Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Saturday, June 25, 2011

Catatan seorang Pendiam 25 Juni 2011


Hari ini pertama kali aku dan Nanang masuk ke Gereja, tak nampak seperti muslim yang lain yang begitu anti terhadap tempat ini. Aku sengaja masuk bukan untuk beribadah, atau membuat masalah tapi kami hanya ingin mempotret seisi bangunan yang dirancang oleh HPA de Wide dan Westmass ini. mengkedipkan lampu blitz satu demi satu dari angle yang nyeni. yah ini Gereja Immanuel atau Gereja Blenduj (orang Jawa menyebutnya Blenduk). Pertama masuk aku harus mengisi buku tamu dan semacam sumbangan untuk konservasi bangunan ini (Bukan infak), seperti halnya kita membayar tiket untuk masuk ke Borobudur.

Sesuatu yang membuatku terus tertawa kalau mengingat tentang hal ini, ketika Nanang mengisikan data diri di buku tamu Gereja ini. Nanang menuliskan namaku disitu dengan nama “Albertus Ganda”, bahkan dia hapir sedikit jail dengan mengisi namanya dengan gelar Kyai Haji. . . . . . biar menggemparkan orang yang masuk. Ini sekedar lelucon identitas saja, tak ada pelecehan apapun.

Didalam hanya biasa saja, tak ada patung Yesus disitu. Hanya tertulis ayat-ayat dari Yohanes dan Eferus. Barisan kursi panjang tertata rapi dan klasik, mimbar yang tinggi, sebuah keyboard dan tribun untuk paduan suara. Bagiku suasananya biasa saja seperti di dalam rumah, tak lebih sejuk dari mushola atau surau sekalipun.

Sepanjang hari ini aku hanya jalan-jalan dengan Nanang di “Little Nedherland” alias Kota Lama di Semarang ini. memfoto berbagai dari berbagai sisi, ketika di Jembatan Berok aku melihat 3 orang sedang melukis bekas Peradaban Eropa ini yang tampak retro. Aku memegang sebendel kertas yang berisi gambar-gambar Kota Lama djaman doeloe dan membanding-bandingkannya dengan kondisi sekarang. Ada yang malah lebih tampak futuristic dan ada pula yang sudah berlumut dan urat-urat batu batanya hingga kelihatan.

Yang paling membuatku geleng-geleng kepala adalah ketika membandingkan foto Jl. Pemuda djaman doeloe dengan keadaan sekarang. Dulu Jl.Pemuda tepiannya sangat ridang oleh pohon Asem dan Kenari, sekarang yang terlihat adalah hutan beton yang warna warni, memancarkan sebuah aura akan sengitnya persaingan bisnis.      

Friday, June 24, 2011

Catatan seorang Pendiam 24 Juni 2011


Begitu tidak menariknya hari ini. Buku literatur, novel, dan makanan. Semua tampak tidak menggairahkan. Suasana seperti ini tampak dimulainya musim gugur, serba coklat atau bahkan kelabu. Musim gugur yang tak indah, bukan musim gugur seperti di daerah subtropik yang merah menghangatkan dimana anggur-anggur ungu bisa dipanen.

Yang ku pikirkan adalah dimensi waktu. Dari sekian kali aku mencukur apa yang ada diatas dan di bawah bibirku tersadar bahwa waktu benar-benar berjalan.

Ujian kewirausahaan tadi siang semakin mengingatkanku akan masa yang akan datang. Di bawah pohon yang sejuk itu Feby berkata “mungkin ini hari-hari terakhir kita bersama (dalam bahasa romantik)” untuk kedepannya kita akan tampak lebih egois, berperang melawan kekurangan-kekurangan diri agar kita segera lolos dari wadah akademik ini.
Aku seperti berjalan kekeringan, ingin segera aku berlari tuk menemukan Oase. . . . . . 

Thursday, June 23, 2011

Catatan seorang Pendiam 23 Juni 2011


Pagi-pagi sekali aku memutar film yang barusan tadi malam kudownload. Klik kanan dan Open With-. Media Player Classic. Judulnya “Kalung Sepatu” karya anak-anak Ekskul Teater Papringan SMA N 1 Kutasari, sekolah dimana aku pernah di didik disana. Intinya bahwa film ini memberi pelajaran tentang bagaimana seharusnya orang tua mendidik anaknya dengan baik dan bagaimana seorang anak juga harus memperhatikan dan megerti betapa orang tua telah bersusah payah untuk kita. “Kalung Sepatu” yah artinya bahwa pemeran utamanya selalu menggantungkan sepatu sepakbola kesayangannya di leher, ia berprestasi di timnya hanya saja ia sudah tak punya ibu, tinggalah bersama bapaknnya yang sedang sakit dan rumah reotnya.

