Monday, February 28, 2011

DAMPAK SOSIAL-MILITER TERHADAP MASYARAKAT DESA TANGGERAN, KECAMATAN SOMAGEDE, KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1947-1949



disusun oleh:
Ganda Kurniawan, Nanang Pratmaji, Ratri Endaryani, Sulistyaningsih dan Wiji dwi Lestari, Titin Vidiana,
Tugas Sejarah Lisan
BAB I

Pendahuluan
1. Latar Belakang

Tanggal 17 Agustus 1945 memberikan sebuah kesan warna kemenangan dalam setiap keihidupan bangsa Inbonesia. Hal yang selanjutnya menjadi perspektif masyarakat adalah bahwa ini adalah sebagai tanda terbebasnya dari penjajahan atau kepergian penjajah asing dari bumi Indonesia. Cukup melegakan hati bangsa Indonesia yang merasa telah diperas oleh Belanda mencapai 3,5 Abad dilanjutkan penjajahan atas nama nasionalisme dari Jepang mencapai 3,5 tahun dan dirasa lebih menyengsarakan. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan 17 Agustus 1945 rakyat memasrahkan nasib selanjutnya kepada figure yang telah merencanakan semua seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lain-lain. Di dalamnya mencampurkan elemen muda yang revolusioner dan golongan senior yang lebih berpengalaman dan penuh pertimbangan. Figure figure tersebut bersatu untuk merancang Negara dan berfikir kenegaraan.
Dalam rangka mendirikan Negara maka seluruh pelengkap, syarat dan aksesoris negarapun segera dibuat. Sehari setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya perlulah dibentuk perlulah dibentuk lembaga pemerintahan sebagai layaknya suatu Negara merdeka. Untuk keperluan tersebut perlulah pembentukan Undang-undang Dasar diselesaikan sehingga lembaga pemerintahan baru itu mempunyai peraturan-peraturan dasar sebagai pedoman kerjanya. Untunglah BPUPKI telah mempersiapkan pekerjaan itu, sehingga PPKI, yang atas inisiatif Bung Karno anggotanya telah ditambah dengan 6 orang lagi sehingga lebih mencerminkan perwakilan rakyat Indonesia dan menunjukan kepada dunia bahwa lembaga tersebut bukanlah buatan Jepang semata-mata, pada tanggal 18 Agustus siang telah berhasil membentuk UUD yang terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri atas 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal aturan tambahan disertai penjelasan. Pada hari itu juga atas usul Otto Iskandardinata, secara aklamasi PPKI menyetujui pengangkatan Soekarno–Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden (G. Moedjanto, 89: 1993).
Ada satu badan lagi yang memang tidak boleh ditinggalkan Negara Indonesia yang memang telah memporklamirkan kemerdekaannya secara premature yaitu pembentukan Tentara Nasional Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan strategi nasional yang berlandaskan kepada diplomasi, memang awalnya Soekarno dan Hatta tidak segera membentuk tentara sebagai gantinya membentuk sebuah Badan Keamanan Rakyat. Para pemuda bekas Peta, Heiho, KNIL, Seinendan, dan lain-lai menggabungkan diri ke dalam BKR di tempat kediamannya masing-masing. Mereka yang berasal dari kesatuan polisi Jepang yaitu Keisatsutai, dan Tokobetsu Keisatsutai berdiri sebagai pemuda polisi. Mereka melakukan pertempuran dengan Jepang dalam rangka pelucutan senjata, ditambah pula dengan kedatangan Sekutu dan NICA menjadikan situasi makin gawat. Mereka bertidak sendiri-sendiri dan tidak ada kesatuan komando maka tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan Dekrit tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat. TKR ini membuat pasukannya lebih terkoordinir dan komando yang teratur dalam tiap divisi. Dari sini Indonesia bisa dibilang cukup beruntung, dengan Proklamasi yang premature tersebut telah menjadikan penyelenggaraan Negara lebih cepat tersusun sebelum kedatangan Belanda yang hendak menjajah lagi. Alhasil ketika Belanda datang, Indonesia sudah mempunyai pasukan tentara yang siap mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Stelah Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, ia harus melepaskan kembali daerah pendudukannya. Ini berarti daerah-daerah koloni yang semula direbut dari bangsa Barat yang tergabung dalam blok Sekutu harus dikeembalikan. Memang negeri-negeri Barat itu masih menganggap dirinya berhak untuk memerintah koloni-koloninya dahulu. Setelah Jepang kalah Belanda ingin kembali ke Indonesia. Dasarnya masih bersifat ekonomis yaitu masih adanya anggapan Bahwa Belanda tanpa Indonesia takan bertahan hidup. Disamping itu pengakuan bahwa Indonesia adalah wilayah kerajaan Belanda diterima oleh dunia Internasional. Dengan masuknya tentara Sekutu Inggris ke Indonesia iku serta menyelundup pejabat-pejabat NICA dan tentara Belanda.
Mengingat pemerintahan RI belum kuat baik secara institusional maupun secara fisik militernya maka ia harus hati hati. Berbagai tindakan atau kebijaksanaan yang memungkinkan sikap permusuhan dari pihak sekutu harus dihindarkan. Kedatangan Sekutu di Jakarta tersiar dengan cepat ke daerah-daerah. Rakyat Indonesia kemudian menyadari adanya bahaya yang mengancam kemerdekaan. Karena itu pengambil aliahan secara simbolis belum cukup kini keadaan mendesak. Ini berarti senjata harus dicari. Inin berarti perebutan senjata dari tangan Jepang.
Apa yang ditakutkan ternyata terjadi kedatangan mereka seringkali memicu bentrokan. Begitu pula dengan tentara Jepang yang masih tersisa butuh perjuangan yang keras untuk mencoba merebut senjatanya. NICA masuk ke daerah-daerah di Jawa berusaha untuk melakukan pendekatan lebih dalam mencoba meyakinkan masyarakat dan diperkenankan untuk menjajah kembali. Namun apa boleh buat ternyata komando dari TKR telah menyatakan perang dengan NICA. Telah diputuskan oleh pimpinan angkatan bersenjata bahwa Perang Gerilaya yarus dilakukan sepanjang masa peperangan. Hal ini dilakukan untuk penghematan tenaga dan Amunisi. Perang yang menghindari perlawanan frontal ini memaksa mereka bertempur di pelosok-pelosok pedesaan sangat bergantung dengan penguasaan lingkungan dan kerjasama dengan masyarakat. Dengan kata lain ternyata masyarakat dapat dilibatkan dalam perang ini, dan ini semua mengandung konsekuensi.

2. Permasalahan
Kedatangan Belanda dan menduduki kembali tiap daerah di Jawa khususnya Banyumas ini setidaknya telah membuat TNI maupun masyarakat mulai mejamkan mata mereka untuk siaga bila suatu ketika NICA menyeleweng. Hinga akhirnya apa yang ditakutkan tersebut ternyata benar-benar terjadi. Baik pihak Belanda maupun pihak Revolusioner Indonesia menganggap Revolusi Indonesia sebagai suatu zaman yang emrupakan kelanjutan dari masa lampau. Bagi Belanda tujuannya adalah menghancurkan sebuah Negara yang dipimpin oleh orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang dan memulihkan suatu rezim colonial yang menurut keyakinan mereka telah mereka bangun selama 350 tahun. Bagi para pemimpin Revolusi Indonesia, tujuannya adalah melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional yang telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya. Masing-masing merasa yakin bahwa takdir dan kebenaran berada di pihaknya (M. C. Ricklefs, 1991:318). Akhirnya perbedaan itu memaksa mereka untuk berperang.
Suatu cara berperang yang dilakukan TNI adalah dengan teknik Perang Gerilya. TNI melakukan perang ini jauh berada dari pusat perkotaan yang telah dikuasai oleh Belanda. Biasanya TNI masuk ke pedesaan dengan kondisi alam yang sangat mendukung mereka untuk bergerilya.
Di Banyumas banyak sekali daerah yang cocok sebagai sarang persembunyian TNI. Hal diatas jelas membawa konsekuensi perang akan terus terjadi di tiap desa yang yang kondisinya cocok untuk bergerilya. Selain itu mau tidak mau masyarakat dijadikan elemen penting dalam peperangan tersebut, baik itu untuk menguntungkan pihak Belanda maupun TNI. Dengan keberpihakan masyarakat (dalam medan gerilya) yang masih ambigu itulah yang menimbulkan berbagai masalah, antara lain:
• Bagaimana masyarakat menanggapi perang gerilya dimana wilayahnya itu dijadikan sebagai medan peperangan?
• Apa saja yang dilakukan oleh TNI ataupun Belanda ketika proses perang gerilya?
• Kepada siapakah mayoritas mereka berpihak atau membantu dalam proses perang gerilya itu?
• Apa konsekuensi dari memihak salah satu kubu dalam perang gerilya? Apakah perang gerilya membawa efek teragis dalam masyarakat atau maha menguntungkan?
• Bagaimana kesan (dampak positif/ negatif) masyarakat dengan terjadinya perang gerilya diwilayah ruang geraknya?

3. Gambaran Umum Lokasi
Secara geografis, wilayah Banyumas terbentang dari sisi Barat daya Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan secara administrasi pemerintahan, wilayah Banyumas terbagi menjadi empat kabupaten: Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara. Sebelah Barat berbataan dengan provinsi Jawa Barat. Sebelah Selatan dibatasi olrh pantai Samudera Hindia. Sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Wonosobo dan Kebumen, sedang sebelah utara berbatas dengan kabupaten Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Dalam sejarah kolonialisme Belanda, wilayah ini termasuk dalam administrasi Karesidenan Banyumas. Pusat pemerintahan bertempat di pusat kabupaten Banyumas (Budiono, 2008:13).
Sedangkan dalam lingkup yang lebih sempit peristiwa ini lebih terfosir berada di kompleks sekitar desa Tanggeran, Kecamatan Somagede. Desa ini sebelah utara berbatas dengan desa Sokawera dan desa Somagede. Sebelah timur berbatas dengan desa Klinting. Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Banyumas atau sekitar pusat pemerintahan kota. Sedangkan sebelah timur adalah berbatasan dengan Kecamatan Kemranjen. Kemungkinan peristiwa ini tidak hanya terdapat di sekitar desa Tanggeran ini saja akan tetapi hampir menyeluruh di desa-desa yang cocok sebagai medan gerilya. Desa Tanggeran menjadi tempat dimana peristiwa ini terfosir karena desa ini adalah pilihan medan gerilya dan tidak terlalu jauh pula dengan pusat pemerintahan atau pusat komando.
Sebagai tempat terjadinya peristiwa sejarah ini (Sekitar Desa Tanggeran, Kec. Somagede), Banyumas bisa dikatakan memiliki jenis pertanahan yang cukup subur. Hal ini dibuktikan dengan jenis tanah umumnya berwarna hitam serta banyak sekali tumbuh tumbuhan semak dan hutan. Hal ini sangat memungkinkan sebagai medan gerilya yang cocok bagi para TNI yang sudah benar-benar mengenal lingkungan. Dalam bergerilya umumnya para TNI lebih menyukai medan yang tidak datar seperti di sekitar Kecamatan Somagede yang memiliki kontur berbukit-bukit serta rindang akan tumbuh-tumbuhan. Mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani, khususnya petani Nira atau bahasa orang setempat menyebutnya dengan “Nderes”. Dengan mayoritas bekerja sebagai Nderes ini otomatis hampir tiap rumah memiliki tanah perkebunan yang luas sehingga rentang antar rumahpun cukup jauh sehingga kondisi pemukimannya tidak begitu saling menggerombol. Kondisi pemukiman yang tidak padat/ rapat ini membawa persepsi TNI bahwa ini adalah medan yang cukup aman untuk berperang atau masih minim konsekuensi yang ditimbulkan ketika terjadi aksi saling tembak terhindar dari pemukiman. Dengan kondisi seperti itu pula akan manguntungkan pihak TNI untuk bekerjasama atau meminta bantuan kepada masyarakat apakah itu menempati rumahnya sebagai posko, atau markas karena dengan kondisi yang jarang seperti itu lokasi ini akan susah dicari oleh pihak musuh. Serta mempersulit pihak musuh dalam melakukan pengejaran. Lokasi ini juga tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan juga markas markas pusat TNI sehinga tidak mempersulit dalam melakukan koordinasi strategi atau instruksi peperangan. Sekiranya itulah yang menjadi pertimbangan para TNI Banyumas memilih tempat tersebut sebagai medan gerilya.
4. Alasan Pemilihan Judul
Kedatangan NICA ke Banyumas juga tidak luput seperti halnya karesidenan-karesidenan di Jawa yang lain. Instruksi atau Komando dari TNI yang ada di Banyumas pun tidak berbeda jauh dengan yang ada di daerah lain guna melakukan perlawanan terhadap NICA/ Belanda dengan cara bergerilya. Namun di dalamnya kami menyoroti suatu fenomena yang unik dari masyarakat Banyumas khususnya masyarakat dimana wilayah/ pedesaanya dijadikan medan bergerilya berperang antara TNI dengan pihak Belanda. Dimana masyarakat juga turut menjadi fasilitator TNI ketika berjuang serta turut menjadi korban pula dari keganasan NICA ketika perang berlangsung. Biar bagaimanapun juga itu adalah sebuah konsekuensi dari Perang Gerilya, dimana mereka tidak hanya melakukan perang sesama prajurit akan tetapi masyarakat jelata yang tidak berkewajiban untuk bertempurpun ikut menjadi korban karena atas kerjasamanya dengan TNI.
Lingkup waktu yang kami gunakan adalah sekitar 1947-1949. Sesuai dengan kesaksian sejarah dari narasumber setempat bahwa di tahun itulah Belanda memulai aksinya untuk bergerilya dengan TNI. Tahun 1947 TNI mulai menyingkir dari pusat kota menuju desa-desa karena pusat pemerintahan telah kembali dikuasai oleh pihak Belanda. Belanda juga mulai masuk ke desa-desa melakukan patroli dan pengawasan tentang keberadaan TNI. Tahun 1948 merupakan tahapan klimaks dari peristiwa ini yang banyak merenggut keresahan masyarakat. Sedangkan tahun 1949 adalah tahapan dalam anti klimaks walaupun sebenarnya Belanda belum berhasil dilumpuhkan dan masih menantang situasi namun karena ada komando dari pusat yang menginginkan Belanda untuk menyingkir maka mereka pun pergi dari bumi Banyumas. Dengan melihat fenomena seperti itu maka kami memilih judul “Dampak Sosial-Militer Masyarakat di Desa Tanggeran, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas tahun 1947-1949”.







