Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Thursday, February 25, 2016

KYAI WILAH : Pahlawan Lokal Purbalingga



Desa Karangjambe, Kecamatan Padamara
Oleh : Ganda Kurniawan
Makam Adipati Wilah atau sering disebut Kyai Wilah terletak di wilayah barat daya kabupaten Purbalingga. Makam seorang sosok karismatis yang masih menyimpan misteri bagi banyak orang termasuk di sekitar areal pemakamannya di tengah persawahan antara dukuh Kedungwringin, Desa Karangjambe, Kecamatan Padamara dan dukuh Wilangan Desa Klapasawit Kecamatan Kalimanah.
Kyai Wilah semasa hayatnya adalah mantan seorang Panglima perang dari Kadipaten Pasir Luhur. Ia menantu dari Adipati Pasir Luhur Raden Kandha Daha. Kadipaten Pasir Luhur terletak di wilayah Kelurahan Pasir, Tamansari dan sekitarnya kecamatan Karanglewas dan Kecamatan Purwokerto Barat.
Makam Kyai Wilah

Pasirluhur bukan daerah bawahan, baik Majapahit maupun Pajajaran. Berbeda dengan Kadipaten Wirasaba yang berkedudukan sebagai kerajaan bawahan atau daerah Majapahit. Beliau memiliki tubuh yang gagah perkasa, dan keberanian luar biasa, Kyai Wilah sering unggul dalam pertempuran. Banyak tanda jasa dan penghargaan yang ia terima.
Suatu waktu Adipati Kandha Daha meneima surat dari Adipati Bonjok (Rawalo) yang isinya adalah bentuk lamaran pada salah seorang putrinya yang ternyata sudah menjadi istri Kyai Wilah. Mengetahui surat tersebut, Kyai Wilah merasa terhina dan segera menemui Adipati Bonjok.
Mereka keduanya akhirnya bertempur, kuda Adipati Bonjok roboh terkena tombak Kyai Wilah sehingga menyulitkan tuannya menagkis serangan. Sementara Kyai Wilah sendiri juga terluka parah, sehingga pincang. Ditengah kondisi fisiknya yang tengah melemah, Kyai Wilah mendengar kabar jika jabatannya akan digantikan orang lain. Karena merasa malu, maka secara diam-diam Kyai Wilah melarikan diri ke Purbalingga bersama putrinya. Mereka menetap di dukuh Wilangan Klapasawit sampai akhir hayat mereka.
Sekitar  tahun 1700-an berdirilah sebuah kadipaten di sisi selatan gunung Slamet. Kadipaten Wilahan namanya dan Kyai Wilah sebagai adipatinya. Dalam menjalankan pemerintahannya Kyai Wilah memerintah dengan bijaksana, adil dan penuh wibawa, sehingga rakyat pada masa itu merasakan ketentraman dan kemakmuran
Kadipaten ini juga sempat menjadi pelarian tokoh Kerajaan Mataram Islam yang sedang terpecah antara Pangeran Mangkubumi dengan Kasultanan Yogyakarta. Akibat adanya dua kubu yang memperebutkan kekuasaan atas Kasultanan Mataram tersebut banyak kerabat keraton yang tidak menyukai pergolakan politik, lebih baik  menyingkir dan keluar dari lingkungan keraton untuk tujuan menyiarkan agama Islam.
Keluarga Kasultanan Mataram yang menyingkir ke mancanegara kulon dan menetap di Kadipaten Wilahan adalah Syech Jangkung, R. Suryo Permana Sakti  dan seorang ponggawa keraton dengan jabatan bekel yaitu Ki Probo Saketi. Tentu saja Adipati Wilah sangat bersuka cita, atas kedatangan ketiga bangsawan tersebut ke Kadipaten Wilahan. Ketiga bangsawan Kasultanan Mataram ini secara bergiliran mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada para muridnya.
Para murid tidak hanya diajarkan ilmu – ilmu tauhid dan akhlak  tetapi juga diajarkan ilmu-ilmu kanuragan. Di atas batu-batu Kali Ponggawa biasanya digunakan untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama dan kanuragan.
Makam Kyai Wilah ini tidak jauh dari makam puterinya yaitu Mas Ajeng Lanjar. Berdekatan dengan makam Mas Ajeng Lanjar terdapat makam Kyai Yudantaka, kakak dari Kyai Arsantaka.
Kondisi makan Kyai Wilah saat ini semakin tahun tidak terawat. Hal ini karena sudah tidak ada lagi juru kunci yang menjaganya. Juru kunci yang terakhir adalah bapak Martareja alamat Dukuh Kedungringin, Desa Karangjambe. Namun sepeninggalnya pada tahun 1994 sudah tidak ada lagi yang menjaganya. Saat masih terawat, makam Kyai Wilah diberi penaung atau kijing, namun saat ini kijing tersebut sudah tidak ada. Makam dipenui lumut dan dirayapi akar belukar. Namun demikian, kopleks makam ini masih disegani oleh masyarakat baik Kedungringin maupun Wilangan, mulai larangan bertingkah sembarangan juga untuk kegiatan pertapaan.
Nama Kyai Wilah kini juga diabadikan sebagai nama bendungan Kali Ponggawa Desa Karangjambe. Bendungan ini dibangun pada tahun 1987 dan masih bertahan hingga kini.
Narasumber : Mahlani, Alamat Dukuh Kedungringin Desa Karangjambe RT 05 RW 04, Kecamatan Padamara

