Saturday, June 7, 2014

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 27]


Sengaja aku bangun agak pagi, karena aku ingin melihat banyak dan mempotret suasana terakhir aku disini. Biasa, kontrakan Ar[t]my justru paling sunyi ketika pagi seperti ini. JIka malam, kursi beranda depan ini ramai sekali, teman-teman kontrakan pada bertengger bercanda tawa diatas kursi yang tidak klimis lagi dan cita rasa pemandangan kursi di pemukiman kumuh. Namun pagi ini, aku bisa menguasai sepenuhnya kursi kursi ini meski hanya untuk duduk dan melamun pandangan kosong.

Aku memandangi awan, mengamati pergerakan arah sekawanan burung pipit terbang membawa sepotong rumput kering untuk merajut susuh. Hingga melihat aktifitas semut yang sedang memboyong potongan kecil roti yang tidak muat dimasukan ke mulut gua rumahnya di salah satu pojok dinding. Kucing yang lewat di depanku pun seperti tak mengakui keberadaanku, lewat tanpa mengeong atau melirik sedikitpun.


Aku bangkit dari kursi, ingin merekam kejadian alam yang lainnya di sekitar kontrakan. Aku lebih tertarik menuju jalan tembusan Jl. Kalimasada - Gg. Goda. Berjalan santai dengan tangan saling bersilang di belakang, mirip kades yang sedang blusukan ke pelosok desa untuk mensurvei rakyatnya. Tapi orang mungkin melihatku seperti ini aneh. Jarang ada seorang mahasiswa yang iseng melihat alam desa ini. Tapi gelagatku ini memang lain. Karena mungkin besok aku tidak lagi melihat alam ini lagi untuk jangka waktu yang sangat lama. Atau bahkan hari itu anggap saja hari terakhir aku berjumpa dengan Semarang.

Tembusan ke gang Goda ini adalah terowongan papringan yang sejuk.  Ini adalah jalur yang selalu aku tempuh kalau ke kampus semenjak aku di kalimasada. Tapi aku tak habis pikir mengapa Jl.Kalimasada ada tembusan gang Goda. Istilah Kalimasada dalam pewayangan Islam berasal dari kata Jamus Kalimasada, atau senjata Islami. Digunakan untuk menumpas kebathilan musuh, karena kalimasada sendiri berasal dari kata Kalimah Syahadat. Kalimah yang digunakan agar eling kepada sang pencipta. Tapi mengapa Jalan Kalimasada ini ditembus oleh yang namanya Gang Goda. Apakah artinya ditengah kita sedang eling dengan sang pencipta selalu ada godaan??. Menurutku ini adalah tembusan jalan yang keramat kalau mendalami makna tadi.

Aku ingin melintas jalan ini sekali lagi. Masih sepi sekali, hanya terdengar detak titik-titik air jatuh dari ujung daun bambu yang tak kuat menampung butir-butir embun. Seiring dengan sendu mataku yang juga ingin menitikan air mata di hari terakhir ini. Aku lintasi tapak demi tapak batu ubin yang sudah berlumut. Rumah-rumah yang kulewati berada di tepi kebon seperti ini benar-benar mengingatkanku akan kampung halamanku.

Hingga pada ujung pemukiman di sebelah barat terdapat rumah model tahun 50-an. Berdinding kayu dan anyaman bambu yang dicat dengan labur (sejenis cairan kapur). Gentengnya terlihat tak sekokoh genteng buatan jaman sekarang. Tapi genteng yang tipis terlihat rapuh seperti telah berpengalaman terkikis air hujan berpuluh-puluh tahun. Penghuni rumah ini adalah sepasang lansia yang sudah tidak giat menekuni banyak aktifitas. Seringkali hanya duduk-duduk di kursi beranda yang masih berlantai tanah, memandangi lalu lalang mahasiswa-mahasiswi yang berangkat atau pulang kuliah yang melintas jalan tembusan ini. Aku juga kerap menyapanya dengan senyum, untuk lebih menghangatkan suasana mereka.