BAB II
Pembahasan
1. Pasukan Militer Indonesia dan Pasukan Militer Belanda di Banyumas
Berdasarkakn Maklumat Pemerintah No. 2/X/45 pada tanggal 5 Oktober 1945 didirikanlah TKR. TKR dibentuk untuk menjamin keamanan dan ketentraman Negara. Setelah sekutu memberikan kekuasaanya kepada pemerintah Belanda maka tugas TKR sekarang menyelamatkan rakyat dan Negara dari penjajahan Belanda. TKR merupaka tentara baru bagi pemerintah. Walaupun telah dibentuk TKR masih ada barisan bersenjata (Laskar Perjuangan) yang tidak masuk menjadi anggota TKR. Dalam rapat komandan-komandan divisi di seluruh Indonesia di Yogyakarta tanggal 12 November 1945 memilih Sudirman, kepala divisi IV yang berkedudukan di Purwokerto, sebagai Panglima Besar. Letnan Jenderal Urip Sumoharjo, bekas mayor KNIL diangkat sebagai Kepala Staff umum TKR (Slamet Muljana, 2008: 51).
Strategi militer TKR membagi 10 divisi di Jawa, dan menempatkan wilayah Banyumas-Kedu di divisi IV. Divisi ini berkedudukan di Purwokerto di bawah pimpinan Kolonel Sudirman. Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia.
Adanya perubahan sistem pemerintahan Presidensial menjadi Kebinet Parlementer membuat perubahan besar dalam tubuh tentara. Pemerintah ingin secara penuh menegakkan otoritasnya dengan menciptaka kontrol yang efektif terhadap tentara. Untuk kemajuan dan kesempurnaan militer Indonesia pada tanggal 26 Januari 1946 atas Maklumat Presiden mengubah TKR menjadi TRI yang bersifat nasiomal dan sekalgus satu-satunya organisasi militer di Indonesia.
Pada tanggal 23 Februari 1946 susunan dan kewenangan TRI Pecah menjadi dua yakni Markas Besar Umum di bawah Pangsar Soedirman dan Bagian Militer Kementrian Pertahanan. Kelaskaran yang terpecah ini sangat merugikan bangsa dalam melawan Bwlanda sehingga Presiden berusaha mempersatukan TRI dan laskar-laskar ke dalam satu tentara. Kemudian melalui dekrit Presiden tanggal 7 Juni 1947 semua organisasi bersenjata dilebur dalam TNI yang beranggotakan dari TRI, Laskar Perjuangan dan pemuda Indonesia lainnya (Yahya Muhaimin, 1982:32).
Ketika Belanda/ NICA berhasil kembali merebut wilayah pusat karesidenan Banyumas maka TNI yang ada di pusat kota, mencoba menyingkir dan menuju desa-desa dan berhubungan dengan pejabat-pejabat local untuk saling kerjasama. Hal ini sesuai dengan penuturan saksi sejarah Bapak. Katam Wiryodiardjo pada tanggal 30 Oktober 2010 pukul 10:23:
“…..kemudian berhubung mereka kesini (NICA) para Tentara menjadi pergi dari kota-kota dan masuk ke desa-desa berhubungan dengan kepala desa, rakyat, bekerja sama dengan rakyat yang taat terhadap Republik Indonesia……Waktu itu tentara-tentara itu berkeliaran di desa-desa melakukan hubungan-hubungan dengan Kepala Desa, atau yang dulu itu namya Lurah, Kebayan, Carik. Mereka (TNI) Juga berhubungan dengan Pemuda”.
Strategi TNI yang lebih memutuskan untuk masuk ke pedesaan menjadikan hal yang menakutkan bagi Belanda. Bagi TNI hal ini diperkirakan mereka akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, TNI akan mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat dalam melakukan perjuangan menghadapi Belanda baik itu bantuan logistik, orientasi wilayah, maupun sifat anti terhadap Belanda. Kedua, otomatis akan memancing Belanda untuk melakukan perang Gerilya di tempat dimana mereka sama sekali kurang menguasai medan dan social lingkungannya dan mempermudah TNI dalam melakukan penyerangan. Hal itulah yang membuat Belanda di Banyumas ini tidak bisa tinggal duduk santai di kantor pemerintahan dan mau tidak mau mereka harus segera melumpuhkan TNI atau bila perlu juga para masyarakat yang terlihat anti bisa segera dilakukan pembersihan terhadap mereka.
Gambaran yang kongkrit mengenai markas Belanda di Banyumas itu sesuai dengan kesaksian Bapak Katam Wiryodiardjo sebagai berikut:
“Di Banyumas, yang sekarang menjadi Tangsi Polisi dan Kantor Karesidenan, kemudian juga yang sekarang menjadi Pondok Pesantren”(30/10/2010 10:23).
Kedatangan Belanda ke Banyumas yang disuguhi dengan strategi TNI yang membuat resah merekapun tetap dihadapi pula dengan jalan pintas yang tidak bodoh. Politik Divide et Impera atau politik yang mencerminkan mengadu musuh secara intern masih dijadikan pedoman dalam strategi melumpuhkan militer ini. Walaupun pasukan KNIL pasca kemerdekaan sudah dilebur dalam TNI namun pada kenyataannya Belanda membuat pasukan itu lagi (biasanya dalam wadah Batalion) guna turut membantu perjuangan Belanda di medan perang. Bagi masyarakat pasukan ini dijuluki sebagai pasukan “Anjing NICA”. Seperti dalam pernyataan Bapak Karyameja seorang saksi sejarah yang pernah mengabdikan dirinya kepada TNI sebagai kurir surat menyatakan (19 November 2010 pukul 10:15) :
“Anjing NICA ini yang menamai itu orang dari kita sendiri, NICA = Belanda jadi mereka adalah dianalogikan sebagai Anjingnya Belanda. Mereka adalah orang Indonesia yang tuduk dengan Belanda itu akhirnya kan diangkat sebagai pasukan Belanda untuk menambah kekuatan bangsa Belanda. Kalau dari bangsa kita tidak melayani atau tidak membantu kepada Belanda seperti itu (masuk sebagai pasukan Anjing NICA), mungkin Indonesia tidak mudah dijajah dengan mudah”
“Kalau ada Belanda pasti didalamnya terdapat Anjing NICA, sebab yang menuntun Belanda adalah Anjing NICA, karena mereka adalah berasal dari bangsa kita sendiri yang tunduk kepada Belanda. Dan biasanya mereka berada di garis depan”
“……… mereka datang kesini hanya sewaktu-waktu saja. Kalau sendirian mereka tidak berani. Mereka biasanya ikut rombongan Belanda ketika berpatroli. Saya lihat pasukan-pasukan Belanda disini tidak terlalu banyak namuan yang banyak adalah itulah tentara Anjing NICA, yaitu tentara orang asli Indonesia yang ingin hidup, ingin mulia dsb karena melihat sendiri tentara-tentara kita itu terlihat hidupnya kasihan. Penampilanya ya seperti saya ini menggunakan kaos dan celana pendek saja”
Kemungkinan pula mereka menjulukinya sebagai Anjing NICA karena lencana yang digunakan mereka juga bergambar Anjing seperti gambar berikut pada lengan seragam bagian kanan:

Lencana Anjing NICA. Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5959428

Pasukan Anjing NICA. Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5959428
Dalam pernyataan narasumber diatas pula mencerminkan sebuah alasan mengapa bangsa kita sendiri masih ada yang mau berpihak kepada Belanda. Tercermin secara fisik bahwa Anjing NICA ternyata terlihat lebih pantas (berseragam dan bersenjatakan sangat layak sebagai seorang prajurit). Dibanding dengan TNI yang hanya berpenampilan apa adanya bermodalkan senjata dan bantuan dari masyarakat dan konsumsi apa adanya. Anggota Anjing NICA ini kehidupanya lebih layak dan mulia ketimbang dari pihak TNI.
Selain dari Belanda memanfaatkan Pasukan Anjing NICA juga memanfaatkan pula yang namanya Civil Police (CP). Sejarahnya bahwa CP muncul ketika kedatangan Sekutu kemudian NICA menduduki kota-kota di Jawa, dengan bantuan pihak Inggris di Jakarta dibentuklah sebuah Civil Police (CP) yang anggotanya mencaplok Polisi yang ada di Jakarta (H. Rosihan Anwar, 2010: 223). Setelah membubarkan polisi Republik Indonesia di Jakarta sebagai gantinya Belanda membentuk Polisi International yang disebut CP (Civil Police). Tugasnya untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Jakarta. Anggotanya terdiri dari orang Inggris, Belanda dan Indonesia, dengan masing-masing kekuatan 300 orang. Mereka ditempatkan di bagian-bagian terpisah dan menangani secara tersendiri perkara-perkara yang ada. Polisi dari Inggris bernama Letnan Kolonel Harding dibantu Komisaris Polisi Yusuf Martadilaga dari Polisi Republik Indonesia, dan Noordhoon Letnan Kolonel Kooistra dari Belanda (metro.polri.web.id). Keberadaan CP ini juga muncul di Banyumas seperti kesaksian berikut:
“Belandanya si tidak banyak (yang sering jalan-jalan kesini), mereka datang kesini ketika ada hal-hal yang penting sekali. Mereka juga membawa kesatuan tentara ada dari sipil yang disebut dengan CP dan dari barisan tentara mereka membawa yang namanya “Anjing NICA” (Leksamihardjo Katu, wawancara pada 30 Oktober 2010 pukul 09:16).
”Dulu paman saya waktu itu menjadi CP (terdiri orang Indonesia yang membantu pihak Belanda dalam satuan) saya lupa CP itu singkatan apa, yang jelas mereka tergabung tentara Belanda namun tujuannya itu hanya ingin bekerja saja dan dapat gaji, mereka dibekali senapan oleh Belanda (Katam Wiryodiardjo, wawancara pada 30 Oktober 2010 pukul 10:23).
Intinya bahwa CP ini adalah Polisi sipil , sedangkan Anjing NICA secara eksplisit bahwa mereka adalah pasukan Tentara sipil dan keduanya berada dibawah komando Belanda. Keduanya juga memusuhi dari pihak TNI, ikut berperang menyerang TNI.
2. Perang Gerilya
Persiapan perang gerilya telah dilakukan sebelum tentara Belanda menyerang Yogyakarta. Telah dipputuskan oleh pimpinan angkatan bersenjata bahwa perang gerilya akan memakan waktu sepanjang masa. Perlawanan frontal harus dihindari demi penghematan aminisi dan tenaga. Perlawanan harus dilakukan dimanapun ada musuh. Itu berarti bahwa tiap pelosok dijadikan medan pertempuran. Perang gerilya akan terus berlangsung sampai cita-cita kemerdekaan tercapai. Dalam hal itu, tentara gerilya harus hidup diantara rakyat, sanggup menggunakan apapun untuk melawan musuh dan sanggup hidup dari makanan yang paling sederhana (Slamet Muljana, 2008: 212). Sekiranya komando dari pusat tersebut pula dilakukan di Banyumas, Beberapa narasumber menyatakan:
“Tentara RI punya hubungan yang erat dengan rakyat, bahkan masyarakat-masyarakat itu terhadap tentara apa bila perlu dikorbankan ayamnya untuk berpesta untuk memberi makan mereka”( Katam Wiryodiardjo, 30/10/2010 pukul 10:23).
”Dulu tentara kita belum memakai baju hijau seperti sekarang. Sedangkan pihak Belanda sudah berpakaian hijau menggunakan ikat merah di leher, dan memakai topi yang menyerupai tudung wajan. Disini tentara (TNI) saya rasa tidak membuat onar karena ini adalah kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat atau masyarakat dengan tentara ……… Mereka (Tentara RI) kalau makan senemunya, nemu kelapa muda dimakan, lobak mentah juga dimakan dll, itulah gambaran tentara kita (RI) yang benar benar kasihan”(Karyameja, 19/10/2010 pukul 10:19)
Itulah sebuah deskripsi mengenai kemiliteran dari kedua belah kubu yaitu dari sisi kekuatan militer Belanda dan kekuatan militer dari TNI sendiri. Kesan secara umum memang kekuatan militer Belanda terlihat lebih kuat dengan adanya pasukan NICA itu sendiri, kemudian ada Anjing NICA dan Civil Police (CP). Sedangkan dari pihak militer Indonesia sendiri lebih terkesan memprihatinkan namun untungnya TNI memang lebih banyak didukung oleh masyarakat.




