Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Sunday, February 24, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 16]


Imsyak telah terlewat, dalam detik subuh aku menyatu ke dalam keEsaan-Nya, menyembah kepada Sang Penggawe Urip. Aku tak percaya Dewa apapun, juga Dewi Fortuna, karena mereka hanya hidup dalam bayang seni. Sang Penggawe Urip Lebih berhak atas segalanya untuk tempat berharap. Selama aku masih selalu dalam dekat-Nya, aku tak mengenal lagi apa itu “Hoki”. Bejo-Apes itu tak ada bedanya, sama dengan Sugih-Mlarat keduanya masih dalam ranah Ujian. Yang kuharap bahwa aku tidak akan menjadi pendusta atas apa yang telah diberikan-Nya nanti.

Aku bangkit menuju jendela depan, memegang gagang handphone dan menekan tombol Call pada nama kontak “Bapake”. Sejenak kubiarkan suara dengung sedang menyambung. Aku mencari secercah cahaya dari luar dengan membuka gorden. Suasana masih biru fajar, lekuk bukit-bukit pun belum terlihat jelas. Masih sunyi, puluhan pohon rambutan di depan kos masih tampak seperti gadis-gadis yang sedang melamun.

Handphone belum juga tersambung, membuatku sedikit melamun memandang ke luar. Beruntungnya aku melihat pemandangan seindah ini dalam keadaan tidak kedinginan. Kos tempat tinggal Nanang ini memang kuakui seperti sebuah villa mini di ujung gang Cempakasari timur. Pandangan lepas tak terhalang dinding, terlihat bukit-bukit yang belum tersentuh beton, dari bukit Banyumanik hingga bukit Ungaran, melingkar. Aku hangat bersama sahabat-sahabat yang telah membuat skenario dengan baik atas kepedulian kepadaku untuk persiapan menjelang ujian. Entah bagaimana jika aku masih di Dian-Ratna Setanjung, aku bisa bangun subuh dalam keadaan kesepian tak ada penyemangat hidup dan melihat pemandangan kos yang kumuh. Atau jika aku sedang di kontrakan Ar[t]my Kalimasada, seluruh orang di kontrakan tidak pernah tahu kalau hari itu aku akan ujian, mereka masih tidur.

Warna biru fajar itu menenangkan fikirku, karena masih menandakan jam-J ujianku masih lama. Biru fajar itu membuatku dari kejauhan seperti gerhana bulan parsial. Separuh tubuhku tampak tersinari cahaya dari jendela panjang itu, separuhnya lagi masih gelap gulita oleh ruangan. Suasana terlukis sebuah siluet dua warna: Biru dan Hitam.

Telfon tersambung, aku mengambil duduk di kursi terdekat.
“Haloo, Assalamu’alaikum. . . . .Mamak & Bapak sedang apa?”, sapa awalku. “Waalaikumsalam. Kami sedang mempersiapkan pagi, . . .bagaimana gan apa semua sudah dipersiapkan?, tanya mamakku.
 “Sudah Mak, aku sedang bersama kawan terbaikku tinggal di Jalan Cempakasari, akan lebih berat jika aku masih sendirian di Kalimasada. Jas hitam aku dipinjami Nanang disini, buku-buku referensi juga sudahku bawa. Masalah berangkat sudah tidak perlu khawatir Aris akan mengantarkanku meluncur ke kampus ribuan detik lebih awal dari tepat waktu”.  
“baguslah, waktu ujian sudah tidak diundur lagi seperti kemarin kan?”
“Tidak mak, hari ini sudah pasti. Hanya satu dosen yang takkan hadir. Tapi tenang, menurut pengalaman dosen yang itu tidak akan repot menyusul menguji. Hanya menerima form penilaian dan menandatangani berita acara”.
“Semoga sukses gan, kami semua mendo’akanmu”
“Ya mak, semoga diberi kelancaran, karena setelah ujian perjuanganku belum selesai. Terimakasih mak, aku segera bersiap-siap. Wasalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Seumur hidupku baru kali ini aku memakai pakaian khas pejabat negara. Hem putih dibalut jas hitam dan dasi merah yang flamboyan ku pinjam dari Anggoro. Tampil meyakinkan dan bergaya intelektual. Hanya dengan pakaian seperti ini, banyak hal yang berubah secara tiba-tiba dalam tingkahku: gaya berjalan sangat ideal seperti berjalan di catwalk, santai tapi meyakinkan, dada sedikit dibusungkan dan bahu diluruskan. Dalam kesempatan langka itu, aku sempat difoto oleh Nanang di salah satu sudut kamar. Itulah foto yang bersejarah bagiku, bagai foto seorang pilot Kamikaze Jepang sebelum detik-detik memberangkatkan pesawatnya untuk menabrakkan diri ke kapal milik Sekutu. Senyum-senyum pilu dalam foto itu detik-detik menjelang Jam-J ujianku. Alih-alih Nanang menyarankan agar foto itu diupload dijadikan sebagai foto profil buku wisudawan kelak. Namun urung mengcopy, urung mencetak foto itu Nanang sudah keburu pergi dikirim ke Aceh, sehingga foto itu belum sampai ke tanganku.