Film ini telah mengundang memoriku 6-4 tahun yang lalu, setting/ latar film ini masih di desa Meri, sekitar Sekolahan. Desanya yang rindang, hijau dan basah. . . . . aku sering berkeliaran disana bersama teman-teman, atau diajak guru olahraga untuk berekresi sejenak disitu. Paling favorit adalah berkunjung ke Telaga yang begitu bening, atau melihat penambang batu sedang memukul-mukul bongkahan besar monster hitam yang dimuntahkan Sunung Slamet.

Back sound yang dimainkan di Film ini adalah dentuman rangkaian musik calung, bunyi yang dihasilkan dari ketukan bambu wulung yang mempesona, alami, dan Banyumas sekali. Seingatku musik calung ini diperkenalkan ke SMA ku oleh kawanku Frenki dari IPS-2. Namun ternyata hingga kini ketukan-ketukan surgawi itu masih didengar disana hingga kini. Frenki telah berjasa sebagai trendsetter kesenian calung di SMA ku ini. yah itulah anak IPS-2 tempatnya para seniman dan musisi lahir serta surganya cewek-cewek cantik dan gaul. Kelasku di IPS-1 tempatnya mereka para aktifis organisasi, ada ketua OSIS (Trisoni), Ketua ARUNA-PALA (Feri Sobar), dua jagoan tangguh pemenang pencak silat tingkat kabupaten (Fajar & Piska), pemain bola PERSAP/Persatuan spk bola Purbalingga (Inggit) dan si Jenius yang selalu di papan atas nilai tertinggi ada Sri Undiarti dan Erna. Sedangkan aku bukan apa-apa disitu. Seringkali temanku menyamakan aku seperti Gie, bukan disamakan karena kecerdasannya tapi hanya karena aku kaku setiap kali didekati cewek (persis apa yang ada di film Gie).

IPS-3 meski banyak yang cerdas tapi nampaknya mereka orang-orang yang mistis, karena kelasnya paling gelap dibanding kelas yang lain. Mereka tidak bisa menikmati pancaran hangatnya mentari di pagi hari. Di luar jendelanya hanya tampak segeromblolan hutan bambu, yang kadang mendesis atau menderit diterpa angin. Sedangkan anak-anak IPA kebanyakan wanita, meski diam saja tak pernah membuat kehebohan di sekolah tapi mereka senantiasa terlihat anggun bagaikan bunga di pagi hari yang berselimut embun.

“sekolah SMA baru saja selesai, semua kenangan-kenangan manis terbayang kembali. Dan aku sadar, bahwa semuanya akan dan harus berlalu. . . . ada perasaan sayang akan kenangan-kenangan tadi, aku seolah-olah takut menghadap ke muka dan berhadapan dengan masa kini, dan masa lampau terasa nikmat”. . . .

Wednesday, June 22, 2011

Catatan seorang Pendiam 22 Juni 2011


23 June 2011 at 21:12
perkenankan hari ini aku tak menulis apapun. . . .
kecuali menulis tentang Sejarah Pendidikan dan soal Hotel Oranje sekitar 1910-1945.

Tuesday, June 21, 2011

Catatan seorang Pendiam 21 Juni 2011


Hari ini aku dapatkan referensi yang saling menyatu dari pertanyaan apa “apa sebenarnya makna dari diamku?”. Paradigma seolah telah menandatangani suatu pakta bahwa “Orang pendiam umumnya dia adalah orang yang cerdas”. Akupun tak tahu ini riset entah dari Universitas mana. Yang jelas kebanyakan orang telah mematuhi perjanjian ini. Aku juga tak heran, seringkali tak sengaja aku membaca Buku, majalah, atau artikel di Internet tentang bagaimana menaklukan pria pendiam, maka ia harus mengerti dulu watak-watak dari si pendiam itu. Ya salah satunya mereka mengatakan bahwa sebenarnya pria pendiam itu makhluk yang cerdas dan penuh pertimbangan.

Bukan kelahiran diamku ini berasal dari kesengajaan sebagai aktualisasi kalau aku ingin dikira orang pintar atau orang yang ingin paling dihormati. Justru sebaliknya, kelahiran diamku adalah bawaan dan telah membuatku sangat nyaman dengan pribadi ini. “Tak ada yang lebih puitis selain berbicara seperti malam yang dingin”.

