Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Saturday, June 7, 2014

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 27]


Sengaja aku bangun agak pagi, karena aku ingin melihat banyak dan mempotret suasana terakhir aku disini. Biasa, kontrakan Ar[t]my justru paling sunyi ketika pagi seperti ini. JIka malam, kursi beranda depan ini ramai sekali, teman-teman kontrakan pada bertengger bercanda tawa diatas kursi yang tidak klimis lagi dan cita rasa pemandangan kursi di pemukiman kumuh. Namun pagi ini, aku bisa menguasai sepenuhnya kursi kursi ini meski hanya untuk duduk dan melamun pandangan kosong.

Aku memandangi awan, mengamati pergerakan arah sekawanan burung pipit terbang membawa sepotong rumput kering untuk merajut susuh. Hingga melihat aktifitas semut yang sedang memboyong potongan kecil roti yang tidak muat dimasukan ke mulut gua rumahnya di salah satu pojok dinding. Kucing yang lewat di depanku pun seperti tak mengakui keberadaanku, lewat tanpa mengeong atau melirik sedikitpun.


Aku bangkit dari kursi, ingin merekam kejadian alam yang lainnya di sekitar kontrakan. Aku lebih tertarik menuju jalan tembusan Jl. Kalimasada - Gg. Goda. Berjalan santai dengan tangan saling bersilang di belakang, mirip kades yang sedang blusukan ke pelosok desa untuk mensurvei rakyatnya. Tapi orang mungkin melihatku seperti ini aneh. Jarang ada seorang mahasiswa yang iseng melihat alam desa ini. Tapi gelagatku ini memang lain. Karena mungkin besok aku tidak lagi melihat alam ini lagi untuk jangka waktu yang sangat lama. Atau bahkan hari itu anggap saja hari terakhir aku berjumpa dengan Semarang.

Tembusan ke gang Goda ini adalah terowongan papringan yang sejuk.  Ini adalah jalur yang selalu aku tempuh kalau ke kampus semenjak aku di kalimasada. Tapi aku tak habis pikir mengapa Jl.Kalimasada ada tembusan gang Goda. Istilah Kalimasada dalam pewayangan Islam berasal dari kata Jamus Kalimasada, atau senjata Islami. Digunakan untuk menumpas kebathilan musuh, karena kalimasada sendiri berasal dari kata Kalimah Syahadat. Kalimah yang digunakan agar eling kepada sang pencipta. Tapi mengapa Jalan Kalimasada ini ditembus oleh yang namanya Gang Goda. Apakah artinya ditengah kita sedang eling dengan sang pencipta selalu ada godaan??. Menurutku ini adalah tembusan jalan yang keramat kalau mendalami makna tadi.

Aku ingin melintas jalan ini sekali lagi. Masih sepi sekali, hanya terdengar detak titik-titik air jatuh dari ujung daun bambu yang tak kuat menampung butir-butir embun. Seiring dengan sendu mataku yang juga ingin menitikan air mata di hari terakhir ini. Aku lintasi tapak demi tapak batu ubin yang sudah berlumut. Rumah-rumah yang kulewati berada di tepi kebon seperti ini benar-benar mengingatkanku akan kampung halamanku.

Hingga pada ujung pemukiman di sebelah barat terdapat rumah model tahun 50-an. Berdinding kayu dan anyaman bambu yang dicat dengan labur (sejenis cairan kapur). Gentengnya terlihat tak sekokoh genteng buatan jaman sekarang. Tapi genteng yang tipis terlihat rapuh seperti telah berpengalaman terkikis air hujan berpuluh-puluh tahun. Penghuni rumah ini adalah sepasang lansia yang sudah tidak giat menekuni banyak aktifitas. Seringkali hanya duduk-duduk di kursi beranda yang masih berlantai tanah, memandangi lalu lalang mahasiswa-mahasiswi yang berangkat atau pulang kuliah yang melintas jalan tembusan ini. Aku juga kerap menyapanya dengan senyum, untuk lebih menghangatkan suasana mereka.

Tapi pagi itu aku tak melihat salah satu diantara mereka sedang duduk-duduk di beranda. Aku hanya melihat kepulan asap putih yang keluar dari sela-sela atap rumah itu. Aku tahu, mereka di dalam pasti sedang menanak nasi atau memasak air menggunakan tungku yang masih menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Aku yakini, rumah ini adalah rumah paling tradisional di tengah-tengah Sekaran-Banaran. Bau asapnya mengingatkanku akan masa kecilku ketika bangun pagi ke rumah nenek di sebelah. Hmm benar-benar serupa aromannya. Aroma aktifitas pagi di perkampungan yang permai.

Sebelahnya lagi terdapat sungai kecil yang tak terlihat dari jalan ini. Hanya terdengar gemriciknya saja. Sungai itu terhalang oleh rumpun bambu ampel di belakang rumah dua lansia tradisional tadi. Suara gemriciknya lumayan keras seperti curug kecil dan seperti banyak cadas di sungai itu. Sehingga suara gerak airnya sangat terasa. Tapi jika melihat kos-kosan yang tak jauh dari sungai tadi, imajinasinya bisa berubah. Tepat di pertigaan gang Cokro terdapat kos putri yang bertingkat. Kos itu membuang limbah airnya sepertinya mengarah ke sungai tadi.

Jadi jika dipikirkan mungkin sungai yang tak tampak tadi sebenarnya adalah sungai kotor yang airnya putih bercampur limbah sabun, berbau. Belum lagi pasti pembalut  banyak berserakan. Aku prihatin memikirkannya. Tapi beruntung, kaum lelaki memang dikaruniai kemampuan seribu imajinasi. Kupejamkan mata dan dengarkan baik-baik suara gemricik sungai tadi. Aku bayangkan bahwa itu adalah sungai yang amat bersih dan jernih. Didalamnnya terdapat ekosistem yang damai hidup berdampingan, kepiting pemalu yang bersembunyi di sela-sela cadas, ikan-ikan Spat yang berkilau berkejar-kejaran dan keraca-keraca hitam yang legowo dikaruniai kemampuan berjalan sangat pelan. Sungai itu teduh didampingi rumpun bambu bertebing cadas yang ditumbuhi paku-pakuan dan lumut yang hijaunya surgawi.

Pemandangan sungai seperti ini sebenarnya hanya ditemukan di kawasan hulu di dekat pegunungan.  Tapi cukup dengan suara gemricik itu masuk ke indra pendengarku, aku mampu menghadirkan imajinasi yang indah tadi. Padahal aku tak tahu bagaimana rupa sebenarnya sungai itu. Prinsipnya hampir sama dengan membayangkan telanjangnya dari wanita yang sebenarnya sedang berpakaian rapi dan tertutup rapat. Sepanjang kita tahu seberapa mulus kulitnya, seberapa kenes bibirnya, seorang lelaki bisa saja berfikiran hingga sejauh itu.