Tapi pagi itu aku tak melihat salah satu diantara mereka sedang duduk-duduk di beranda. Aku hanya melihat kepulan asap putih yang keluar dari sela-sela atap rumah itu. Aku tahu, mereka di dalam pasti sedang menanak nasi atau memasak air menggunakan tungku yang masih menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Aku yakini, rumah ini adalah rumah paling tradisional di tengah-tengah Sekaran-Banaran. Bau asapnya mengingatkanku akan masa kecilku ketika bangun pagi ke rumah nenek di sebelah. Hmm benar-benar serupa aromannya. Aroma aktifitas pagi di perkampungan yang permai.

Sebelahnya lagi terdapat sungai kecil yang tak terlihat dari jalan ini. Hanya terdengar gemriciknya saja. Sungai itu terhalang oleh rumpun bambu ampel di belakang rumah dua lansia tradisional tadi. Suara gemriciknya lumayan keras seperti curug kecil dan seperti banyak cadas di sungai itu. Sehingga suara gerak airnya sangat terasa. Tapi jika melihat kos-kosan yang tak jauh dari sungai tadi, imajinasinya bisa berubah. Tepat di pertigaan gang Cokro terdapat kos putri yang bertingkat. Kos itu membuang limbah airnya sepertinya mengarah ke sungai tadi.

Jadi jika dipikirkan mungkin sungai yang tak tampak tadi sebenarnya adalah sungai kotor yang airnya putih bercampur limbah sabun, berbau. Belum lagi pasti pembalut  banyak berserakan. Aku prihatin memikirkannya. Tapi beruntung, kaum lelaki memang dikaruniai kemampuan seribu imajinasi. Kupejamkan mata dan dengarkan baik-baik suara gemricik sungai tadi. Aku bayangkan bahwa itu adalah sungai yang amat bersih dan jernih. Didalamnnya terdapat ekosistem yang damai hidup berdampingan, kepiting pemalu yang bersembunyi di sela-sela cadas, ikan-ikan Spat yang berkilau berkejar-kejaran dan keraca-keraca hitam yang legowo dikaruniai kemampuan berjalan sangat pelan. Sungai itu teduh didampingi rumpun bambu bertebing cadas yang ditumbuhi paku-pakuan dan lumut yang hijaunya surgawi.

Pemandangan sungai seperti ini sebenarnya hanya ditemukan di kawasan hulu di dekat pegunungan.  Tapi cukup dengan suara gemricik itu masuk ke indra pendengarku, aku mampu menghadirkan imajinasi yang indah tadi. Padahal aku tak tahu bagaimana rupa sebenarnya sungai itu. Prinsipnya hampir sama dengan membayangkan telanjangnya dari wanita yang sebenarnya sedang berpakaian rapi dan tertutup rapat. Sepanjang kita tahu seberapa mulus kulitnya, seberapa kenes bibirnya, seorang lelaki bisa saja berfikiran hingga sejauh itu.

*****

Diam-diam aku merasa sudah berjodoh dengan lingkungan di Ar[t]my. Bukan dengan orang-orangnya. Tapi suasana sekitar. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan pengapnya Dian-Ratna, lalu dipindah ke Kontrakan yang cukup asri untuk melamun itu. Dan aku cukup puas mengakhiri masa-masa kuliahku di tempat ini. Betul kata Sastro sebelumnnya, “Suasana disini dijamin berbeda dengan Dian Ratna, Gan,” ucap dia. Sambil mata kami tertuju pada anak-anak kecil disini mandaulat jalan sedang bermain kembang api dan mercon putar. Ahh Kenangan pada malam ramadhan kemarin.

Benar-benar terasa berat langkahkan kaki meninggalkan Ar[t]my dan Semarang. Aku bawa setumpuk sisa barang yang tersisa untuk dibawa pulang.  Sudah jauh-jauh hari aku persiapkan. Hari itu (25/10/2012) sudah ku tekadkan bulat-bulat adalah hari-H eksekusi aku meninggalkan kota Lumpia ini untuk jangka waktu yang lama. Aku pergi tanpa pamit kepada para penghuni Ar[t]my. Biarkan mereka masih terlelap. Mereka tidak akan merasa kehilangan kepergianku. Hingga dalam jangka waktu yang agak lama nanti mereka baru membicarakan, bahwa aku sudah tidak pernah kelihatan lagi disitu. Biarkan.

