Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Monday, February 28, 2011

HUBUNGAN ANTARA IDEOLOGI SEBUAH NEGARA, GLOBALISASI DAN PEMBOBOLAN DOKUMEN WIKILEAKS


Oleh: Ganda Kurniawan

Pada dasarnya semua ideology bersifat ekspansionis baik itu ideology yang dari lahir bersifat tertutup maupun yang terbuka. Semua ideology menginginkan sebuah lebensraum atau ruang gerak yang luas dalam menjalankan ideologinya. Dan semua ideology pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu pengerukan keuntungan yag sebesar-besarnya. Jika pada abad 20 secara konkrit perbedaan ideology Negara ini menjadi hal yang sengit untuk dijelaskan sehingga barangkali rentan terjadi suatu peperangan atau sebuah konflik saling bersitegang.
Sifat ekspansionis dari sebuah Negara bermula pada Perang Dunia ke II. Faham Fasisme yang berporos Berlin-Roma-Tokyo ini dipandang sebagai pemicu perusak ketenangan. Negara fasisme (Jerman, Italia, Jepang) ini bersatu memiliki tujuan yang sama yaitu Lebensraum mencaplok Negara-negara yang “tidak berdaya” untuk bergabung dalam lingkupnya. Pada dasarnya garis besar Fasisme adalah menyatukan semua Negara dalam satu ideology satu ikatan tanpa perbedaan serta dipimpin dalam suatu rezim yang dijadikan Superprioritas. Negara besar seperti Inggris, Amerika, Prancis dan Uni Soviet yang tidak terima dengan pencaplokan Negara-negara kecil yang menjadi sekutunya maka fasisme terpaksa harus ditumbangkan. Setelah hancurnya fasisme maka ideology yang lainpun merasa lebih kuat karena sama-sama telah berhasil melenyapkan fasisme, ideology tersebut adalah Kapitalisme-Liberalisme dan Sosialisme-Komunis mereka saling berebut roti kekuasaan atas Negara-negara untuk menjadi sekutunya. Akibatnya mereka harus bersitegang untuk saling menunjukan tajinya siapa penguasa yang sebenarnya antara Kapitalisme-Liberalisme dengan Sosialisme-Komunis. Sebagai titik kulminasinya Kapitalisme-Liberalisme menjadi pemenang dan merasa bertindak sebagai polisi dunia.
Kemenangan Liberal-kapitalisme ini membuat ruang hidup paham ini semakin meluas. Dengan kata lain semakin banyak Negara yang bertindak sebagai pengikutnya maka semakin besar pula kemungkinan hidupnya, semakin mudah mempengaruhi agar tetap terjaganya keutuhan Negara, serta semakin mudah memperoleh sumber daya yang dibutuhkan. Hampir Negara-negara dibawahnya yang seideologi otomatis akan saling rekat dan sangat mudah untuk bekerjasama. Dengan sangat munimnya sekat-sekat pemisah antar Negara dalam Lebensraum inilah yang memungkinkan terjadinya Globalisasi.
Keunggulan dan kemenangan kapitalisme memang sangat mengesankan. Lebih dari dua abad setelah terbitnya buku The Wealth of Nation karya mahaguru kapitalisme Adam Smith, sistem ekonomi kapitalistik berhasil mengalahkan semua pesaingnya dari ideologi lain. Pada akhir Perang Dunia II, hanya dua kawasan bumi yang tidak komunis, otoriter, atau sosialis, yakni Amerika Utara dan Swis. Kini selain kita menyaksikan negara-negara komunis rontok satu demi satu, hampir tak ada satupun negara yang saat ini bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC dan Levis, lambang supremasi corporate capitalism yang menguasai sistem ekonomi abad 21.
Namun demikian, setelah kapitalisme memonopoli hampir seluruh sistem ekonomi, kini semakin banyak pengamat yang menggugat apakah sistem yang didasari persaingan pasar bebas ini mampu menjawab berbagai permasalahan nasional maupun global. Sejarah juga menunjukkan bahwa kapitalisme bukanlah piranti paripurna yang tanpa masalah. Selain gagasan itu sering menyesatkan, terdapat banyak agenda pembangunan yang tidak mengalir jernih dalam arus sungai kapitalisme. Masalah seperti perusakan lingkungan, meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial, meroketnya pengangguran, dan merebaknya pelanggaran HAM serta berbagai masalah degradasi moral lainnya ditengarai sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari beroperasinya sistem ekonomi kapitalistik.
Tindakan ekspansionis tersebut dari kapitalistik semakin terlihat disembunyi-sembunyikan. Segala strateginya dan konspirasi-konspirasi untuk menguasai Negara-negara yang belum dikuasai harus disimpan secara hati-hati. Dapat dikatakan bahwa kapitalisme memang bercirikan “tidak mengenal belas kasihan” dalam hal merauk keuntungan. Kalau tidak dirahasiakan maka akan terlihat sekali keburukan dari paham kapitalisme ini dan memungkinkan untuk Negara yang menjadi sekutunya melepaskan diri.
Setrategi yang ditutup-tutupi mengenai proyek kapitalisme tersebut mengingatkan kita pada kasus pembobolan rahasia tersebut oleh Wikileaks. Wikileaks saat ini sedang menjadi pemberitaan hangat di berbagai media massa dunia dan juga di media massa Indonesia. Inti pemberitaan mengenai Wikileaks adalah tentang pembocoran dokumen rahasia Amerika Serikat yang dipublikasikan melalui media ini.
Dalam dokumen rahasia milik Amerika Serikat yang terkuak melalui situs WikiLeaks diantaranya seperti misi Amerika Serikat untuk menjalankan kampanye intelijen rahasia yang ditargetkan pada pimpinan PBB, termasuk Sekretaris Jenderal PBB dan para wakil anggota Dewan Keamanan PBB dari Cina, Rusia, Prancis dan Inggris. Bahkan, AS berusaha untuk mengetahui kata sandi dari jaringan komunikasi, jadwal kerja dan informasi pribadi lainnya.
WikiLeaks pernah mengancam akan membocorkan data-data penting CIA. Wikileaks tampaknya tidak main-main dengan pernyataan itu. Secara spesifik, Wikileaks menyatakan akan membocorkan data penting CIA. Namun, Wikileaks masih menyembunyikan berkas yang akan diungkapkan itu. Beberapa sumber percaya Wikileaks akan membuka "Diary Perang Afghanistan." Data-data serta rahasia terdalam pihak Pentagon dan CIA dalam kaitannya dengan perang berkepanjangan di Afghanistan. Wikileaks juga mengungkapkan pihaknya masih memiliki 15 ribu dokumen "terlarang" dan rahasia.
Perang dan politik yang diterapkan oleh Amerika Serikat tidak lain ujung-ujungnya adalah ambisi ekonomi. AS mencoba menancapkan hegemoni di Negara-negara yang belum dikuasai seperti didaearah Timur-Tengah yang kaya dengan Minyak dan semua harus dikuasai dengan berbagai cara untuk diamini dan didukung berbagai pihak. Salah satunya juga dengan mempengaruhi PBB.

STRATEGI ORDE BARU DALAM MEMPERTAHANKAN KEKUASAAN


Oleh: Ganda Kurniawan

PENDAHULUAN
Kekuasaan memang hal yang wajar ada pada setiap kehidupan masyarakat bernegara. Tidak terlepas didalamnya terdapat pihak yang menguasai (Pemerintah) dan pihak yang diperintah (warganegara). Memang ada bermacam-macam pola dalam subjek pengguna kekuasaan, dalam system otoriter pemerintahlah yang memiliki kewenangan tertinggi dalam mengatur Negara, sedangkan system demokrasi lebih menekankan tendensi masyarakat sebagai penguasanya. Max Weber merumuskan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan individu dalam hubungan social untuk mewujudkan keinginannya di dalam suatu tindakan komunal meskipun melawan arus tantangan dan resistensi individu lain yang terlibat dalam tindakan tersebut (Franz Magnis Suseno, 1987:53). Lebih praktis lagi dari yang dikatakan oleh Ibnu Sodiq dalam Sejarah Politik Indonesia (2009: 7) bahwa kekuasaan dimaknai sebagai upaya seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan tujuan dan keinginan orang yang berkuasa, tidaklah memiliki makna atau definisi tunggal, sebaliknya memiliki makna yang begitu luas.
Dalam periodisasi Sejarah Indonesia terlintas panjang yang namanya “Orde Baru”. Sebuah era pemerintahan masa kepemimpinan Soeharto, seorang mantan pimpinan KOSTRAD yang beruntung atau sengaja dengan intriknya untuk menjadi seorang Presiden. Dari awal memang penuh kemelut dalam konteks pengangkatanya sebagai presiden RI, mulai dari isu keterlibatanya dalam peristiwa G30S dan tragedi SUPERSEMAR. Semua itu telah sengaja disembunyikan demi naiknya menjadi seorang presiden.