Waktu SMP aku pernah dikatain sombong sama teman SD ku kalau aku jarang menyapa, memanggil dengan seruan atau dengan senyuman. Lebih parah lagi, ketika aku menginjak semester 4 kemarin. Aku sempat disukai sama adik kelas dia juga mengatakan hal yang sama hanya karena tidak menyapa ketika aku sedang berjalan. Atau contoh kemarin sajalah, Aris tak berbeda, ketika ia sedang ngobrol dengan seorang wanita di kosku, aku tak melirik dan menyapanya, aku hanya berjalan lurus. Hanya tubuh saja yeng bergerak. Paginya Aris marah. Itu poin pertama persepsi orang bahwa Diam=sombong.

Akan ku jelaskan bahwa seringkali sebenarnya tiap lamunanku, atau di tiap melakukan sesuatu yang membutuhkan fokus pikiran (seperti berjalan, menyapu, mandi dsb) tak lain otaku sedang terbang kea lam pikiran bawah sadar, atau berkhayal. Lebih eksplisitnya begini, ketika aku sedang berjalan otaku sedang memikirkan sesuatu. Aku kembali sadar ketika ada yang tiba-tiba menyapaku.

Tadi siang, pakta diatas benar-benar dietrapkan oleh temanku (sebenarnya sudah lama terdahulu). Aku yang etrkenal tak banyak bicara mendapat tanggung jawab bertubi-tubi demi lancarnya pengerjaan tulisan untuk diseminarkan KKL senin nanti. Pertama aku ditunjuk sebagai ketua tim penelusur riwayat Hotel Yamato 1910-1945. Kedua, aku ditunjuk sebagai arsitek Karya Ilmiah KKL ini. Ketiga, aku ditunjuk menjadi salah satu tim pencari referensi/ pustaka. Keempat, aku diberi mandat untuk melakukan bimbingan kepada pak. Arif maupun pak Fahmi (menggantikan ketika penseminar tidak bisa menemuinya). Segala tugas ini dituturkan oleh ketua Penseminar kelas, tak lain dia adalah Nadia Ayu Kusuma. Itu poin kedua yang menyiratkan bahwa Pendiam=cerdas (belum lagi pengalaman serupa ini ketika aku masih SMA, baik oleh guru maupun teman).

Aku mulai menuai kritik dari teman-temanku semenjak SMP kalau aku adalah orang yang terlalu kaku dengan wanita. Kaku disini kadang bisa diartikan grogi, kadang bisa diartikan dingin. Kalau aku grogi itu pertanda bahwa aku sebenarnya suka dan takut salah tingkah. Dan ketika aku dirasa dingin itu pertanda kalau aku tak ingin berlama-lama dan menginginkan orang itu sebaiknya cepat pergi. Itu poin ketiga bahwa pendiam=kaku.

Aku seringkali kurang begitu percaya dengan ramalan watak. Missal bahwa pria berbulu biasanya memiliki nafsu seksual yang tinggi, atau pria yang berambut kriting memiliki watak ini, dan pria berambut lurus memiliki watak seperti itu. Tapi kali ini aku cukup tersentak ketika aku sedang memeriksa beranda FB ku, ada suatu halaman yang mencoba menjelaskan perkirakan watak seseorang dilihat dari golongan darahnya. Golongan darahku “O” menjelaskan bahwa salah satu wataknya yaitu “orang bergolongan darah O lebih suka tidak punya teman, ketimbang harus masuk lingkungan pergaulan yang buruk”. Meski ada benarnya juga tapi bagiku ini begitu berlebihan, aku suka punya teman tapi ia adalah teman yang tenang. Begitu banyak bukti kebenaran tentang teori itu kepadaku. Misalnya: aku lebih senang di dalam kos, mendengarkan radio, browsing atau membaca buku daripada bercanda bersama teman-teman diluar. Aku juga kadang pernah pergi sendirian ke Telaga Sunyi sendirian tanpa seorang teman satupun, disana berkontemplasi menikmati alam, membaca buku dan menggigit coklat sendirian. Bahkan tentang kasus putusnya kisah cintaku dengan kekasih pertamaku juga hampir menyerupai hal yang sama, tak ada pihak ketiga disitu hanya saja aku lebih baik putus menjadi jomblo yang kesepian ketimbang diperlakukan tidak nyaman seperti itu. Nampaknya gambaran tentang “sepi” juga tak terbatas pada diriku saja akan tetapi juga dengan kota kelahiranku. Andrea Hirata dalam novel “Edensor”, novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi, ia mendeskripsikan bahwa sifat orang yang pendiam disamakan dengan Kota kecil Purbalingga ketika jam 10 malam. Mungkin sifat pendiamku juga terilhami sepinya kota kelahiranku itu. Ini poin keempat bahwa pendiam=penyendiri.