Dadaku sesak ketika pertama kulewati mushola depan kontrakan. Aku rasa sudah tidak akan mendengar adzan lagi dari dari kakek tua bersuara serak kasar itu. Aku sudah tidak mendengar lagi lagu-lagu darinya. Lagu kesukaannya adalah “Syi’rian Sufi”, atau orang kampung biasa menyebutnya “Singiran”. Ini adalah lagu kreasi orang NU. Meskipun aku bukan pegiat budaya NU, tapi aku jadi nyaris hafal Singiran ini berkat kakek tua itu melantunkannya setiap kali sehabis adzan melalui Toa yang keras dan persis menghadap kontrakanku.
“ duh bolo konco, prio, wanitoouo.
Ojo mung ngaji syariat bloko.
Gur pinter dongeng tulis lan moco.
Tembe mburine bakal sengsoro , tembe mburine bakal sengsoro”

“Akeh kang appal, quran hadiseeeie.
Seneng ngafirke marang liyane.
Kafire dhewek gak digaaAtekke
Yen esih kotor, ati akale. Yen esih kotor, ati akale”
Dan seterusnya, kurang lebih seperti itu kemudian ditutup dengan “Ya uhai lalju, diwal karomi, ya uhai lalju diwal karomi”
Ini adalah lagu kaum NU paling terkenal seJawa. Lagu ciptaan Gus Dur ini menjadi lagu-lagu pengantar sebelum Iqamah di setiap masjid seantero Jawa, apalagi di pantura seperti di Semarang ini. Lagu itu menjadi kenangan tersendiri bagiku. Syair ini pula yang kelak akan selalu mengingatkanku, akan kehidupanku ketika di Kalimasada ini.

Selanjutnya aku menoleh ke kanan, persis warung makan di samping kontrakan Ar[t]my. Sepagi ini warung itu masih tutup. Biasanya semakin ramai menjelang siang. Namanya warung mbak Kiss, namanya nyaris mirip dengan langgananku ketika di Setanjung yaitu warung makan Bu Kiss. Mba Kiss ini tentu lebih muda seumuran 30-an, agak cerewet tapi judes-judes manis. Kalau dipikir-pikir mirip artis Medina Kamil. Aku pernah ajak Aris makan siang disitu, dia ditanya sama mba Kiss ini. “Kui es teh e nek kurang manis tambahi gulo dewe,” kata dia. Aris nyletuk “Wis manis koq mba, koyo bakule,”.

Soal kecantikan tidak hanya soal mba Kiss saja, tapi disitu juga ada anak kecil mungkin seumuran kelas 2 SD. Tapi aku tak pernah tahu dan tak pernah bertanya, apakah itu anaknya mba Kiss atau adiknya, atau apanya. Yang jelas anak itu cantik, putih, lucu dan menggemaskan. Dia juga terlihat penurut, disitu ia selalu ikut membantu mba Kiss melayani pelanggan, terutama untuk membantu membuatkan pesanan minuman dan mengantarkannya. Aku selalu mencuri pandang melihat kecantikan anak itu ketika sedang beraktifitas. Tatapanku bagai Syekh Puji memandangi bidadari kecil Ulfa. Tatapan Pambudi mengagumi kecantikan Sanis seperti dalam novel “Di balik Bukit Cibalak”, Ahmad Tohari. Atau bisa juga seperti tatapan pak Harso tersihir kecantikan dik Viki.

Ketika dia memandangku, aku berpura-pura memandang yang lain. Terkadang aku juga ikut kesal ketika ada mahasiswa lain pelanggan yang berkunjung kesitu iseng memuji kecantikan anak kecil itu.

Aku geleng-geleng dan senyum-senyum sendiri dalam pandangan kosong yang tertuju pada warung makan yang masih tutup itu. Tak kuasa aku menghapus bayangan itu semua. Tapi aku segera melanjutkan langkah ke penghujung Jl. Kalimasada ini. Belum sampai aku sudah bermandikan peluh, terlalu keras berfikir merelakan untuk meninggalkan kenangan-kenangan tadi.