Orde Baru ini memang terkenal periode pemerintahannya yang cukup panjang. Awalnya kita bisa mempersepsikan bahwa hal itu mengindikasikan adanya kepuasan masyarakat akan pemerintahanya atau memang sengaja ada sebuah strategi di belakang untuk melanggengkan kekuasaan sekalipun masyarakat sebenarnya tidak menginginkanya. Klaim yang menyatakan adanya kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan orde baru itu bisa diperkirakan bahwa itu adalah sebuah kovernya saja sedangkan isinya hanya memuat tentang politik busuk yang menjunjung tinggi frasa “haus kekuasaan”.
Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis telah memanfaatkan penuh kekuasaan yang berjalan selama 32 tahun itu. Hingga kini masih banyak orang yang mengklaim bahwa Soeharto adalah bapak pembangunan, ibaratkan Indonesia adalah sebuah bangunan sebelum itu Soekarno adalah yang membuat fondasinya dan Soeharto-lah yang membuat rumahnya. Bagi Soeharto untuk membangun Indonesia haruslah menggunakan caranya sendiri pribadi dan dalam waktu se-lama mungkin agar semua yang telah dibuatnya terkesan telah berdiri kokoh. Adalah mustahil membicarakan strategi Soeharto selama berkuasa 32 tahun dalam satu halaman. Yang bisa disampaikan di sini ada dua hal. Pertama, untuk memahami strategi Presiden Soeharto perlu ditetapkan terlebih dahulu pembagian (periodisasi) masa pemerintahannya. Asumsinya adalah rezim tersebut mengalami tiga fase yang dialami setiap makhluk, yaitu 1) tumbuh, 2) berkembang/jaya, dan 3) mati. Kedua, dapat pula dikatakan bahwa mega-kekuasaan yang dijalankan Soeharto adalah bertahap, makin lama makin canggih.
Tanpa disadari ternyata sebenarnya orde baru telah melakukuan banyak hal yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaanya di Indonesia. Strategi ini bisa berupa hal hal yang sifatnya represif juga melalui pengendalian media untuk terus menarik simpati dari warganegara. Dan sekiranya orang-orang zaman reformasilah yang berani mengungkap semua ini yang baru disadari dari apa yang telah terlewat selama 32 tehun itu.
PEMBAHASAN
Di negara-negara penganut demokrasi modern penopang utama kekuasaan adalah rakyat. Rakyat melegitimasi kekuasaan melalui pemilihan umum. Indonesia kurang mengalami penglaman dalam hal ini. Hampir semua presiden di Indonesia memiliki legitimasi yang amat rendah dari rakyat, hanya presiden terakhir saja yang dipilih langsung oleh rakyat sehingga cukup legitimat. Hal ini menandakan bahwa masa lalu Indonesia belum menjadi negara yang demokratis. Sukarno naik menjadi presiden karena posisinya yang amat menonjol selama periode pergerakan sampai pendudukan Jepang. Posisinya hampir tidak tergoyahkan, dan upaya untuk meruntuhkannya hanya bisa dilakukan dengan sebuah konspirasi yang cukup canggih antara elemen-lemen penentang di dalan negeri dengan elemen-elemen di luar negeri. Hasilnya adalah pertumpahan darah di hampir semua wilayah Indonesia yang mengantarkan Jenderal Suharto menjadi presiden. Dengan demikian legitimasi terkuat naiknya Jenderal Suharto menjadi presiden adalah ceceran darah anak negeri yang melahirkan dalih bahwa untuk menghentikan ceceran darah tersebut maka ia harus mengambilalih kekuasaan.
Sebagai realita yang tidak kasat mata masa Orde Baru ini sebenarnya hamper mirip dengan apa yang dilakukan oleh Khmer Merah di Kamboja. Bedanya bila Khmer merah menganut dasar komunisme sedangkan Orde Baru menjalankan kapitalisme kasar. Orde baru juga menghabiskan lawan merka sebalumnya, yaitu pengikut komunis. Jumlah warga yang terbunuh pada 1965-1966 bila ditambah dengan mereka yang tewas dalam berbagai peristiwa sesudah itu di Aceh, Irian Jaya, Timor-Timur, Lampung, Banjarmasin, Tanjung priok, barangkali hamper sama dengan jumlah korban keganasan Khmer Merah (Asvi W. A, 2009: 155).
Lalu mengapa ia bisa bertahan sampai 32 tahun berkuasa? Apakah ia selalu mereproduksi legitimasi ceceran darah tersebut untuk melanggengkan kekuasaannya? Ataukah ia disangga oleh pilar-pilar yang demikian kokoh? Apa saja pilar-pilar penyangga kekuasaannya tersebut?
Secara ringkas pilar penopang kekuasaan Suharto selama berkuasa dapat dibagi menjadi dua, pertama pilar yang bersifat riil, ia berupa kekuatan nyata yang tidak sekedar melegitimasi kekuasaan tersebut tetapi membelanya jika ada ancaman. Kedua adalah pilar yang bersifat simbolik. Pilar ini tidak terlihat atau kasat mata tetapi memiliki efek yang luar biasa untuk mengendalikan rakyat dan menjadi semacam tangan gaib (invisible hand) penguasa untuk menggiring rakyat menuju pada satu kesetiaan tunggal. Pilar yang bersifat riil sebagai penopang kekuasaan Suharto yang paling utama adalah militer. Militer pendukung utama kekuasaan Suharto adalah Angkatan Darat, angkatan di mana Suharto pernah berkiprah sebelum ia menjadi presiden. Naiknya Suharto menjadi presiden juga didukung oleh angkatan ini yang memanfaatkan kekisruhan politik tahun 1965 dan tahun-tahun sebelumnya.
1. Pemerintahan di-Backing oleh Militer
Pasca meletusnya peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September 1965 posisi militer di Indonesia terpecah menjadi dua, yaitu mereka yang masih loyal kepada Presiden Sukarno dan mereka yang lebih loyal kepada Jenderal Suharto. Pada periode ini kondisinya tidak jelas benar, siapa loyal kepada siapa masih sulit diidentifikasi. Menurut Harold Crouch pembelahan di tubuh militer mulai terlihat jelas pada tahun 1967 di mana kelompok-kelompok yang setia kepada Sukarno yang masih tersisa enggan menerima pendongkelan terhadap presiden. Secara berlahan-lahan Suharto mulai mengkonsolidasikan Angkatan Darat menjadi kekuatan utama di tubuh militer yang loyal kepada dirinya. Ia mulai menempatkan Angkatan Darat sebagai kekuatan utama di tubuh militer melebihi angkatan-angkatan lain, yang dengan kata lain Angkatan Darat mendapat porsi yang lebih istimewa dibandingkan dengan lainnya. Dengan strategi ini pada saat Suharto naik menjadi presiden ia mendapatkan loyalitas yang melebihi porsinya dari Angkatan Darat. Angkatan Darat menjadi pendukung utama saat Suharto menjadi presiden sampai jatuhnya pada tahun 1998. Para pengamat politik dan para aktifis sering menyebut Indonesia sebagai negara yang militeristik dan fasis. Bahkan menurut beberapa kalangan jatuhnya Suharto juga tidak bisa dipisahkan dari faktor militer, yaitu terjadinya keretakan hubungan antara Suharto dengan militer atau yang disebutnya sebagai keretakan aliansi strategis Orde Baru.
2. Menyamarkan Demokrasi dengan Multi Partai
Pilar riil kedua penopang kekuasaan Suharto adalah Golongan Karya (Golkar) dan partai politik. Agar Indonesia dicitrakan sebagai negara yang demokratis maka perlu ada lembaga-lembaga yang berfungsi mirip partai politik. Di Indonesia pada masa kekuasaan Suharto terdapat tiga lembaga yang memerankan diri dengan peran seperti itu yaitu Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Keberadaan lembaga ini nyaris hanya sebagai simbol dan sebagai stempel demokrasi karena dalam kacamata Barat negara yang berdemokrasi adalah negara yang mengakomodir kekuatan partai politik. Bahkan keberadaan Golongan Karya pun sebenarnya tidak pernah berfungsi secara riil sebagai penopang kekuasaan Suharto. Tanpa Golongan Karya dan partai politik lainnya Suharto tetap bisa berkuasa sepanjang ia didukung oleh militer. Bahkan Golongan Karya dan partai-partai politik sangat tergantung pada Suharto, terutama dalam menentukan ketua-ketuanya. Ketika Suharto menghendaki agar semua partai politik dan semua organisasi di Indonesia menjadikan Pancasila sebagai asaznya maka mereka tidak bisa menolaknya. Logika politik di Indonesia pada masa Suharto dibuat jungkir balik olehnya. Golongan Karya pada periode ini memang memiliki tempat yang lebih istimewa dibandingkan dua partai politik yang lain karena Golongan Karyalah yang digunakan oleh Suharto sebagai kendaraan politik, dan lembaga stempel paling loyal tempat ia mendaftarkan diri maju sebagai presiden setiap lima tahun sekali.
