Saturday, February 13, 2016

Wirasaba : Dari Pusat Kadipaten Hingga Pembangunan Bandara II*


Wirasaba Dipecah Menjadi 4 Kabupaten

Oleh : Ganda Kurniawan

Pemerintahan Kadipaten Wirasaba yang dipegang oleh Adipati Anom Wirahutama I atau yang bernama asli Jaka Katuhu sebagai adipati ke II Wirasaba selanjutnya digantikan oleh keturunannya. Hingga pada generasi ke-5, Kadipaten Wirasaba terjadi persoalan hingga akhirnya wilayah pemerintahannya dibagi 4 kabupaten demi azas keadilan.

Mkam Adipati Wargautama I

Generasi ke-5 atau wareng dari Adipati Anom Wirahutama I adalah Kiai Adipati Wargahutama I (sebagai adipati Wirasaba ke-VI). Saat itu telah memasuki zaman Jawa-Islam sedangkan poros pemerintahan bukan lagi Majapahit, melainkan Kerajaan Pajang yakni pada periode 1546 - 1586 dengan Sultan Hadiwijaya sebagai raja dan memiliki nama asli Jaka Tingkir.

Adipati Wargahutama I memiliki lima orang putera, diantaranya Raden Ayu Kartimah, Ngabehi Wargawijaya, Ngabehi Wrakusuma, Ngabehi Wirayuda, dan Raden Rara Sukartiyah. "Raden Ayu Kartimah dikawinkan dengan Raden Jaka Kahiman yag berasal dari trah keturunan Kadipaten Pasirbatang dari silsilah Pangeran Senapati Mangkubumi II yang juga dangkat anak dan juga sebagai murid Ki Tolih," tulis Sugeng Priyadi dalam  bukunya Sejarah Intelektual Banyumas (2007).

Adipati Wargahutama I memiliki pengalaman tragis yang kini tetap diyakini seluruh masyarakat ekskaresidenan Banyumas, yaitu dibunuhnya adipati oleh Gandhek Pajang tahun 1582 atas wewenang Sultan Hadiwijaya. Pembunuhan ini terjadi ketika sang adipati pulang dari Kerajaan Pajang setelah menghaturkan glondhng pangarem-arem (tanda kesetiaan dan hormatnya demi kepuasan sang raja). Yaitu dengan menghaturkan puteri bungsunya bernama Raden Rara Sukartiyah yang masih perawan sebagai selir sang raja.

Keiasaan ini sudah menjadi tradisi karaton Jawa demi meperkuat hubungan raja dengan adipati-adiatinya, demikian juga tradisi ini untuk membanggakan adipati yang memiliki cucu keturunan raja. Sepeninggal Adipati Wargahutama pulang dari keraton, Ki Demang Toyareka yang juga adik kandung adipati melapor pada Sultan bahwa Raden Rara Sukartiyah adalah seorang randa-kabla. Mendengar hal itu SUltan amat marah lalu mengutus gandhek untuk mengejar Adipati Wargahutama yang masih di perjalanan untuk dibunuh.

Sesampailah di suatu tempat istirahat, mereka akhirnya bertemu. Tanpa basa basi sang gandhek langsung menusukan tombak kerajaan ke dada adipati. Setelah itu ia menjelaskan bahwa ini utusan Sultan. Tak disangka gandhek kedua datang melaporkan bahwa setelah amarah Sultan mereda dan kemudian meneliti kebenaran laporan Ki Demang Toyareka. Sultan baru memahami bahwa makna randha-kabla adalah janda yang perawan, masih suci hanya baru sempat ditunangkan). Sultan menyesal dan adipati tewas karena fitnah adiknya sendiri. Ki Demang Toyareka diduga memiliki dendam dengan adipati karena sempat menjanjikan agar putera-putera adipati untuk mengkawinkan dengan anaknya.

"Dikisahkan sebelum menghembuskan nafas terakhirya, adipati mewasiatkan 3 wewaler (pamali/pantangan) yaitu. Aja lunga dina Setu Pahing, Aja mangan daging Banyak, Aja nunggang jarang klawu jongkla, Aja manggon umah sunduk sate," tulis Budiono Herusatoto dalam buku Banyumas: Sejarah, Budaya dan Watak (2008). Jasad adipati akhirnya dibawa ke Wirasaba disambut dengan kaget dan haru oleh keluarga.

putera-puteri adipati tidak tahu harus berbuat apa. Selama ii tidak pernah ada pesan maupun wasiat mengenai siapa yang akan menjadi penggantinya. Sultan HAdiwijaya sendiri masih merasa gundah penuh penyesalan, hingga mengutus Tumenggung Tambakbaya untuk menejlaskan persoalan yang terjadi untuk meredakan.

Hingga pada saatnya ada yang diminta untuk menghadap Sultan. Sesuai tradisi keraton Jawa seharusnya anak laki-laki tertualah yang datang. Namun tak satupun putera adipati berani karena diselimuti takut teguran dan alasan masih berduka. Hingga atas kesepakatan keluarga disaksikan Tumenggung Tambakbaya, diputuslah satu orang sebagai utusan untuk menghadap Sultan, yaitu Jaka Kahiman yang juga menantu Adipati Wargautama.

Sesampainya di keraton, Sultan marah karena keluarga adipati telah melanggar tradisi keraton dimana putera kandung adipatilah yang seharusnya datang karena dialah yang akan diberi purba wasesa (wewenang kekuasaan). Akhirnya tanpa rasa ragu Sultan membaiat Jaka Kahiman sebagai adipati Wirasaba pada Pisowanan Ageng yang dilaksanakan saat itu juga. Jaka Kahiman mendapatkan gelar Adipati Wargautama II (adipati Wirasaba ke-VII).

Adipati Wargautama II mendapatkan keberuntungan tak terdugda dan mereka pulang ke Wirasaba dikawal pasukan Manggalayudha. Sementara keluarga Adipati Wargautama I harus merasa ikhlas. Namun demi keadilan dan keharmonisan, Adipati Wargautama II alias Jaka Kahiman memutuskan untuk membagi Kadipaten menjadi 4 wilayah Kabupaten. Sedangkan dirinya menyatakan dan ditetapkan sebagai Wedana Bupati (kordinator).

Daerah pusat Wirasaba diserahkan ke adik iparnya yang tertua, Ngabehi Wargawijaya, yang kemudian dibangun menjadi Kabupaten Purbalingga. daerah Merden atau pesisir diserahkan ke adik iparnya yang kedua, Ngabehi Wirakusuma yang emudia dibangun menjadi Kabupaten Cilacap. Wilayah Banjar-Pertambakan diserahkan ke adik ipar paling muda, Ngabehi Wirayudha yang kemudian dibangun manjadi Kabupaten Banjarnegara. Sedangkan wilayah Kejawar mulai dari selatan Gunung Perahu sampai Tambak menjadi wewenang kekuasaannya sendiri yang kemudian menjadi Kabupaten Banyumas. (bersambung)  

*)Dimuat di surat kabar Harian Banyumas, Tanggal 6 Februari 2016

0 comments:

Post a Comment