Thursday, February 25, 2016

Ibu Kandung Sejarah Purbalingga Perlu Dicari

Para narasumber memberikan pemaparan bertajuk menelusuri ibu kandung sejarah Purbalingga, Rabu (24/2/2016) di RM Bale Apoeng Bojongsari.

Purbalingga Ingin Menjadi Kabupaten Monarkhi???

BOJONGSARI - Kabupaten Purbalingga dianggap telah mengubur tatanan sejarahnya terutama pilar terakhir tatanan kebudayaan dalam bentuk keraton. Sejak berdirinya NKRI tahun 1945 tatanan keraton yang saat itu berupa kerajaan, kadipaten, kademangan seluruhnya dilenyapkan menjadi negara. Nyatanya konsep budaya leluhur berupa keraton ini sempat dirindukan untuk kembali dimunculkan di lingkungan Kabupaten Purbalingga. Bukan sebagai penanding pemerintah, melainakn sebagai simbol leluhur bahkan dianggap sebagai orang tua/ibu kandung waga Purbalingga.

Hal tersebut sempat dibahas dalam acara saresehan yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Purbalingga. Saresehan yang diselenggarakan di RM Bale Apoeng Bojongsari tersebut menghadirkan narasumber Agus Sukoco selaku ketua Lakpesdam NU Purbalingga sekaligus pemerhati budaya lokal, Drs Akhmad Khotib MPdI selaku sesepuh budayawan Purbaingga serta KH Ir Sallahudin Wahid atau Gus Sholah selaku budayawan nasional.

Menurut Agus Sukoco dalam satu kabupaten diibaratkan rumah, sementara pemerintah sesuai dengan undang-undang adalah pelayan/pembantu, sedangkan rakyat adalah anak-anaknya, sedangkan yang menjadi pertanyaan adalah siapa orang tua rakyat Purbalingga. "Seringkali masih dianggap pemerintah yang sebenarnya sosok pembantu sebagai orang tua. Kita masih terkurung pada pemikiran yang keliru itu. Lalu siapa orang tua yang memiliki ikatan batin dengan masyarakat Purbalingga?," kata Agus dalam paparannya, Rabu (24/2).

Menurutnya orang tua yang sebenarnya adalah institusi sejarah. Dijelaskan institusi sejarah adalah sebuah Keraton simbolisme tatanan Kabupaten Purbalingga pra NKRI, yakni dinasti Kyai Arsantaka yang merupakan pendiri Kabupaten Purbalingga. Keraton dan dinasti Kyai Arsantaka dinilai perlu dihidupkan kembali dan kembali diakui eksistensinya kembali sebagai ibu kandung sejarah dan perintis peradaban Kabupaten Purbalingga.

"Masyarakat dan pemerintah Kabupaten Purbalingga, harus bekerjasama untuk setidaknya memberikan hak kultural kepada trah Kyai Arsantaka. Bukankah UUD'45 Pasal 32 mengamanatkan kita sebagai bangsa untuk melestarikan nilai-nilai budayanya?," ucapnya.

Menurutnya Keraton Kadipaten diharapkan bisa diberdayakan kembali menjadi pusat kebudayaan untuk menjadi pusat kebudayaan yang berfngsi menjaga nilai otentik dan adat istiadat masyarakat Purbalingga yang sudah mulai tenggelam oleh globalisasi dan modernitas. Hanya saja saat ini perlu dilakukan kembali kajian akademis dan genetika untuk mencari siapakah yang masih memiliki garis keturunan atau trah Kyai Arsantaka (Dipayuda III) atau kelanjutan dari trah Dipokusumo IV.

"Jika Yogyakarta punya Keraton Kasultanan, Purbalingga juga memiliki potensi historis untuk membangun Keraton Kadipaten. Negara maju seperti Inggris masih memposisikan Ratu Elisabeth sebagai ibu sejarah  dan Jepang masih menjunjung tinggi Kaisar, mereka saja masih serius mengapresiasi sesepuh kebangsaannya," tegasnya.

Sementara, Drs Akhmad Khotib MPdI selaku sesepuh budayawan Purbalingga mengatakan pihaknya setuju dengan prinsip kembali mencari ibu kandung sejarah Purbalingga ini, namun tetap harus melewati kajian ilmiah dan kematangan filosofis untuk menggugah kembali kultur yang terpendam itu. "Secara prinsip saya setuju, tapi kajian ilmiah perlu dibuktikan. Untuk mengetahui ibu kandung sejarah perlu ahli sejarah. Kalau kita tahu, misalnya saja penetapan hari jadi Purbalingga saat ini hanya mengandalkan kebenaran hukum saja, belum kebenaran sejarah," tuturnya.

Berikut ini modul lebih lengkap saresehan, silahkan didownload. Semoga bermanfaat

Menelusuri Ibu Kandung Sejarah Purbalingga
Oleh : Agus Sukoco




0 comments:

Post a Comment