3. Mensentralisasi Kekuasaan dengan Meminimalisir Peran Rakyat
Dalam sistem pemerintahan yang militeristik dan terpusat pada satu individu posisi rakyat tidak terlalu penting karena dukungan politik riil bukan dari rakyat. Pada masa pemerintahan Suharto kedudukan politik rakyat amat merana. Bahkan istilah “rakyat” menjadi berkonotasi amat berbahaya dan dijadikan musuh imajiner oleh rezim Suharto. Rakyat, yang sebelumnya dipandang sebagai kekuatan politik terpentingdalam proses kemerdekaan Indonesia, diubah sosoknya menjadi kekuatan politik yang paling berbahaya dalam masyarakat secara imajiner. Dikatakan secara imajiner karena secara riil dalam pemerintahan yang militeristik rakyat dikontrol amat ketat oleh rezim sehingga nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan oleh elit politik rakyat sering diidentikan sebagai orang-orang “bodoh” saat mereka berbicara mengenai rakyat. Mereka merasa lebih mengerti keinginan dan kebutuhan rakyat daripada rakyat itu sendiri. Hal ini adalah ciri negara yang merupakan perkawinan antara sistem paternalistik dengan sistem militeristik.
Di samping berdiri di atas penopang riil, kekuasaan Suharto juga ditopang oleh pilar yang bersifat simbolik, yang tidak terlihat oleh mata, namun bisa dirasakan bahwa penopang tersebut berfungsi sangat efektif. Pertama, desas-desus, isyu, dan propaganda hitam, dan yang kedua adalah sejarah. Ketika Suharto berkuasa, intelijen berperan penting dalam menciptakan berbagai desas-desus, isyu, dan propaganda hitam yang bertujuan untuk meningkatkan daya tawar penguasa dan militer serta untuk menjatuhkan nyali rakyat. Apabila nyali rakyat sudah jatuh maka keberanian untuk mengkritik dan mengoreksi penguasapun sirna. Sebagai contoh misalnya ketika kelompok-kelompok Islam pada tahun 1980-an amat getol mengkritik penguasa dalam kasus Undang-undang Perkawinan, penerapan azas tunggal Pancasila, dan formalisasi P4 maka intelijen menciptakan musuh penguasa yang bersifat imajiner yang disebut Komando Jihad serta Kelompok Warman. Organisasi ini tidak jelas ujudnya tetapi tiba-tiba dituduh menyerbu Pos Polisi Cicendo Bandung, membajak pesawat Garuda DC-9 “Woyla”, meledakan gereja dan candi Borobudur, dan lain-lain. Penciptaan musuh imajiner ini bertujuan untuk menjatuhkan mental ummat Islam agar tidak berbuat macam-macam kepada Suharto. Otak dari semua ini adalah Ali Murtopo, sahabat terdekat Suharto pada masa-masa awal berkuasa (Ibnu Sodiq, 2010: 36-37). Semua ide-ide Ali Murtopo digodok di sebuah lembaga yang dibentuk olehnya yaitu CSIS yang berkantor di Tanah Abang.
4. Pembengkokan dan Penyeragaman Sejarah dalam Historiografi Indonesia (Sejarah untuk Membela Rezim Orde Baru)
Reproduksi masa lalu atau lazim disebut sejarah juga menjadi elemen yang amat penting pada penegakan pemerintahan Suharto. Analisis kritis mengenai fungsi sejarah sebagai pilar yang menopang kekuasaan Suharto masih amat jarang dibahas melalui studi akademik yang komprehensif. Amat sering kita mendengar bahwa sejarah hanyalah cerita usang yang tidak memiliki nilai guna, tetapi bagi kekuasaan yang hegemonik dan totaliter sejarah amat berguna untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Khrouchtchev, seorang pemimpin dari negeri tirai besi Uni Soviet mengakui bahwa sejarawan adalah satu-satunya kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa. Melalui penelusuran atas sumber-sumber primer, sejarawan dapat mengungkap dan merekonstruksi peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau tanpa bisa dibantah oleh pemerintah yang berkuasa. Oleh karena itu di banyak negara -utamanya yang pemerintahannya berkuasa secara totaliter- pergulatan untuk mengendalikan sejarah amat intensif antara yang ingin mengendalikan sejarah untuk kepentingannya dengan sejarawan yang ingin mengungkapkan masa lalu dengan jujur apa adanya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia.
Hampir semua sejarawan di Indonesia mengakui realitas tersebut namun kurang berani untuk mengungkapkannya apalagi meneliti secara intensif secara akademik. Padahal realitas tersebut menyangkut eksistensi diri dan dunianya. Beruntunglah karena Katharine E. McGregor seorang sejarawan dari Melbourne, Australia dengan amat jeli berusaha membongkar sejarah yang dilacurkan pada masa Suharto berkuasa. Penelitian secara umum tentang kiprah militer di kancah politik di Indonesia sebenarnya bukan hal baru, namun hasil penelitian dari Katharine ini memberikan perspektif baru tentang tafsir terhadap upaya manipulasi militer terhadap sejarah untuk kepentingannya. Dan yang mungkin agak mengejutkan adalah uraian penulis tentang seorang tokoh di balik berbagai manipulasi sejarah tersebut yang ternyata adalah seorang sipil, yaitu Nugroho Notosusanto. Karena peran penting yang ia mainkan inilah maka Katharine menempatkan Nugroho Notosusanto pada posisi yang amat istimewa pada karyanya tersebut. Bisa dikatakan buku ini merupakan kisah (biografi) dari Nugroho Notosusanto dalam membantu kelompok militer menciptakan sejarah-sejarah yang bersifat ideologis dalam rangka mencuci otak masyarakat awam serta untuk mencekoki korps militer agar spirit korps (esprit d’corps) mereka tetap terjaga dan kepercayaan diri mereka tetap tinggi. Begitu pentingnya peran Nugroho sehingga dalam buku ini diulas secara khusus pada satu bab tersendiri (bab II) serta menjadi bagian dari ulasan-ulasan pada bab-bab lainnya.
Keterlibatan Nugroho Notosusanto dalam proyek-proyek sejarah militer (ABRI) sebenarnya cukup mengherankan apabila kita lihat latar belakang dia yang sipil tulen. Memang dia pernah ikut bergabung dalam tentara pelajar tetapi ia tidak meneruskan untuk berkarir di bidang kemiliteran. Menilik sikap-sikapnya yang lebih berjiwa militeristik daripada militer yang sesungguhnya sebenarnya patut dicurigai kondisi kejiwaan Nugroho Notosusanto. Nugroho digambarkan sebagai orang yang lebih disiplin daripada insan militer (hlm.272), ia juga sangat bangga mengendarai jip jika pergi ke kampus, dan dalam acara-acara resmi yang melibatkan dia sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI ia suka berseragam militer lengkap (hlm. 297). Sayangnya Katharine tidak menelisik sampai ke arah itu karena ia hanya berhenti pada penelusuran masa kecil, posisi sosial, sedikit mengenai keterlibatan dia dalam kancah pertempuran, sebagai mahasiswa, serta karir dia seperti menjadi dosen, Kepala Pusat Sejarah ABRI, rektor, dan menteri.
Pengabdian total Nugroho Notosusanto pada rezim Suharto dan militer memang cenderung membabi-buta, menghalalkan segala cara, serta dengan taktik yang cukup licik. Katharine mengungkapkan hal ini dalam kasus penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang dilakukan pada pertengahan tahun 1970-an. Sebelum buku tersebut diedarkan ke masyarakat ternyata Nugroho membuat skandal dengan menyerahkan naskah seri sejarah tersebut terlalu dini. Pada waktu itu banyak penulis yang belum menyelesaikan bab-bab yang menjadi bagian mereka, nah untuk menepati tenggat waktu yang digariskan, Nugroho yang berkedudukan sebagai penyunting dengan cerdik memerintahkan asistennya untuk mendapatkan salinan naskah volume enam (yang paling banyak menimbulkan kontroversi) dari para penulis dengan alasan untuk suatu keperluan yang lain. Tetapi ternyata Nugroho menerbitkannya dalam bentuk yang belum sempurna. Perbuatannya tersebut tentu saja mengundang kemarahan anggota penulis yang lain karena menerbitkan karya yang belum sempurna dan tanpa ijin kepada pengarangnya. Tindakan Nugroho tersebut tentu saja bagian dari upaya dia “cari muka” ke penguasa dan militer. Oleh rekan-rekan sesama sejarawan yang terlibat dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia tindakan Nugroho tersebut dianggap sebagai pengkhianatan profesi (K. E McGregor, 2008: 272-273).