*****

Diam-diam aku merasa sudah berjodoh dengan lingkungan di Ar[t]my. Bukan dengan orang-orangnya. Tapi suasana sekitar. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan pengapnya Dian-Ratna, lalu dipindah ke Kontrakan yang cukup asri untuk melamun itu. Dan aku cukup puas mengakhiri masa-masa kuliahku di tempat ini. Betul kata Sastro sebelumnnya, “Suasana disini dijamin berbeda dengan Dian Ratna, Gan,” ucap dia. Sambil mata kami tertuju pada anak-anak kecil disini mandaulat jalan sedang bermain kembang api dan mercon putar. Ahh Kenangan pada malam ramadhan kemarin.

Benar-benar terasa berat langkahkan kaki meninggalkan Ar[t]my dan Semarang. Aku bawa setumpuk sisa barang yang tersisa untuk dibawa pulang.  Sudah jauh-jauh hari aku persiapkan. Hari itu (25/10/2012) sudah ku tekadkan bulat-bulat adalah hari-H eksekusi aku meninggalkan kota Lumpia ini untuk jangka waktu yang lama. Aku pergi tanpa pamit kepada para penghuni Ar[t]my. Biarkan mereka masih terlelap. Mereka tidak akan merasa kehilangan kepergianku. Hingga dalam jangka waktu yang agak lama nanti mereka baru membicarakan, bahwa aku sudah tidak pernah kelihatan lagi disitu. Biarkan.

Dadaku sesak ketika pertama kulewati mushola depan kontrakan. Aku rasa sudah tidak akan mendengar adzan lagi dari dari kakek tua bersuara serak kasar itu. Aku sudah tidak mendengar lagi lagu-lagu darinya. Lagu kesukaannya adalah “Syi’rian Sufi”, atau orang kampung biasa menyebutnya “Singiran”. Ini adalah lagu kreasi orang NU. Meskipun aku bukan pegiat budaya NU, tapi aku jadi nyaris hafal Singiran ini berkat kakek tua itu melantunkannya setiap kali sehabis adzan melalui Toa yang keras dan persis menghadap kontrakanku.
“ duh bolo konco, prio, wanitoouo.
Ojo mung ngaji syariat bloko.
Gur pinter dongeng tulis lan moco.
Tembe mburine bakal sengsoro , tembe mburine bakal sengsoro”

“Akeh kang appal, quran hadiseeeie.
Seneng ngafirke marang liyane.
Kafire dhewek gak digaaAtekke
Yen esih kotor, ati akale. Yen esih kotor, ati akale”
Dan seterusnya, kurang lebih seperti itu kemudian ditutup dengan “Ya uhai lalju, diwal karomi, ya uhai lalju diwal karomi”
Ini adalah lagu kaum NU paling terkenal seJawa. Lagu ciptaan Gus Dur ini menjadi lagu-lagu pengantar sebelum Iqamah di setiap masjid seantero Jawa, apalagi di pantura seperti di Semarang ini. Lagu itu menjadi kenangan tersendiri bagiku. Syair ini pula yang kelak akan selalu mengingatkanku, akan kehidupanku ketika di Kalimasada ini.

Selanjutnya aku menoleh ke kanan, persis warung makan di samping kontrakan Ar[t]my. Sepagi ini warung itu masih tutup. Biasanya semakin ramai menjelang siang. Namanya warung mbak Kiss, namanya nyaris mirip dengan langgananku ketika di Setanjung yaitu warung makan Bu Kiss. Mba Kiss ini tentu lebih muda seumuran 30-an, agak cerewet tapi judes-judes manis. Kalau dipikir-pikir mirip artis Medina Kamil. Aku pernah ajak Aris makan siang disitu, dia ditanya sama mba Kiss ini. “Kui es teh e nek kurang manis tambahi gulo dewe,” kata dia. Aris nyletuk “Wis manis koq mba, koyo bakule,”.

Soal kecantikan tidak hanya soal mba Kiss saja, tapi disitu juga ada anak kecil mungkin seumuran kelas 2 SD. Tapi aku tak pernah tahu dan tak pernah bertanya, apakah itu anaknya mba Kiss atau adiknya, atau apanya. Yang jelas anak itu cantik, putih, lucu dan menggemaskan. Dia juga terlihat penurut, disitu ia selalu ikut membantu mba Kiss melayani pelanggan, terutama untuk membantu membuatkan pesanan minuman dan mengantarkannya. Aku selalu mencuri pandang melihat kecantikan anak itu ketika sedang beraktifitas. Tatapanku bagai Syekh Puji memandangi bidadari kecil Ulfa. Tatapan Pambudi mengagumi kecantikan Sanis seperti dalam novel “Di balik Bukit Cibalak”, Ahmad Tohari. Atau bisa juga seperti tatapan pak Harso tersihir kecantikan dik Viki.

Ketika dia memandangku, aku berpura-pura memandang yang lain. Terkadang aku juga ikut kesal ketika ada mahasiswa lain pelanggan yang berkunjung kesitu iseng memuji kecantikan anak kecil itu.

Aku geleng-geleng dan senyum-senyum sendiri dalam pandangan kosong yang tertuju pada warung makan yang masih tutup itu. Tak kuasa aku menghapus bayangan itu semua. Tapi aku segera melanjutkan langkah ke penghujung Jl. Kalimasada ini. Belum sampai aku sudah bermandikan peluh, terlalu keras berfikir merelakan untuk meninggalkan kenangan-kenangan tadi.

Belum aku sampai di pangkalan Angkudes yang ada di bawah pohon waru depan lapangan Banaran, seorang calo angkutan sudah paham. Penampilan orang sepertiku yang sedang membawa tas gemuk menandakan iktikad akan mudik. Calo itu langsung menggiringku masuk ke Angkudes yang siap berangkat. Terbiasa, ini adalah angkudes warna hijau trayek jurusan Sekaran-Bandungan yang akan mengantarkanku sampai ke pasar Bandarjo Ungaran.

Angkudes mulai berangkat, aku melihat suasana jalanan Unnes untuk yang terakhir kalinya saat itu. Terlihat sudah mulai semrawut. Mahasiswa-mahasiswi sudah mulai berangkat kuliah mengenakan motor. Adapula yang masih berpenampilan ala kadarnya, hanya memakai hot pants, mungkin mau mencari sarapan. Membuat suasana semakin gerah dipagi yang terik itu. AKu melihat mereka begitu bersemangat beraktifitas, melanjutkan kesempatan hari-hari.  Merekalah generasi-generasi penerusku di Unnes, mahasiswa baru, mahasiswa senior dan mahasiswa sepantaranku yang belum kunjung lulus memadati aktifitas pagi ini.