BAB III
Dampak Sosial-Militer terhadap Masyarakat di Desa Tanggeran

Ternyata tidak selamanya sebauh strategi militer perang gerilya selalu menguntungkan, atau merupakan strategi perang yang terbaik. Dalam kenyataanya ternyata system perang gerilya ini cukup membawa konsekuensi terhadap masyatrakat dimana daerahnya dijadikan sebagai medan, markas atau posko dalam proses perang. Bila dilihat dari sisi eksistensi dari TNI (Militer) dalam perang ini mungkin akan lebih banyak membawa keselamatan jiwa bagi mereka, sehingga sangat meminimalisir angka kematian korban akibat perang. Namun dari segi sosial masyarakat member efek tang sangat tidak mengenakan baik itu karena interaksinya dengan TNI juga kerena interaksinya dengan sesama masyarakat.
Hal ini terjadi di desa Tanggeran, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas yang dijadikan sebagai medan perang gerilya. Dipilihnya desa ini sebagai medan karena dari segi geografis sangat menguntungkan bagi TNI. Kedatangan TNI ke desa ini mengagetkan masyarakat, kemudian masyarakatpun langsung melontarkkan suatu persepsi bahwa ini akan ada perang di desa ini yang kemungkinan tidak hanya memakan korban dari pihak TNI saja akan tetapi masyarakatpun turut menjadi korban. Banyak sekali TNI yang berkeliaran di desa ini dan mereka tidak lain juga meminta koordinasi dan bantuan terhadap para pejabat-pejabat local dan pemuda. TNI secara darurat seringkali menjadikan suatu rumah masyarakat dijadikan tempat menginap, persembunyian, juga sebagai markas. Hal ini dibuktikan pernyataan dari narasumber sebagai berikut:
“Tentara kita/ republik, dulu disini (dirumah ini) adalah markas (TNI) atau gubug yang bentuknya seperti kandang Kambing itu., alasan dari orang tua saya bahwa ini adalah pemberian perlindungan dan menginap. Dahulu bapak saya adalah Lurah/ kepala Desa Tanggeran, dan tidak mau untuk berkerjasama dengan Belanda, takut, sia-sia saja (bila bergabung dengan mereka) Negara yang sudah kami perjuangkan, dan kami tidak senang (kepada Belanda). Dan mereka disini (Tentara) berkeliaran, dulu itu di sebelahnya rumah pak Mantan (mantan lurah) itu adalah kelurahanya, sedangkan disini adalah markas tentaranya, sedangkan tempat pengungsianya itu berada di Karang Salam sebelah barat. Itu terjadi sekitar tahun 1947-1948”(Katam Wiryodiardjo, 30/10/2010 pukul 10:23).
“Markas-markas tentara (disini) itu ada di rumah Pak Ngadiwangsa, Pak Armidi, tapi kalau posko itu ada di rumah saya atau sebagai kesekertariatan. Jadi mengenai urusan keadministrasian tentara itu ada di rumah saya. Selain rumah saya itu juga itu di sebelah barat perempatan persis sekarang di Utara SMP Kemranjen itu bangunanya juga masih ada di situ” (Karyamejda, 19/10/2010 pukul 10:19).
Pada awalnya bahwa pihak Belanda datang ke desa ini sebenarnya hanya hendak memburu para pejuang/ TNI. Ketika mereka bertemu seringkali memang terjadi aksi tembak. Bahkan yang sering terjadi adalah pihak TNI lari/ kabur dari pertemuannya dengan pihak Belanda yang sedang berpatroli. Hal ini bisa dianggap wajar karena persenjataan maupun amunisi masih kalah jauh dari pihak Belanda.
Dari segi sosial antara masyarakat dengan pihak TNI cukup baik, artinya bahwa masyarakat desa ini lebih banyak perpihak pada anti penjajahan. Masyarakat seringkali mengayomi, memberi/ mencarikan makan, memberi tempat menginap. Sedangkan peran dari para pemuda ialah tetap membantu TNI dalam pertempuran seperti membawakan senjata atau amunisi.
Dari beberapa faktor diatas itulah yang cukup mengubah pandangan dari pihak Belanda. Belanda menjadi berpresepsi bahwa rakyat juga bisa divonis sebagai musuh atas perjuangannya selain menghadapi para TNI. Artinya bahwa ternyata masyarakat memberi sumbangan besar akan dukungan eksistensi atau memperkuat kedudukan terhadap TNI dalam perang gerilya disini. Ditambah lagi bahwa rakyat juga akan semakin anti terhadap pemerintahan Belanda. Hingga akhirnya Belanda memutuskan bahwa untuk mengatasi semua permasalahan ini adalah dengan melakukan operasi pembersihan kepada masyarakat yang terlihat tidak pro terhadap Belanda. Bagi mereka yang seringkali membantu kinerja TNI sesegera mungkin dilakukan pembersihan baik itu ditawan atau dibunuh di tempat. Berikut ini ada beberapa cerita dari kasus kebijakan Belanda ini terhadap masyarakat:
“Yang dicari itu ya pada tiap desa termasuk desa ini sehingga pastinya ya ada korban. Salah satunya ya termasuk kakak saya yang mati tertembak di punggung sekitar tahun 1948an…… Kakak saya yang ketahuan ikut rombongan orang yang membunuh si-A (si-A mungkin mata-mata atau orang yang berdedikasi kepada Belanda) otomatis lari dan dari pelarian itulah kakak saya tertembak. Sistim perang kan biasanya seperti itu, orang lari ya ditembak, begitu” (Leksamihardjo Katu, 30/10/2010 09:16).
“Sedangkan pada tahun 1949 saya ikut bapak saya yang sebagai lurah yang juga sering masuk ke hutan-hutan dan kebun-kebun saja. Sampai suatu saat ada korban yaitu seorang menantu, yang waktu itu (Belanda) sedang mencari bapak saya ( karena rumahnya juga dijadikan sebagai markas TNI) namun yang ditemui malah menantunya, dituntun dibawa keluar lari kemudian ditembak dan mati itu yang terjadi di tahun 1948/1949……….. Pos tentara disini punya kurir atau tukang pengantar surat, kurir akan mengantarkan surat ke sana (Binangun) kerjasama dengan masyarakat yang taat terhadap tentara RI hingga sampai ke Binangun dengan berjalan kaki. Ditengah jalan ketahuan mata-mata atau Intel yang memakai Caping maka kurir itu tertangkap di Pesinggangan. Disana dia juga ditangkap oleh pihak Belanda karena telah dilaporkan oleh mata-mata, dibawa ke kantor. Disana dia hanya diinterogasi saja” (Katam Wiryodiardjo, 30/10/2010 10:23)
“Waktu suatu hari aku lupa kapan, Belanda pernah menyerang balai kelurahan yang waktu itu lurahnya yaitu Reksadiwirya, menantunya dia juga yang bernama Slamet berniat akan melarikan diri tetapi tahu-tahu lewat jendela sudah ditodong senjata dan ditembak, sehingga memakan satu korban. Di Pungangan ada juga diserang karena ia adalah mata-mata Belanda yang telah memberi tahu bahwa di Pungangan itu ada Markas tentara RI. Di Pungangan, Karang Salam termasuk diserang juga dan memakan satu orang wanita bernama Siyem yang sedang mengemban anaknya, sebenarnya kalau dia tidak pergi-pergi atau dengan terus bersembunyi insya Allah dia bisa selamat, di pada dasarnya tidak berlari namun hanya berlalu-lalang, padahal setiap pintu itu sudah dipasang senjata akhirnya ketika dia melewati pintu maka ia tertembak. Hanya kena ibunya, anak yang diemban itu selamat sehingga anak itu sekarang dinamai Slamet……. Waktu penangkapan perjuangan-perjuangan kita itu memakan korban 7 orang diantaranya:
1. Karyareja, itu orang tua saya yang menjabat sebagai Kadus (menjadikan rumahnya sebagai posko TNI)
2. Martadikeman
3. Dul Alif
4. Kasmaeja Yamin
5. Adif
6. Saryawitana Sulam
7. Arsadi
Waktu itu 7 orang itu sedang mengawal tentara di malam hari untuk berpatroli, kita sebagai Ronda (tingkat kadus) itu bertugas mengawal tentara, orang yang ronda tidak tahu politiknya prajurit/ tentara. Tiba tiba tentara (TNI) tahu ada kedatangan Belanda, mereka (tentara) lari sedangkan orang yang sedang ronda tadi kebingungan dan akhirnya ditangkap (oleh Belanda tadi)” (Karyamedja, 19/10/2010 pukul 10:19).
“Orang kakek saya yang waktu itu menjadi kadus sedang melaksanakan ronda berkeliling berjaga-jaga namun tiba-tiba tidak sengaja menginjak pucuk senapan milik Belanda, sementara Belanda tersebut sedang mengintai (bersembunyi siaga menembak musuh) bersama Anjing NICA dari kejadian itu kakek saya itu ditangkap” (S. Wiryamedja, 30/10/2010 pukul 13:31).
Dari banyak kasus tersebut biasanya Belanda tidak lepas dari yang namanya mata-mata. Mata-mata ini merupakan orang bangsa Indonesia sendiri yang patuh kepada Belanda atau ingin mendapatkan pendapatan tambahan. Hal inilah yang membuat efek dari politik adu domba ini semakin menjadi-jadi konflik dalam internal masyarakat. Kasus ini dijelaskan oleh Bapak Leksamihardjo Katu (30/10/2010 09:16):
“Rakyat serba bingung karena dirinya bisa menjual diri kesana bisa menjual diri kesini (menjual diri untuk menbantu Belanda atau menjual diri untuk membantu perjuangan Tentara Indonesia). Sehingga pada diri mereka saling takut kalau siapa tahu teman kita sendiri menuduh atau ikut membunuh kita. Padahal Cuma misalnya sedang mengobrol (membicarakan keberpihakanya) saja bisa dituduh orang yang pro (baik pro-Belanda atau pro-RI). Sehingga masyrakat memang serba bingung”.
Sehingga tidak mengherankan pula bila ternyata orang yang dijadikan sebagai mata-mata oleh Belanda itu terkadang dibunuh pula oleh rakyat yang anti Belanda atau TNI. Hal ini berdampak pada ketidak kompakan sosial dalam mendukung TNI dan menyebabkan perpecahan sendiri dalam internal masyarakat.
Proses aksi pembersihan oleh Belanda ini tidak begitu memiliki prosedur yang pasti. Biasanya sasaran orang yang telah ditunjuk oleh mata-mata ini cukup ditangkap dan dijebloskan ke Cell untuk ditahan dan diinterogasi. Bagi mereka yang berusaha kabur dari penangkapan Belanda tersebut maka biasanya target terpaksa harus dibunuh ditempat. Mayat korban biasanya langsung ditinggalkan biarkan pihak keluarga yang mengurus. Dari banyaknya kasus yang membuat resah ini tidak ada rakyat yang mencoba baik secara individu maupun kolektif memberontak kepada Belanda. Bahkan untuk mengobrol saja antara Rakyat dengan Belanda hampir tidak pernah terjadi. Seperti penuturan dari Bapak Katam Wiryodiardjo:
“Tidak berani, Belanda banyak. warga saya mau menyerang bagaimana orang mereka memiliki peluru, punya senapan, punya Canon, sedangkan saya hanya punya Gaman….. Sama sekali tidak akrab, dia sendiri/ Belanda itu hanya akrab dengan yang namanya mata-mata atau yang sekarang disebut dengan Intel/ orang yang suka menyelidiki. Jadi mereka tidak pernah akrab dengan masyarakat sama sekali, bahkan Juguran/ obrol-obrolan itu juga sama sekali tidak pernah. Orang mereka hanya bisanya menggunakan bahasa Melayu saja. Hubungannya mereka ya sampai disitu saja paling tidak dengan CP”( 30/10/2010 10:23).
Disisi liciknya politik Belanda yang memecah belah masyarakat ini ada pula sisi licik yang dilakukan oleh anggota CP itu sendiri terhadap Belanda. Misalnya hal sebagai berikut yang diceritakan oleh Bapak Katam Wiryodiardjo:
“Itu (CP) juga sering berkeliaran akan tetapi mereka takut ke desa, ketika mereka turut dalam rombongan Patroli (Belanda) kalau ketahuan oleh Tentara RI maka mereka diserang dan CP itu membuang Senapanya dan kemudian senapan itu diambil oleh tentara RI. Sebab ketika membuang senjata itu mereka Kong kalikong atau (di hatinya) berpihak Tentara RI. Di daerah sini peristiwanya persisi seperti itu, CP memang terlihat seperti sedang menyerang, namun ditengah itu CP lari (seolah kalah) senjata yang dibuangnya itu diambil oleh Tentara dan menambah persenjataan mereka” ( 30/10/2010 10:23).
Pada dasarnya Belanda masih memberikan toleransi kepada masyarakat yang disangka tidak pro terhadap Belanda atau yang dianggap telah bekerjasama dengan TNI. Belanda tidak langsung memberikan eksekusi hukuman mati ditempat akan tetapi umumnya mereka dikirim ke Penjara, Cell atau Kamp. Umumnya mereka yang tertangkap di daerah sini langsung dijebloskan ke kamp yang ada di Sumpiuh, hal ini seperti yang dialami oleh ayahanda Bapak Karyameja dan Kakek dari Bapak S. Wiryamedja dalam pengakuannya sebagai berikut:
“Bapak saya yang ditangkap itu kemudian dibawa ke Sumpiuh dimasukan ke Kamp/ Cell, saya juga mengikuti sampai kesitu. Ditempatkan di suatu gedung, tempatnya mepet sekali kalau mau tiduran itu susah jadi giliran-giliran, sampai buang air kecil atau buang air besar bisa dilakukan disitu saja. Dalam kamp itu isinya campuran dari penduduk dari mana saja sampai orang tua saya punya banyak sahabat karena yang saya tahu orang tua saya memang memiliki sifat belas kasih. Orang-orang perangkat Pesuruhan banyak yang akhirnya menjalin persaudaraan dengan saya. Karena ketika dalam tahan terjadi penyiksaan yang luar biasa ada yang digebugi ada yang ditendangi dan makannya itu hanya satu pincuk daun ketapang, saya tahu persis itu. Setelah itu, entah beberapa hari mereka dipindahkan ke Gombong (Kebumen) di Kamp lagi. Setelah di Kamp Gombong kemudian dipindahkan ke penjara Banyumas. Kalau tidak salah di Banyumas selama 3 hari orang tua saya kemudian pulang. Namun selebihnya tinggal 6 orang ini juga dikembalikan satu per satu, jadi tidak dilepas bersamaan” (Karyamedja, 19/10/2010 pukul 10:19).
“…….dari kejadian itu kakek saya itu ditangkap. Ditangkap dibawa ke Sumpiuh di penjara dan di tanya “Apakah disitu ada Tentara?” namun kakek saya mengaku “tidak ada” terus sehingga tetap ditahan. Sementara karena kakek saya itu punya sifat baik sehingga sangat disanjung oleh kawan-kawan tahanannya di Cell/Kamp” (S. Wiryamedja, 30/10/2010 pukul 13:31) .
Secara jelas berdasarkan Fakta sejarah bahwa Kamp tahanan yang digunakan oleh Belanda di Banyumas untuk menahan mereka yang tidak pro terhadap Belanda itu ada di:
1. Di rumah Penjara Banyumas,
2. Di Sumpiuh sekitar lapangan Kebokura tepatnya yang sekarang digunakan sebagai SMK Giri Puro
3. Di Gombong, Kebumen (kemungkinan disitulah pengumpulan terbesar pengumpulan tahanan Belanda, orang-orang yang dianggap musuh Belanda, padahal mereka adalah bukan lawannya dan hanya rakyat biasa, lawan mereka yang sebenarnya adalah Tentara RI).
Jika dihimpun, maka akan ditemukan dampak yang cenderung negatif dimata masyarakat. Terlontar sebuah pernyataan:
“Dampaknya yaitu penderitaan. Usaha kerja menjadi tidak mantap karena keburu resah, bahkan ada yang dikejar kesana kemari sehingga ya resah dan menderita” (Leksamihardjo Katu, 30/10/2010 09:16).