Rasanya dari keempat poin itu yang mendekati kebenarannya adalah poin keempat.
Poin yang lainnya aku anggap relative bahkan sama saja seperti orang-orang lain, aku tak begitu cerdas, kaku, sombong/ atau mengekslusifkan diri. Jangan terlalu menganggap mutlak poin 1 sampai tiga diatas. Aku tak pernah menyukai itu. . . . . 

Monday, June 20, 2011

Catatan seorang Pendiam 20 Juni 2011

Memadukan esensi Muhammad SAW dengan Soe Hok-Gie (Muhammad – Gie). Membuatku lebih puitis  dalam memandang manusia. Sosok organisme unik. 1+1 bukan samadengan 2 tapi 3. Muhammad + Gie = Islam, Sosialisme dan Sastra. kombinasi ini bagaikan Diagram Venn.

Sungguh manusia akan lebih tampak seperti manusia ketika ia dipandang dari sudut Sastra. Ribuan tentara NAZI Jerman berbaris dan berperang di Eropa. Mereka tidak tampak seperti manusia dipandang sekilas hanya seperti robot-robot yang berseragam, atau seperti semut-semut yang bertebaran. Terlihat monotone tak terlukis jiwa nya sebagai manusia. Akan tetapi ketika aku membaca buku “Surat Terakhir dari Stalingrad”, sebuah buku yang berisi surat-surat terakhir yang ditulis oleh prajurit-prajurit NAZI untuk keluarga atau pacarnya yang ada di Jerman. Surat yang ditulis ketika mereka manduduki Wilayah Stalin-grad Uni Sovyet. Sebuah kota bersejarah yang menyaksikan titik balik kekalahan tentara NAZI. Artinya bahwa itu kemungkinan besar adalah surat-terakhir yang mereka tulis, karena ia tak bisa kembali ke Jerman lagi dalam keadaan hidup, entah mati kedinginan atau tertusuk peluru dari tentara Merah Uni Sovyet.

Sungguh surat itu membuktikan bahwa seorang Tentarapun juga seorang manusia, bukan segerombolan semut atau segerombolan robot yang dianggap sangat murah nyawanya. The soldier are human, Ia bisa merasakan sedih, merasakan sakit, merasa pasrah, merasa menyesal dan kadang romantic, kangen dan rasa cinta.

Seperti apa yang ku alami sekarang, semakin mengerti akan nilai sastra maka ia akan semakin sadar akan nilai-nilai kemanusiaan, semakin sadar bahwa manusia adalah makhluk yang puitis dengan segala ungkapan perasaannya. Al-Quran pun bukan hanya saja tampak sebagai hukum, tapi juga sastra, menceritakan kisah-kisah manusia pendahulu yang patut diambil pelajarannya. Itulah mengapa sastra bagiku begitu penting. Seperti Catatan seorang Pendiam 18 Juni lalu bahwa para agen peniup perubahan seringkali mereka terilhami oleh sastra seperti Soe Hok-Gie yang terilhami oleh Chairil Anwar, Andre Gide, dan Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan Che Guevara pembawa revolusi Kuba ia terilhami oleh Garcia Lorca.
######

Nampaknya Noval (kawan sekamarku) sedang sibuk bermain merakit papercraft, namun aku mencoba untuk tertarik untuk bermain seni origami. Seni yang sudah diajarkan kepadaku waktu TK. Kali ini aku berhasil membuat lipatan origami berupa kupu-kupu yang cukup rumit dibuat. Aku iseng menggunakan kertas bekas pamphlet milik Noval sisa-sisa selebaran pengumuman Seminar Georgafi untk tanggal 9 Juni Lalu.
origami kupu-kupu yang ku buat tadi siang. menggunakan kertas bekas pamflet
origami kupu-kupu yang ku buat tadi siang. menggunakan kertas bekas pamflet
Aku punya tujan mengapa aku belajar origami. Aku ingin sekali menerapkan seni ini untuk melipat surat Cinta. Yahh aku ingin sekali membuat surat cinta yang ku tujukan kepada sang belahan hatiku kelak. Rasanya kembali ke budaya surat-menyurat akan lebih romantic ketimbang telephone/ SMS. Aku pernah mewawancarai ibuku tentang kisah cintanya dengan bapakku. Surat menjadi sebuah sastra Cinta yang indah.

