Sunday, June 1, 2014

Berburu Harta Karun Makam Peru

Satu makam kerajaan luput dari penjarah, tersembunyi lebih dari 1.000 tahun


OLEH HEATHER PRINGLE
FOTO OLEH ROBERT CLARK

Dalam cahaya senja di pantai Peru, arkeolog Miłosz Giersz dan Roberto Pimentel Nita membuka sederet ruangan kecil tertutup di dekat sebuah makam kuno. Tersembunyi selama seribu tahun lebih di balik selapis batu bata berat, ruang-ruang kecil ini berisi kendi keramik. Ada yang berlukisan kadal, ada yang bergambar muka manusia menyeringai.

Giersz meringis. “Bau sekali di sini,” katanya. Dia mengintip ke dalam guci besar tak berhias. Guci itu penuh puparium busuk, sisa-sisa lalat yang dulu terpikat pada isi guci. Arkeolog itu mundur dan berdiri, menepiskan debu 1.200 tahun dari celananya. Selama tiga tahun menggali di situs ini, yang disebut El Castillo de Huarmey, Giersz menjumpai ekosistem kematian yang tak terduga—dari sisa serangga yang dulu makan daging manusia, ular yang bergelung dan mati di dasar guci, hingga lebah madu afrikanisasi yang bergerombol keluar.

Dulu banyak orang memperingatkan Giersz bahwa menggali reruntuhan El Castillo itu sulit, dan hampir pasti hanya membuang-buang waktu dan uang. Selama setidaknya seabad, pen­­jarah membuat terowongan ke dalam lereng bukit besar ini. Mereka mencari kuburan yang berisi tulang-belulang kuno yang dihiasi emas, dan dibalut selimut tenun terindah sepanjang sejarah. Bukit yang terletak empat jam berkendara di sebelah utara Lima itu bagaikan perpaduan antara permukaan bulan dan tempat pembuangan sampah—berlubang-lubang, tulang-belulang manusia kuno berserakan, sampah modern dan kain rombeng bertebaran. Penjarah biasanya membuang pakaian sebelum pulang, takut membawa penyakit dari mayat kepada keluarga mereka.

Tetapi Giersz, si eksentrik ramah berusia 36 tahun yang mengajar arkeologi Andes di Uniwersytet Warszawski, bertekad tetap meng­gali di sana. Ada peristiwa penting yang terjadi di El Castillo 1.200 tahun silam, Giersz yakin sekali. Di lerengnya bertebaran serpih tekstil dan tembikar pecah dari peradaban Wari di Peru, peradaban yang tidak terlalu dikenal, yang pusat wilayahnya terletak jauh ke selatan. Jadi, Giersz dan tim penelitian kecilnya mulai membuat citra bawah tanah dengan magnetometer, dan me­ngambil foto udara dengan kamera pada layangan. Hasilnya mengungkapkan sesuatu yang luput dari sekian generasi penjarah kuburan: batas samar tembok terkubur yang merentang di sepanjang bukit selatan berbatu.

Giersz dan tim Polandia-Peru pun meng­ajukan izin untuk mulai menggali. Batas samar itu ternyata merupakan labirin raksasa menara dan tembok tinggi yang terhampar di seluruh ujung selatan El Castillo. Dulu dicat merah terang, kompleks luas itu tampaknya merupakan kuil Wari untuk penyembahan leluhur. Saat menggali di bawah lapisan batu bata trapezoid berat pada musim gugur 2012, tim itu menemukan sesuatu yang tidak pernah diduga para arkeolog Andes: kuburan kerajaan yang belum dijarah. Di dalamnya terkubur empat ratu atau putri Wari, setidaknya 54 bangsa­wan lain, dan lebih dari seribu benda Wari elite, dari hiasan telinga emas besar hingga mangkok perak dan kapak aloi-tembaga, semuanya bermutu tinggi.