Tiba saatnya angkudes ini perlahan-lahan melewati depan Jalan yang paling aku tunggu-tunggu,  Jalan Setanjung. Mobil ini berhenti sembari menunggu didatangi penumpang dari jalan itu. Setanjung kini ada disebelah kiriku. Aku menoleh dan memandang plang nama jalan itu. Setanjung diam. Sabar menanti bahasa kalbuku bertanya kepadanya. Tapi seolah-olah dia mengerti, kalau dia akan ditinggalkan oleh salah seorang putranya yang pernah ditempa hidup, manjalani hari-harinya selama tiga setengah tahun di jalan itu. Ialah aku. Inilah terakhir aku berjumpa. Dengan perasaan pilu akan perpisahan. Akhirnya kalbuku memberanikan berbahasa dengannya.

“Terima Kasih Setanjung, tak mungkin aku menjadi daun yang bertahan sendirian di musim gugur, semua ada masanya, maafkan aku. . . . . . . .”


Padamara, 7 Juni 2014

Kamar tidurku yang sederhana di Ar[t]my
Kamar tidurku yang sederhana di Ar[t]my

Jl. Kalimasada terakhir kupotret 2012
Jl. Kalimasada terakhir kupotret 2012

Kotrakan Ar[t]my
Kotrakan Ar[t]my





Tentang Penulis
 Ganda Kurniawan Lahir di Padamara kabupaten Purbalingga 09 Desember 1990. Menamatkan pendidikan formalnya di Jurusan Sejarah (2012), Universitas Negeri Semarang. Lulus tepat waktu tapi skripsinya bermutu rendah. Pengalaman Keorganisasian pernah menjabat sebagai staf ahli Departemen C bidang Sosial dan kemahasiswaan Hima Sejarah Unnes (2009). Sempat menjadi pendiri organisasi Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara) sekaligus menempati posisi Kepala Divisi Penerbitan, dengan nol prestasi. Berpengalaman mengajukan sejumlah proposal kreatifitas mahasiswa (PKM), satu kali berhasil namun banyak gagalnya. Pernah mempermalukan Jurusan Sejarah sendiri dengan kehabisan kata-kata saat lomba debat tingkat Unnes di FIS (2009). Saat ini tengah berkarir sebagai Jurnalis di salah satu surat kabar local jaringan JPNN milik Dahlan Iskhan. Karyanya yang disegani oleh Dikti berjudul Dampak Sosial-Militer Dalam Perang Gerilya Tahun 1947-1949 Terhadap Masyarakat Desa Tanggeran, Kabupaten Banyumas (2011). Karya-karyanya yang lain diantaranya Catatan Seorang Pendiam (CSP), Dari Setanjung ke Kalimasada, Di Bawah Asap Gudang Bata (fiksi, 2013), Lima Menit Bersama Nanang Pratmaji, Sunset di Pantai Tirang, Winarso atau Fidel Sastro, Dari Budak Menjadi Kadiv Sosbudag, Hari-hari bersama Harry dan banyak karya-karya kecil lainnya yang masih tercecer

Wednesday, June 4, 2014

Jus Tebu Itu Sehat

Aku seringkali mampir singgah ke depan gedung Bulog Karang Sentul Padamara. Disitu aku bisa santai sambil minum segelas jumbo jus tebu yang segar di bawah pohon yang rindang dan besar. Aku sangat menyukainya karena aku tahu manfaat jus tebu ini. Meskipun sama-sama manis tapi ternyata manfaatnya berbanding terbalik dengan gula pasir.





"Selain enak, air tebu juga mudah ditemukan dan terjangkau. Anda mungkin akan terkejut setelah mengetahui bahwa ekstrak jus batang tebu ternyata memiliki banyak manfaat kesehatan," kata Denny Santoso 

Tergantung pada varietas tanaman tebu dan tanah, manfaat dari ekstrak jus batang tebu juga bisa bervariasi. Namun, tebu merupakan sumber makanan yang kaya mineral, vitamin, dan antioksidan. Berikut adalah beberapa manfaat kesehatan dari tebu, seperti dikutip Boldsky.comCheck these out:
1. Mengobati penyakit kuning: Jus tebu adalah obat alami untuk menyembuhkan penyakit kuning. Jaundice adalah pigmentasi kuning pada kulit dan membran yang disebabkan oleh adanya billirubin dalam darah. Hati yang kurang berfungsi dan saluran empedu yang terblokir adalah penyebab penyakit kuning. Untuk mempercepat pemulihan, minumlah dua gelas jus tebu segar dengan campuran jeruk nipis dan garam.
2. Infeksi: Beberapa infeksi seperti dysuira, infeksi saluran kemih, penyakit menular seksual dan peradangan pada perut (saluran pencernaan) atau jantung dapat disembuhkan dengan segelas jus tebu.
3. Batu ginjal: Ini adalah salah satu khasiat yang paling efektif dari jus tebu. Batu ginjal biasanya terbentuk karena dehidrasi dan minum air putih yang banyak bisa membantu memecah batu di ginjal. Minum banyak cairan dan jus tebu juga ampuh memecah batu atau melarutkannya.
4. Baik untuk penderita diabetes: Tebu itu sehat bagi penderita diabetes karena mengandung gula alami. Ini adalah alternatif yang lebih baik untuk gula mentah atau pemanis buatan. Jadi, jika Anda dalam program diet penurunan berat badan atau diabetes, minumlah jus tebu. Manfaat jus ini juga mampu menjaga kadar glukosa darah seimbang.
5. Banyak mengandung gizi: Tebu memiliki segudang vitamin dan mineral yang baik untuk tubuh. Jus tebu kaya akan fosfor, zat besi, kalsium kalium, dan magnesium. Penelitian telah menunjukkan bahwa jus tebu dapat membantu memulihkan kehilangan vitamin yang terjadi akibat gangguan demam.
6. Penyembuh pilek, flu dan sakit tenggorokan: Jika Anda berpikir jus tebu bisa berbahaya untuk sakit tenggorokan atau pilek, maka Anda salah. Air tebu justru membantu menyembuhkan radang tenggorokan, pilek dan flu.
7. Mencegah kanker: Karena bersifat alkali, air tebu mampu mencegah kanker, terutama kanker prostat, usus, paru-paru atau kanker payudara.
8. Rehidrasi: Banyak orang tidak cukup minum air dan menderita dehidrasi. Untuk mempertahankan air dalam tubuh, minumlah jus tebu. Bahkan selama musim panas, Anda dapat mendinginkan panas tubuh dengan meminum segelas tebu secara teratur. (jay)

Ternyata kandungan air tebu itu berbeda dengan gula pasir. Walaupun gula pasir berasal dari tebu. 

Hambat Plak
Tebu mengandung senyawa octacosanol sejenis alcohol rantai panjang yang mampu menurunkan kadar kolesterol dalm darah. Octacosanol juga menghambat penumpukan plak pada dinding pembuluh, bahkan ia perlindungan terhadap oksidasi protein darah.

Menurut hasil riset National center for scientific Research Havana Kuba. Octacosanol menekan sintesa kolesterol yang diproduksi di dalam hati. Hal ini terlihat dari adanya pengaturan enzim reductase HMG-CoA--Enzim yang membatasi laju sintesa kolesterol. Pengamatan jangka panjang terhadap konsumsi octacosanol membuktikan senyawa itu dapat menurunkan dan mengontrol kadar kolesterol darah tanpa efek samping.