Belum aku sampai di pangkalan Angkudes yang ada di bawah pohon waru depan lapangan Banaran, seorang calo angkutan sudah paham. Penampilan orang sepertiku yang sedang membawa tas gemuk menandakan iktikad akan mudik. Calo itu langsung menggiringku masuk ke Angkudes yang siap berangkat. Terbiasa, ini adalah angkudes warna hijau trayek jurusan Sekaran-Bandungan yang akan mengantarkanku sampai ke pasar Bandarjo Ungaran.

Angkudes mulai berangkat, aku melihat suasana jalanan Unnes untuk yang terakhir kalinya saat itu. Terlihat sudah mulai semrawut. Mahasiswa-mahasiswi sudah mulai berangkat kuliah mengenakan motor. Adapula yang masih berpenampilan ala kadarnya, hanya memakai hot pants, mungkin mau mencari sarapan. Membuat suasana semakin gerah dipagi yang terik itu. AKu melihat mereka begitu bersemangat beraktifitas, melanjutkan kesempatan hari-hari.  Merekalah generasi-generasi penerusku di Unnes, mahasiswa baru, mahasiswa senior dan mahasiswa sepantaranku yang belum kunjung lulus memadati aktifitas pagi ini.

Tiba saatnya angkudes ini perlahan-lahan melewati depan Jalan yang paling aku tunggu-tunggu,  Jalan Setanjung. Mobil ini berhenti sembari menunggu didatangi penumpang dari jalan itu. Setanjung kini ada disebelah kiriku. Aku menoleh dan memandang plang nama jalan itu. Setanjung diam. Sabar menanti bahasa kalbuku bertanya kepadanya. Tapi seolah-olah dia mengerti, kalau dia akan ditinggalkan oleh salah seorang putranya yang pernah ditempa hidup, manjalani hari-harinya selama tiga setengah tahun di jalan itu. Ialah aku. Inilah terakhir aku berjumpa. Dengan perasaan pilu akan perpisahan. Akhirnya kalbuku memberanikan berbahasa dengannya.

“Terima Kasih Setanjung, tak mungkin aku menjadi daun yang bertahan sendirian di musim gugur, semua ada masanya, maafkan aku. . . . . . . .”


Padamara, 7 Juni 2014

Kamar tidurku yang sederhana di Ar[t]my
Kamar tidurku yang sederhana di Ar[t]my

Jl. Kalimasada terakhir kupotret 2012
Jl. Kalimasada terakhir kupotret 2012

Kotrakan Ar[t]my
Kotrakan Ar[t]my





Tentang Penulis
 Ganda Kurniawan Lahir di Padamara kabupaten Purbalingga 09 Desember 1990. Menamatkan pendidikan formalnya di Jurusan Sejarah (2012), Universitas Negeri Semarang. Lulus tepat waktu tapi skripsinya bermutu rendah. Pengalaman Keorganisasian pernah menjabat sebagai staf ahli Departemen C bidang Sosial dan kemahasiswaan Hima Sejarah Unnes (2009). Sempat menjadi pendiri organisasi Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara) sekaligus menempati posisi Kepala Divisi Penerbitan, dengan nol prestasi. Berpengalaman mengajukan sejumlah proposal kreatifitas mahasiswa (PKM), satu kali berhasil namun banyak gagalnya. Pernah mempermalukan Jurusan Sejarah sendiri dengan kehabisan kata-kata saat lomba debat tingkat Unnes di FIS (2009). Saat ini tengah berkarir sebagai Jurnalis di salah satu surat kabar local jaringan JPNN milik Dahlan Iskhan. Karyanya yang disegani oleh Dikti berjudul Dampak Sosial-Militer Dalam Perang Gerilya Tahun 1947-1949 Terhadap Masyarakat Desa Tanggeran, Kabupaten Banyumas (2011). Karya-karyanya yang lain diantaranya Catatan Seorang Pendiam (CSP), Dari Setanjung ke Kalimasada, Di Bawah Asap Gudang Bata (fiksi, 2013), Lima Menit Bersama Nanang Pratmaji, Sunset di Pantai Tirang, Winarso atau Fidel Sastro, Dari Budak Menjadi Kadiv Sosbudag, Hari-hari bersama Harry dan banyak karya-karya kecil lainnya yang masih tercecer

0 comments:

Post a Comment