Bagaimana Nugroho menjadikan sejarah (khususnya sejarah militer) sebagai elemen simbolik penopang kekuasaan Suharto? Militer Indonesia selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai militer yang unik karena lahir dari kancah perjuangan mengusir penjajah Belanda selama perang kemerdekaan. Militer Indonesia mengklaim dirinya lahir dari “gua garba” rakyat Indonesia jadi rakyatlah yang telah membentuk tentara, bukan pemerintah yang membentuk tentara. Selama perang kemerdekaan militer mengasumsikan diri sebagai lapisan kepemimpimpinan nasional setelah pemimpin sipil ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka pada tahun 1948 saat aksi militer kedua. Atas dasar klaim ini, militer Indonesia dalam waktu lama memperoleh justifikasi untuk memainkan peranan dwifungsi dalam pertahanan dan politik. Pendek kata, legitimasi sejarah telah digunakan oleh militer Indonesia untuk mempertahankan hak-haknya dalam kekuasaan politik dan pengaruhnya. Selain klaim tersebut mereferensi pada peristiwa perang kemerdekaan, militer juga mengklaim dirinya sebagai satu-satunya lembaga yang berhasil mengakhiri penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah Sukarno serta berhasil menyetop kesewenang-wenangan politik komunis di Indonesia dengan digagalkannya upaya penggantian ideologi Pancasila pada peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Selain dua peristiwa penting tersebut, terdapat peristiwa sejarah yang lain yang selalu dijadikan referensi militer untuk terus-menerus dijadikan pembenar agar bisa terus-menerus terlibat dalam sistem politik Indonesia. Peristiwa tersebut antara lain pemberontakan PKI Madiun 1948, pemberontakan PRRI/Permesta, pemberontakan DI/TII, dan lain-lain.
Klaim atas peristiwa-peristiwa penting yang melibatkan militer tersebut tentu saja membutuhkan simbol yang berfungsi untuk terus-menerus mengingatkan memori kolektif rakyat Indonesia bahwa militerlah, yang pada saat-saat negara di ambang kehancuran, turun tangan mengatasi keadaan. Karena peristiwa-peristiwa tersebut sudah menjadi masa lampau, atau sudah menjadi sejarah maka simbol-simbol yang dibutuhkan adalah simbol yang berkategori dalam ranah (domain) sejarah (historical domain).
Studi yang dilakukan oleh Katharine menemukan tiga bentuk simbol yang diciptakan oleh Nugroho Notosusanto. Pertama adalah simbol dalam ujud fisik berupa museum-museum yang sebagian terdapat di Jakarta dan Yogyakarta, kedua simbol dalam ujud audiovisual yaitu film, dan ketiga dalah teks-teks buku sejarah yang disebarluaskan kepada masyarakat dan diajarkan di sekolah-sekolah mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Namun jangan membayangkan bahwa museum-museum yang didirikan oleh militer berisi barang-barang yang berkaitan dengan peristiwa yang diacu, karena sebagian besar museum, terutama yang ada di Jakarta, hanya berisi visualisasi peristiwa sejarah dalam bentuk diorama versi tentara (dengan penyesuaian dan manipulasi). Pemilihan model sejarah visual ini sengaja dipilih oleh Nugroho Notosusanto karena sebagaimana dia ungkapkan bahwa di dalam sebuah masyarakat seperti Indonesia yang masih berkembang, di mana kebiasaan membaca masih rendah, maka visualisasi sejarah merupakan cara paling efektif untuk mengungkapkan identitas ABRI (hlm. 22). Alasan tersebut sebenarnya kurang masuk akal mengingat semua museum yang digagas oleh militer berada di kota besar, sehingga pengunjung museum tersebut adalah orang-orang kota dan sekitarnya yang sudah melek huruf. Dibandingkan dengan teks-teks dalam bentuk huruf, visualisasi peristiwa masa lampau akan berfungsi lebih efektif untuk mempengaruhi alam bawah sadar orang-orang yang melihatnya karena fungsi-fungsi otak akan lebih cepat mengolah data visual dibandingkan dengan data tertulis.
Namun dibandingkan dengan diorama, tingkat efektifitas visualisasi peristiwa akan meningkat lebih tinggi jika visualisasi menggunakan teknik audiovisual berupa film. Dengan film kesadaran penonton akan dibawa kepada ”peristiwa yang sebenarnya” karena ia akan dihadapkan kepada peristiwa yang hidup, peristiwa yang bersuara, dan peristiwa yang bergerak maju. Efek-efek psikologis dari suara dan gerak akan terekam lebih mendalam dalam memori penonton bila dibandingkan dengan hanya melihat gambar dan patung yang diam. Teknik semacam ini juga dimanfaatkan oleh militer sehingga lahirlah film-film dengan tema sejarah yang menonjol-nonjolkan kepahlawanan tentara yang berlebihan terutama peran Suharto. Peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 misalnya diangkat ke tingkat pemitosan Suharto sebagai pahlawan nasional utama yang merebut kembali Yogyakarta dari Belanda dan menguasainya selama enam jam, yang cukup banyak dilebih-lebihkan. Peristiwa ini diaudiovisualkan paling tidak menjadi tiga film dengan judul berbeda-beda, yaitu Enam Jam di Yogya, Janur Kuning, dan Serangan Umum.Peristiwa kedua adalah pemberontakan G 30 S/PKI, yang merupakan legitimasi naiknya Suharto menjadi presiden. Peristiwa tersebut difelmkan menjadi dua film yaitu Jakarta 66: Sejarah Perintah 11 Maret dan Pengkhianatan Gerakan 30 September, yang kesemuanya disutradarai oleh Arifin C. Noor. Film Pengkhianatan Gerakan 30 September menjadi film terpanjang karena berdurasi sekitar empat jam. Sayang sekali Katharine hanya sambil lalu saja menganalisis film-film sejarah dalam bukunya tersebut.
Teks-teks buku sejarah menjadi amat penting sebagai media propaganda rezim Suharto terutama buku-buku sejarah yang diedarkan dan menjadi pegangan wajib siswa-siswa sekolah. Ketika Nugroho Notosusanto menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ia menciptakan satu mata pelajaran wajib baru yang disebut Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang sebenarnya merupakan murni sejarah tentara Indonesia. Penciptaan mata pelajaran baru tersebut diikuti dengan proyek penulisan dan penerbitan buku teks untuk pelajaran itu. Materi yang terkandung di semua bukunya lebih banyak mengunggul-unggulkan peran tentara dan mereduksi banyak peristiwa penting lainnya. Dalam buku teks sejarah yang oleh Nugroho dijadikan buku babon, yaitu buku Sejarah Nasional Indonesia utamanya yang jilid enam, perjuangan diplomasi, yang merupakan inisiatif dan dilakukan oleh masyarakat sipil Indonesia pada masa perjuangan, direduksi begitu saja dengan menyebut upaya tersebut sebagai kegagalan.
Inti dari semua proyek sejarah yang digagas oleh Nugroho Notosusanto sebenarnya bermuara pada satu titik, yaitu penciptaan simbol-simbol yang melegitimasikan bahwa pemilik sah republik ini adalah tentara. Masyarakat sipil hanya menumpang apabila diberi tempat. Lebih jauh dengan mengutip Graeme Turner, penulis menegaskan bahwa representasi di sini adalah sebuah mediasi diskursif yang terjadi antara peristiwa dan kebudayaan yang memberikan sumbangan terhadap konstruksi ideologi nasional. kegunaannya bukan pada sebagai sebuah refleksi atau refraksi masa lalu, tetapi sebagai sebuah konstruksi masa kini. Jadi, penggambaran peristiwa telah dijadikan alat-alat simbolik untuk mengukuhkan legitimasi sebuah kekuasaan. Militer sepintas telah berhasil menciptakan citra tentang dirinya sebagai tentara rakyat yang berani berkorban, sebagai penjaga semangat kemerdekaan dan pelindung Pancasila. Namun, tegas penulis, semua ini adalah sebuah representasi yang hipokrit, karena dalam kenyataannya militer mempraktikkan kekerasan selama berkuasa.
Buku ini menjadi amat penting untuk melengkapi berbagai studi yang telah dilakukan mengenai satu periode sejarah Indonesia yang amat represif, yaitu periode Suharto. Salah satu pesan yang paling jelas dan diketahui umum adalah bahwa kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah bisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme. Studi Katharine ini juga menjadi pengingat bagi kita bahwa betapa bahayanya perselingkuhan yang dilakukan oleh sejarawan dengan penguasa yang otoriter dan lalim.
