkan dana cadangan masing-masing Rp 30 miliar guna persiapan pembangunan bandara Wirasaba. Dinhubkominfo Purbalingga sempat melelang kagiatan studi kelayakan (AMDAL) untuk Bandara WIrasaba, namun kegiatan tersebut gagal lelang.

Awal tahun 2016 kejelasan persetujuan Kemenhub mulai tampak yakni persetujuan lisan dari Menhub Ignasius Jonan melalui SMS kepada Gubernur Jateng. Namun demikian izin resmi belum diterbitkan dan masih ada beberapa tahapan tahapan yang harus dilaksanakan diantaranya izin dari Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu, Izin Prinsip Kemenhub dan MoU antara TNI AU, Pemprov dan Pemkab Pendukung.

Danlanud Wirasaba Letkol Nav Toni ST menjelaskan, kondisi runway yang ada saat ini sepanjang 850 meter dan masih berupa kebalan rumput. Runwai hanya bisa didarati pesawat jenis cassa dengan kapasitas 15 penumpang.Sedangkan dari DED yang telah disusun,runway akan dibangun sepanjang 1300 meter dengan ketebalan memadai untuk pendaratan pesawat jenis ATR 72 yang berkapasitas 70 penumpang."Sebagai langkah awal percepatan,sebaiknya anggaran awal diarahkan untuk pengerjaan runway sesuai standar yang ditetapkan kemehub," kata Danlanud.

?Sementara, Pj Bupati Kabupaten Purbalingga, Budi Wibowo mengatakan agar pengaktifan bandara wirasaba menjadi bandara komersil bisa dipercepat,maka sebaiknya dilakukan pembagian merata. "Supaya lebih enak pembagiannya, Wirasaba menjadi UPT nya Menteri Perhubungan meski secara wilayah aset tersebut milik TNI AU. Jadi secara? total dana untuk membangun dianggarkan dari APBN."katanya.

Sementara,untuk pengelolaanya  diserahkan kepada pemerintah pusat melalui Dirjen Perhubungan Udara yang bekerjasama dengan pihak ketiga seperti Angkasa Pura. Sedangkan Kabupaten pendukung akan mengambil sisi ekternalitasnnya atau multiplayer efeknya, seperti pengadaan perhotelan,jasa Angkutan dan lain-lainnya.(*)

*)Dimuat dalam surat kabar Harian Banyumas, edisi 9 Februari 2016

Wirasaba : Dari Pusat Kadipaten Hingga Pembangunan Bandara II*


Wirasaba Dipecah Menjadi 4 Kabupaten

Oleh : Ganda Kurniawan

Pemerintahan Kadipaten Wirasaba yang dipegang oleh Adipati Anom Wirahutama I atau yang bernama asli Jaka Katuhu sebagai adipati ke II Wirasaba selanjutnya digantikan oleh keturunannya. Hingga pada generasi ke-5, Kadipaten Wirasaba terjadi persoalan hingga akhirnya wilayah pemerintahannya dibagi 4 kabupaten demi azas keadilan.

Mkam Adipati Wargautama I

Generasi ke-5 atau wareng dari Adipati Anom Wirahutama I adalah Kiai Adipati Wargahutama I (sebagai adipati Wirasaba ke-VI). Saat itu telah memasuki zaman Jawa-Islam sedangkan poros pemerintahan bukan lagi Majapahit, melainkan Kerajaan Pajang yakni pada periode 1546 - 1586 dengan Sultan Hadiwijaya sebagai raja dan memiliki nama asli Jaka Tingkir.

Adipati Wargahutama I memiliki lima orang putera, diantaranya Raden Ayu Kartimah, Ngabehi Wargawijaya, Ngabehi Wrakusuma, Ngabehi Wirayuda, dan Raden Rara Sukartiyah. "Raden Ayu Kartimah dikawinkan dengan Raden Jaka Kahiman yag berasal dari trah keturunan Kadipaten Pasirbatang dari silsilah Pangeran Senapati Mangkubumi II yang juga dangkat anak dan juga sebagai murid Ki Tolih," tulis Sugeng Priyadi dalam  bukunya Sejarah Intelektual Banyumas (2007).

Adipati Wargahutama I memiliki pengalaman tragis yang kini tetap diyakini seluruh masyarakat ekskaresidenan Banyumas, yaitu dibunuhnya adipati oleh Gandhek Pajang tahun 1582 atas wewenang Sultan Hadiwijaya. Pembunuhan ini terjadi ketika sang adipati pulang dari Kerajaan Pajang setelah menghaturkan glondhng pangarem-arem (tanda kesetiaan dan hormatnya demi kepuasan sang raja). Yaitu dengan menghaturkan puteri bungsunya bernama Raden Rara Sukartiyah yang masih perawan sebagai selir sang raja.