“Ini salah satu penemuan terpenting dalam beberapa tahun terakhir,” kata Cecilia Pardo Grau, kurator seni pra-Columbus di Museo de Arte de Lima. Sementara Giersz dan timnya terus menggali dan menjelajahi situs itu, analisis tentang temuannya mengungkapkan informasi baru tentang bangsa Wari dan kelas penguasa mereka yang kaya.

Bangsa Wari, yang mulai muncul di Lembah Ayacucho di Peru pada abad ketujuh, meraih kejayaan jauh sebelum bangsa Inca, pada masa yang berulang kali dilanda kekeringan dan krisis lingkungan. Mereka menjadi insinyur piawai, mem­bangun akuaduk dan sistem kanal rumit untuk mengairi ladang teras siring. Di dekat kota modern Ayacucho mereka mendirikan ibu kota yang luas, yang kini disebut Huari. Pada puncaknya, Huari berpenduduk hingga 40.000 jiwa—kota yang lebih besar daripada Paris pada masa itu, yang penduduknya tak lebih dari 20.000 jiwa. Dari ibu kota ini, para penguasa Wari memperluas wilayah ratusan kilometer di sepanjang Pegunungan Andes dan memasuki gurun pantai, membentuk yang disebut banyak arkeolog sebagai kerajaan pertama di Amerika Selatan Andes.

Para peneliti sudah lama penasaran, bagai­mana persisnya bangsa Wari membangun dan me­merintah kerajaan yang luas dan sulit diatur ini, apakah melalui perang atau diplomasi, atau perpaduan keduanya. Tidak seperti banyak ke­kaisaran lain, bangsa Wari tidak memiliki sistem tulisan dan tidak meninggalkan sejarah tertulis. Tetapi, temuan melimpah di El Castillo, yang terletak sekitar 850 kilometer dari ibu kota bangsa Wari, menjelaskan banyak hal.

Bangsa penyerbu asing ini mungkin mulai muncul di pantai bagian ini sekitar akhir abad kedelapan. Wilayah ini terletak di perbatasan selatan para penguasa Moche yang kaya, dan tampaknya tidak memiliki pemimpin lokal yang kuat. Tidak diketahui bagaimana persis­nya bangsa penyerbu ini melancarkan serangan, tetapi cawan ritual penting yang ditemukan di makam kerajaan El Castillo menggambarkan tentara Wari bersenjatakan tombak-kapak me­lawan tentara pembela pesisir yang meng­gunakan pengumban lembing. Setelah perang usai, bangsa Wari memegang kendali penuh. Penguasa baru ini membangun istana di kaki El Castillo, dan seiring waktu dia dan para penerusnya mulai mengubah bukit terjal di atasnya menjadi kuil menjulang untuk menyembah leluhur.

Terselimuti bebatuan dan tanah yang dibawa angin selama hampir seribu tahun, El Castillo kini mirip piramida berundak raksasa, monumen yang dibangun dari bawah ke atas. Namun, sejak awal Giersz menduga bahwa El Castillo tidak sesederhana itu. Untuk mengetahui denah bangunan, dia mengundang tim pakar arsitektur untuk mempelajari tangga dan tembok yang baru tersingkap. Kajian mereka mengungkapkan hal yang sudah diduga Giersz—bahwa insinyur Wari memulai pembangunan di puncak El Castillo, yang merupakan formasi batu alami, baru kemudian pembangunan dilakukan makin lama makin menuruni lereng.

Di sepanjang puncak El Castillo, para pem­bangun mula-mula membuat ruang bawah tanah yang kemudian menjadi makam ke­rajaan. Setelah makam itu siap ditutup, buruh menuangkan 30 ton kerakal dan menutup se­luruh ruangan itu dengan selapis batu bata berat. Lalu, mereka mendirikan menara ma­kam di atasnya, dengan tembok merah terang yang terlihat dari kejauhan.