Pasien diabetespun aman mengkonsumsi tebu. Sebab, pemberian policasanol 10 mg per hari menunjukkan penurunan total kolesterol 17,5% dan DDL-kolesterol 21,8% namun tidak terjadi peningkatan pada kadar glukosa atau glikemik darah. Malah kadar HDL –Kolesterol meningkat 11,3%.

AntiDiabetes
Menurut dr. C.J. Soegiharjo Apt. dari fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, air perasan tebu memiliki efek anti diabetic. “Bila diminum Ia mampu mengatasi diabetes”paparnya ketika ia ditemui TRUBUS. Air tebu mengandung sakaran, senyawa anti diabetik. Sayangnya dalam pengolahan menjadi gula pasir, senyawa itu hilang saat proses pemanasan. Yang bertahan justru sakarosa, senyawa pencetus diabetes. Inilah yang membedakan air tebu dengan gula pasir.

Kandungan karbohidrat dalam tebu yang cukup banyak juga ternyata dapat bermanfaat baik untuk menjaga kesehatan otak , jantung, ginjal dan mata. Tentunya jika di konsumsi dalam bentuk segar alias belum di olah menjadi gula. Karena gula walaupun berbahan asal dari tebu jika di konsumsi terlalu banyak akan menyebabkan diabetes.

Tebu juga mengandung asam lemak yang memiliki efek anti radang dan analgetik. Ini dibuktikan dengan pemberian suatu campuran asam lemak yang diisolasi dari tebu kepada tikus. Tikus yang kesakitan setelah diletakkan diatas piring panas dan diberi asam asetat, menjadi tenang setelah minum larutan itu.

Secara tradisional masyarakat memang sudah memanfaatkan tebu sebagai antiracun, antiseptic, pengencer dahak dan obat lambung. Bahkan ia juga dipakai untuk mengobati kangker paru-paru, beberapa tumor, dan menyembuhkan luka. Gula tebu juga digunakan untuk pengobatan gonore dan gangguan vagina. Ampas tebu dipakai untuk menutup luka dan membalut patah tulang. Di India jus tebu menjadi obat untuk tumor dbagian perut. Jadi manfaat tebu tak hanya sebatas untuk bahan baku gula pasir saja. 


Sumber
Dunia Fitnes
TRUBUS



Aku beralih ke Gula Kelapa



Purbalingga-Banyumas adalah surganya gula kelapa atau gula merah, atau orang lokal menyebutnya dengan gula Jawa. Baru sedikit yang mampu mengungkap apa kelebihan gula Jawa ini. Sebagai wartawan aku seringkali ngobrol dengan Kasi UMKM Banyumas, bu Rozani Umdati, juga Kasi Industri hasil pertaniaan dan perkebunan pak Sugito. Mereka senada bahwa Gula kelapa memiliki kadar Glikemik rendah. Di Banyumas lebih canggih lagi. Mereka mengolah kembali tidak sekedar gula kelapa biasa, tapi gula kelapa kristal (seperti serbuk pada gambar disamping). 

Gula Kelapa Kristal nyaris mirip gula pasir, lebih awet dan kualitasnya semakin baik. Berikut beritaku:

KONSUMSI GULA KELAPA KRISTAL DINILAI LEBIH AMAN

PURWOKERTO- Banyumas sebagai produsen gula kelapa terbesar di dunia mengklaim bahwa gula kelapa kristal yang diproduksinya lebih aman untuk dikonsumsi. Khususnya untuk alasan kesehatan. Pemerintah Kabupaten Banyumas menghimbau agar masyarakat bisa beralih ke gula kelapa dibanding gula pasir.

Hal ini diungkapkan oleh Kasi Industri hasil pertanian dan perkebunan, Dinperindagkop kabupaten Banyumas, Sugito. Menurutnya gula kelapa dinilai lebih aman dikonsumsi untuk penderita penyakit diabetes. Terlebih lagi dengan munculnya produk gula kelapa kristal ini tentu bisa menggantikan gula pasir, khususnya untuk pemanis minuman.

"Setelah diteliti, gula kelapa kristal ini memiliki kandungan glikemik sekitar 35, dibandingkan gula pasir mencapai 100 atau lebih. Pastinya gula kelapa ini lebih aman, bahkan sangat aman sebagai pengganti pemanis gula pasir bagi orang yang menderita diabetes atau yang ingin mencegah dari penyakit tersebut," ungkap Sugito kepada Banyumas Ekspres (31/5) lalu.

Sugito juga mengungkapkan, bahwa gula kelapa juga meningkatkan hormon insulin sehingga justru bisa menurunkan kadar gula dalam darah. Beberapa merek lokal produk gula kelapa kristal kabupaten Banyumas umumnnya mencantumkan tulisan low glykemic. Melalui kelebihan gula kelapa ini, Sugito berharap masyarakat Banyumas sendiri juga turut mengkonsumsi produk lokal ini untuk memajukan industri lokal juga.

"Gula kelapa kristal dari Banyumas ini sudah tembus ekspor ke Korea, Amerika, Jepang, Singapura, Timur Tengah, Belanda dan Kanada. Banyumas menjadi produsen gula terbesar di dunia yang bisa memproduksi sebanyak 206 ton per hari. Purbalingga hanya sekitar 50 ton dan negara lain masih dibawah 10 ton," terang Gito. 

Selain untuk pembuatan gula kelapa kristal, masyarakat Banyumas juga menggunakannya sebagai bahan baku alkohol atau bioetanol. Disamping itu penghasil gula kelapa Kabupaten Banyumas juga menjadi pensuplai beberapa industri kecap ternama nasional. Gito mengklaim bahwa gula kelapa Banyumas ini memiliki kualitas terbaik, sehingga banyak pihak yang tertarik.(gan) 

Demikian aku mulai mengenal manfaat produk hasil kekayaan dua kotaku yang tercinta. Gula merah, akhir-akhir ini aku sering mengganti gula pada kopi hitam pekat ku menjadi gula Jawa. Semakin nikmat, semakin mantap menikmati pagi sebelum berangkat kerja. . . .

Tuesday, June 3, 2014

Bekal jika lepas nanti

Aku harus segera tentukan, kapan aku mulai berubah. Aku sedang tertidur lelap dengan pendapatan dan keringanan bekerja. Aku sedang tak merasa kekurangan. Tapi aku seperti sedang tidak berjalan maju.

Hari ini Imam seperti makan buah khuldi. Tadinya di Radarmas dia kebagian jadi wartawan komunitas, halaman rendezvous, sesuai dengan bakat dan minatnya. Tapi hari ini dia terpaksa alih profesi jadi wartawan SKPD seperti aku, gara gara satu bulan ini halaman rendezvous mau diisi seputar piala dunia. Hari ini kami liputan bareng.