Keiasaan ini sudah menjadi tradisi karaton Jawa demi meperkuat hubungan raja dengan adipati-adiatinya, demikian juga tradisi ini untuk membanggakan adipati yang memiliki cucu keturunan raja. Sepeninggal Adipati Wargahutama pulang dari keraton, Ki Demang Toyareka yang juga adik kandung adipati melapor pada Sultan bahwa Raden Rara Sukartiyah adalah seorang randa-kabla. Mendengar hal itu SUltan amat marah lalu mengutus gandhek untuk mengejar Adipati Wargahutama yang masih di perjalanan untuk dibunuh.

Sesampailah di suatu tempat istirahat, mereka akhirnya bertemu. Tanpa basa basi sang gandhek langsung menusukan tombak kerajaan ke dada adipati. Setelah itu ia menjelaskan bahwa ini utusan Sultan. Tak disangka gandhek kedua datang melaporkan bahwa setelah amarah Sultan mereda dan kemudian meneliti kebenaran laporan Ki Demang Toyareka. Sultan baru memahami bahwa makna randha-kabla adalah janda yang perawan, masih suci hanya baru sempat ditunangkan). Sultan menyesal dan adipati tewas karena fitnah adiknya sendiri. Ki Demang Toyareka diduga memiliki dendam dengan adipati karena sempat menjanjikan agar putera-putera adipati untuk mengkawinkan dengan anaknya.

"Dikisahkan sebelum menghembuskan nafas terakhirya, adipati mewasiatkan 3 wewaler (pamali/pantangan) yaitu. Aja lunga dina Setu Pahing, Aja mangan daging Banyak, Aja nunggang jarang klawu jongkla, Aja manggon umah sunduk sate," tulis Budiono Herusatoto dalam buku Banyumas: Sejarah, Budaya dan Watak (2008). Jasad adipati akhirnya dibawa ke Wirasaba disambut dengan kaget dan haru oleh keluarga.

putera-puteri adipati tidak tahu harus berbuat apa. Selama ii tidak pernah ada pesan maupun wasiat mengenai siapa yang akan menjadi penggantinya. Sultan HAdiwijaya sendiri masih merasa gundah penuh penyesalan, hingga mengutus Tumenggung Tambakbaya untuk menejlaskan persoalan yang terjadi untuk meredakan.

Hingga pada saatnya ada yang diminta untuk menghadap Sultan. Sesuai tradisi keraton Jawa seharusnya anak laki-laki tertualah yang datang. Namun tak satupun putera adipati berani karena diselimuti takut teguran dan alasan masih berduka. Hingga atas kesepakatan keluarga disaksikan Tumenggung Tambakbaya, diputuslah satu orang sebagai utusan untuk menghadap Sultan, yaitu Jaka Kahiman yang juga menantu Adipati Wargautama.

Sesampainya di keraton, Sultan marah karena keluarga adipati telah melanggar tradisi keraton dimana putera kandung adipatilah yang seharusnya datang karena dialah yang akan diberi purba wasesa (wewenang kekuasaan). Akhirnya tanpa rasa ragu Sultan membaiat Jaka Kahiman sebagai adipati Wirasaba pada Pisowanan Ageng yang dilaksanakan saat itu juga. Jaka Kahiman mendapatkan gelar Adipati Wargautama II (adipati Wirasaba ke-VII).

Adipati Wargautama II mendapatkan keberuntungan tak terdugda dan mereka pulang ke Wirasaba dikawal pasukan Manggalayudha. Sementara keluarga Adipati Wargautama I harus merasa ikhlas. Namun demi keadilan dan keharmonisan, Adipati Wargautama II alias Jaka Kahiman memutuskan untuk membagi Kadipaten menjadi 4 wilayah Kabupaten. Sedangkan dirinya menyatakan dan ditetapkan sebagai Wedana Bupati (kordinator).

Daerah pusat Wirasaba diserahkan ke adik iparnya yang tertua, Ngabehi Wargawijaya, yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten Purbalingga. daerah Merden atau pesisir diserahkan ke adik iparnya yang kedua, Ngabehi Wirakusuma yang emudia dibangun menjadi Kabupaten Cilacap. Wilayah Banjar-Pertambakan diserahkan ke adik ipar paling muda, Ngabehi Wirayudha yang kemudian dibangun manjadi Kabupaten Banjarnegara. Sedangkan wilayah Kejawar mulai dari selatan Gunung Perahu sampai Tambak menjadi wewenang kekuasaannya sendiri yang kemudian menjadi Kabupaten Banyumas. (bersambung)  

*)Dimuat di surat kabar Harian Banyumas, Tanggal 6 Februari 2016

Wirasaba : Dari Pusat Kadipaten Hingga Pembangunan Bandara I*



Oleh : Ganda Kurniawan

BUKATEJA - Nama Wirasaba sering disebut-sebut akhir-akhir ini dalam pemberitaan rencana pembangunan bandara. Namun belum banyak diketahui bahwa Wirasaba juga sebuah nama kadipaten yang membawahi sejarah 4 kabupaten sekaligus (Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas dan Cilacap) dengan pusat pemerintahan di Desa Wirasaba, Kecamatan Bukateja.