Kaum elite Wari meninggalkan sesajen me­wah di ruang-ruang kecil di dalam, dari tekstil tenun halus yang dihargai bangsa-bangsa Andes kuno lebih dari emas, hingga tali simpul yang disebut khipu, digunakan untuk mencatat harta benda kerajaan. Mereka juga meninggalkan anggota tubuh rajawali Andes, burung yang berkaitan erat dengan aristokrasi Wari. Di tengah menara terdapat ruangan yang berisi singgasana. Belakangan, para penjarah melapor kepada seorang arkeolog Jerman bahwa mereka menemukan mumi yang tersusun di relung-relung tembok di sana. “Kami cukup yakin ruangan ini dulu digunakan untuk me­nyembah leluhur,” kata Giersz. Bahkan mungkin digunakan untuk menyembah mumi sang kaisar, yang belum ditemukan oleh tim.

Para bangsawan mematok tempat di puncak untuk makam mereka sendiri. Setelah semua tempat di sana habis, mereka memperluas lahan permakaman, dengan membangun teras bertingkat di lereng El Castillo hingga ke kaki bukit, lalu memenuhinya dengan menara dan makam. Begitu pentingnya El Castillo bagi bangsa­wan Wari, kata Giersz, sehingga mereka “memanfaatkan semua pekerja lokal yang ada.” Pada semen kering di banyak tembok yang baru tersingkap, terdapat jejak tangan manusia, sebagian dibuat oleh anak-anak 11-12 tahun.

Ketika pembangunan berakhir, mungkin antara tahun 900 dan 1000, El Castillo me­nyampai­kan pesan politik yang dahsyat kepada orang hidup: Bangsa penyerbu Wari kini adalah penguasa yang sah.

Di dalam ruangan kecil bertembok, Wiesław Więckowski membungkuk di atas lengan manusia mumi, menyapu pasir dari jemari­nya yang kurus. Sudah hampir satu jam ahli bioarkeologi dari Uniwersytet War­szawski itu membersihkan ruangan bagian ini, mengumpulkan serpih dari selubung pe­makaman Wari dan mencari bagian lain jenazah itu. Saat menyodokkan tepi sekop ke sudut ruangan, dia menyingkapkan bagian tulang paha manusia yang tersangkut di tembok. Więckowski merengut. Dia menjelaskan, mungkin ada penjarah yang mencoba menarik keluar mumi dari ruangan sebelah, tetapi mumi itu malah tercerai-berai. “Yang kita ketahui hanyalah bahwa mumi itu lelaki dan cukup tua.”

Sebagai spesialis yang mempelajari jasad manusia, Więckowski sudah mulai menganalisis tulang-belulang semua orang yang ditemukan di dalam dan di dekat makam kerajaan. Jaringan lunak manusia di dalam ruangan tertutup itu tidak terawetkan dengan baik, kata Więckowski, tetapi kajiannya mulai menghasilkan perincian penting tentang kehidupan dan kematian para perempuan bangsawan ini serta penjaganya.

Hampir semua orang yang dimakamkan di dalam ruangan adalah perempuan, anak dan dewasa, yang tampaknya meninggal dalam masa beberapa bulan, kemungkinan besar akibat sakit atau tua. Petugas pemakaman mendandani mereka dengan tunik dan selendang tenun mewah, merias wajah dengan pigmen merah keramat, dan mempersolek mereka dengan per­hiasan berharga, dari ornamen telinga emas hingga kalung manik kristal yang indah. Lalu, petugas mengatur jenazah dalam posisi duduk bercangkung yang lazim di tengah bangsa Wari, dan membungkus setiap jenazah dalam kain besar, membentuk selubung pemakaman.

Derajat sosial mereka, kata Więckowski, tetap penting setelah mati, seperti semasa hidupnya. Petugas meletakkan perempuan berderajat ter­tinggi—mungkin ratu atau putri raja—di tiga ruangan-samping pribadi di dalam makam. Sosok terpenting, perempuan sekitar 60 tahun, terbujur dikelilingi oleh kemewahan langka, dari beberapa pasang ornamen telinga hingga kapak ritual perunggu dan cawan perak. Para arkeolog terpukau oleh kekayaannya dan aksi pamer ke­mewahannya. “Apa pekerjaan perempuan ini?” Makowski merenung.