Sedikit yang bisa ku korek dari dia hari ini. Imam sendiri pernah dengar ungkapan dari bos Feldi, bos dia, bosku juga. Kata dia koranku Banyumas Ekspres oplahnya sedang tinggi, tapi justru bikin Radarmas merugi. Semenjak BanPres muncul pendapatan Radarmas turun. Artinya anak kandung bikin merugi ibunya.

Bisa saja kami BanPres jadi pengganggu. Kemungkinan terburuknya Banpres bisa dimusnahkan oleh bos Feldi. Kami bisa dibubarkan, apalagi kami juga belum dikontrak, belum ada perjanjian atau kedisiplinan kerja. Rasanya mudah saja mereka lakukan itu. Aku perkirakan bom itu bisa meledak.

Rasanya aku harus banyak-banyak minum air, selagi aku masih menyelam. . .

Monday, June 2, 2014

Bulu Mata Purbalingga Menyihir Dunia

Senin, 2 Juni 2014 | 15:18 WIB
Oleh: Sri Rejeki & Gregorius Magnus Finesso



KOMPAS.com - Tak ada yang menyangkal lentik bulu mata bintang pop dunia seperti Madonna dan Katy Perry telah menyihir dunia. Begitu juga mata Olga Lydia dan gadis-gadis Cherrybelle. Kelentikan itu diproduksi di kota kecil Purbalingga, Jawa Tengah.

Bulu mata palsu, bagi presenter Olga Lydia, merupakan elemen penting penampilan. Tanpa bulu mata palsu, dia merasa ada sesuatu yang kurang. Olga mengenal bulu mata palsu sejak terjun ke dunia model. Bagi dia bulu mata palsu membantu meminimalkan kekurangannya.

”Bulu mata saya, kan, kurang banyak, jadi harus dibantu dengan menggunakan bulu mata palsu,” ujarnya.

Meski begitu, tidak mudah menemukan bulu mata palsu yang sesuai dengan keinginannya. Beberapa syarat bulu mata yang pas bagi Olga adalah ringan, nyaman dipakai, dan dapat digunakan dalam setiap kesempatan, baik siang maupun malam.

”Kadang memakai bulu mata palsu bisa membuat mata merah. Apalagi kadang ada yangsampai harus didobel-dobel segala pakainya, jadinya berat. Akibatnya, mata menjadi merah,” kata Olga.

Bulu mata palsu yang seperti itu sangat dihindari oleh Olga. Sebab, meski memakai bulu mata palsu, dia ingin tetap dapat membaca buku dengan durasi yang cukup lama. ”Kalau bulu matanya berat mau berlama-lama membaca jadi susah,” ujar Olga.

Begitu pula bagi presenter televisi Hilyani Hidranto, bulu mata merupakan elemen penting penampilan, terutama saat dia muncul di layar kaca. ”Bulu mata saya sudah cukup panjang, sih. Namun, jika untuk keperluan shooting, tetap perlu memakai bulu mata palsu. Jadi, kelihatannya lebih ngoook gitu. Maksudnya, lebih kelihatan di kamera,” ujar Pemenang Wajah Femina tahun 2007 ini seraya
terkekeh.

Menghidupi rakyat
Bulu mata palsu menghidupi ribuan warga Purbalingga. Salah satunya adalah Khotik (36). Ini adalah pekerjaan yang rumit. Saat ditemui Kompas, Kothik sedang mencabut tiga helai rambut dari kumpulan potongan rambut yang terbungkus kertas. Ia lalu menekuk ketiga helai rambut itu dan memegangnya dengan tangan kiri. Dengan bantuan alat di tangan kanannya, rambut itu dipasang pada seutas benang yang ujung-ujungnya terikat dengan paku. Dengan gerakan sigap, ketiga helai rambut itu sudah terikat dalam satu simpul di benang tersebut.

Gerakan-gerakan ini ia ulangi sambil mengatur jarak antarsimpul. Dalam jarak 1 sentimeter (cm), ia harus memasang 30 simpul rambut di benang. Total ia harus memenuhi jarak 3,3 cm dengan simpul-simpul rambut sebagai cikal bakal bulu mata. Pekerjaan yang terkesan sederhana, tetapi sebenarnya tidak mudah dilakukan, terutama bagi pekerja baru.

Ini baru satu tahap. Ada lebih dari 10 tahapan untuk membuat sepasang bulu mata, mulai dari membersihkan rambut, menyortir, mewarnai, menautkan, memotong, melentikkan, membentuk, hingga mengepak. Sebagian besar dikerjakan oleh perempuan, baik di pabrik maupun rumah-rumah dalam konsep plasma yang tersebar di Purbalingga.

Siti (45), warga Desa Limbangan, Kecamatan Kutasari, kebagian pekerjaan menggunting bakal bulu mata. Simpul-simpul yang telah tersusun kemudian dibentuk dengan cara menggunting satu demi satu helai rambut.
Misalnya, jika dalam satu simpul terdiri atas lima helai, Siti akan menggunting helai pertama dan kelima seperempat helai teratas yang panjangnya 1 cm. Helai kedua dan kelima dipotong separuhnya. Helai ketiga dibiarkan. Ada ratusan model dan bentuk dalam dunia bulu mata palsu.

Upah
Khotik, yang tinggal di Desa Pengadegan, Kecamatan Pengadegan, mendapat upah Rp 333 untuk setiap bulu mata yang dibuatnya, sementara Siti menerima upah Rp 285 per buah. Ini jika pekerjaan keduanya dianggap sempurna. Jika tidak, bulu mata harus diperbaiki atau mereka tidak dibayar.

Jika tingkat kesulitan lebih tinggi, pekerjaannya dihargai sedikit lebih mahal. Namun, bukan berarti keduanya lalu giat mengejar setoran.

”Kalau dulu bisa kerja sampai pukul 22.00, sekarang mblenger, empat jam juga sudah berhenti,” kata Khotik yang mulai membuat bulu mata sejak 18 tahun lalu.

Ada ribuan perempuan lain di Purbalingga yang menggerakkan ro da usaha bulu mata, baikskala rumahan maupun pabrik. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Purbalingga mencatat, ada 33 industri bulu mata palsu di Purbalingga dengan 18 industri di antaranya adalah usaha penanaman modal asing. Ini ditambah ratusan plasma yang bekerja sama dengan industri besar. Tidak kurang 50.000 tenaga kerja lokal terserap ke sektor ini.

”Bicara bulu mata, hampir semua yang beredar di Amerika Serikat, Eropa, hingga Afrika berasal dari Purbalingga meski kemudian diberi merek oleh perusahaan rekanan di sana,” ujar Audrie Sukoco, Presiden

Direktur PT Bintang Mas Triyasa (BMT), pabrik bulu mata di Kelurahan Mewek, Kecamatan Purbalingga.
Tidak heran jika produk bulu mata tiruan dari Purbalingga tidak hanya dipakai selebritas Indonesia, tetapi juga artis-artis Hollywood, mulai dari generasi Madonna hingga Katy Perry. Artis yang terakhir ini menggunakan produk Eyelure, varian produk PT Royal Korindah, perusahaan bulu mata tertua di Purbalingga.