BAB IV
Penutup
Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan diatas sangat jelas bahwa strategi militer juga sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat yang merelakan wilayahnya sebagai tempat medan gerilya. Ternyata bahwa perang gerilya juga tidak selamanya membawa efek yang positif. Masyarakatpun menjadi terkena imbasnya akibat dari interaksinya dengan pihak Belanda maupun TNI. Bagi masyarakat yang memihak Belanda maka dia siap menjadi incaran para rakyat dan tentara yang anti Belanda. Sedangkan bagi masyarakat yang memihak kepada TNI maka dia harus siap untuk menjadi incaran para Belanda bersama Anjing NICA dan CP nya. Masyarakat menjadi resah sendiri atas fenomena seperti ini, dan pilihan terbaiknya memang tidak memihak, namun atas penolakanya memihak itu maka itu dianggap pro terhadap musuh.















Daftar Pustaka
Anwar, H. Rosihan. 2010. Mengenang Sjahrir: seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang tersisihkan dan terlupakan. Jakarta: Gramedia
Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak. Yogyakarta: LKiS
Moedjanto, G. 1993. Indonesia Abad Ke-20 Jilid 1: Dari Kebangkitan Nasional sampai Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius
Muhaimin, A. Yahya. Perkembangan Militer dan Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid II. Yogyakarta: LKiS
Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Sumber Internet
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5959428
http://metro.polri.web.id/sejarah-singkat/penduduk-jepang

Narasumber Wawancara
Bpk. Leksamiharjo Katu pada tanggal 30 Oktober 2010 pukul 09:16
Bpk. Katam Wiryodiardjo pada tanggal 30 Oktober 2010 pukul 10:23
Bpk. S. Wiryameja pada tanggal 30 Oktober 2010 pukul 13.31
Bpk. Setrawiredja pada tanggal 19 November 2010 pukul 09:46
Bpk. Karyameja pada tanggal 19 November 2010 pukul 10:15









¬¬¬

Transkrip asli Wawancara
Nama narasumber : Bpk. Karyameja
Waktu :19 November 2010 pukul 10:15
Kelahiran : tahun 1938
Alamat : Desa Tanggeran RT-08 RW-03, Kec. Somagede, Kab. Banyumas
Pekerjaan sekarang : Purna tugas sebagai perangkat desa
Posisi : Saksi sejarah (Kurir surat)

