Thursday, June 23, 2011

Catatan seorang Pendiam 23 Juni 2011


Pagi-pagi sekali aku memutar film yang barusan tadi malam kudownload. Klik kanan dan Open With-. Media Player Classic. Judulnya “Kalung Sepatu” karya anak-anak Ekskul Teater Papringan SMA N 1 Kutasari, sekolah dimana aku pernah di didik disana. Intinya bahwa film ini memberi pelajaran tentang bagaimana seharusnya orang tua mendidik anaknya dengan baik dan bagaimana seorang anak juga harus memperhatikan dan megerti betapa orang tua telah bersusah payah untuk kita. “Kalung Sepatu” yah artinya bahwa pemeran utamanya selalu menggantungkan sepatu sepakbola kesayangannya di leher, ia berprestasi di timnya hanya saja ia sudah tak punya ibu, tinggalah bersama bapaknnya yang sedang sakit dan rumah reotnya.

Film ini telah mengundang memoriku 6-4 tahun yang lalu, setting/ latar film ini masih di desa Meri, sekitar Sekolahan. Desanya yang rindang, hijau dan basah. . . . . aku sering berkeliaran disana bersama teman-teman, atau diajak guru olahraga untuk berekresi sejenak disitu. Paling favorit adalah berkunjung ke Telaga yang begitu bening, atau melihat penambang batu sedang memukul-mukul bongkahan besar monster hitam yang dimuntahkan Sunung Slamet.

Back sound yang dimainkan di Film ini adalah dentuman rangkaian musik calung, bunyi yang dihasilkan dari ketukan bambu wulung yang mempesona, alami, dan Banyumas sekali. Seingatku musik calung ini diperkenalkan ke SMA ku oleh kawanku Frenki dari IPS-2. Namun ternyata hingga kini ketukan-ketukan surgawi itu masih didengar disana hingga kini. Frenki telah berjasa sebagai trendsetter kesenian calung di SMA ku ini. yah itulah anak IPS-2 tempatnya para seniman dan musisi lahir serta surganya cewek-cewek cantik dan gaul. Kelasku di IPS-1 tempatnya mereka para aktifis organisasi, ada ketua OSIS (Trisoni), Ketua ARUNA-PALA (Feri Sobar), dua jagoan tangguh pemenang pencak silat tingkat kabupaten (Fajar & Piska), pemain bola PERSAP/Persatuan spk bola Purbalingga (Inggit) dan si Jenius yang selalu di papan atas nilai tertinggi ada Sri Undiarti dan Erna. Sedangkan aku bukan apa-apa disitu. Seringkali temanku menyamakan aku seperti Gie, bukan disamakan karena kecerdasannya tapi hanya karena aku kaku setiap kali didekati cewek (persis apa yang ada di film Gie).

IPS-3 meski banyak yang cerdas tapi nampaknya mereka orang-orang yang mistis, karena kelasnya paling gelap dibanding kelas yang lain. Mereka tidak bisa menikmati pancaran hangatnya mentari di pagi hari. Di luar jendelanya hanya tampak segeromblolan hutan bambu, yang kadang mendesis atau menderit diterpa angin. Sedangkan anak-anak IPA kebanyakan wanita, meski diam saja tak pernah membuat kehebohan di sekolah tapi mereka senantiasa terlihat anggun bagaikan bunga di pagi hari yang berselimut embun.

“sekolah SMA baru saja selesai, semua kenangan-kenangan manis terbayang kembali. Dan aku sadar, bahwa semuanya akan dan harus berlalu. . . . ada perasaan sayang akan kenangan-kenangan tadi, aku seolah-olah takut menghadap ke muka dan berhadapan dengan masa kini, dan masa lampau terasa nikmat”. . . .

0 comments:

Post a Comment