Banyak produsen kecantikan dunia juga menggunakan produk yang dihasilkan tangan-tangan cekatan perempuan Purbalingga, di antaranya L’Oréal, Shu Uemura, MAC, Kiss, Make Up For Ever, dan Maybelline. Industri bulu mata di Purbalingga disebut-sebut hanya kalah besar dari industri sejenis di Guangzhou, Tiongkok.


Namun, untuk bulu mata berbahan baku rambut manusia, menurut sepengetahuan pemilik pabrik bulu mata PT Shinhan Creatindo, Yuni Susanawati, produk jenis itu hanya dihasilkan oleh Indonesia.Tiongkok hanya memproduksi bulu mata tiruan sintetis.

Demikian pula produsen lain seperti Vietnam. Dalam sebulan, rata-rata 10 juta pasang bulu mata tiruan dari Purbalingga dikirim ke seluruh penjuru dunia, seperti tercatat pada 2010. Nilai ekspornya pada tahun itu mencapai Rp 851,01 miliar. Kebutuhan pasar luar negeri sangat besar karena penggunaan bulu mata di
sana menjadi kebutuhan sehari-hari.

Sayangnya, di dalam negeri pasar bulu mata belum begitu berkembang. Ini salah satu alasan BMT membangun merek sendiri dan menggandeng sejumlah artis terkemuka sebagai duta produknya, seperti Olga Lidya, Syahrini, dan Cherrybelle. Mereka ingin mengedukasi masyarakat tentang penggunaan bulu mata.

Meski demikian, pendapatan utama BMT masih berasal dari ekspor ke sejumlah negara yangmencapai satu juta pasang per bulan. Semuanya dalam kemasan tanpa merek. Hal itu dilakukan hampir semua perusahaan lain.

Industri
Industri bulu mata mulai muncul di Purbalingga dengan kehadiran PT Royal Korindah (dulu Royal Kenny) pada 1967. Sang pemilik usaha, Hyung Sang Lee, memindahkan usaha bulu mata dari negaranya, Korea Selatan (Korsel), karena semakin ketatnya persaingan dan sulitnya mencari tenaga terampil.

Kesuksesan Royal Korindah diikuti berdirinya pabrik-pabrik baru yang dimiliki pengusahaKorsel lainnya. Pendirian itu mengajak mitra yang di kemudian hari membuka usaha sendiri. Pada tahun 2000-an, perusahaan lokal mulai berdiri.

”Pada tahun 1970-an, Purbalingga sudah dikenal dengan kerajinan berbahan baku rambut, seperti rambut sanggul. Selain itu, orang di sini juga dikenal tekun, sabar, teliti, dan terampil,” kata Budi Wibowo (54), pengusaha bulu mata lokal.

Uniknya, meski bulu mata palsu Purbalingga telah mendunia, para perempuan pembuatnya belum tentu ikut memakainya. Bahkan, tidak sedikit yang tidak mengetahui wujud jadi bulu mata tiruan. ”Jangankan pakai bulu mata palsu, lihat jadinya saja belum pernah,” kata Khotik terkikik. (DOE)

Editor: Erlangga Djumena
Sumber: bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/02/1518008/Bulu.Mata.Purbalingga.Menyihir.Dunia

Sunday, June 1, 2014

Berburu Harta Karun Makam Peru

Satu makam kerajaan luput dari penjarah, tersembunyi lebih dari 1.000 tahun


OLEH HEATHER PRINGLE
FOTO OLEH ROBERT CLARK

Dalam cahaya senja di pantai Peru, arkeolog Miłosz Giersz dan Roberto Pimentel Nita membuka sederet ruangan kecil tertutup di dekat sebuah makam kuno. Tersembunyi selama seribu tahun lebih di balik selapis batu bata berat, ruang-ruang kecil ini berisi kendi keramik. Ada yang berlukisan kadal, ada yang bergambar muka manusia menyeringai.

Giersz meringis. “Bau sekali di sini,” katanya. Dia mengintip ke dalam guci besar tak berhias. Guci itu penuh puparium busuk, sisa-sisa lalat yang dulu terpikat pada isi guci. Arkeolog itu mundur dan berdiri, menepiskan debu 1.200 tahun dari celananya. Selama tiga tahun menggali di situs ini, yang disebut El Castillo de Huarmey, Giersz menjumpai ekosistem kematian yang tak terduga—dari sisa serangga yang dulu makan daging manusia, ular yang bergelung dan mati di dasar guci, hingga lebah madu afrikanisasi yang bergerombol keluar.

Dulu banyak orang memperingatkan Giersz bahwa menggali reruntuhan El Castillo itu sulit, dan hampir pasti hanya membuang-buang waktu dan uang. Selama setidaknya seabad, pen­­jarah membuat terowongan ke dalam lereng bukit besar ini. Mereka mencari kuburan yang berisi tulang-belulang kuno yang dihiasi emas, dan dibalut selimut tenun terindah sepanjang sejarah. Bukit yang terletak empat jam berkendara di sebelah utara Lima itu bagaikan perpaduan antara permukaan bulan dan tempat pembuangan sampah—berlubang-lubang, tulang-belulang manusia kuno berserakan, sampah modern dan kain rombeng bertebaran. Penjarah biasanya membuang pakaian sebelum pulang, takut membawa penyakit dari mayat kepada keluarga mereka.

Tetapi Giersz, si eksentrik ramah berusia 36 tahun yang mengajar arkeologi Andes di Uniwersytet Warszawski, bertekad tetap meng­gali di sana. Ada peristiwa penting yang terjadi di El Castillo 1.200 tahun silam, Giersz yakin sekali. Di lerengnya bertebaran serpih tekstil dan tembikar pecah dari peradaban Wari di Peru, peradaban yang tidak terlalu dikenal, yang pusat wilayahnya terletak jauh ke selatan. Jadi, Giersz dan tim penelitian kecilnya mulai membuat citra bawah tanah dengan magnetometer, dan me­ngambil foto udara dengan kamera pada layangan. Hasilnya mengungkapkan sesuatu yang luput dari sekian generasi penjarah kuburan: batas samar tembok terkubur yang merentang di sepanjang bukit selatan berbatu.

Giersz dan tim Polandia-Peru pun meng­ajukan izin untuk mulai menggali. Batas samar itu ternyata merupakan labirin raksasa menara dan tembok tinggi yang terhampar di seluruh ujung selatan El Castillo. Dulu dicat merah terang, kompleks luas itu tampaknya merupakan kuil Wari untuk penyembahan leluhur. Saat menggali di bawah lapisan batu bata trapezoid berat pada musim gugur 2012, tim itu menemukan sesuatu yang tidak pernah diduga para arkeolog Andes: kuburan kerajaan yang belum dijarah. Di dalamnya terkubur empat ratu atau putri Wari, setidaknya 54 bangsa­wan lain, dan lebih dari seribu benda Wari elite, dari hiasan telinga emas besar hingga mangkok perak dan kapak aloi-tembaga, semuanya bermutu tinggi.