Tepat hari itu tanggal 1 Agustus 2012 atau tanggal 13 Ramadhan. Tanggal itu memang melenceng dari yang tertulis di SK Ujianku yang tertera tanggal 25 Juli 2012. Jadwal yang membias disebabkan setelah terjadi cerita tebal penuh perdebatan dalam rapat jurusan di kalangan dosen. Perdebatan itu memecah dua blok yaitu antara dosen yang idealis versus dosen pragmatis. Dosen pragmatis patuh pada peraturan universitas dan tetap ingin melaksanakan ujian sesuai dengan SK tak peduli betapa mepetnya waktu. Sementara dosen idealis menginginkan waktu tenggang dengan dalih ingin bisa mendalami skripsinya dulu baru bisa menguji. Kedua pengujiku antara pak Harso dan pak Sodiq adalah satu sekutu sebagai dosen idealis, sehingga aku menurut saja dengan jadwal yang ditentukan pada mereka.  

Ruang ujian terletak di C2. R108. Dulu ruang ini penuh kenangan bagiku saat KEMAS 2008 menjadi peserta dan KEMAS 2009, naik pangkat jadi panitia, antara menjadi mahasiswa yang digembleng menjadi mahasiswa penggembleng. Ruang ini dulu juga biasa digunakan sebagai tempat bentrok antara mahasiswa dengan dosen dalam dialog jurusan. Setiap akhir semester genap tempat ini menjadi ajang uji kebolehan mahasiswa paling pintar dari setiap kelasnya untuk menseminarkan hasil kerja Kajian Peninggalan Sejarah. Namun kenangan terakhirku dalam ruangan ini adalah saksiku ketika Micro-teaching sebelum diterjunkan saat  PPL. Itupun suasana ruangan sudah berubah total: ruangan yang cukup luas ini disekat menjadi dua dan dinding-dindingnya dilapisi dengan peredam suara dan cahaya menggunakan karpet warna abu-abu. Suasana menjadi sangat ekslusif mirip tempat rapat di sebuah perusahaan besar. Namun bagiku ketiadaan pemandangan luar dalam ruangan itu membuat terlihat pucat lebih sempit dan menegangkan. Seolah sebuah persegi itu hanya milik mata orang yang ada di ruangan saja.Aku dan Aris menyetting ruang ini sebagai ruang presentasiku. Dan Nanang menjadi relawan sebagai operator laptopku untuk menjalankan PPT yang telah q buat.

Waktu semakin dekat, namun aku tak gentar. Aku tak ingin mengecewakan saat ujian itu. Jauh berminggu-minggu semua tlah kupersiapkan, beberapa referensi kubaca termasuk buku Catatan Seorang Demonstran, juga telah mengkatamkan buku “Soe Hok-Gie sekali lagi” yang begitu tebal itu, buku-buku pendidikan, jurnal-jurnal ilmiah, rumus-rumus statistik, langkah langkah menggunakan software SPSS tak luput. Bahkan buku-buku MS Excel dan PowerPoint juga kupelajari.