5. Meradam Perlawanan Kaum Radikal Terhadap Pemerintah
Penculikan dan semua tindakan teror itu tidak lepas dari semakin marakya perlawanan dari bawah. Akhir-akhir ini mahasiswa tumpah ruah di mana-mana. Mereka menuntut reformasi secara mendasar di segala bidang dan juga menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden yang ketujuh kali.
Maraknya aksi mahasiswa ini sangat membahayakan kekuasaan sebab aksi-aksi ini belum mencapai puncaknya. Baru satu elemen yang melakukan perlawanan secara meluas, yaitu kelas menengah intelektual. Dan pada gilirannya elemen ini akan menyeret elemen yang lain --yang selama ini walaupun belum sesemarak aksi mahasiswa juga sudah turun ke jalan-- yaitu elemen buruh, kaum miskin kota, juga sedikit kelas menengah profesional.
Orde Baru tak mampu dan tak punya niat baik memenuhi tuntutan reformasi. Coba bayangkan jika, kita ambil contoh reformasi politik, paket 5 Undang-Undang (UU) Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI dicabut, apa konsekuensinya ? Jelas akan ada kebebasan berpartai, kebebasan membuat organisasi massa (ormas), kebebasan dalam pemilu, serta keterbukaan dalam Sidang Umum (SU) MPR. Ini sama saja bunuh diri bagi kekuasaan Soeharto sebab kekuasaan Soeharto selama ini dipertahankan antara lain dengan memasung demokrasi melalui paket 5 UU Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI itu.
Untuk menghadapi ini, Soeharto memiliki dua cara, yaitu REPRESI dan KONSESI.
Cara pertama selalu dia lakukan, baik yang ringan seperti penggebukan para demonstran, penangkapan, pemenjaraan, hingga cara yang berat seperti penculikan, pembunuhan, penyerbuan militer, dan teror.
Sementara, konsesi merupakan sogokan untuk memanipulasi tuntutan rakyat. Seperti tuntutan adanya dialog secara demokratis dan terbuka, dijawab dengan dialog yang artifisial dan direkayasa. Tuntutan mengubah UU tentang Pemilu, misalnya, dijawab dengan mengubah aturan-aturan operasional semata. Tetapi rakyat Indonesia tidak sebodoh yang diperkirakan rejim. (http://www.xs4all.nl)
6. Kontrol Media Massa
Semua media massa yang diterbitkan di Indonesia tidak akan lepas dari pengawasan pemerintah. Isi dalam surat kabar tersebut dikehendaki agar memuat mengenai berita-berita gembira akan kesuksesan program pemerintah atau memuat acara-acara dari pemerintah yang bernilai positif. Control media ini tidak lain hanya untuk terus menarik simpati dari warganegara agar terus mengklaim bahwa pemerintahan Soeharto adalam pemerintahan yang baik. Semantara pemerintah melarang media masa untuk memuat kritikan tajam atau sindiran kepada pemerintah, memuat kegagalan program, atau men-discover kasus kejahatan dibalik pemerintah atau intinya semua wacana yang mencemarkan nama baik pemerintah itu tidak boleh dimuat. Apabila pihak media masa melanggar apa yang menjadi kehendak pemerintah maka konsekuensinya perusahaan media masa tersebut harus dibredel, dibubarkan atau dilarrang menerbitkan lagi. Hal ini pernah dialami oleh perusahaan surat kabar Kompas, Tempo, Indonesia Raya dll.
7. Melarang Ideologi Selain Pancasila
Pancasila merupakan ideology tunggal Orde Baru yang diagung-agungkan paska G30S. Hingga pada saat perjalanan Orde Baru diadakanlah program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Penataran P4 merupakan sesuatu yang wajib ikuti bagi anak sekolah, mahasiswa, PNS, dan juga beberapa elemen masyarakat. Strategi Politik ORBA melalui Penataran / P4 intinya adalah upaya "penyeragaman isi otak" agar cenderung berpikir sesuai terminologi aturan penguasanya . Bisa disebut "ROBOTISASI" . Upaya untuk meng-kloning / mem format otak manusia2 dengan identitas "numeric" . Jelas hal tersebut membunuh dan membungkam gagasan-gagasan visioner yang secara kodrati di Anugrahkan oleh YME kepada manusia. Seluruh ideology yang tumbuh di Indonesia yang tidak sesuai dengan Pancasila tidak diberi hak untuk tumbuh seperti Reformis, islam ekstrimis bahkan hanya perserikatan buruhpun turut dibubarkan (dikhawatirkan menjadi cikal bakal Komunisme).
PENUTUP
Sekiranya hal-hal diatas telah menjawab realita betapa kuatnya pemerintahan orde baru mengakar di Indonesia hingga 32 tahun. Semua unsure diatas jelas tidak terjadi secara alamiah namun semua itu mengandung sebuah rekayasa demi mempertahankan kekuasaanya selama mungkin. Unsur Backing dengan Militer telah benyak berjasa dalam menjaga kedudukan Soeharto karena dimanapun juga bahwa Militer adalah oknum yang terkenal kuat baik ofensif maupun defensifnya namun itu justru digunakan sebagai pelindung pemerintah terhadap rakyat bukan sebagai pelindung rakyat terhadap musuh dari luar. Lebih parahnya lagi Orde Baru dengan Nugroho Notosusanto-nya telah banyak berbuat ketidak objektifan dalam historiografi Indonesia. Absolutely, sejarah Indonesia harus membela Orde Baru. Semua hal yang telah dilakukan hanyalah mencari sebuah simpati, kehormatan, ketangguhan pemerintahan yang berujung untuk kelanggengan legitimasi Kekuasaan.
.
Daftar Pustaka
Adam, Asvi Warman. 2009. Membedah Tokoh Sejarah: Hidup atau Mati. Yogyakarta: Ombak
Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan,
Dwipayana, G. dan Ramadhan KH. 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada,
Irwan, Alexander. ”Keretakan Aliansi dan Transformasi Orde Baru,” dalam Republika, 15 Agustus 1995.
McGregor, Katharine E. 2008. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat,
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka,
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi
Sodiq, Ibnu. 2009. Buku Ajar: Sejarah Politik Indonesia.Semarang: Jurusan Sejarah UNNES
Sodiq, Ibnu. 2010. Bom JW Marriot: Jihad Yang Disalahkan. Semarang: Widya Karya
Winters, Jeffrey A. 1999. Dosa-dosa Politik Orde Baru. Jakarta: Djambatan

PEMIKIRAN POLITIK: SUTAN SJAHRIR

Oleh: Ganda Kurniawan

Sumber :
Judul Buku : Mengenang Sjahrir
Penulis : H. Rosihan Anwar, editor
Penerbit : PT. GRAMEDIA, Jakarta
Cetakan : Kedua, Desember 1980
Tebal : xxxvi + 311 halaman
Semasa hidupnya Sjahrir adalah toloh yang kontroversial. Banyak yang mengaguminya juga banyak pula yang memusuhinya. Dewasa ini pun agaknya terdapat pandangan-pandangan yang berbeda-beda berhubung dengan pertanyaan : bagaimana pemikiran politik Sutan Sjahrir?.
Dalam karangan ini akan dicoba untuk memberikan tiga hal yang menurut pandangan penulis sangat menonjol dalam hidup Sjahrir dan yang sekarang ini dapat dianggap masih mempunyai arti bagi kita. Yaitu (1) masalah Timur-Barat (2) Sistem demokrasi perlementer dan multipartai (3) Cita-cita sosialisme kerakyatan.
1. Masalah Timur-Barat
Masalah Timur-barat, dalam arti berhubungan antara Barat yang dianggap dinamis dan Timur yang dilihat sebagai statis, merupakan semacam garis merah dalam buku Indonesische Overpeinzingen, yaitu kumpulan renungan Sjahrir yang ditulisnya dalam masa tahanan dan pembuangan Belanda. Sjahrir memang manusia Timur yang sangat dipengaruhi oleh dunia Barat. Perdebatan mengenai masalah Timur-Barat dengan teman-teman sezamannya. Kebanyakan diantara teman-temannya itu melihat adanya perbedaan dan pertentangan yang fundamental antara Barat dan Timur. Mereka itu berkata bahwa Barat adalah individualistis dan materialistis, sedangkan Timur diagungkan sebagai bersifat kekeluargaan dan spiritual.
Sjahrir menyadari bahwa ada kelemahan-kelemahan pokok pada peradaban dan kebudayaan Barat. Kelemahan-kelemahan itu dilihatnya dari dalam. Yaitu sebagai orang yang sepenuhnya menghayati peradaban dan kebudayaan Barat itu. Namun ia mengagumi dinamika Barat dan dia yakin bahwa Timur harus lebih dinamis untuk dapat mengimbangi Barat. Abrat yang dinamis dan timur yang sedang berada dalam proses menuju dinamis itu tidak dipertentangkannya. Dia melihat bahwa baik di Barat yang sedang menjajah maupun di Timur yang sedang dijajah berlangsung perjuangan yang sama yaituperjuangan untuk menegakan kemanusiaan dan keadilan.