“Sekarang saya sedang menyelesaikan tugas verifikasi tanah. Saya dulu saya tidak sekolah karena tidak sekolah atau mau sekolah saja susah. Mereka yang bukan keturunan besar-besar itu dulu tidak boleh sekolah paling minim ya anak lurah atau anak kadus”.
Apa pekerjaan bapak ketika Belanda berada disini?-> “Saya belum bekerja dan masih tergolong anak-anak. Sebab setahu saya dari Buku Sejarah Indonesia yang saya baca mulai zaman purba, selanjutnya Indonesia masih dalam bentuk beberapa kerajaan, Indonesia juga sempat dijajah oleh bangsa asing diantaranya oleh Portugis, Spanyol, Tionghoa kamudian dijajah Belanda dan terakhir dijajah Jepang. Menurut sejarah, Belanda menjajah Indonesia terlalu lama sampai 350 tahun sedangkan Jepang hanya seumur Jagung atau tiga setengah tahun. Dan saya lumayan mengalami itu, dan terkesan menyiksa. Tapi entah ini karena datangnya penjajah, karena alam atau karena kehendak Allah itu saya tidak tahu. Sebabnya pangan itu hampir tidak ada, dan banyak sekali penyakit yang namanya Beri-beri, pagi sakit sorenya bisa meninggal, atau sore sakit paginya meninggal itu benar-benar saya alami. Jadi tiap pos-pos kamling itu biasanya sebagai tempat orang istirahat karena kurang makan itu di Jaman Jepang sekitar diatas tahun 1942an”.
“Sedangkan di Jaman Belanda, walaupun dalam sejarah Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merdeka tetapi ternyata datang lagi penjajah Belanda yang dinamakan dengan Clash ke 2 atau ke 3 tahun 1948-1949 dan waktu itu saya menjadi Kurir surat, karena saya masih dalam keadaan anak-anak mungkin tidak dicurigai/ diberi hukuman oleh Belanda. Kebetulan di Rumah orang tua saya di jadikan posko tentara pada saat perang Gerilya. Perang gerilya itu perang saling sembunyi-sembunyi jadi tentara terlihat seperti orang tani, pejabat desa juga tampak seperti tani, Itu pengertian saya. Nah kalau di sekitar Banyumas, 350 tahun itu sudah terlalu lama diduduki oleh pemerintahan Belanda itu di Karesidenan merupakan peninggalan Bangunan Belanda, dan banyak yang lain namun mungkin sekarang sudah banyak yang dirubah atau dipugar. Sekarang yang masih utuh itu yang sekarang dijadikan sebagai pondok pesantren. Sepengetahuan saya setelah 350 tahun Belanda menjajah di Indonesia masuk di desa Tanggeran itu sebagai terakhir kali. Pejuang-pejuang kita itu banyak yang tertangkap oleh pihak Belanda jumlahnya (Yang saya tahu) itu 7 orang termasuk orang tua saya.”
“Di pagi buta kami dikepung oleh Belanda. Apa dari arti Belanda mengepung atau menangkap itu sebenarnya adalah ulah dari mata-mata Belanda yang asalnya adalah orang kita. Setahu saya disini yang sebagai mata-mata itu yang bernama Assal yang kedua bernama Rasun kalau tidak salah itu pas tahun 1949 sewaktu nikahanya kakak perempuan saya. Pagi-pagi waktu kami menuju kauman itu masih ada bekas-bekasnya yaitu mayat yang ditutupi daun pisang. Itu sebenarnya andai mata-mata yang dari orang kita (pribumi) memberi perhatian mungkin orang-orang di desa-desa ini tidak diserang. Di Tanggeran pernah diserang dari Karesidenan ada granat dll. Waktu suatu hari aku lupa kapan, Belanda pernah menyerang balai kelurahan yang waktu itu lurahnya yaitu Reksadiwirya, menantunya dia juga yang bernama Slamet berniat akan melarikan diri tetapi tahu-tahu lewat jendela sudah ditodong senjata dan ditembak, sehingga memakan satu korban. Di Pungangan ada juga diserang karena ia adalah mata-mata Belanda yang telah memberi tahu bahwa di Pungangan itu ada Markas tentara RI. Di Pungangan, Karang salam termasuk diserang juga dan memakan satu orang wanita bernama Siyem yang sedang mengemban anaknya, sebenarnya kalau dia tidak pergi-pergi atau dengan terus bersembunyi InsyaAllah dia bisa selamat, di pada dasarnya tidak berlari namun hanya berlalu-lalang, padahal setiap pintu itu sudah dipasang senjata akhirnya ketika dia melewati pintu maka ia tertembak. Hanya kena ibunya, anak yang diemban itu selamat sehingga anak itu sekarang dinamai Slamet”.
“Waktu penangkapan perjuangan-perjuangan kita itu memakan korban 7 orang diantaranya:
1. Karyareja, itu orang tua saya yang menjabat sebagai Kadus
2. Martadikeman
3. Dul Alif
4. Meja Yamin
5. Adif
6. Sarya Witanasulam
7. Arsadi
Waktu itu 7 orang itu sedang mengawal tentara di malam hari untuk berpatroli, kita sebagai Ronda (tingkat kadus) itu bertugas mengawal tentara, orang yang ronda tidak tahu politiknya prajurit/ tentara. Tiba tiba tentara tahu ada kedatangan Belanda, mereka (tentara) lari sedangkan orang yang sedang ronda tadi kebingungan dan akhirnya ditangkap (oleh Belanda tadi). Akhirnya orang-orang ini diikat ditangkap kemudian di pagi harinya sampai ke markasnya. Tentara Anjing NICA atau tentaranya Belanda namun orangnya asli Indonesia, entah itu berasal dari Jawa Barat atau Jawa Timur atau dari mana saja. Mereka menggedor pintu menggunakan pangkal senapan padahal sebenarnya orang Belanda jumlahnya tidak seberapa, itu saya menyaksikan sendiri. Orang tua saya keluar, saya mengawal, saya berada di sebelah kiri bapak saya kemudian (bapak saya) diikat karena diduga tentara atau membuat rumahnya ini sebagai markas tentara pada waktu itu bapak saya menjabat sebagai kadus. Pedang pusaka kami juga ikut dibawa oleh Belanda”.
“Bapak saya yang ditangkap itu kemudian dibawa ke Sumpiuh dimasukan ke Kamp/ Cell, saya juga mengikuti sampai kesitu. Ditempatkan di suatu gedung, tempatnya mepet sekali kalau mau tiduran itu susah jadi giliran-giliran, sampai buang air kecil atau buang air besar bisa dilakukan disitu saja. Dalam kamp itu isinya campuran dari penduduk dari mana saja sampai orang tua saya punya banyak sahabat karena yang saya tahu orang tua saya memang memiliki sifat belas kasih. Orang-orang perangkat Pesuruhan banyak yang akhirnya menjalin persaudaraan dengan saya. Karena ketika dalam tahan terjadi penyiksaan yang luar biasa ada yang digebugi ada yang ditendangi dan makannya itu hanya satu pincuk daun ketapang, saya tahu persis itu. Setelah itu, entah beberapa hari mereka dipindahkan ke Gombong (Kebumen) di Kamp lagi. Setelah di Kamp Gombong kemudian dipindahkan ke penjara Banyumas. Kalau tidak salah di Banyumas selama 3 hari orang tua saya kemudian pulang. Namun selebihnya tinggal 6 orang ini juga dikembalikan satu per satu, jadi tidak dilepas bersamaan. Itulah riwayat penjajahan Belanda hanya sebatas itu”.
Apa sebab-sebab ditangkap?-> “Itu tadi yang saya sampaikan, yaitu karena mengawal tentara padahal tentara itulah yang dicari. Markas-markas tentara (disini) itu ada di rumah pak Ngadiwangsa, pak Armidi, tapi kalau posko itu ada di rumah saya atau sebagai kesekertariatan. Jadi mengenai urusan keadministrasian tentara itu ada di rumah saya. Selain rumah saya itu juga itu di sebelah barat perempatan persis sekarang di Utara SMP Kemranjen itu bangunanya juga masih ada di situ. Itu yang terjadi di sekitar perang Gerilya, atau perang saling sembunyi-sembunyi”.
“Memang keadaanya begitu Belanda menjajah Indonesia mencapai 350 tahun dan bangsa Indonesia tidak sadar sedang dijajah. Tiga ratus limapuluh itu bisa mencapai beberapa keturunan orang. Seandinya 1 orang umurnya mencapai 100 bararti lamanya penjajahan itu mencapai 4 keturunan”.
Apakah Belanda disini banyak?-> “Tidak, Belanda kebanyakan berada di Karesidenan. Kalau di desa-desa rasanya tidak banyak. Disana setiap hari sabtu ada semacam Selapanan, jadi setiap hari sabtu para pejabat-pejabat menaiki kuda”.
“Ini semua tidak mengarang saya katakan apa adanya dan apa sepengetahuan saya”.
“Itu sebenarnya efek yang ada di Yogyakarta yang sampai kesini dan seharusnya Belanda tidak ke sini (Indonesia) karena Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Akan tetapi ternyata mereka dating lagi”.
Tentara yang dicari Belanda itu apakah rakyat biasa yang membawa senjata (Laskar) atau Tentara RI Asli?-> “Tentara asli Indonesia. Kalau tidak salah di dalamnya kan banyak divisi-divisi, ada yang namanya pasukan Kuda Putih, Pasukan Tentara Siliwangi. Sedangkan yang memimpin wilayah ini adalah Alm. Bpk. Rudjito yang nantinya sebagai Bupati Banyumas. Kemudian juga yang namanya Kardiman. Itulah tentara Indonesia yang juga dibantu oleh pemuda-pemuda atau mungkin kalau sekarang mereka seperti Hansip pemuda-pemuda. Kemudian ketika ada OPR itu saya baru dianggakat untuk ikut berjuang, boleh dikatakan saya berjuang semenjak lahir hingga sekarang, atau bekerja tanpa gajian. Saya diangkat sebagai perangkat tahun 1958 sampai 2006 kemarin namun tidak mendapat pensiunan, tapi saya tidak menuntut, ini karena jiwa perjuangan biar yang diatas yang menilai”.
Apakah disini banyak Anjing NICA?-> “Tidak, mereka datang kesini hanya sewaktu-waktu saja. Kalau sendirian mereka tidak berani. Mereka biasanya ikut rombongan Belanda ketika berpatroli. Saya lihat pasukan-pasukan Belanda disini tidak terlalu banyak namuan yang banyak adalah itulah tentara Anjing NICA, yaitu tentara orang asli Indonesia yang ingin hidup, ingin mulia dsb karena melihat sendiri tentara-tentara kita itu terlihat hidupnya kasihan. Penampilanya ya seperti saya ini menggunakan kaos dan celana pendek saja. Mereka (Tentara RI) kalau makan sedapatnya, dapat kelapa muda dimakan, singkong mentah juga dimakan dll, itulah gambaran tentara kita (RI) yang benar benar kasihan”.
“Ini bukan ngarang dan saya tahu sendiri waktu itu di desa Tanggeran, berhubung rumah saya yang dijadikan posko jadi saya tahu. Kalau ada perintah dari markas saya yang mengantarkan surat, walaupun saya tidak tahu itu surat apa”.
Surat itu dibawa kemana?-> “Ke markas tentara, markasnya ada di rumahnya pak Karmidi itu ada, dan sebelah barat di rumah Wiryaredja masih di kompleks desa Tanggeran. Saya tidak tahu peristiwa di luar desa Tanggeran”.
Anjing NICA itu berasal dari orang warga sini atau orang yang dibawa oleh Belanda kesini?-> “Anjing NICA ini yang menamai itu orang sendiri dari kita NICA = Belanda jadi mereka adalah dianalogikan sebagai Anjingnya Belanda. Mereka adalah orang Indonesia yang tuduk dengan Belanda itu akhirnya kan diangkat sebagai pasukan Belanda untuk menambah kekuatan bangsa Belanda. Kalau dari bangsa kita tidak melayani atau tidak membantu kepada Belanda seperti itu (Anjing NICA), mungkin tidak bisa Indonesia dijajah. Padahal di zaman kerajaan saja banyak yang tunduk kepada Belanda, sedangkan kerajaan kan sebenarnya membawa masyarakat banyak. Akhirnya banyak kerajaan dan masyarakat ditaklukan kemudian menjadi kawannya itu akan menjadi menambah kekuatan Belanda. Belanda pertama kali masuk kesini memang membawa kesan baik, mudah memberi kepada anak kecil apa itu roti dll, itu cara ketika mereka sedang menaklukan, akan tetapi tidak tahunya dibalik itu kutukanya luar bisa, saya dengar orang yang namanya Westerling itu lebih jahat, dan lebih menakutkan, tapi kalau di Tanggeran mungkin tidak ada. Menurut yang saya baca itu di daerah Yogyakarta, Sulawesi yang namanya Westerling menangkap masyarakat asal tangkap dikumpulkan kemudian dibunuh masal”.
“Boleh saya katakan lebih banyak korbanya ketika peristiwa G30S/ PKI. Biarpun ketika G30S/PKI jiwanya jiwa konyol akan tetapi mudah dihitung. Yang menjadi korban PKI biasanya adalah para pejabat-pejabat besar tetapi ketika masa penjajahan Belanda itu tidak pandang bulu asal orang itu sehat, dan musuh Belanda. Saya percaya itu karena saya menyaksikan sendiri di rumah saya sendiri. Orang-orang sewaktu ronda itu membawa kentongan dan tongkat untuk memukuli, sedangkan mereka (Belanda) membawa senapan yang panjang-panjang sejenis senjata L.A untuk memukuli. Disini ketika ada pemberontakan-pemberontakan biasanya merupakan lemparan-lembaran dari pertempuran daerah lain. Biasanya serangan Belanda dilakukan dari karesidenan mengarahkan ke lokasi markas-markas yang ada di sini. Dan yang menjadi korban biasanya adalah masyarakat. Namun di Tanggeran ini tidak ada korban yang sampai mati di tangan Belanda. Yang saya tahu mereka ditangkap ke Kamp diperiksa, dan kalau tidak terbukti Tentara biasanya dilepaskan”.
Apakah warga disini pernah ada warga yang berani menyerang Belanda?-> “Disini mereka tidak berani, dan hanya membantu tentara kita saja”.
Bantunya dalam bentuk apa?-> “Dulu pemuda-pemuda membantu membawakan senjata-senjata membawa amunisi, juga membantu mencari makanan. Setahu saya orang sini tidak ada orang yang berani memberontak atau menyerang Belanda itu tidak ada, karena tidak berani”.
Apakah disini ada peninggalan Belanda atau tidak?-> “tidak ada..”
Kamp yang digunakan untuk penjara itu berada di mana saja?->
4. Di rumah Penjara Banyumas,
5. Di Sumpiuh depan lapangan Kebokura tepatnya yang sekarang digunakan sebagai SMK Giri Puro
6. Di Gombong, Kebumen saya tidak tahu persis mungkin disitulah pengumpulan terbesar pengumpulan tahanan Belanda, orang-orang yang dianggap musuh Belanda, padahal mereka adalah bukan lawannya dan hanya rakyat biasa, lawan mereka yang sebenarnya adalah Tentara RI”.
“Dulu sekitar tahun 1971 ada pengumuman, barang siapa yang dahulu di jaman penjajahan Belanda pernah membantu kepada pejuang, baik makan, ayoman dsb katanya dulu mau diberi imbalan. Tapi ternyata tidak, jadi yang diberi imbalan itu yang ada namanya, ada datanya untuk dimasukan nanti terdaftar sebagai veteran….”
Apakah banyak yang ditangkap Belanda?-> “Tidak setahu saya itu tadi yang 7 orang”
Apakah Belanda disini Banyak?-> “Tidak banyak, kalau yang banyak itu ketika mereka membawa kendaraan”.
“Dulu tentara kita belum memakai baju hijau seperti sekarang. Sedangkan pihak Belanda sudah berpakaian hijau menggunakan ikat merah di leher, dan memakai topi yang menyerupai tudung wajan. Disini tentara saya rasa tidak membuat onar karena ini adalah kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat atau masyarakat dengan tentara”.
Apakah Anjing NICA itu menggunakan seragam?-> “Ya berseragam, karena Anjing NICA itu adalah tentara-tentara gabungan tentu saja kejam dengan bangsa kita. Justru orang Belandanya dulu di rumah saya itu tidak apa-apa, masuk baik-baik. Tetapi untuk masalah yang merusak dan mengamuk itu dilakukan oleh Anjing NICA”.
“Senjata dari tentara kita tidak seberapa tidak seperti sekarang yang modern”.
Apakah Anjing NICA itu dibekali senjata?-> “Itu pasti karena mereka adalah pasukan, yang saya tahu mereka membawa senapan, senapan mesin/ machine gun, di sini (pinggang) nya mambawa pisau, dan juga tempat air serta amunisi”.
Kalau tentara kita itu senjatanya apa?-> “Ya senapan seperti biasa tetapi tidak seberapa atau kurang modern ketimbang tentara Belanda”.
“Kalau ada Belanda pasti didalamnya terdapat Anjing NICA, sebab yang menuntun Belanda adalah Anjing NICA, karena mereka adalah berasal dari bangsa kita sendiri yang tunduk kepada Belanda. Dan biasanya mereka berada di garis depan”.
Pada waktu terjadi perang gerilya, siapa yang memimpin?-> “Saya tidak tahu persis. Yang saya tahu ya Jend. Soedirman, Gatot Soebroto, Rudjito, dll”.
Apakah menurut bapak Perang gerilya itu hanya untuk merebut kota Yogyakarta?-> “Ya sebenarnya itu juga, akan tetapi karena Belanda masih mau untuk menjajah lagi di Indonesia, sehingga kita berani menyerang. Tetapi kita kurang mampu, sehingga perang gerilyanya dilakukan dimana saja. Jadi tidak hanya di Yogyakarta saja akan tetapi di seluruh Nusantara Indonesia”.
Apa sebab Belanda keluar dari sini?-> “Mungkin itu karena sudah diproklamasikan, tahun 1945 itu sebenarnya penjajah sudah dikembalikan ke negeri asal yaitu ke Negara Belanda. Akan tetapi karena disana mungkin sebagian-sebaian masih ada yang mengeyel karena mengenyam hidup di Indonesia itu enak lalu ada yang memberanikan diri dengan coba-coba masuk lagi. Katanya mereka ditunggangi oleh bukan Belanda sendiri mencoba-coba untuk merebut Indonesia kembali. Mereka kembali lagi kesini akan tetapi tentara kita sudah mengetahui politik perang atau Negara, sedikit demi sedikit mereka tahu. Contohnya politik perang, itu hasil dari penjajah Jepang, walaupun tentara Jepang disini itu menjajah mati-matian menjajah namun ada hasilnya yaitu tentara kita menjadi tahu mengenai teori politik perang. Sehingga mereka bisa mengalahkan Belanda”.
“Konon waktu Jepang menjajah disini Indonesia minta bantuan, kemudian Amerika membom mereka (Jepang) di Hirosima, padahal Jepang masih disini lalu karena tahu disana berantakan sehingga pulang lagi kesana. Namun sekembalinya kesana mereka itu membawa apa saja yang ada disini, saya masih ingat ketika ada bunyi Isyarat “Dung-Tong!” itu orang Indonesia harus masuk ke gua atau liang. Sehingga di tiap rumah itu pasti dibuatkan Gua, kemudian mulut disuruh menggigit kulit kelapa atau gabus dan telinganya disumbat. Sebenarnya itu politiknya Jepang, karena waktu itu Jepang pulang ke negerinya itu membawa bahan makanan dsb, itu agar kita tidak tahu dan tidak mendengar. Atau supaya orang Indonesia tidak tahu Jepang pulang ke negerinya membawa barang-barang, jadi mereka disuruh masuk ke Gua-gua. Bunyi “Dung-Tong!” itu merupakan bunyi peringatan, berasal dari suara 2 buah kenthong bunyi “Dung!” itu untuk yang ukuranya besar dan “Tong!” itu untuk yang ukuran kecil”.
Dibanding dengan jaman penjajahan Belanda dengan Jepang itu masih menyengsarakan yang mana?-> sama saja, soalnya itu sama-sama penjajahan, memng dari segi lahirnya terkesan baik namun dari batin mereka itu kotor/ jahat. Jepang memang membawa dampak yang tidak baik yaitu kurangnya makanan dan pakaian. Jadi itu entah karena perbuatan orang Jepangnya atau karena kehendak Allah. Kalau menurut pendapat saya begini, orang menanam sendiri apakah itu ketela atau padi itu diminta oleh pemerintah Jepang dan saya kami hanya mendapatkan sebagian. Itulah politik penindasan, yang saya tahu itu susahnya pangan dan sandang. Ada suatu acara kerja bakti yang dilakukan oleh seluruh masyarakat yang dinamakan Romusha, itu tidak diberi makan dan tidak diberi upah, bagi mereka yang lemah itu malah dipukul. Kalau di jaman Belanda itu karena sudah menjajah ratusan tahun sehingga sudah seperti dianggap pemerintah Negara yaitu pemerintahan Belanda. Walaupun Belanda menjajah tetapi ada hikmah dan untungnya yaitu pembuatan jalan Daendels, itulah peninggalan Belanda, walaupun yang lain tu sudah tidak digunakan lagi. Di Banyumas dulu banyak bangunan-bangunan Belanda namun sudah banyak yang dihilangkan”.