Mantan Danlanud Wirasaba TNI AU Letkol Pnb Andreas A Dhewo meresmikan pemugaran makam Adipati Wirasaba

Cerita sejarah Kadipaten Wirasaba telah diabadikan dalam Babad Wirasaba I & II, serta sering dijadikan naskah skenario Pagelaran Seni Dalang Jemblung. Tahun 1429 Kadipaten Wirasaba termasuk dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Majapahit II. Kisah paling fenomenal dalam Kadipaten Wirasaba terjadi pada masa pemerintahan Adipati Wirahudaya atau saat Majapahit dipimpin Prabu Kertabumi Brawijaya V (1468 - 1478).

Kala itu muncul tokoh pengembara yang datang ke Wirasaba bernama Jaka Katuhu yang dijadikan anak angkat oleh Lurah Buwara (Sekarang Desa Bukateja). Jaka Katuhu terkenal rajin melakukan babad alas untuk lahan pertanian. Malamnya ranting bekas babadan dibakar hingga dari kejauhan langit tampak sebuah teja (pelangi). Adipati Wirahudaya yang terkagum melihat pemandangan itu mengutus prajuritnya untuk memanggil siapa yang menciptakannya.

Jaka Katuhu akhirnya menghadap sang Adipati dan ditanya keturunan siapa. "Jaka Katuhu akhirnya berterus terang bahwa ayahnya bernama Raden Arya Baribin menantu raja Parahiyangan Sri Prabu Linggawastu. Mendengar hal itu Adipati merasa mendapatkan karunia ilahi menemukan anak muda yang patut dijadikan penggantinya kelak," tulis Budiono Herusatoto dalam bukunya 'Banyumas: Sejarah, Budaya dan Watak,'(2008).

Sejak itu Jaka Katuhu dijadikan anak angkat Adipati Wirahudaya mengingat sang adipati belum dikaruniai putera. Hingga pada momentum Pisowanan Ageng Keraton Majapahit, adipati mengutus Jaka Katuhu ke Majapahit untuk menghadap Prabu Kertabumi Brawijaya V dan menyerahkan upeti mewakili sang adipati yang tengah sakit. Keberangkatan diantar oleh Patih Wirasaba, Raden Bawang.

Sesampainya di keraton Majapahit, Jaka Katuhu kembali ditanyai tentang asal-usul dirinya, kali ini oleh sang Raja. Ia kembali menceritakan bahwa ia putera Raden Harya Baribin yang ternyata juga adik kandung sang raja. Dikisahkan saat itu Raden Baribin kabur dari keraton lantaran difitnah hendak menggulingkan sang raja. Sadar hal itu fitnah, Prabu Brawijaya Menyesal, sebagai ganti atas kelalaiannya Jaka Katuhu langsung dinaikan derajatnya dan dibaiat menjadi Adipati Anom Wirasaba dengan gelar Adipati Anom Wirahutama, demikian juga dihadiahi seorang isteri, Putrisari, puteri Mapatih Majapahit. "Ia juga diizinkan memperluas wilayah Kadipaten Wirasaba hingga lereng barat Sindoro Sumbing di wilayah Kedu," tulis Budiono.

Hingga 40 hari sejak pernikahan, ia berniat kembali ke Wirasaba bersama keluarganya dan dikawal oleh sebregada (pasukan) yang dikawal oleh Manggalayudha. Sehari sebelum sampai Wirasaba mereka beristirahat, sementara Raden Bawang lebih dahulu menemui sang adpati agar tidak kaget atas kedatangan Jaka Katuhu yang telah diangkat sebagai Adipati Anom Wirasaba. Raden Bawang yang merasa iri berusaha memfitnah dan berusaha agar menyiapkan pasukan untuk melawan pasukan Adipati Anom Wirasaba. Sang adipati tetap tidak percaya, namun Raden Bawang bersikukuh mengirim pasukan untuk menghadang pasukan Adipati Anom.

Akhirnya terjadi pertempuran, hngga menewaskan Patih Bawang itu sendiri. Patih Bawang akhirnya dimakamkan di suatu tempat yang kini dinamai desa Bawang, Kecamatan Bawang (Banjarnegara). Sedangkan Adipati Anom Wirasaba akhirnya selamat sampai Wirasaba dan disambut baik oleh Adipati Wirahudaya. Adipati Anom dan asukan yang dibawa dari Majapahit dibuatkan pesangggrahan di sebelah Timur Laut Wirasaba, yakni kini disebut Desa Majasari.

Hingga wafatnya Wirahudaya, Wirasaba dipimpin oleh Adipati Anom Wirautama yang tidak lain adalah Jaka Katuhu. Kasi Sejarah Museum dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga mengatakan Rien Anggraeni, salah satu peninggalan sejarah yang masih ada tentang WIrasaba adalah makam Adipati Wirasaba IV yang bernama asli Raden Warga dan diberi gelar Raden Warga Utama I. "Makamnya masih di sekitar area Lanud (Pangkalan Udara Wirasaba. Terakhir dipugar tahun 2014 oleh pihak TNI AU ," katanya. (bersambung)

*)Dimuat dalam surat kabar Harian Banyumas, Tanggal 5 Februari 2016