Pak Sodiq akhirnya datang, Pak Harso sudah menunggu di kantor dan mereka akhirnya duduk di hadapanku di R.108. Pak Harso tampil standar-standar saja, meskipun sudah tergolong tua namun aura-aura seorang pujangga sastrawan sekaligus kritikus masih sangat kental. Sedangkan pak Sodiq menggunakan jas abu-abu tampil kalis dan percaya diri sekali sepertinya jas itu memang tidak terlihat kaku dipakainya karena beliau memang seorang Konglomerat, sedikit keturunan ningrat, kritikus politik, sekaligus seorang kyai berpemikiran Islam Ortodoks (Muhammadiyah) namun juga kadang menyukai sepak terjang orang-orang Islam Fundamentalis di Timur-Tengah sana.

Tak pernah disangka, bahkan tatapan mata merekapun tidak dapat kubaca ternyata Pak Harso menginginkanku presentasi hanya 5 menit. Cukup menyentak fikirku tuk bertanya dalam benak “ada apa ini? Umumnya mahasiswa dipersilahkan untuk presentasi selama 10-15 menitan, tapi aku?”. Ah iya, sambil aku presentasi kilat itu tapi aku juga telah menemukan jawabannya: Umumnya dosen-dosen sudah super bosan melihat mahasiswa presentasi yang pembawaanya sambil membaca lagipula nadanya datar lagi sehingga mereka tidak ingin momen menjenuhkan ini terlalu panjang.

Ada rasa kecewaku tentang pemotongan waktu ini. Bukan hendak aku ingin sok brilian saat presentasi, tapi aku sadar bahwa bagiku skripsiku ini isinya tidak akan begitu berharga kelak atau pantas dinilai kecil, sehingga aku akan membuat sebuah tipu daya kepada dosen-dosen agar terpesona melihat Powerpoint yang telah ku buat itu. Karena aku sangat yakin bahwa garapan powerpointku sangat menakjubkan, aku bahkan memuji diri sendiri bahwa ini adalah powerpoint terbaik yang pernah ku lihat selama empat tahun di kampus, bahkan lebih bagus daripada yang dibuat oleh para “tukang”. (bisa didownload di blogku). Aku mempelajari ppt selama seminggu, bahkan aku juga sempat mempelajari macromediaflash player untuk lebih memodifikasi.

Apa boleh buat aku seperti anak kecil yang iseng berkarya tapi tak diperhatikan orang tua. Pemotongan waktu juga telah membuatku yang telah mempersiapkan penjelasan cukup lengkap menjadi terpotong-potong tidak jelas seperti sedang mengraji dengan gergaji tumpul, tersendat-sendat. Pak Harso sempat melirik slide ku tapi hanya beberapa detik saja, sisanya dia sedang membolak-balik copy skripsiku mencari-cari kelemahan. Sementara pak Sodiq cukup memperhatikan, sayangnya ia adalah komentator nomor dua disini.

Tipu dayaku gagal total, sudah, dan senjata ke duaku adalah survival. Survival dalam strategi sepak bola dikenal dengan strategi Defensive. Begitu juga dalam ilmu perang, “Defensive” ini adalah sebuah kesadaran akan kekalahan dari berbagai lini, tapi ia harus mempertahankan sampai titik penghabisan. Teknik survival inipun terbukti berhasil karena kritikan-kritikan dari mereka tidak membuatku tewas atau menurunkan mental. Meskipun aku tahu apa yang mereka kritikan itu cukup benar dan aku setuju tapi yang bisa kulakukan dalam strategi defensive adalah “mengeyel” atau mempertahankan pendapat, dan aku juga tahu bahwa aku sedang mengeyelkan sesuatu yang salah. Sehingga rasanya serba salah, seperti aku ikut menjadi crusader (tentara salib) memerangi umat muslim padahal aku sendiri seorang islam. Ah tapi tidak dink justru “mengeyel” adalah sesuatu yang paling diinginkan dari dosen penguji, karena jika tidak mengeyel kita akan dicap sebagai tentara yang lemah. “Mengeyel” dalam ujian skripsi ini bagiku cukup menyimpan banyak harapan: Pertama aku berharap semoga aku seperti serdadu Jepang yang sedang memepertahankan Pulau Iwo Jima dari Amerika yang meskipun kalah tapi itu menjadi perang terberat orang Amerika. Kedua, syukur syukur aku bisa seperti revolusioner komunis Kuba, Fidel Castro yang hanya memiliki 280 laskar namun justru menang melawan rejim Batista yang sebanyak 10.000 laskar.