Transkrip Wawancara

Nama narasumber :Bpk. Katam Wiryodiardjo
Waktu :30 Oktober 2010 pukul 10:23
Kelahiran : tahun 1936
Alamat :Desa Tanggeran RT-02 RW-01, Kec. Somagede, Kab. Banyumas
Pekerjaan sekarang :Petani
Posisi :Saksi sejarah

Bagaimana keadaan daerah ini sebelum tahun 1945?-> “Sebelum 1945 keadaan minus, kurang/ apa-apa kurang, orang desa umumnya kurang makan, kurang sandang, mencari pekerjaan juga susah, sehingga paling hanya bisa bertani saja”.
Bagaimana keadaaan daerah sini sesudah 1945?-> “Setelah merdeka keadaan masih biasa, belum punya pekerjaan yang menetap, mungkin dalam hal pangan sudah agak cukup lumayan, namun sandang masih kurang. Orang desa umumnya bertani mencangkul menanam Palawija, padi, Kayu Tahun”.
Belanda (NICA) mulai kesini sekitar tahun berapa?-> “Belanda sesudahnya Jepang kira kira sekitar tahun 1947”.
Apakah orang Belanda disini banyak?-> “Banyak sekali tetapi mereka berada di kota-kota, tidak di desa. Sedangkan yang ada di desa itu adalah Tentara kita atau TNI. Waktu itu tentara-tentara itu berkeliaran di desa-desa melakukan hubungan-hubungan dengan Kepala Desa, atau yang dulu itu namya Lurah, Kebayan, Carik. Mereka (TNI) Juga berhubungan dengan Pemuda. Dan itu terjadi sesudah merdeka. Yang lebih sengsara lagi sebenarnya waktu sebelum merdeka, sebelum 1945. Saya sebagai orang desa makanya “Oyek (makanan olahan dari ketela, dan diberi ampas kelapa)”, sayur Lontop (daun ubi Batang) atau juga daun Ketela. Itulah hal-hal yang saya rasakan sebelum tahun 1945. Saya juga makannya apa saja sedapatnya sehingga banyak orang yang yang Udim atau orang-orangnya memang terlihat gemuk, namun gemuk yang tidak sehat atau yang sekarang lebih dikenal dengan Beri-beri. Itulah sebelum 1945”.
“Sedangkan sesudah 1945, saya baru memiliki sandangan/ pakaian waktu presidenya adalah Soekarno. Kemudian di tahun 45 juga itu pak Soekarno itu mengatur rakyat, sehingga mata uang diganti, kepala-kepala desa juga diganti. Uangnya tiap rumah itu dibagi 1 perak 3 sen, itu yang diterima, namanya Uang Republik (ORI). Pimpinan pak Soekarno dengan dibantu pak Hatta. Sesudah itu ketika merdeka situasi berjalan lancar kemudian saya sebagai rakyat sudah punya penghasilan, punya pakaian. Namun ada kendala-kendala lagi sekitar tahun 1947 kebetulan yang namanya Belanda dari Eropa atau tentaranya yang disebut dengan “Anjing NICA” itu datang kesini kurang lebih tahun 1947, itu pada awalnya, kemudian berhubung mereka kesini (NICA) para Tentara menjadi pergi dari kota-kota dan masuknya ke desa-desa berhubungan dengan kepala desa, rakyat, bekerja sama dengan rakyat yang taat terhadap Republik. Bagi mereka yang tidak taat terhadap Republik mereka bergabung dengan yang namanya “Rekoba” itu yang merekrut adalah Belanda.
“Tentara kita/ republik, dulu disini (dirumah ini) dahulunya adalah markas atau gubug yang bentuknya seperti kandang Kambing itu., alasan dari orang tua saya bahwa ini adalah pemberian perlindungan dan menginap. Dahulu bapak saya adalah Lurah/ kepala Desa Tanggeran, dan tidak mau untuk berkerjasama dengan Belanda, takut, sia-sia saja (bila bergabung dengan mereka) Negara yang sudah kami perjuangkan, dan kami tidak senang (kepada Belanda). Dan mereka disini (Tentara) berkeliaran, dulu itu di sebelahnya rumah pak Mantan (mantan lurah) dulu itu adalah kelurahanya, sedangkan disini adalah markas tentaranya, sedangkan tempat pengungsianya itu berada di Karang Salam sebelah barat. Itu terjadi sekitar tahun 1947-1948”.
“Sedangkan pada tahun 1949 saya ikut bapak saya yang sebagai lurah yang juga sering masuk ke hutan-hutan dan kebun-kebun saja. Sampai suatu saat ada korban yaitu seorang menantu, yang waktu itu (Belanda) sedang mencari bapak saya namun yang ditemui malah menantunya, dituntun dibawa keluar lari kemudian ditembak dan mati itu yang terjadi di tahun 1948/1949 sewaktu Belanda hampir mau pergi (dari Indonesia) Belanda disini yang saya rasakan ketika tahun 1947-48-49 dan di tahun 1950 Belanda sudah bubar/ pergi. Saya tidak tahu persis bagaimana Belanda pergi, saya dengar itu katanya pak karno dan tokoh-tokoh yang lain itu habis melakukan perundingan meja Bundar di Bogor dan kemudian (Belanda) bubar hingga sampai sekarang (tidak kembali lagi) itulah katanya, kemudian Tamat/ selesai Belanda pergi dari sini. Tentang bagaimana cerita yang jelas (Benar) saya tidak tahu persis hanya itu adalah pengalaman saya sendiri. Sedangkan sekitar tahun 1950 kesini perlu apa tidak?? <- 1950="" 45="" 47="" apa="" bapak="" belanda="" dan="" datang="" desa="" disini="" hal="" hanya="" idak="" itu="" itulah="" jadi="" kepala="" kesini="" ketahui.="" ketahui="" melakukan="" menjadi="" merdeka="" mulai="" pergi.="" saja="" saya="" sejarah="" tahun="" terus="" udah="" yang=""> “Kegiatan Belanda disini hanya mencari tentara-tentara (RI) yang tidak taat kepada Belanda, itulah yang saya tahu. Sedangkan tujuan mereka itu bagaimana saya tidak tahu. Tahunya mereka mencari tentara-tentara atau masyarakat yang menaati kepada Republik, sedangkan tujuan mereka apakah mereka akan mendirikan bangunan dan lain-lain saya tidak mengetahui”.
Apakah yang ditangkap (oleh Belanda) itu banyak?-> “Ya banyak, sepengetahuan saya yang waktu itu saya masih agak kecil atau bujangan. Saya tidak mengetahui kasus yang diluar sana dan mengetahui yang di sekitar sini saja. Orang yang ditangkap disini juga banyak termasuk bapak saya itu juga termasuk korban, menantunya yang tertembak hingga mati, itu termasuk pahlawan., kemudian orang-orang yang tidak patuh terhadap Belanda dan membantu tentara juga ditangkap kemudian di bawa ke Banyumas/ ke asrama tentara (Belanda). Namun jika yang tertangkap (mungkin yang kasusnya tidak besar) itu dikembalikan lagi. Dan tujuannya hanya ditangkapi kalau kemudian disuruh pulang, begitu. Sedangkan tujuan Belanda disini yang berencana akan mendirikan bangunan, saya tidak tahu. Dan seperti itulah”.
Yang dimaksud tidak taat dengan Belanda itu yang bagaimana?-> “Maksudnya ya tidak bisa membantu apa yang Belanda harapkan ya dibawa/ ditangkap. Sedangkan yang umumnya itu membantu para tentara, dan tentara itu masuknya hingga ke desa-desa. Kalau Belanda kesini paling sering yang dicari adalah Tentara. Sedangkan masyarakat tidak tahu apakah orang yang lewat itu orang Tentara yang taat Belanda atau, mereka hanya lewat biasa. Kalau memang terbukti telah membantu tentara ya pasti diciduk (oleh Belanda) ke kota”.
Apakah tentara RI tidak menyerang tentara Belanda?-> “Apa bila perlu ya menyerang, waktu itu pernah saking marahnya Tentara RI karena Belanda sering mengobrak-abrik maka Tentara pernah mencegat/ menemui di sekitar Desa Sokawera kerap jadi tempat penyerangan. Belanda itu yang menuju ke Timur yang mungkin berencana akan menuju Semarang atau Wonosobo itu ditemui dan diserang, namun pihak Tentara RI tidak kuat karena persenjataanya langka. Ada dari bangsa kita yang dari awal mengaku dan ikut menjadi pasukan Belanda namun hatinya berpihak pada tentara RI, mereka kadang memberi senjata akan tetapi ya tidak banyak”.
Senjata dari Belanda itu apa saja?-> “Ada senapan, Canon. Kalau tetntara kita punya senapan namun tidak punya Canon, atau bahkan pedang. Waktu jaman Belanda tidak menggunakan bambo runcing tapi yang pasti ya membawa senapan. Dulu paman saya waktu itu menjadi CP (terdiri orang Indonesia yang membantu pihak Belanda dalam satuan Tentara) saya lupa CP itu singkatan apa, yang jelas mereka tergabung tentara Belanda namun tujuannya itu hanya ingin bekerja saja dan dapat gaji, mereka dibekali senapan oleh Belanda. Dari hati paman saya itu sebenarnya mendukung RI makanya setiap sedang patroli itu berpura-pura menyerang Tentara RI namun senapannya sendiri itu dibuang dan dia pergi pulang bertujuan agar memberi kesempatan senjata itu untuk diambil oleh tentara RI, sebenarnya dari Batin ikut RI namun secara lahir ikut Belanda, itulah pola dari paman saya. Itulah penngalaman saya…”
Disini Markas Belanda itu ada di sebelah mana?-> “Di Banyumas, yang sekarang menjadi Tangsi Polisi dan Kantor Karesidenan, kemudian juga yang sekarang menjadi Pondok Pesantren. Itulah uraian saya yang saya ingat dari tahun 1945 sampai 1950”.
Apa dampak peristiwa tersebut?-> “Resah, kehidupannya berat, Belanda disini untuk menjajah dan berniat untuk menyedot darah saya. Artinya bahwa mereka hendak mengambil hasil dari saya, atau hasil-hasil Indonesia, kalau begitu kan saya yang rugi? Makanya bangsa jamannya saya itu tidak bersemi, padahal sudah merdeka. Jadi usahanya pak Karno sudah kerasnya bukan main malah ingin dirampas kembali seperti zaman Jepang, atau zaman sebelumnya yang disebut zaman Kompeni belum Belanda. Itu yang saya tahu, rajanya waktu itu bernama Helminah, tapi itu saya tidak mengalami/ mengalami sedikit, waktu sebelum jaman Jepang, sebelum merdeka. Kemuadian masalah uang dahulu tidak seperti sekarang ini yang jumlahnya tinggi hingga jutaan kalo dahulu paling dari sen sampai perak dan yang tinggi adalah ribuan”.
Apakah rakyat biasa disini tidak ada yag mencoba berani menyerang Belanda?-> “Tidak berani, Belanda Banyak. warga saya mau menyerang bagaimana orang mereka memiliki peluru, punya senapan, punya Canon, sedangkan saya hanya punya Gaman”.
Apakah tentara bekerjasama dengan masyarakat?-> “Tentara RI punya hubungan yang erat dengan rakyat, bahkan masyarakat-masyarakat itu terhadap tentara apa bila perlu dikorbankan ayamnya untuk berpesta untuk memberi makan mereka. Masa sebelum dijajah Jepang itu menyengsarakan, makan susah, pakaian susah, apalagi bekerja paling bisanya hanya menanam padi, menanam lobak, menanam ketela, menanam kelapa”.
Apakah disini ada peninggalan dari jaman Belanda?-> “Daerah sini tidak ada. Setahu saya sekitar tahun 1947 sampai 1950 kedatangan Belanda kesini hanya untuk mengejar-ngejar mencari-cari orang-orang yang tidak taat terhadap Belanda. Sudah Cuma itu saja”.
Apakah ada perpisahan dengan kepergian Belanda?-> “Tidak ada. Tahu-tahu Belanda pergi begitu saja. Paling Cuma ada kabar “Belanda sudah pergi!!. Syukurin!!”. Setelah Belanda pergi suasana menjadi tenang”.
Apakah peristiwa ini menyeluruh?-> “Setahu saya menyeluruh. Sebab selama saya ingat pengetahuan pendidikan saya belum luas baru kelas 1 SR, dan setahu saya hubungan peristiwa ini hanya di sekitar Banyumas ini saja, tidak tahu yang diluar sana. Orang sini hubungannya dengan orang Binangun, Banyumas disitu juga ada pos tentaranya disini juga pos tentara. Pos tentara disini punya kurir atau tukang pengantar surat, kurir akan mengantarkan surat ke sana (Binangun) kerjasama dengan masyarakat yang taat terhadap tentara RI hingga sampai ke Binangun dengan berjalan kaki. Ditengah jalan ketahuan mata-mata atau Intel yang memakai Caping maka kurir itu tertangkap di Pesinggangan. Disana dia juga ditangkap oleh pihak Belanda karena telah dilaporkan oleh mata-mata, dibawa ke kantor. Disana dia hanya diinterogasi saja, itu katanya orang yang mengalami, katanya juga mereka memasang Canon untuk menembakan markas yang ada disini dan mengenai daerah Tlahab sekitar SD 3. Disitulah tempat yang terkena ledakan Canon akhirnya tentara RI yang disini jadi menyingkir namun tidak memakan korban hanya mengenai 3 ekor kambing saja. Itulah pengalaman saya. Sedangkan wawasan mengenai peristiwa yang terjadi di sekitar Wonosobo, Pekalongan, dll diluar sana saya tidak mengetahui”.
Apakah Belanda disini tidak akrab dengan warga?-> “Sama sekali tidak akrab, dia sendiri/ Belanda itu hanya akrab dengan yang namanya mata-mata atau yang sekarang disebut dengan Intel/ orang yang suka menyelidiki. Jadi mereka tidak pernah akrab dengan masyarakat sama sekali, bahkan Juguran/ obrol-obrolan itu juga sama sekali tidak pernah. Orang mereka hanya bisanya menggunakan bahasa Melayu saja. Hubungannya mereka ya sampai disitu saja paling tidak dengan CP, saya lupa singkatan CP itu apa. Yang jelas (CP) itu termasuk tentara Belanda, tapi bukan tentara Belanda yang no.1. ada yang dinamakan dengan “Anjing NICA” nah kalau CP adalah pembantunya Anjing NICA. Itu (CP) juga sering berkeliaran akan tetapi mereka takut ke desa, ketika mereka turut dalam rombongan Patroli (Belanda) kalau ketahuan oleh Tentara RI maka mereka diserang dan CP itu membuang Senapanya dan kemudian senapan itu diambil oleh tentara RI. Sebab ketika membuang senjata itu mereka Kong kalikong atau (di hatinya) berpihak Tentara RI. Di daerah sini peristiwanya persisi seperti itu, CP memang terlihat seperti sedang menyerang, namun ditengah itu CP lari (seolah kalah) senjata yang dibuangnya itu diambil oleh Tentara dan menambah persenjataan mereka”.
Apakah orang Belanda tidak bisa berbahasa lokal sini?-> “Tidak bisa, mereka paling bisa saling bisara misalnya dengan Anjing NICA nya, jadi orang Belanda tetap dengan bahasa Belandanya, dan saya tidak tahu pula bahasa mereka, yang saya tahu hanya “coat-caet”. Seperti itu obrolan mereka dengan Anjing NICA terdengar seperti suara Burung”.