Tiwi, Dari Jakarta Untuk Membangun Purbalingga

Dyah Hayuning Pratiwi SE BECon
Wakil Bupati Purbalingga 2016-2021
PURBALINGGA - Nama Dyah Hayuning Pratiwi SE BEcon awalnya cukup asing oleh masyarakat Purbalingga. Namun begitu ia dikenal sebagai puteri pertama dari mantan bupati Purbalingga Drs Triyono Budi Sasongko MSi, maka masyarakat baru paham bahwa ia digadang-gadang titisan dari mantan bupati cukup fenomenal di Purbalingga itu.

Triono Budi Sasongko. Tokoh fenomenal yang mengubah wajah Purbalingga. Tangan dinginnya berhasil mengubah stigma Purbalingga dari kabupaten kecil di lereng Gunung Slamet, menjadi kabupaten yang diperhitungkan di tingkat nasional dan internasional. Bupati yang memerintah selama dua periode (2000-2005, 2005-2010) itu bisa menyulap APBD yang kecil sekitar Rp 750 miliar menjadi kabupaten yang berkembang pesat dan pro investasi.

Kini salah satu putrinya, Dyah Hayuning Pratiwi, resmi menjadi wakil bupati Purbalingga bersama BUpati H Tasdi SH MM, setelah perhitungan resmi dalam Pilkada Serentak 2015, Tasdi-Tiwi berhasil unggul dari pasangan Sugeng-Sutjipto.

Tiwi, begitu ia biasa disapa, lahir di Jakarta 28 tahun silam, tepatnya 11 April 1987. Meskipun lahir di ibu kota, namun keterikatannya dengan Purbalingga sangat kuat. "Memang bukan kelahiran Purbalingga, tapi orang tua saya lahir dan besar di Purbalingga, sehingga saya mempunyai keinginan untuk membangun kabupaten tercinta Purbalingga," kata wanita yang memiliki alamat asli di Jl Pengadegan Timur No 8 RT 001/001 Kelurahan Pengadegan, Kecamatan Pancoran – Jakarta Selatan ini.

Ia menuturkan, alasan lain motivasinya untuk ikut andil dalam pembangunan Purbalingga adalah untuk melanjutkan perjuangan ayahnya. Menurutnya, sang ayah yakni Triyono Budi Sasongko mungkin masih memiliki ide-ide dan gagasan yang belum terealisasikan sewaktu menjabat sebagai bupati. "Sehingga saya memiliki keinginan untuk meneruskan apa yang beluai perjuangkan," lanjut kakak dari Anggota DPRD Banyumas, Dyah Handayani Nastiti ini.