Aku ingat kritikan-kritikan dari mereka dan kemudian kujadikan quotes di otakku ini. Pak Harso sempat beranalogi begini “Ibaratnya skripsimu ini seperti mencoba mengobati kanker menggunakan Paramex Gan. . . . .”, dan aku mengeyel “ya betul pak tapi kan yang ini gak ada efek sampingnya pak. . . .”.

Ada lagi dari pak Harso, “Para pejabat yang koruptor itu juga orang-orang yang rajin upacara, jadi upacara tidak bisa dijadikan indikasi nasionalisme”, ungkap pak Harso. “Wah di skripsi saya itu kan gak mencantumkan upacara pak” eyelanku datar. Rupanya pak Harso tidak membaca skripsiku secara komperhensif dan mengira skripsiku seperti skripsi skripsi nasionalisme yang lain. Jadi waktu itu apa gunannya ujianku diundur yang konon alasannya untuk membaca skripsiku dulu?. Apalagi memang betul setelah ku buka lagi file skripsiku melalui MS Word kemudian ku tekan tombol Ctrl+F ternyata memang tidak ada satupun kata “Upacara” dalam skripsiku. Bukanya merasa tidak adil tapi aku justru benar-benar bangga beliau mengkritik skripsiku sedalam ini (meski salah sangka), pasalnya skripsinya Nanang yang dipuji oleh Prof. Wasino atau skripsinya Nadia yang dipuji Bu Ufi keduanya sama-sama bertemakan nasionalisme tapi mereka tetap mencantumkan rajin “Upacara” sebagai indikasi nasionalisme.  

Satu lagi quotes yang ku ingat, dari Pak Sodiq “Hanya ada satu kata untuk meningkatkan nasionalisme: PERANG !!!!”. Aku dan seluruh audienspun tertawa mendengar ungkapan ini. Aku tertawa sambil mengangguk-angguk dan tidak mengeyelnya karena sudah jelas ini bukan bagian dari kritikan untukku, atau mungkin beliau sedang membuat semacam joke.Ketika beliau berseru kata “PERANG!” otakku langsung pergi ke Afghanistan-Pakistan teringat akan Taliban yang memang hobby perang disana, dan pak Sodiq adalah salah satu fans Islam Fundamentalis macam Taliban. Untung saja pak Karyono sedang tidak ikut menguji disini, pasalnya kalo ia sebagai umat Katholik mendengar kata-kata pak Sodiq itu tadi, ia jadi tambah percaya bahwa Islam adalah agama Perang. Apalagi Pak Sodiq adalah seorang kyai, pak Karyono bisa-bisa tambah mengakui eksistensi Islamofobia.

Sesuatu yang sebenarnya tidak kumaksudkan untuk tipu daya tapi mereka malah menganggapnya sebagai tipu daya yaitu metode kuantitatifku. Aku pikir memang penelitian survei pantas-pantas saja menggunakan kuantitatif. Tapi mereka menganggap ada yang salah jika nasionalisme bisa diukur dengan angka. Kuakui memang kurang tepat, tapi aku memang waktu itu sudah terlanjur mendalami metode kuantitatif jadi biar bagaimanapun juga aku ingin mempertahankannya. Aku sudah siap seandainya mereka menanyakan suatu rumus di skripsiku, di luar dugaan mereka malah tidak membahasnya satupun. Pak Harso, beliau adalah dosen mata kuliah Metode Penelitian Pendidikan seharusnya bisa saja dia menyentilku dengan pengetahuan rumus-rumusnya. Tapi sayangnya pak Harso adalah generasi lama, sehingga mungkin beliau masih mengusung rumus-rumus telanjang manual ala yang ditulis Prof Suharsimi Arikunto atau Prof Dewanto. Sementara skripsiku sudah menggunakan teknologi SPSS dimana aku dapat mengetahui hasil beserta nilai residualnya tanpa menulis rumus dalam keakuratan yang sangat tinggi dalam waktu satu detik. Tinggal kita membaca angka-angka isyarat yang telah tertulis di tabel.