Transkrip Wawancara

Nama narasumber :Bpk. Leksamiharjo Katu
Waktu :30 Oktober 2010 pukul 09:16
Kelahiran :tahun 1939
Alamat :Desa Tanggeran RT-02 RW-01, Kec. Somagede, Kab. Banyumas
Pekerjaan sekarang :Petani
Posisi :Saksi sejarah

Bagaimana kondisi sebelum 1945?-> ”Kondisi desa ini terkesan mundur, belum banyak pembangunan”.
Bagaimana kondisi sesudah 1945?-> “Sesudah 1945 kondisinya sudah berjalan tapi baru asal berjalan, sebab atur¬an aturan Negara berjalan belum begitu mantap atau undang undang yang dikeluarkan belum terkesan permanen”.
Bapak tahu tentang kedatangan Belanda kesini (pasca 45)? Ceritakan, mereka itu melakukan apa saja disini?-> “Yang jelas kedatangan Belanda kesini adalah untuk menjajah di Banyumas, itu setahu saya. Aturan-aturan Negara menjadi kurang lancar berjalan kerena diganggu oleh datangnya kembali pengaruh orang Belanda itu. Mereka ke desa tapi pada dasarnya bermarkas di Banyumas atau yang pada waktu itu masih berbentuk Kawedanan dan beribukota di Purwokerto”.
Apakah bapak tahu tentang peristiwa penumpasan yang dilakukan oleh orang Belanda disini?-> “Ya setahu saya Belanda kesini sekitar tahun 1947. Waktu itu saya baru duduk di kelas1 mau ke kelas 2. Mereka datang di daerah Banyumas. Dan sekitar tahun 1949 mereka sudah pergi dari sini, itu setahu saya. Lha kegiatan mereka didalamnya yaitu mencari orang-orang yang terkesan tidak pro terhadap Belanda. Atau orang-orang pemrintahan Indonesia yang tidak pro-belanda. Yang dicari itu ya pada tiap desa termasuk desa ini sehingga pastinya ya ada korban. Salah satunya ya termasuk kakak saya yang mati tertembak di punggung sekitar tahun 1948an. Pengorbanan juga banyak, bapak saya saja 2 Kudanya diambil dan pada waktu itu bapak saya juga menjabat sebagai lurah. Kuda itu bukan diculik (dirampas) akan tetapi untuk dibudidaya agar bapak saya mendatangi mereka / memancing untuk mendatangi mereka. Ketika kembalinya sehingga mereka melakukan serangan lagi dan menewaskan kakak saya itu”.
Apa yang dimaksud tidak pro-Belanda itu?-> “Ya tidak pro atau yang tidak patuh terhadap aturan-aturan dari belanda. Mereka dikejar terus baik mereka itu Tentara atau rakyat sipil. Disini orang sipil seperti orang yang menjadi camat yang berdomisili disini, Jederal Soedirman dan Yatsir itu juga berdomisili disini (Banyumas) mareka kegiatannya disini jadi derah sisi yang pali sering sebagai tempat pencarian. Setiap hari pasti ada orang yang dicari dengan melakukan patroli di sekitar Banyumas, siapa yang tidak pro-Belanda ya itu pasti akan tetap dibawa (diculik)”.
Aturan-aturan apa yang seringkali dilanggar?-> “Yaitu aturan apa saja yang dibuat Belanda, bermacam-macam baik itu terkai dalam hal penyelenggaraan pemerintahan ataupun dalam pelayanan masyarakat. Sesuai dengan organisasi kemasyarakatan desa. Tidak terlihat pasti tahu-tahu ya kita harus taat kepada Belanda”.
Apakah Belanda disini jumlanya banyak?-> “Belandanya si tidak banyak (yang sering jalan-jalan kesini), mereka datang kesini ketika ada hal-hal yang penting sekali. Mereka juga membawa kesatuan tentara ada yang dari sipil yang disebut dengan CP dan dari barisan tentara mereka membawa yang namanya “Anjing NICA” (sebutan dari rakyat pada waktu itu)”.
Apakah orang yang menjadi korban disini itu banyak?-> “Di sekitar Banyumas banyak, termasuk kakak saya dan juga lurah desa Sokawera waktu itu. Bisa juga rakyat biasa yang setengah pro-Belanda malah ikut membunuh orang sesama rakyat Indonesia. Itu gambaran pendirian yang tidak permanen di antara kedua belah pihak (pro-Indonesia atau pro-Belanda)”.
Kebanyakan yang dibunuh itu rakyat kecil atau orang priyayi?-> “Yang dibunuh itu khususnya mereka yang dituding oleh si mata-mata dianggap tidak pro belanda. Mata-mata itu juga dari orang Indonesia. Siapa yang dilaporkan oleh mata-mata itulah yang dicari, tidak peduli benar atau tidaknya (kebenaran berdasarkan fakta). Kalau memang bawaan yang terlihat tidak benar terhadap Belanda juga tetap dibunuh kalau tidak ya bisa dimanfaatkan”.
Apakah kasusnya disekitar Banyumas sini saja?-> “Tidak disini saja, mungkin se-Indonesia tapi yang saya ketahui (kisahnya) yang ada di sekitar Banyumas”.
Bagaimana bentuk pembunuhan itu?-> “Ditembak. Dianiaya juga ada. Pada waktu membunuh kakak saya. Tergambar dari mereka ada sosok yang tidak tegas kadang pro-Jawa (Indonesia) kadang pro-Belanda jadi terkadang ditemui bahwa korban juga dibunuh oleh orang jawa (Indonesia) sendiri. Suatu saat ketika korban tadi itu ditemukan tewas maka Belanda jengkel, marah, dan mencari pemuda-pemuda disini (untuk diinterogasi) hendak mencari siapa pelakunya”.
Sesudah dibunuh itu diapakan lagi (mayatnya)?-> “Lolos/ dibiarkan, mayat diurus oleh keluarga yang bersangkutan. Terkadang TKPnya tidak diketahui, pagi-paginya dicari, Kakak saya dulu ditemukan di kebun (mayatnya)”.
Operasi-operasi ini tiap hari atau periode tertentu?-> “Tidak tiap hari. Tapi tiap ada informasi (dari mata-mata) tidak bagus kesana (ke markas Belanda), dimana daerah yang dilaporkan disana. Namun patroli Belanda tetep ke desa-desa. Warga-warga disini umunya takut, namun yang lebih takut lagi khususnya orang-orang Pria, karena sebagian besar yang ditangkap belanda adalah kaum Pria. Karena Prialah yang biasanya yang berani terhadap Belanda, maka menjadi umum ditangkap Belanda itulah”.
Belanda yang di sini itu bermarkas dimana?-> “Markas Belanda waktu itu berada di Banyumas bagian kotanya yang pada waktu itu masih berbentuk kawedanan dan sekarang menjadi kebupaten. Dari markas menuju sini dengan berjalan kaki”.
Senjata apa saja yang mereka bawa?-> “Yang saya ketahui ya mereka menggunakan ada yang membawa pistol, laras panjang. Bahkan pernah ada serangan dari Banyumas ke sini menggunakan Mortir, ke sekitar desa Tanggeran Tengah hingga porak poranda disitu”.
Bagaimana akhir peristiwa itu?-> “Terakhirnya membawa kesan orang-orang Tanggeran resah takut dan selanjutnya ya tidak ada apa-apa”.
Peristiwa itu berakhir kapan?-> “Tidak tahu persis tapi mereka itu perginya di tahun 1949”.
Senjata-senjata itu ditinggal disini atau dibawa?-> “Persisnya senjata mereka ya tetap dibawa”.
Dampak peristiwa itu apa?-> “Dampaknya yaitu penderitaan. Usaha kerja menjadi tidak mantap karena keburu resah, bahkan ada yang dikejar kesana kemari sehingga ya resah dan menderita”.
Apakah warga tidak ada yang melawan?-> “Ya tidak berani melawan. Rakyat serba bingung karena dirinya bisa menjual diri kesana bisa menjual diri kesini (menjual diri untuk menbantu Belanda atau menjual diri untuk membantu perjuangan Tentara Indonesia). Sehingga pada diri mereka saling takut kalau siapa tahu teman kita sendiri menuduh atau ikut membunuh kita. Padahal Cuma misalnya sedang mengobrol (membicarakan keberpihakanya) saja bisa dituduh orang yang pro (baik pro-Belanda atau pro-RI). Sehingga masyrakat memang serba bingung”.
Adakah dampak positifnnya?-> “Tidak ada. Ini terlihat jaman yang tidak jelas. Dari RI ada aturan dari Belanda juga ada aturan yang sama-sama tidak hilang”.
Adakah Peninggalan peristiwa itu yang bisa dilihat sekarang?-> “Kalau bangunan itu tidak ada yang ada hanya bekas-bekas cerita saja, bekas bekas penembakan”.
Apakah target korban yang akan dibunuh itu sebelumnya sudah mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh?-> “Tidak tahu karena dia sebelumnya rakyat ditanyai, saya tidak tahu persis pertanyaanya bagaimana. Kemungkinan mereka bertannya “siapa yang membunuh si-A?? (si-A mungkin mata-mata atau orang yang berdedikasi kepada Belanda). Kakak saya yang ketahuan ikut rombongan orang yang membunuh si-A otomatis lari dan dari pelarian itulah kakak saya tertembak. Sistim perang kan biasanya seperti itu, orang lari ya ditembak, begitu”.
Berapa korban orang disini?-> “Persisnya yang saya tahu ya 1 orang (kakaknya itu), mungkin dari luar si banyak”.
Apa disini ada orang yang keturunan Belanda?-> “Tidak ada, kalau di desa Kejawar lha ada.
Biasanya mereka itu dibunuh dimana?-> “Dibunuh dimana mereka bertemu. Walaupun belum sempat ditanya saja kalau lari ya pasti dibunuh. Tidak ada tempat khusus, dimana saja berada, karena lari itu ya mereka dibunuh”.





