Sejauh ini Tiwi menganggap ayahnya adalah mentor, sehingga apapun itu ia banyak belajar dari sang ayah. Namun ia yakin memiliki kemampuan sendiri bahwa Dyh Hayuning Pratiwi dengan Triyono Budi Sasongko adalah orang yang berbeda sehingga tidak bisa disamakan.

"Background pendidikan saya adalah ekonomi sementara ayah saya adalah politik. Oleh karena itu saya memiliki strategi memimpin tersendiri. Dalam pengambilan keputusan, tentunya nanti membutuhkan  pertimbangan dari komponen masyarakat, atau kepemimpinan yang dialogis," tutur wanita lulusan International Trade and Finance University of Queensland Australia ini.

Dalam memandang Purbalingga, Tiwi justru bisa melihat bahwa Purbalingga memiliki sumber daya yang melimpah, baik sumber daya alamnya, manusianya dan sumber daya buatan. Sumber daya tersebut menurutnya sudah diberdayakan namun belum maksimal, sehingga potensi tersebut mau tidak mau, suka tidak suka harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Seperti yang diketahui, terlahir dari sosok intelektual pasangan Triyono Budi Sasongko dan Hj Ina Ratnawati, Tiwi memiliki riwayat pendidikan yang prestisius.
Setelah lulus dari SMA Negeri 8 Jakarta Selatan, tahun 2005 ia melanjutkan pendidikan Sarjana Ilmu Ekonomi Kelas Internasional, Universitas Indonesia.

Setelah wisuda tahun 2010, Tiwi juga berkesempatan kembali menuntut ilmu Bachelor of Economics, With Major In International Trade and Finance, The University of Queenland Australia. Saat ini ia sedang  Menyelesaikan Tahap Akhir (Penyusunan Tesis) Magister Bidang Manjemen Keuangan Pada PPM Manajemen Jakarta.

Tiwi juga sempat mendapatkan pendidikan informal di berbagai instansi, diantaranya di Academic English Pathway, University Technology of Sydney (UTS) Insearch, Sydney Australia, Tahun 2005 – 2006; Bridging English Program, Institute of Continuing & Tesol Education University of Queenland, Brisbane Australia, Tahun 2008; dan Training Brevet A Pajak Ikatan Akuntan Indonesia– Jakarta, Tahun 2013.

"Perjalanan karir saya sempat bekerja di perusahaan BUMN antara lain BRI dan terakhir di PT Pegadaian pusat," pungkasnya.

Tasdi, Rela Jual Truk Demi Karir Politik

H Tasdi SH MM
Bupati Purbalingga 2016-2021
PURBALINGGA - Bupati Purbalingga H Tasdi SH MM telah lama dikenal masyarakat Purbalingga sebagai politisi dan birokrat, baik dalam partai, DPRD maupun Pemkab Purbalingga. Namun tak bisa disangkal bapak kelahiran 11 April 1968 (47 tahun) ini juga sempat meniti karir pebisnis kecil dalam perjuangan masa mudanya.

Pria yang lahir Dusun Bayeman Kidul, Desa Tlahab Lor Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga, ini patut menjadi suri tauladan siapapun yang memiliki motivasi kuat untuk maju dan menjadi pengayom masyarakat. Sebelum meniti karir politik sebagai anggota DPRD Purbalingga tahun 1999, ia sama pada umumnya sebagai kalangan wong cilik yang berwiraswasta.

"Sebelum menjadi anggota dewan, saya berwiraswasta. Pernah menjadi pengusaha disel kecil-kecilan di desa atau istilahnya PLTD (Perusahaan Listrik Tenaga Disel), berkembang dari tingkat dusun, kemudian tingkat desa dan antar desa. Namun begitu PLN masuk, bangkrut," kata bapak yang memiliki tempat tinggal di kompleks belakang Puskesmas Karangreja dan di Jalan Jumiran Purbalingga depan GOR Samiaji ini.