“Ini salah satu penemuan terpenting dalam beberapa tahun terakhir,” kata Cecilia Pardo Grau, kurator seni pra-Columbus di Museo de Arte de Lima. Sementara Giersz dan timnya terus menggali dan menjelajahi situs itu, analisis tentang temuannya mengungkapkan informasi baru tentang bangsa Wari dan kelas penguasa mereka yang kaya.

Bangsa Wari, yang mulai muncul di Lembah Ayacucho di Peru pada abad ketujuh, meraih kejayaan jauh sebelum bangsa Inca, pada masa yang berulang kali dilanda kekeringan dan krisis lingkungan. Mereka menjadi insinyur piawai, mem­bangun akuaduk dan sistem kanal rumit untuk mengairi ladang teras siring. Di dekat kota modern Ayacucho mereka mendirikan ibu kota yang luas, yang kini disebut Huari. Pada puncaknya, Huari berpenduduk hingga 40.000 jiwa—kota yang lebih besar daripada Paris pada masa itu, yang penduduknya tak lebih dari 20.000 jiwa. Dari ibu kota ini, para penguasa Wari memperluas wilayah ratusan kilometer di sepanjang Pegunungan Andes dan memasuki gurun pantai, membentuk yang disebut banyak arkeolog sebagai kerajaan pertama di Amerika Selatan Andes.

Para peneliti sudah lama penasaran, bagai­mana persisnya bangsa Wari membangun dan me­merintah kerajaan yang luas dan sulit diatur ini, apakah melalui perang atau diplomasi, atau perpaduan keduanya. Tidak seperti banyak ke­kaisaran lain, bangsa Wari tidak memiliki sistem tulisan dan tidak meninggalkan sejarah tertulis. Tetapi, temuan melimpah di El Castillo, yang terletak sekitar 850 kilometer dari ibu kota bangsa Wari, menjelaskan banyak hal.

Bangsa penyerbu asing ini mungkin mulai muncul di pantai bagian ini sekitar akhir abad kedelapan. Wilayah ini terletak di perbatasan selatan para penguasa Moche yang kaya, dan tampaknya tidak memiliki pemimpin lokal yang kuat. Tidak diketahui bagaimana persis­nya bangsa penyerbu ini melancarkan serangan, tetapi cawan ritual penting yang ditemukan di makam kerajaan El Castillo menggambarkan tentara Wari bersenjatakan tombak-kapak me­lawan tentara pembela pesisir yang meng­gunakan pengumban lembing. Setelah perang usai, bangsa Wari memegang kendali penuh. Penguasa baru ini membangun istana di kaki El Castillo, dan seiring waktu dia dan para penerusnya mulai mengubah bukit terjal di atasnya menjadi kuil menjulang untuk menyembah leluhur.

Terselimuti bebatuan dan tanah yang dibawa angin selama hampir seribu tahun, El Castillo kini mirip piramida berundak raksasa, monumen yang dibangun dari bawah ke atas. Namun, sejak awal Giersz menduga bahwa El Castillo tidak sesederhana itu. Untuk mengetahui denah bangunan, dia mengundang tim pakar arsitektur untuk mempelajari tangga dan tembok yang baru tersingkap. Kajian mereka mengungkapkan hal yang sudah diduga Giersz—bahwa insinyur Wari memulai pembangunan di puncak El Castillo, yang merupakan formasi batu alami, baru kemudian pembangunan dilakukan makin lama makin menuruni lereng.

Di sepanjang puncak El Castillo, para pem­bangun mula-mula membuat ruang bawah tanah yang kemudian menjadi makam ke­rajaan. Setelah makam itu siap ditutup, buruh menuangkan 30 ton kerakal dan menutup se­luruh ruangan itu dengan selapis batu bata berat. Lalu, mereka mendirikan menara ma­kam di atasnya, dengan tembok merah terang yang terlihat dari kejauhan.

Kaum elite Wari meninggalkan sesajen me­wah di ruang-ruang kecil di dalam, dari tekstil tenun halus yang dihargai bangsa-bangsa Andes kuno lebih dari emas, hingga tali simpul yang disebut khipu, digunakan untuk mencatat harta benda kerajaan. Mereka juga meninggalkan anggota tubuh rajawali Andes, burung yang berkaitan erat dengan aristokrasi Wari. Di tengah menara terdapat ruangan yang berisi singgasana. Belakangan, para penjarah melapor kepada seorang arkeolog Jerman bahwa mereka menemukan mumi yang tersusun di relung-relung tembok di sana. “Kami cukup yakin ruangan ini dulu digunakan untuk me­nyembah leluhur,” kata Giersz. Bahkan mungkin digunakan untuk menyembah mumi sang kaisar, yang belum ditemukan oleh tim.

Para bangsawan mematok tempat di puncak untuk makam mereka sendiri. Setelah semua tempat di sana habis, mereka memperluas lahan permakaman, dengan membangun teras bertingkat di lereng El Castillo hingga ke kaki bukit, lalu memenuhinya dengan menara dan makam. Begitu pentingnya El Castillo bagi bangsa­wan Wari, kata Giersz, sehingga mereka “memanfaatkan semua pekerja lokal yang ada.” Pada semen kering di banyak tembok yang baru tersingkap, terdapat jejak tangan manusia, sebagian dibuat oleh anak-anak 11-12 tahun.

Ketika pembangunan berakhir, mungkin antara tahun 900 dan 1000, El Castillo me­nyampai­kan pesan politik yang dahsyat kepada orang hidup: Bangsa penyerbu Wari kini adalah penguasa yang sah.

Di dalam ruangan kecil bertembok, Wiesław Więckowski membungkuk di atas lengan manusia mumi, menyapu pasir dari jemari­nya yang kurus. Sudah hampir satu jam ahli bioarkeologi dari Uniwersytet War­szawski itu membersihkan ruangan bagian ini, mengumpulkan serpih dari selubung pe­makaman Wari dan mencari bagian lain jenazah itu. Saat menyodokkan tepi sekop ke sudut ruangan, dia menyingkapkan bagian tulang paha manusia yang tersangkut di tembok. Więckowski merengut. Dia menjelaskan, mungkin ada penjarah yang mencoba menarik keluar mumi dari ruangan sebelah, tetapi mumi itu malah tercerai-berai. “Yang kita ketahui hanyalah bahwa mumi itu lelaki dan cukup tua.”

Sebagai spesialis yang mempelajari jasad manusia, Więckowski sudah mulai menganalisis tulang-belulang semua orang yang ditemukan di dalam dan di dekat makam kerajaan. Jaringan lunak manusia di dalam ruangan tertutup itu tidak terawetkan dengan baik, kata Więckowski, tetapi kajiannya mulai menghasilkan perincian penting tentang kehidupan dan kematian para perempuan bangsawan ini serta penjaganya.