Transkip Wawancara

Nama narasumber :Bpk. S. Wiryameja
Waktu :30 Oktober 2010 pukul 13.31
Kelahiran :tahun 1932
Alamat :Tanggeran, Kabupaten Banyumas, Kecamatan Somegede
Pekerjaan Sekarang :Petani
Posisi :Saksi Sejarah

Keadaan belanda disini bagaimana-> “Saya tidak tau yang saya tahu merdeka tahun 45 dan saya orang petani jadi saya cuma pikiran bekerja mencangkul, sekolah saja tidak pernah yang penting mencangkul berkerja membantu orang tua, saya jadi orang susah jaman Belanda bapak saya terkena penyakit korengan jadi tidak bisa apa-apa, dan saya anak pertama, saya membantu memberikan makanan untuk adik-adik saya tapi sekarang ketrima banget orang anak cucu banyak banyak tapi tidak kaya benda dunia Cuma banyak anak saja”.
Sebelum tahun 45 keadaan disini bagaimana pak?-> “Saya tidak tahu dan saya tidak inget”
Bapak sering bertemu orang Belanda?-> “Ya sering, Jepang yang bertemu”
Apa bapak pernah mendengar pembunuhan pada jaman Belanda?-> “Ya banyak, putra bapak lurah yang bernama Slamet yang dibunuh Belanda, paman saya terkena grangat lalu dibawa kerumah sakit, hanya itu saja yang saya ingat”
Belanda disini membuat sengsra tidak?-> “Kedatangan orang Belanda orang Jawa pada terima tapi jaman jepang datang pada sengsara banget untuk sandang ya susah banget”
Sesudah jepang apa ada belanda lagi?-> “Adanya Belanda orang Jawa pada terima bisa makan tetapi ada uangnya untuk mencari makanan susah, orang ibu saya mencari makanan dari jam 8 sampai 5 sore, ya anak-anaknya pada kelaparan”.
Bapak sering jalan-jalan ke kota?-> “Sekarang tidak pernah orang sudah tua, sekarang tidak pernah dulu sampai menyebrang ke Madura, lebaran ya kesana pada bertamasya”
Banyak orang belanda didaerah mana?-> “Di kota Banyumas”
Disitu orang Belanda melakukan hal apa saja?-> “ itu ada yang dinamai Anjing NICA entah dia itu dari orang Jawa atau dari orang Manado”
Pimpinannya Anjing NICA tahu pak?-> “Tidak tahu, orang ada orang belanda saya lagi ramban, saya takut, orang belanda pada jalan secara berturut-turut ya saya diam saja, sebenarnya sangat takut. Untungnya saya tidak ditanyai. Mereka lewat disini sekitar satu setengah jam dengan rentang rombongan 4 meteran”
Ada peninggalan Bangunan?-> “Tidak ada”
Belanda disini banyak?-> “Sementara mereka Banyak, mencari orang tentara Indonesia pada malam hari, banyak yang menyusup kedalam-dalam. Orang kakek saya yang waktu itu menjadi kadus sedang melaksanakan ronda berkeliling berjaga-jaga namun tiba-tiba tidak sengaja menginjak pucuk senapan milik Belanda, sementara Belanda tersebut sedang mengintai (bersembunyi siaga menembak musuh) bersama Anjing NICA dari kejadian itu kakek saya itu ditangkap. Ditangkap dibawa ke Sumpiuh di penjara dan di tanya “Apakah disitu ada Tentara?” namun kakek saya mengaku “tidak ada” terus sehingga tetap ditahan. Sementara karena kakek saya itu punya sifat baik sehingga sangat disanjung oleh kawan tahanannya di Cell/Kamp. Kakek saya digebugi, bubar belanda kakek saya dikembalikan lagi dan pak bau Pasuruan (kawan dalam Cell) pada datang kerumah mbah saya”
Orang disini pada nyerang belanda?-> “Tidak, pada takut”
Bapak tau keadaan indonesia jaman Soekarno?-> “Bung Karno jadi presiden ya bagus, Soeharto bagus negarannya aman, tidak seperti sekarang masalah banyak korupsi banyak, jadi saya tdak tahu apa-apa Cuma menginat, jadi yang bagus ya Sukarno Suharto orang negaranya aman”.
Sesudah merdeka pekerjaan bapak apa?-> “Tukang”
Orang belanda jarang bicara sama orang jawa?-> “Tidak pernah
Yang ditindas Belanda siapa saja?-> “Orang-orang tentara saja oarang Jawa tidak, beda dengan orang Jepang, saya mencangkul padinya bagus sekali trus ada polisi datang saya dibagi setengahnya saja lalu semuanya dibawa lurahnya”
Tahu lagu kebangsaan Indonesia?-> “Tidak tahu, tidak saya perhatikan orang saya orang petani ya yang penting ramban (mencari rumput) takut kambingnya kelaparan

















Transkrip Wawancara

Nama narasumber :Bpk. Setrawiredja
Waktu :19 November 2010 pukul 09:46
Kelahiran :tahun 1940
Alamat :Desa Tanggeran RT-08 RW-03, Kec. Somagede, Kab. Banyumas
Pekerjaan sekarang :Wiraswasta
Posisi :Saksi sejarah

Siapakah nama bapak?-> “Setrawiredja”
Alamat?-> “RT 8/ RW 3 Desa Tanggeran kec. Somagede kab. Banyumas, Jawa Tengah”
Pekerjaan bapak sekarang apa?-> “Wiraswasta, ketrampilan pelayanan kebutuhan perabot rumah tangga warga masyarakat”
Pekerjaan sesudah kemerdekaan apa?-> “Saya didesa jadi perangkat desa, mulai berjuang didesa sebelum tahun 70 jadi hansip, tahun 65 ikut menangani warga yang ditangkap polisi, tahun 70 diangkat sebagai perangkat desa dulu disebutnya polisi desa. Tahun 84 dialihkan menjadi perangkat desa saya menjadi kaur pembangunan”.
Tahun berapa bapak lahir?-> “1940”
Apakah bapak mengerti tentang zaman Belanda dulu?-> “Ya ingat tapi ya sedikit tahun 1948 Belanda terakhir disini di jogja yang mengusir jepang”
Apa saja yang dilakukan Belanda disini?-> “Saya tidak begitu paham karena masih kecil sekitar umur 8th, sekarang orang yang diminta keterangan masalah zaman penjajah sudah tidak ada atau hampir tidak ada, umur 75 walaupun ada juga mungkin sudah pada lupa, pak diran purnawirawan rumah sakit banyumas mungkin tahu tapi ya sekarang masih ingat apa tidak tentang penjajah belansa , saya tahunya juga karena pelajaran sejarah waktu sekolah dulu”.
Bapak tahu warga yang diculik Belanda?-> “Tidak, yang diculik belanda zaman kompeni Belanda pas kegiatan di VOC kompeni Belanda setelah bubarnya NIPPON, jepang menjajah disini seolah-olah mau memberi teori perang tetapi orang-orang disini diberi benteng-benteng utuk bersembunyi disitu ya itu juga menurut cerita orang tua dulu , jadi secara tepat saya tidak begitu mengalami secara persis, berbeda dengan zaman sekarang anak-anak 5th sudah pada pintar sebab peningkatan sumber daya manusia sudah terpelihara oleh pemerintah,mungkin kakek nenek kalian Saya mengalami sengsaranya negara setelah merdeka sesudah terjajah. Kemerdekaan baru kemakmuran negara habis oleh penjajah”
Warga sini takut sama Belanda apa tidak?-> “Ya warga disini sangat gelisah”
Apa saja yang dilakukan Belanda disini?-> “Tahun 1948 mulai tentara mengusir belanda, saya masih anak-anak sekitar 8th masih jarang memakai baju ya saya belum begitu paham, jadi 1948 tentara mengusir Belanda”
Apakah keluarga bapak ada yang tertangkap Belanda?-> “Tidak ada,orang tua saya tidak, ayah saya meninggal tahun 55 meninggalkan anak 6, saya jadi saya prihatin sejak kecil tetapi alhamdulillah masih diberi umur panjang menikmati kemakmuran negara. Tetapi dulu negara miskin apalagi masyarakatnya sebab mampunya negara karena masyarakatnya juga mampu”.
Apakah disini dulu banyak TNI?-> “Ya banyak,ditempat saya juga dulu ada yang menginap dirumah saya sekitar orang 6, ditempat om saya kopralnya bernama bapak Santosa dulu”.
Apa saja yang dilakukan TNI disini?-> “Mencari penjajah supaya meninggalkan negara Indonesia seperti tujuan tentara”
Bapak tahu tentang anjing NICA?-> “Iya ada nama seperti itu tetapi juga tidak begitu tahu,anjing NICA paling ya musuh kita menurut kasarnya kita”.
Waktu Belanda disini aman apa tidak?-> “Aman tetapi mengikuti aturan penjajah masyarakat yang menjadi korban kan masyarakat yang ada didepan berebut hak pengakuan negara, masyarakat ada yang menjadi korban tetapi tidak sengaja masyarakat dibunuh, beda dengan G30/SPKI benar-benar banyak yang binasa”.
Aturan belanda apa saja?-> “Saya tidak begitu tahu apa saja peraturan Belanda dulu”.
Berarti bapak mengalami Belanda disini sebentar saja ya?-> “Iya wong saya baru 8th..nek seperti saya ya tidak begitu tahu”
Dimana markas Belanda?-> “Markasnya dijogja, di karisidenan juga ada, sekolah depan Bayangkara kan dulunya HIS , sekolah buatan belanda tetapi sekarang sudah diperbaiki ya sudah menjadi milik kita bersama, pabrik tebu kali bagor juga merupakn peninggalan Belanda”.
Apakah banyak Belanda yang masuk kesini?-> “Ya banyak tetapi kan tercegah oleh militer sini, 1945 negara kita merdeka sudah mendapat modal teori perang oleh Jepang walaupun Jepang disini menjajah tetapi ada manfaatnya masyarakat kita mengetahui teori perang itu menurut ceritanya seperti itu”.
Belanda ada didesa ini saja apa ada dimana-mana?-> “Ya disemua desa ada belanda, jadi kalau ada tempat bersembunyi ya ada belanda tetapi ya jarang”.
Belanda sering bergaul dengan warga sini apa tidak?-> “Ya gaul tetapi tidak tahu bahasanya, bahasanya kan sudah berbeda dengan kita, yang pasti masyarakt takut”.
Peninggalan Belanda disini apa saja?-> “Banyak, di Banyumas rumah sakit ada tetapi sudah dibongkar, sebagian bangunan-bangunan yang kuat merupakan peninggalan belanda, tetapi sekarang sudah dibongkar semua”.
Berarti disini tidak ada peninggalan Belanda?-> “Tidak ada,di sokawera ada bekas kuburan Belanda dulu tetapi sekarang dibongkari masyarakat. jika ditelusur mungkin masih ada peninggalan Belanda”.
Senjata yang digunakan Belanda apa?-> “Belum tahu namane,Granat......warga Indonesia yang bersekolah disekolah Belanda juga ada”.
Umur 8th bapak sudah bersekolah apa belum?-> “Belum, sekolah tahun 1953 tamat kelas 3, 1957 sekolah lagi di sekolah Rakyat, 1959 lulus SR terus bekerja”.

2 comments:

  1. saya sedikt meralat nama nara sumber bukan bp Leksamiharjo tapi namanya bp Reksamiharjo saya darno keponakan beliau dari kakak atau anak pertama dari mantan lurah bp resadiwirya/dalim [bp dari reksamiharjo/katu , dan wiryadiarjo/katam] saya berterimakasih sejarah desa kami di angkat lewat blog ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mas, itu salah nulis yg awalnya saya dr salah dengar. Beliau q dapat dari sdri Wiji tman saya dr desa stempat. stelah slesai Wiji jg complain hal yg sama. nnti saya perbaiki.

      Delete