Barangkali sikap seperti itulah yang mendorong Sjahrir untuk membuka komunikasi dan membangun jembatan dengan negeri Belanda waktu dia menjadi Perdana Menteri. Agaknya itulah yang menjadi sumber kegagalannya. Sebab yang hendak dicapainya itu tidak cukup jauh bagi banyak orang Indonesia, tetapi terlalu jauh bagi banyak orang Belanda.
Waktu peti jenazah Sjahrir disemayamkan sebentar di Schiphol dalam perjalanan dari Zurich ke Jakarta, maka Prof. Schermerhorn yang menjadi teman dan lawan Sjahrir dalam perundingan antara republic dengan Belanda, berkata kurang lebih bahwa Sjahrir telah terjepit antara golongan kiri di Indonesia dan golongan kanan di negeri Belanda.
Sekarang ini tidak begitu banyak lagi membicarakan masalah Timur-Barat seperti dalam zaman Sjahrir. Timur-Barat sekarang sering digunakan dalam arti ideologis, berbicara mengenai modern dan tradisional. Barat yang modern dulu itu adalah tradisional. Setelah barat yang teradisional itu menjadi modern maka dia mengadakan ekspansi ke seluruh dunia. Yang menjadi rahasia ekspansi barat modern itu buukan kebaratannya melainkan kemoderenannya.
Di Eropa peradaban modern telah lahir dari pangkuan kebudayaan Barat dengan latar belakang filsafat Yunani dan agama Kristen. Bangsa-bangsa di luar lingkungan kebudayaan Barat sedang mengembangkan peradaban modern dengan mengakarnya kepada kebudayaan mereka masing-masing. Dalam proses moderenisasi kebudayaan-kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pertumbuhan.
Apakah yang sedang dan akan terjadi dengan agama-agama yang sejak berabad-abad terrjalin terjalin dengan kebudayaan-kebudayaan itu?. Dan apakah sebanarnya hakekat kemoderenan itu sendiri?
Dengan perkataan lain yang sedang dihadapi kini mempunyai lebih banyak segi-segi dan menyangkut soal-soal yang bersifat lebih fundamental dibanding dengan zamannya Sjahrir.
Sjahrir sadar : “Aku kurang poluler di kalangan nasional dan intelektual Indonesia”. Ini disebabkan oleh yang disebut mereka itu “cenderung ke Barat” dan beberapa orang mengatakan aku “keBelanda-Belandaan”.
Namun pada dasarnya Sjahrir tidaklah cenderung memihak Barat melaikan tetap konsisten pada politik Bebas-aktif. Hal ini dibuktikan ketika ia masih menjabat sebagai PM ikut menyokong dan melahirkan terbentuknya konferensi “Inter Asian Relations Conference” yang diadakan di New Delhi pada bulan april 1947. Konferensi itu pada dasarnya permulaan politik luar negeri RI yang bebas tidak memihak kepada blok-blok.
Persetujuan Linggarjati adalah pengakuan terhadap hak perjuangan bangsa dan rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Negara RI adalah perwujudan dari hasil perjuangan demokrasibangsa dan rakyat Indonesia dalam melaksanakan haknya dalam menentukan nasibnya sendiri., sekalipun kekuasaannya hanya diakui di Jawa dan Sumatera. Kerja sama dengan Belanda adalah untuk melikuidasi kolonialisme Belanda di Indonesia dan mendirikan RI Serikat yang berdaulat meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Waktu Belanda tanggal 21 juli 1947 menyerang Republik, Sjahrir sebagai penasehat Presiden dan selaku duta keliling republik dengan pesawat terbang berangkat ke luar negeri. Pada tanggal 14 Agustus 1947 Sjahrir sebagai wakil RI berbicara dalam siding Dewan Keamanan PBB. Disana ia mengupas politik penjajahan Belanda dan mendesak supaya Dewan Keamanan PBB membentuk suatu badan Arbitrase yang tidak berpihak. Sjahrir dalam forum internasional di Dewan Keamanan PBB, disana ia sekali lagi mempertahankan dan membela kemerdekaan RI seperti yang telah di konsolidasi dalam perjanjian Linggarjati dan diakui oleh dunia Internasional.
2. Demokrasi Parlementer dan Multipartai
Sebagai masalah kedua yaitu yang disebut dengan system demokrasi parlementer dan multipartai. Dalam sejarah Indonesia tindakan untuk mengintrodusir system itu dihubungkan dengan peranan Sjahrir.
Pada waktu itu system itu dianggap lebih demokratis daripada system pemerintahan yang langsung dipimpin oleh presiden dengan partai tunggal, seperti telah diterapkan sesudah proklamasi kemerdekaan. System demokrasi parlementer itu telah diterima sebagai konvensi dan dianggap tidak bertentangan dengan UUD 45. Dibawah UUD RIS dan UUDS RI system itu dilanjutkan. Waktu itu Sjahrir tidak mempunyai peranan politik lagi. Dengan demikian jelas bahwa sekalipun introduksi system itu dihubungkan dengan peranan Sjahrir namun system itu telah mempunyai tempatnya sendiri dalam sejarah Indonesia terlepas dari peranan Sjahrir.
Sekarang ini menyadari bahwa tiap system dan struktur politik itu harus menjalankan fungsi-fungsi (1) menjamin persatuuan, kesatuan, stabilitas dan keamanan (2) mengusahakan pertumbuhan dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lain (3) menjamin martabat manusia dan menyalurkan cita-cita kemanusiaan, seperti keadilan, kebebasan tanggung jawab mengenai hidup Negara dan bangsa yang juga mencakup kebebasan untuk mengkritik dan mengawasi tiap kekuasaan.
Pada taraf tertentu dalam perkembangan Negara-negara Barat modern maka system demokrasi parlementer dengan struktur multipartai telah dikembangkan untuk menjalankan fungsi-fungsi tadi sebaik-baiknya.
Usaha untuk menerapkan system demokrasi parlementer dan struktur multipartai seperti itu tidak memberikan hasil yang diharapkan. Kita tiidak dapat melangkah ke belakang. Masalah yang dihadapi sekarang ialah untuk maju ke depan dan terus mengembangkan system kita yang ada lebih lanjut secara dinamis dan kreatif, agar system itu menjadi makin mampu untuk menjalankan fungsi-fungsi tadi sebaik-baiknya. Salah satu ukuran mengenai kemajuan ialah bahwa titik berat akan makin bergeser ke dalam fungsi diatas yang ketiga.
Sjahrir mengajarkan kepada rakyat tentang demokrasi. Dalam rangka untuk mencegah perang dengan Belanda, Sjahrir mengadakan pidato radio pada tanggal 19 Juni 1947 yang berisi antara lain member konsesi pada Belanda secara yuridis mau mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia selama masa peralihan akan tetapi dengan dalam pada waktu itu mempertahankan kedaulatan RI ke dalam. Baik cabinet maupun partai sosialis dapat menyetujui kebijakan Sjahrir ini. Pertai Sosialis adalah anggota dari Sayap Kiri yang terdiri dari Partai Soislis, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI) dan Pesindo. Sayap Kiri yang secara keseluruhan ada pada umumnya didominasi oleh kaum komunis tidak dapat menerima kebijakan Sjahrir bukan semata-mata atas pertimbangan kebijaksanaan melainkan oleh karena Sjahrir bukan seorang komunis. Ia dinilai oleh Sayap Kiri sebagai orang yang bebas dan tidak tunduk kepada garis Moskow. Dia melakukan pidato tadi dengan tidak melalui persetujuan dari Sayap Kiri. Atas pertimbangan ini Sayap Kiri menolak kebijaksanaan Sjahrir. Oleh karena Sjahrir tidak mendapat dukungan dari Sayap Kiri, maka ia meletakan jabatan sebagai Perdana Menteri. Sebenarnya Sjahrir dengan dukungan Kabinet, Presiden, dan wakil Presiden dapat bertahan sebagai PM dan mengabaikan keputusan Sayap Kiri. Disini Sjahrir harus memilih antara kekuasaan dan demokrasi. Sebagai seorang democrat tulen ia memilih demokrasi dan meletakan jabatannya. Sjahrir meletakan jabatan PM itu sesuai dengan aturan-aturan permainan dan hukum demokrasi.