Begitu bangkrut, Tasdi beralih usaha di bidang niaga dengan kredit Suzuki Carry 1000 sebagai jasa pengangkutan berbagai keperluan. Setelah kredit pertama lunas, Tasdi ambil lagi mobil niaga Cyclone (Pickup Mitsubishi L300 Diesel), dan setelah lunas ambil lagi engkel. Setelah lunas Tasdi kredit lagi membeli truk.

"Tahun 1999 truk saya jual untuk mencalonkan diri dalam Pileg dan terpilih sebagai anggota DPRD Purbaingga tahun 1999-2004. Tahun 2004-2009 nyalon lagi dan terpilih lagi sekaligus terpilih menjadi ketua DPRD. Untuk menjadi ketua dewan saat itu pilihan, bukan tunjukan seperti sekarang ini," paparnya.

Sementara dalam karir politik, ia sempat menjadi tokoh sentral Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), mulai dari karir tingkat bawah, hingga menjadi Ketua DPC. Tahun 1996 Bendahara PAC PDIP Karangreja, 1997 Ketua PAC PDIP Karangreja, tahun 1999-2005 Ketua PAC PDIP Karangeja sekaligus Wakil Sekretaris DPC PDIP Purbalingga. Tahun 2005 terpilih menjadi Ketua DPC PDIP untuk pertama kalinya dan berlangsung selama 3 kali hingga 2020 nanti.

Demikian dalam karirnya sebagai anggota dewan juga berlangsung mulus. Pileg tahun 2009 terpilih lagi dan kembali menjadi ketua DPRD untuk periode 2010-2015. "Pileg 2014 saya terpilih lagi sebagai anggota dewan, namun saya mengundurkan diri dan memilih menjadi Wakil Bupati Purbalingga, posisi saya di DPRD digantikan rekan saya dari satu dapil yakni Munji Wibowo," katanya.

Tasdi menggantikan jabatan Wakil Bupati Purbalingga yang ditinggalkan Drs H Sukento Ridho Marhaendrianto MM karena menjadi Bupati Purbalingga. Hal ini setelah bupati sebelumnya Heru Sudjatmoko terpilih sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah. Bisa disimpulkan, Tasdi telah mendapat pengetahuan dan pengalaman politiknya sejak tahun 1996 atau saat ia berumur 28 tahun, sedangkan ia dapat mengaplikasikannya dari tahun 1999 saat menjadi anggota DPRD selama 15 tahun dan menjadi ketua DPRD selama 10 tahun.

Sebagai kader parpol terbesar dari partainya wong cilik di Purbalingga, suami dari Erny Widyawati SSos, wanita asal Karangreja, ia dikaruniai tiga orang anak. Masing-masing Sena Akbar Kartika Dewantara, Mega Putri Yusiantika Dewanti, Bima Satria Dewantara (alm).

Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH melantik Wakil Bupati Purbalingga H Tasdi SH dalam Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Purbalingga, di Pendapa Kabupaten Purbalingga, Jumat, 16 Mei 2014. Pilkada Tahun 2015 ia resmi memenangkan sebagai calon Bupati terpilih dengan unggul dari lawannya yakni H Sugeng SH MSi - H Sutjipto SH.

Ibu Kandung Sejarah Purbalingga Perlu Dicari

Para narasumber memberikan pemaparan bertajuk menelusuri ibu kandung sejarah Purbalingga, Rabu (24/2/2016) di RM Bale Apoeng Bojongsari.

Purbalingga Ingin Menjadi Kabupaten Monarkhi???

BOJONGSARI - Kabupaten Purbalingga dianggap telah mengubur tatanan sejarahnya terutama pilar terakhir tatanan kebudayaan dalam bentuk keraton. Sejak berdirinya NKRI tahun 1945 tatanan keraton yang saat itu berupa kerajaan, kadipaten, kademangan seluruhnya dilenyapkan menjadi negara. Nyatanya konsep budaya leluhur berupa keraton ini sempat dirindukan untuk kembali dimunculkan di lingkungan Kabupaten Purbalingga. Bukan sebagai penanding pemerintah, melainakn sebagai simbol leluhur bahkan dianggap sebagai orang tua/ibu kandung waga Purbalingga.