Semenjak kecil aku memang benci hitung-hitungan matematika. Ketika SD aku seringkali dimarahi ibuku ketika aku sering sekali mendapat nilai matematikanya berupa tongkat (1), cawang (2), kuntul (3) atau kursi (4). Namun soal skripsi aku memberanikan diri mengambil mahzab kauntitatif setelah mengerti SPSS selain irit halaman isinya juga lebih minim omong kosong ketimbang skripsi-skripsi bermahzab kualitatif. SPSS adalah cara yang sangat instant, aku senang mempelajarinya kemudian berkembang dalam pikirku sebagai seorang sejarawan kuprediksikan suatu saat ilmu matematika pasti akan musnah di muka bumi ini. Beberapa software ciptaan manusia akan menggantikan matematika menjadi alat yang begitu mudah macam SPSS, menghitung tanpa menulis rumus, menghitung tanpa membuat coretan rincian. Anak kecil tidak lagi diajari menghitung tapi diajari mengoperasikan software.

 Pak Sodiq yang gelar sarjanannya maupun gelar magisternya adalah ilmu sejarah murni. Sudah pasti beliau tidak berani mengungkit-ungkit rumus-rumus yang kupakai. Karena biar bagaimanapun manusia telah diharamkan Tuhannya untuk tidak sok yes mengkritik atau mengajarkan sesuatu yang tidak ia kuasai.

Ujian terasa cepat dan hampir berakhir, karena hanya ada 2 orang penguji. Tinggal pada fase antiklimaks, Pak Harso sedikit memuji, biar skripsiku metodenya kurang tepat tapi susunannya sudah cukup baik dan rapi. Revisinya hanya satu hal saja perbaiki bagian “pendahuluan” disesuaikan lagi dengan karakter pendahuluan ala penelitian Ex-Post Facto. Pak Sodiq mengikut saja dengan pak Harso meski wajahnya masih tergambar belumbombong.

Aku dipersilahkan meninggalkan ruangan. Mereka mendiskusikan nilai. Nilai tidak diumumkan langsung mereka hanya memberitahuku bahwa aku seperti yang lain “Lulus” dengan syarat menyelesaikan revisi. Hari itu terasa lebih lega. Gunung yang ganas seolah berhenti bererupsi pada hari itu. Luluh lantah kerusakan ada dimana-mana. Tapi aku cukup senang mereka mengujiku dengan sangat kritis tidak seperti penguji-penguji lain yang pernah ku lihat. Semoga mereka sadar akan kerusakan-kerusakan itu, selain ada pada skripsiku, skripsi-skripsi garapan mahasiswa program studi pendidikan yang lainpun banyak yang berisi bullshit dan manipulasi data. Akupun merasa ikut menjadi korban didalamnya, tidak lain semuanya tersirat makna protes. Tidak seharusnya mahasiswa jurusan sejarah prodi pendidikan dikekang hanya boleh membuat skripsi tentang pendidikan, tatapi biarkanlah ia lepas bersama kupu-kupu pemikirannya menghisap juga madu-madu ilmu sejarah.

Meskipun skripsiku tentang pendidikan kurang baik tapi beberapa para pejabat di jurusan juga sudah tahu bahwa aku pernah membuat sebuah karya tulisan sejarah yang diterima pihak Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) dan dipajang di jurnal ilmiah nasional. Semoga semua akan tersimpul bahwa aku secara pribadi bukanlah sosok yang berbakat dalam hal pendidikan, guru ataupun pengajar tapi aku adalah sosok yang spesial dalam hal mengabadikan sebuah peristiwa. Dan catatan “Dari Setanjung ke Kalimasada” adalah sepicis bukti.

Padamara, 24 Februari 2013