3. Sosialisme Kerakyatan
Sjahrir meneruskan pendidikan pada Universitas Amsterdam. Setibanya di negeri Belanda dia langsung menghubungi pengururs Amsterdamsche Sociaal Democratische Studenten Club. Rupanya Sjahrir mahasiswa Indonesia pertama yang mencari hubungan dengan perkumpulan mahasiswa sosialis tersebut. Perkumpulan mahasiswa sosialis tersebut adalah suatu organisasi yang bebas dan tidak merupakan bagian dari SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij). SDAP sebagai partai social democrat menentang kolonialismedan menghendaki Indonesia merdeka dengan jalan evolusi. Sebaliknya perkumpulan mahasiswa sosialis yang berhaluan kiri dalam diskusinya tentang kolonialisme berdasarkan ideology Marxisme menentang segala dalam bentuk reformisme.
Setelah Partai Sosialis pecah, maka Sjahrir yang pernah memainkan peranan penting sebagai ketua dari Partai Sosialis yang utuh memimpin Partai sosialis Indonesia. Dalam pemilihan unum 1955 terbukti bahwa Partai Komunis Indonesia mempunyai dukungan yang jauhh lebih luas dibanding dengan Partai Sosialis Indonesia. Kekuatan PKI dan kelemahan Partai Sosialis Indonesia itu telah mempunyai pengaruh besar terhadap perkembngan politik di Indonesia setelah tahun 1955.
Di Eropa Barat dimana Sjahrir bermukim dalam tahun-tahun yang paling menentukan bagi perkembangan pandangan hidupnya, sosialisme lahir sebagai gerakan koreksi terhadap masyarakat yang telah mencapai tingkat industrialisasi yang tinggi dalam rangka system kapitalisme. Sedangkan masalah yang kita hadapi di Indonesia sekarang ini dan di tahun-tahun yang akan datang ialah bagaimana caranya agar dalam pembangunan kita stabilitas politik dan pertumbuhan ekonommi pancasila, termasuk kerakyatan dan keadilan social. Itu berarti bahwa cita-cita sosialisme kerakyatan dapat disalurkan dalam pembangunan yang hendak mengamalkan semua sila dari Pancasila sebagai kesatuan yang utuh melalui perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kita.
Sjahrir mempunyai pemikiran yang kritis, sering sangat kritis terhadap orang-orang lain. Tidak hanya terhadap teman-teman sezamannya tetapi juga terhadap tokoh-tokoh dalam sejarah. Tokoh yang dikaguminya adalah Engels secara dogmatis. Tetapi oleh karena dia melihat Engels sebagai manusia biasa yang dengan jalur berjuang untuk cita-citanya.
Sebagian besar dari kalimat-kalimat yang ditulisnya mengenai Engels dalam Indonesische Overpeinzingen barangkali juga digunakan terhadap Sjahrir sendiri. Sjahrir menulis “Engels (Sjahrir) ini adalah manusia biasa, dengan segi-segi yang baik dan buruk, sama seperti semua manusia yang lain, hanya dengan watak yang kuat, tujuuan hidup yang jelas, rendah hati, berani, intelijen. Dia adalah seorang pejuang, tetapi bukan seorang nabi”.
Jika kita bandingkan dengan Tan Malaka, mereka sama-sama putera Minang. Keduanya beraliran sosialis dan telah melampaui studi serta medan daya pengaruh Hegel dan Karl Marx dalam perkembangan diri serta pandangan politiknya. Dan karena itu mereka sadar, bahwa revolusi nasional hanyalah fase awal saja dan sarana belaka untuk tujuan kemerdekaan yang lebih esensial ialah revolusi social dan mental. Perbedaan satu-satunya sikap dan politik social antara kedua tokoh tersebut ialah: Tan Malaka memiliki Rumus: merdeka adalah merubah dari manusia yang bermental vertical, tahayul, pendewaan segi spiritual yang dicandui impian-impian, dogmatif konservatif, statis, pasif dan serba emosional, menjadi manusia yang madilog (meterialisme, dialektika, logika). Jadi kemerdekaan esensial ada pada mental. Sedangkan Sjahrir melihat kemerdekaan bangsa Indonesia dalam penghayatan pri kemanusiaan dari sila kedua Pancasila, yang mengatasi batas-batas emosional sempit.
Pada pra kemerdekaan Sjahrir menerangkan kepada sastra sebagai berikut.: Revolusi tidak mungkin dilaksanakan sembarang waktu menurut kehendak nafsu si pemimpin yang gila berontak. Kalau memang mau berhasil maka perjuangan harus tertib dan teratur. Untuk itu kita harus berfikir menurut aturan-aturan dan hukum ilmu pengetahuan yang ada sangkut pautnya dengan perjuangan kemasyarakatan. Teori maupun praktek perjuangan mengatur masyarakat di negeri manapun perlu kita pelajari untuk kita pilih manna yang bermanfaat untuk negeri kita.
Revolusi hanya mungkin terjadi bila syarat-syaratnya terpenuhi yaitu syarat-syarat objektif dan subjektif. Syarat objektifadalah ketidak puasan rakyat yang umum merata dalam masyarakat, kakalutan dan lenyapnya disiplin di kalangan aparat pemerintah dan kebingungan tokoh-tokoh yang memerintah, sedangkan syarat subjektif ialah adalah manusia-manusia pejuang yang memperjuangkan perbaikan kemerdekaan itu. Syarat subjektif tersedia tapi jikalau syarat objektif tidak ada maka revolusi tidak mungkin akan terjadi. Begitupun sebaliknya kalau dua syarat tersebut tersedia maka harus diperhitungkan kapan waktunya yang tepat yang disebut dengan waktu psikologis.
Pemberontakan komunis tahun 1926 gagal karena syarat-syarat tersebut belum lagi tersedia.
Sementara menaati berkembangnya saat objjektif dan datangnya saat-saat psikologis, maka kewajiban kita adalah menyusun kekuatan subjektif. Dalam perjuangan kita hanya boleh percaya pada kekuatan dan usaha kita sendiri. Selain dengan itu tidak mungkin sesuatu revolusi buahnya bermanfaat bagi masyarakat banyak kalau didasarkan pada rasa kebencian terhadap manusia. Perjuangan kemerdekaan kita harus dilandasi oleh rasa persaudaraan kemanusiaan. Semangat benci mengamuk serta tindakan pengrusakan dan penyembelihan tidak akan membuahkan hasil yang baik. Tindakan kekerasaan hanya dapat dibenarkan dan dimanfaatkan jika terpaksa untuk membela diri. Yang terpenting dari ajaran Sjahrir adalah ajaran kedaulatan rakyat, ajaran bagaimana seharusnya mengatur Negara sesudah Indonesia merdeka. Tidak cukup dengan asal Indonesia merdeka sambil tidak peduli golongan mana sepatutnya yang mengendalikan pemerintahan. Golongan yang memerintah adalah seahrusnya mereka yang bersemangat kemanusiaan dan kerakyatan. Mereka yang keluar mengusahakan kerjasama persaudaraan antar bangsa, demi membantu usaha ke dalam untuk memajukan dan memakmurkan seluruh rakyat. Pemerintah harus dipilih secara berkala oleh rakyat yang berdaulat dan yang berkuasa, jadi bukan kepada seorang raja atau ratu, bukan kepada sekelompok kaum ningrat, kaum intelek atau sekelompok hartawan kapitalis.
Perjuangan yangdiperjungkan oleh Partai Sosialis Indonesia adalah sosialisme yang berdasarkan pada kerakyatan yaitu sosialisme yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat setiap manusia perorangan. Sosialisme semestinya tidak lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan yaitu kemerdekaan dan kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya, pada mana seharusnya tiap manusia merdeka untuk mengembangkan kehidupannya serta kesanggupan yang ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan dimana hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebijakan dan keindahan.

Intisari buku Bom “JW Marriot: Jihad yang Disalahkan” menenai Intervensi Politik dalam Penanganan Terorisme di Indonesia

Oleh: Ganda Kurniawan, Mahasiswa pendidikan Sejarah
(NIM: 3101408093)
Sejarah Indonesia tidak akan terlepas dari yang namanya “kekerasan” dimana seringkali politik juga ikut mem-backing dibalik itu semua. Intervensi politik tidak hanya karena alasan mengikuti paradigma politik luar negeri akan tetapi kepentingan personal penguasa Negara juga turut memberi andil. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Ketika politik berjuang menjaga eksistensinya itulah biasannya suatu kekuasaan menjadi buta akan keadaan yang sebenarnya terjadi, apapun bisa dilakukan demi mencapai tujuan tertentu sekalipun di dalamnya terselipkan suatu tindakan “kekerasan”.