Hampir semua orang yang dimakamkan di dalam ruangan adalah perempuan, anak dan dewasa, yang tampaknya meninggal dalam masa beberapa bulan, kemungkinan besar akibat sakit atau tua. Petugas pemakaman mendandani mereka dengan tunik dan selendang tenun mewah, merias wajah dengan pigmen merah keramat, dan mempersolek mereka dengan per­hiasan berharga, dari ornamen telinga emas hingga kalung manik kristal yang indah. Lalu, petugas mengatur jenazah dalam posisi duduk bercangkung yang lazim di tengah bangsa Wari, dan membungkus setiap jenazah dalam kain besar, membentuk selubung pemakaman.

Derajat sosial mereka, kata Więckowski, tetap penting setelah mati, seperti semasa hidupnya. Petugas meletakkan perempuan berderajat ter­tinggi—mungkin ratu atau putri raja—di tiga ruangan-samping pribadi di dalam makam. Sosok terpenting, perempuan sekitar 60 tahun, terbujur dikelilingi oleh kemewahan langka, dari beberapa pasang ornamen telinga hingga kapak ritual perunggu dan cawan perak. Para arkeolog terpukau oleh kekayaannya dan aksi pamer ke­mewahannya. “Apa pekerjaan perempuan ini?” Makowski merenung.

Di luarnya, di area umum yang luas, petugas mengatur para perempuan bangsawan yang lebih rendah derajatnya di sepanjang tembok. Di samping setiap jenazah, dengan sedikit pe­ngecualian, mereka meletakkan wadah yang ukuran dan bentuknya mirip kotak sepatu. Terbuat dari potongan rumput, wadah itu berisi semua keperluan alat tenun untuk membuat kain bermutu tinggi. Kaum perempuan Wari mahir menenun, meng­hasilkan kain bak permadani dengan jumlah benang lebih banyak daripada kain buatan penenun Flandria dan Belanda pada abad ke-16.

Setelah ruangan siap ditutup, petugas mem­bawa sesajen terakhir menaiki lereng El Castillo: kurban manusia. Seluruhnya enam orang, tiga anak dan tiga dewasa muda. Menurut Więckowski, para kurban ini mungkin anak-anak kaum bangsawan yang ditaklukkan. “Kalau kita penguasa dan ingin orang mem­buktikan kesetiaan pada garis keturunan kita, ambil anak mereka,” katanya. Petugas me­lempar­kan jasadnya ke dalam makam. Lalu, mereka me­nutup ruangan itu, meletakkan ja­sad seorang lelaki dewasa muda yang masih ga­gah dan seorang perempuan tua—keduanya ter­bungkus—di pintu masuk sebagai penjaga. Kaki kiri kedua jasad itu dibuntungkan, mungkin untuk memastikan agar mereka tidak bisa meninggalkan tugasnya.

Więckowski sedang menunggu hasil analisis DNA dan uji isotop untuk menimba informasi lebih jauh tentang para perempuan di dalam makam dan kemungkinan asal mereka. Tetapi, bagi Giersz, bukti-bukti mulai membentuk gambar terperinci tentang serangan bangsa Wari ke pantai utara. “Kenyataan bahwa mereka membangun kuil penting di sini, di wilayah penting di bekas perbatasan dengan bangsa Moche, menyiratkan bahwa bangsa Wari menaklukkan wilayah ini dan berniat menetap.”

Di Museo de Arte de Lima, para arkeolog El Castillo berseri-seri saat memeriksa be­berapa temuan yang baru dibersihkan. Sudah berminggu-minggu para konservator mengelupas noda hitam tebal yang melapisi banyak artefak logam, menampakkan corak yang berkilauan. Terlindung dalam tisu, ter­dapat tiga ornamen telinga emas, masing-masing kira-kira sebesar kenop pintu dan ber­gambar dewa bersayap atau makhluk mitos. Anggota tim Patrycja Prządka-Giersz, arkeolog Uniwersytet Warszawski yang juga istri Giersz, mengamatinya dengan senang. Hiasan ini, katanya, “semua berbeda-beda, dan baru dapat dilihat setelah proses konservasi.”

Saat mengintip ke dalam kotak kardus besar di atas meja, Giersz menemukan salah satu temuan utama tim: buli-buli keramik. Dilukis dan dihiasi meriah, buli-buli ini menggambarkan penguasa Wari yang berpakaian mewah dan naik rakit dari kayu balsa, mengarungi perairan pantai yang penuh paus dan makhluk laut lain. Buli-buli berusia 1.200 tahun itu tampaknya melukiskan suatu peristiwa—setengah mitos, setengah nyata—dalam sejarah pantai utara, yaitu kedatangan seorang penguasa Wari yang penting, mungkin bahkan kaisar Wari sendiri. “Jadi, kami mulai menyusun cerita tentang kaisar Wari yang melaut naik rakit,” kata Makowski, “kaisar yang mangkat di pantai Huarmey, ditemani istri-istrinya.”

Untuk sementara, ini hanya cerita, tebakan arkeo­logis berdasarkan informasi yang ada. Tetapi, Giersz masih berpikiran bahwa mungkin, di tengah labirin tembok dan ruangan bawah tanah itu, terdapat makam seorang penguasa besar Wari. Dan jika para penjarah belum men­dahuluinya, dia bertekad menemukannya.

Sumber: National Geographic Edisi Juni 2014

Lupa, Lepas, Liku

Dibuat cemas setengah mati, ketika hp ku tiba-tiba mati saat dicaz. Ku hidupkan lagi tak bisa. Aku sudah membayangkan berapa tarif yang harus ku bayar tuk perbaiki. Berapa hari yang harus aku lewati tanpa internet, tanpa andriod di genggaman. Berapa hari aku lost contact dengan teman-teman wartawan di Bbm. Berapa hari aku vakum curhat dengan mba Iin. Berapa hari aku harus berhenti dengan kehidupan yang sudah high level information. Jiwaku mungkin terganggu seperti caleg gagal.

Aku bersyukur hp ku bisa menyala lagi. Tadinya aku mengira ada hardware rusak karena aku terlalu memaksa pakai jaringan WCDMA only berlarut larut untuk mendownload bermega-mega byte. Akibatnya overheat. Aku masih bisa bernafas lega, kau hidup lagi motorola defy ku.

Akhir-akhir ini aku seperti selalu lepas kendali. Aku tak kenal belas kasihan dengan defy ku ini sampai terlampau panas, nyaris rusak. Nafsuku tak kenal ampun. Sepertinya lebih baik mati daripada dikebiri.

Aku seperti sudah lupa apa yang telah aku perjuangkan dulu, karena kini sudah ku raih. Lupa bersyukur. Hari inikah titik puncaknya. Aku ingin ada titik balik dari semua ini. Aku ingin sedamai dulu. Tanpa harus aku kehilangan apa yang telah ku raih.

Aku banyak kehilangan waktu untuk berdamai, menyedihkan. . . .