Sepucuk surat cinta akan lebih menyentuh hati ketika asli menggunakan tulisan tangan sendiri dan dengan kata-kata sendiri. Apapun itu. Tulisan tangan akan membuktikan bahwa si penulis seolah benar-benar hadir, saling bicara dengan hati si pembaca. Lain halnya dari SMS, FB atau Email. Tulisan dengan font Komputer bagi anak sekarang akan kadang lebih dikira seperti bukan karya sendiri, alias copy paste atau forward. Pembaca kadang kurang percaya kalau penulis bisa manulis seindah itu, secerdas itu. Bahkan mungkin siapa saja yang membaca catatan ini juga berprasangka sama bahwa tulisan ini juga paling-paling bukan asli hasil tarian dari jari dan pikiran saya. Kadang Font Komputer telah melunturkan presepsi orisinilitas…

Sunday, June 19, 2011

Catatan seorang Pendiam 19 Juni 2011

Seolah hari ini tak ada inspirasi atau petunjuk apapun. Berjalan begitu wajar dan tak ada pelajaran hidup. Novel yang kubaca pagi inipun masih disekitar prolog, mozaik-mozaiknya bukan sesuatu yang baru yang menyentak hati.

Apalagi siang ini aku diajak bermesraan dengan kasur kosku yang lumayan keras. Aku terlelap, tertidur, roh ku terbang mencoba mengembara seolah ingin terlibat pada suatu cerita, melukis mimpi. Tapi tak ada yang didapat, hanya gelap dan gelap. Tertidur lama hanya background layar warna hitam saja yang ku lihat. Aku cukup merugi mengarungi samudera waktu yang cukup panjang dengan bahtera yang berwarna hitam ini. Bahtera gelap ini melaut mulai pukul 14 dan mendarat di dermaga sekitar pukul 5 sore.

Roh ku kembali ke jasadku. Kepalanya tampak murung lesu, karena tak ada cerpen, atau prosa yang dapat ia ceritakan ketika kembali ke dunia. Aku bangkit, melihat suasana yang suram di kamarku. . . lampu kamar belum dinyalakan. Dengan berjalan agak gentoyongan aku menuju cermin. Hanya muka yang kusam dan mata yang sedikit merah yang ku lihat, ahh bercermin hanya menurunkan mentalku saja. Agak gelagapan melihat jam, dan ternyata aku belum telat untuk menunaikan sholat Ashar.

Malam ini aku hanya sedang memutar-mutar video clip dari Youtube yang kemarin malam ku download. Video Clip rapper-rapper Amerika. 50 Cent rapper yang kehidupannya glamour. Videoclipnya hampir selalu ada wanita-wanita yang mengelilinginya, wanita blasteran negro berkulit coklat menjadi pilihannya. Terlihat seksi, memperlihatkan tubuhnya yang mengkilat dan berpakaian minim berjalan-jalan dengan 50 Cent di Pantai. Bukan nafsu yang sedang ku ratapi dari video clip ini, tapi gaya seorang 50 Cent saja yang sedang ku kagumi. Untuk sekelas godaan seperti ini masih mudah ku atasi. Aku masih dalam doktrin pengaruh dari Ayat yang ku baca habis Maghrib tadi ”. . . Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang meruggi” [Al-Ma’idah:5].

Selama ini aku memang lebih terpesona dengan gaya seorang Rapper yang sedang bernyanyi. Kebanyakan Rapper berbadan atletis, dada bidang, perut sixpack. Pakaian casual, dan yang wajib adalah menggunakan kalung dan Topi Baseball, entah itu berlogo team N.Y (New York Yankees), L.A, B (Boston) atau A (Alabama) dll. Aku ingin sekali tampil seperti mereka kelak, di masa depan aku punya motivasi ingin membentuk tubuhku seperti 50 Cent….. ahh pasti keren sekali, pasti banyak wanita yang megejarku…

Mungkin lirik-liriknya 50 Cent saja yang agak bernada cabul, nampaknya ia sudah lupa tentang perjuangannya dulu menjadi Rapper. 50 Cent atau Curtis Jackson ini berasal dari keluarga miskin dan hanya dirawat oleh neneknya, kedua orang tuanya telah tiada. Kini telah menjadi Gangster yang kaya raya.

Rap modern bukan berarti berubah haluan menjadi lagu yang menceritakan hal-hal cabul. Banyak yang masih bercerita soal masalah social. Paling mengena adalah lagunya Alm.Tupac Shakur berjudul “My Ghetto Gospel”, lagi-lagi soal rasialisme warna kulit di Amerika, “It Ain’t about black or white, cause me’re human . I hope we see the light before its ruined” liriknya.