Di luarnya, di area umum yang luas, petugas mengatur para perempuan bangsawan yang lebih rendah derajatnya di sepanjang tembok. Di samping setiap jenazah, dengan sedikit pe­ngecualian, mereka meletakkan wadah yang ukuran dan bentuknya mirip kotak sepatu. Terbuat dari potongan rumput, wadah itu berisi semua keperluan alat tenun untuk membuat kain bermutu tinggi. Kaum perempuan Wari mahir menenun, meng­hasilkan kain bak permadani dengan jumlah benang lebih banyak daripada kain buatan penenun Flandria dan Belanda pada abad ke-16.

Setelah ruangan siap ditutup, petugas mem­bawa sesajen terakhir menaiki lereng El Castillo: kurban manusia. Seluruhnya enam orang, tiga anak dan tiga dewasa muda. Menurut Więckowski, para kurban ini mungkin anak-anak kaum bangsawan yang ditaklukkan. “Kalau kita penguasa dan ingin orang mem­buktikan kesetiaan pada garis keturunan kita, ambil anak mereka,” katanya. Petugas me­lempar­kan jasadnya ke dalam makam. Lalu, mereka me­nutup ruangan itu, meletakkan ja­sad seorang lelaki dewasa muda yang masih ga­gah dan seorang perempuan tua—keduanya ter­bungkus—di pintu masuk sebagai penjaga. Kaki kiri kedua jasad itu dibuntungkan, mungkin untuk memastikan agar mereka tidak bisa meninggalkan tugasnya.

Więckowski sedang menunggu hasil analisis DNA dan uji isotop untuk menimba informasi lebih jauh tentang para perempuan di dalam makam dan kemungkinan asal mereka. Tetapi, bagi Giersz, bukti-bukti mulai membentuk gambar terperinci tentang serangan bangsa Wari ke pantai utara. “Kenyataan bahwa mereka membangun kuil penting di sini, di wilayah penting di bekas perbatasan dengan bangsa Moche, menyiratkan bahwa bangsa Wari menaklukkan wilayah ini dan berniat menetap.”

Di Museo de Arte de Lima, para arkeolog El Castillo berseri-seri saat memeriksa be­berapa temuan yang baru dibersihkan. Sudah berminggu-minggu para konservator mengelupas noda hitam tebal yang melapisi banyak artefak logam, menampakkan corak yang berkilauan. Terlindung dalam tisu, ter­dapat tiga ornamen telinga emas, masing-masing kira-kira sebesar kenop pintu dan ber­gambar dewa bersayap atau makhluk mitos. Anggota tim Patrycja Prządka-Giersz, arkeolog Uniwersytet Warszawski yang juga istri Giersz, mengamatinya dengan senang. Hiasan ini, katanya, “semua berbeda-beda, dan baru dapat dilihat setelah proses konservasi.”

Saat mengintip ke dalam kotak kardus besar di atas meja, Giersz menemukan salah satu temuan utama tim: buli-buli keramik. Dilukis dan dihiasi meriah, buli-buli ini menggambarkan penguasa Wari yang berpakaian mewah dan naik rakit dari kayu balsa, mengarungi perairan pantai yang penuh paus dan makhluk laut lain. Buli-buli berusia 1.200 tahun itu tampaknya melukiskan suatu peristiwa—setengah mitos, setengah nyata—dalam sejarah pantai utara, yaitu kedatangan seorang penguasa Wari yang penting, mungkin bahkan kaisar Wari sendiri. “Jadi, kami mulai menyusun cerita tentang kaisar Wari yang melaut naik rakit,” kata Makowski, “kaisar yang mangkat di pantai Huarmey, ditemani istri-istrinya.”

Untuk sementara, ini hanya cerita, tebakan arkeo­logis berdasarkan informasi yang ada. Tetapi, Giersz masih berpikiran bahwa mungkin, di tengah labirin tembok dan ruangan bawah tanah itu, terdapat makam seorang penguasa besar Wari. Dan jika para penjarah belum men­dahuluinya, dia bertekad menemukannya.

Sumber: National Geographic Edisi Juni 2014

0 comments:

Post a Comment