1. Pengaruh Paradigma Politik Luar Negeri
Kekerasan juga bisa dijadikan sebagai factor atau langkah awal dalam dunia perpolitikan. Hal yang khusus dimaksud dalam buku ini adalah “kekerasan agama”. Ketika kita dihadapkan pada sejarahnya, kita pernah dihadapkan pada peristiwa 11 September 2001. Tragedy yang memakan banyak korban dan kerugian besar itu dijadikan sebagai langkah awal politik Amerika Serikat untuk “mengacak-acak” Islam. Dimana setelah runtuhnya komunis Uni Soviet kemudian Amerika Serikat hendak membuat tatanan dunia baru yang berporos pada kebijakan politiknya yaitu “single super-power”. Politik ini jelaslah hendak meruntuhkan segala yang akan dianggap sebagai tandingan atas kekuatan tunggal tersebut khususnya yang paling popular saat ini adalah perlawanan terhadap Islam radikal, Islam militant, atau Islam Fundamentalis yang kemudian mendeklarasikan kepada dunia bahwa paham tersebut disamakan dengan “Terorisme”. Dimana istilah “terorisme” ini memiliki makna negative sehingga semua pihak seharusnya membencinya bahkan orang Islam sendiri.
Sampai akhirnya istilah “terorisme” tersebut sampailah di Indonesia dimana negeri ini juga mayoritas penduduk adalah Islam. Sementara Amerika serikat juga jelas menancabkan hegemoni politiknya disini guna melawan istilah “terorisme” yang belum lama datang. Bom bali I seolah menunjukan kepada pemerintah Indonesia bahwa gerakan teroris memang ada di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus tegas dakam menghadapi musuh-musuh yang begitu radikal dan harus segera menghentikan gerakan tersebut secepatnya, jika tidak ingin menghadapi resiko.
Pasca Bom Bali I, AS dan Indonesia berkerja sama untuk melawan teroris. Hal ini dibuktikan dengan datangnya direktur FBI Robert Muller menemui pejabat Indonesia untuk kerjasama dalam pemberantasan terorisme. Itu sungguh mencerminkan upaya yang sangat serius dari Pemerintah Amerika dalam memberantas Jaringan Terorisme di asia Tenggara.
Serangan terhadap Gedung Kembar WTC, 11 September 2001 menjadikan alasan Amerika melancarkan “perang melawan terorisme” padahal pada dasarnya peristiwa tersebut mengandung banyak kesanksian. Banyak kalangan AS sendiri, maupun sekutu dan pihak asing lainnya meragukan kalau aksi tersebut disebabkan ulah orang Islam. Kemungkinan besar ini hanyalah rekayasa dan bagian dari politik AS saja. Sesuatu yang besar, yang pantas untuk menjadi dalih yang besar pula yaitu serangan kepada Islam, kepada Al-Qaeda, kepada Taliban Afghanistan.
Ditambah lagi Amerika serikat juga menebarkan ancaman kepada dunia atas Negara-negara yang tidak mau bergabung bersama dengannya. Dalam sebuah kesenpatan George W. Bush mengatakan, if you are not with us, you are against us (jika anda tidak bergabung dengan kami, maka anda adalah musuh kami). Negara yang tidak punya nyali menentang AS umumnya ikut kerja sama di dalamnya sekalipun itu juga Negara Islam, termasuk Indonesia.
Implementasi dalam pelaksanaan kebijakan ini di Indonesia justru membuat rakyat merasa tidak tenang bahkan tokoh-tokoh besar islam seringkali menjadi korban. Ketika terjadi ledakan beberapa bom di Indonesia maka pemerintah otomatis menuding atau mencurigai organisasi Islam yang bergaris keras, padahal ajaran agama islam yang ini secara teori justru bersifat puritan/ murni/ sesuai dangan syari’at yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW. Hal ini justru mendorong rakyat memahami dan menjalankan Islam yang njawani (terselip budaya lokal) dari pada Islam Puritan yang seringkali dituduh sebagai tempat berkembangnya terorisme. Hal ini berakibat agama islam sudah tidak murni lagi bahkan didalamnya saling berbeda pendapat. Hal ini jelaslah bagian dari keberhasilan Politik Amerika Serikat untuk mengacak-acak Islam, sebuah konspirasi barat sebagai kealnjutan dari perang salib.
2. Intervensi Politik dalam Negeri
Kaitanya dengan politik dalam negeri ini jelas tidak jauh tujuannya dengan apa yang menjadi tujuan AS. Hanya saja jika politik AS ego ambisinya mencakup antar Negara, sedangkan politik dalam negeri ini lebih banyak mengenai perjuangan menjaga eksistensi dan citra penguasa di mata rakyat. Persamaan diantara keduanya yaitu sama-sama memanfaatkan suatu citra radikalisme kelompok tertentu sebagai usaha untuk mencapai tujuan politiknya.
Strategi politik melalui pemanfaatan label radikalisme suatu kelompok di Indonesia ini dimulai dari masa rezim Orde Baru. Strategi ini bertujuan agar ideology Orde Baru ini masih tetap berdiri tanpa ada paham lain yang menandingi. Bagi pemerintah Orde Baru pada saat itu yang paham yang masih meresahkan pemerintah akan terjaganya eksistensinya yaitu dengan masih adanya golongan yang masih mendambakan NII (Negara Islam Indonesia) yang pernah didirikan SM Kartosuwirjo.
Memang realita ada beberapa eks pejuang NII yang berusaha untuk membangkitkan kembali semangat mendirikan NII. Semangat yang masihkuat dari mereka sempat dimanfaatkan oleh penguasa Orde Baru dengan memancing simpatisan NII untuk keluar dari “persembunyiannya”, dan kemudian setelah keluar akhirnya diberangus. Beberapa tokoh NII berhasil dipancing keluar antara lain : Ateng Djaelani, Zaenal Abidin, Moch Danu Hasan, Nasucha, Kadar Solichat, Hispran dll. Darri sekian tokoh itu yang kemudian paling popular adalah Hispran (Ismail Pranoto), ia adalah orang yang begitu gigih dalam mmenawarkan berdirinya NII. Kegigihannya disebabkan oleh adanya perjanjian dengan Ali Moertopo (Asisten Pribadi Presiden Soeharto) bahwa pemerintah juga akan mendukungnya. Karena dukungan pemerintah itulah Hispran menjadi aktif mendatangi aktifis-aktifis Islam agar bergabung dalam gerakannya yang dinamakan Komando Jihad (Komji).
Kasus ini merupakan kasus yang begitu menyakitkan bagi para aktifis Islam pada saat itu. Banyak diantara mereka yang tergabung dalam Komji tadi harus berhadapan dengan aparat keamanan dengan tuduhan berencana melakukan makar dengan mendirikan kembali NII. Hal ini berarti bahwa Hispran tidak lain telah dimanfaatkan Ali Moertopo untuk menghancurkan dakwah Islam.
Hal diatas bisa kita lihat bahwa itu merupakan salah satu strategi licik pemerintah untuk terus menjaga eksistensinya. Sehingga semua harus dibawah control pengawasan pemerintah sehingga tidak ada organisasi social politik yang diperbolehkan memakai asas selain Pancasila. Gambaran pemerintahan yang seperti ini sudah bisa dikatakan sebagai penganut totaliter, system yang bertentangan dengan demokrasi. Dalam pemerintahan orba sesungguhnya telah ada perangkat pendukung yang mencerminkan demokrasi, namun dibalik itu ternyata perangkat tersebut tidak difungsikan semestinya.
Hal yang sejenis namun berbeda pola terjadi pada masa pemerintahan SBY yang ke II. Dua buah Boom meledak di hotel JW Marriot dan Ritz Charlton pasca pemilu yang menandakan kemenangan kembali SBY sebagai Presiden RI. Tidak hanya itu, presiden juga tampak marah ketika foto dirinya dijadikan sasaran latihan tembak oleh orang-orang yang diduga akan menyerangnya. Dari peristiwa tersebut SBY langsung memvonisnya sebagai suatu tindakan “radikal” dengan menyatakan bahwa peristiwa tersebut kemungkinan besar hal yang menandakan bahwa ada ancaman untuk menggagalkan pelantikan SBY menjadi presiden periode kedua. Yang lebih mengejutkan statement presiden akan adanya revolusi seperti di Iran jika SBY menang dalam pilpres.
Prasangka melalui statement yang dibengkokan ini jelas mempunyai maksud politiknya. Pertama, hal ini menandakan kondisi presiden dan Negara dalam kondisi tidak aman, dengan begitu maka presiden bisa memperoleh penjagaan yang ketat. Kedua, bahwa peristiwa terorisme tersebut jelas membuat ketakutan kepada rakyat, rakyat akan cenderung menghindari apa yang disebut dengan label “teroris” dan segalanya akan merasa harus dilakukan secara hati-hati agar tidak dianggap radikal atau terorisme. Pernyataan SBY telah membuat tetap berdirinya ideology pemerintahan SBY dan mengurangi efek radikal yang ditujukan kepada pemerintahannya.