Hal tersebut sempat dibahas dalam acara saresehan yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Purbalingga. Saresehan yang diselenggarakan di RM Bale Apoeng Bojongsari tersebut menghadirkan narasumber Agus Sukoco selaku ketua Lakpesdam NU Purbalingga sekaligus pemerhati budaya lokal, Drs Akhmad Khotib MPdI selaku sesepuh budayawan Purbaingga serta KH Ir Sallahudin Wahid atau Gus Sholah selaku budayawan nasional.

Menurut Agus Sukoco dalam satu kabupaten diibaratkan rumah, sementara pemerintah sesuai dengan undang-undang adalah pelayan/pembantu, sedangkan rakyat adalah anak-anaknya, sedangkan yang menjadi pertanyaan adalah siapa orang tua rakyat Purbalingga. "Seringkali masih dianggap pemerintah yang sebenarnya sosok pembantu sebagai orang tua. Kita masih terkurung pada pemikiran yang keliru itu. Lalu siapa orang tua yang memiliki ikatan batin dengan masyarakat Purbalingga?," kata Agus dalam paparannya, Rabu (24/2).

Menurutnya orang tua yang sebenarnya adalah institusi sejarah. Dijelaskan institusi sejarah adalah sebuah Keraton simbolisme tatanan Kabupaten Purbalingga pra NKRI, yakni dinasti Kyai Arsantaka yang merupakan pendiri Kabupaten Purbalingga. Keraton dan dinasti Kyai Arsantaka dinilai perlu dihidupkan kembali dan kembali diakui eksistensinya kembali sebagai ibu kandung sejarah dan perintis peradaban Kabupaten Purbalingga.

"Masyarakat dan pemerintah Kabupaten Purbalingga, harus bekerjasama untuk setidaknya memberikan hak kultural kepada trah Kyai Arsantaka. Bukankah UUD'45 Pasal 32 mengamanatkan kita sebagai bangsa untuk melestarikan nilai-nilai budayanya?," ucapnya.

Menurutnya Keraton Kadipaten diharapkan bisa diberdayakan kembali menjadi pusat kebudayaan untuk menjadi pusat kebudayaan yang berfngsi menjaga nilai otentik dan adat istiadat masyarakat Purbalingga yang sudah mulai tenggelam oleh globalisasi dan modernitas. Hanya saja saat ini perlu dilakukan kembali kajian akademis dan genetika untuk mencari siapakah yang masih memiliki garis keturunan atau trah Kyai Arsantaka (Dipayuda III) atau kelanjutan dari trah Dipokusumo IV.

"Jika Yogyakarta punya Keraton Kasultanan, Purbalingga juga memiliki potensi historis untuk membangun Keraton Kadipaten. Negara maju seperti Inggris masih memposisikan Ratu Elisabeth sebagai ibu sejarah  dan Jepang masih menjunjung tinggi Kaisar, mereka saja masih serius mengapresiasi sesepuh kebangsaannya," tegasnya.

Sementara, Drs Akhmad Khotib MPdI selaku sesepuh budayawan Purbalingga mengatakan pihaknya setuju dengan prinsip kembali mencari ibu kandung sejarah Purbalingga ini, namun tetap harus melewati kajian ilmiah dan kematangan filosofis untuk menggugah kembali kultur yang terpendam itu. "Secara prinsip saya setuju, tapi kajian ilmiah perlu dibuktikan. Untuk mengetahui ibu kandung sejarah perlu ahli sejarah. Kalau kita tahu, misalnya saja penetapan hari jadi Purbalingga saat ini hanya mengandalkan kebenaran hukum saja, belum kebenaran sejarah," tuturnya.

Berikut ini modul lebih lengkap saresehan, silahkan didownload. Semoga bermanfaat

Menelusuri Ibu Kandung Sejarah Purbalingga
Oleh : Agus Sukoco