Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Saturday, May 28, 2011

Catatan seorang Pendiam 28 Mei 2011


Sudah kuduga kami akan membahas apa yang tertempel di lengan kiri jaketku. Sudah telat 30 Menit Winarso mengjakku ikut rombongan anak-anak KSG yang akan melakukan penanaman pohon Mangrove massal di Pantai Tirang. Aku tak heran itu sudah jadi kebiasaanya untuk tidak terlalu tepat waktu, aku tahu persis karakter ini. Dia kaget ada Bandera Amerika Serikat di lengan kiriku. Seolah dia manganggap bahwa ini tersirat keinginanku untuk mengajaknya debat. Tapi sesungguhnya tidak.

Di warung makan bu Yayuk dia membahas tentang Negara ini. Aku tahu persis sesuatu yang ia generalisasikan setelah banyak belajar sejarah, meski secara otodidak. Dia sangat memuja model kenusiaan yang equality, dimana negera Komunis adalah kedoknya. Dia suka akan system ini karena dia sendiri menganggap dirinya adalah kaum proletariat (aku juga proletariat). Kalo kambali ke zaman perang dingin mungkin ia menjadi pemuja NEFOs, sama seperti bung Karno dan kawan-kawan Sayap Kirinya. Menganggap Negara Barat dengan julukan NEKOLIM. Baginya hingga sekarang menganggap AS lah biang keladi kebobrokan Indonesia saat ini. Pak Sodiq pun juga demikian beliau mencela Indonesia yang berkerjasama dengan AS.

Aku iri dengan Malaysia. Ia lebih muda dari Indonesia. Sama-sama Negara didominasi muslim. Sama-sama kiblatnya ke Negara Barat, tapi mengapa Indonesia sudah terinjak dibawahnya. Jadi Masalah kebobrokan Indonesia dihubungkan kongkalikong dengan Barat bukanlah sesuatu yang mutlak. Pasti ada yang tidak beres, bagiku adalah masalah watak yang terbetuk dari pengalaman individunya.

Aku kurang meyukai system komunis, karena begitu ekstrim. Konsep komunis adalah Progresif Revolusioner, alias revolusi adalah kewajiban. Semua dipaksakan agar tidak terjadi perbedaan. Tentunya ini adalah hal yang sangatlah sulit oleh karena itu komunis tetap menghalalkan kekerasan untuk mewujudkannya. “bukan menjadi masalah ketika dua per tiga masyarakat di dunia lenyap, asalkan yang sepertiganya adalah komunis” Kata Lenin.

Bagiku equality/ persamaan memanglah kaharusan ketimbang berfikir soal individualism. Tapi tentunya hal ini akan lebih baik jika dipancing dan datang sendiri melalui kesadaran, bukan dilakukan secara revolusi yang brutal. Akupun cukup menyadari bahwa hakikat kita hidup tidaklah untuk diri sendiri saja tapi juga untuk orang lain, inilah yang banyak orang menyebutnya sebagai “sosialisme”, dan Negara-negara Eropa sudah banyak yang mulai menganutnya. Dan “sosialisme” sama-sekali tidak boleh disamakan dengan istilah “komunisme”. Di Indonesiapun sempat terjadi pertentangan antara Komunis vs Sosialis, yaitu ketika konsepsi Partai Sosialis Indonesia dimusuhi oleh PKI. Sjahrir yang menunggangi PSI pun harus rela ditendang oleh Soekarno dan PKI.

Akupun tidak memuji Negara-negara barat tapi tetaplah ada yang aku sukai. Bendera AS yang kutempel di lengan kiri ini adalah perlambang dari sebuah kebebasan berekspresi. AS adalah kiblat dari Liberal, Liberte. Ganda the Free Thinker. Tanpa adanya liberal mungkin aku sudah mengidap penyakit pemurung stadium 4.

Aku suka Music Rap. Ia lahir di Amerika. Lahir dari para budak-budak Negro. Mereka sangat keren. Lagu Rap menjadi salah satu bagian alat perjuangan mereka dalam menghancurkan tindakan rasialis. Merekalah the free thinker. . . . . . .United States of America

Malam ini aku datang ke pantai Tirang. Percuma saja aku membawa Novel dan Buku catatan jika penerangan tidak ada. Aku hanya bisa duduk terdiam. Melihat laut seperti tak berujung. Diatas tikar aku terlentang dan melamun melihat bintang. Terdiam, aku tak bisa membuat prosa malam ini. aku tidur lebih awal.  

Friday, May 27, 2011

Catatan seorang Pendiam 27 Mei 2011


Tak sesekali ini aku salah mengambil buku. Bukan cover, tapi popularitas buku yang kulihat. Benar, Max Havelaar rasanya sulit ku pahami, tuk sementara aku malas membacanya. Mungkin sastrawan Belanda saja yang mampu menangkap dengan cermat.

Aku senang hari ini. besok hampir seminggu aku libur. Akhirnya bisa menikmati novel-novel lagi atau acting slow motion dengan proposal skripsiku. Atau bisa juga kesempatan buat membayang-bayangi dia tentangku, tentang sosok penganut calm-isme modern.

Feby agak kecewa aku masuk bis C, mengira aku tak setia kawan. Aku tak mengenal geng disini, tentunya aku bebas bergaul dengan siapa saja, sealiran atau tidak, seagama atau tidak, satu pemikiran atau tidak, dasarnya aku tak diskriminasi. Hanya saja kali ini aku memilih bersama kawan satu etnis meski pada dasarnya aku tak sealiran dengan kebiasaan mereka. Misterius diantara kami (Banyumasan dengan Banyumasan), tapi aku benci dibilang rasialis… apa lagi disamakan dengan sifat orang Israel mengaku sebagai orang pilihan Tuhan, rasanya mustahil. Aku manusia biasa. Bahkan dari fisik terlihat aku sangatinlander, orang pribumi yang coklat dan kurus (untuk sekarang).

Kami satu etnis memang kuranglah tampan dan kurang proporsional dimata cewek, apa lagi jika dibandingkan dengan orang medan. We are just wanna say “I think WoW” buat mahasiswi. Kami tidaklah arogan. Kalo aku si sekedar turunan dari kaum ploretar, tapi yang paling aku suka adalah independent. Yusak, Aan dan Anggit (kawan seetnisku) sudah terlanjur dapat respect yang kurang baik gara-gara sering mbolos kuliah itu ketegasan mereka akan rasa ketidaksesuaian, dan rasanya kami semua sedikit pandai berbahasa Inggris. Bagiku sebuah penghianatan besar ketika etnis kami tak bangga dengan bahasanya sendiri. Ah rasanya sok amat orang-orang diantara kami mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Mereka tak sadar akan warisan nenek moyang, kalo begitu lama-lama bahasa ini bisa hilang. Sama halnya seperti Bibel Perjanjian Lama, ini menggunakan bahasa yang sudah lenyap di dunia ini. Rasanya Yusak terlalu mendarah daging (bukan fanatic) dengan Bahasa Banyumasan hingga dia masih saja kesulitan berbicara dengan bahasa Indonesia, apa lagi ketika pdkt dengan cewek yang berbeda bahasa, aku rasa kelak ia sangat cocok jika Endogami ketimbang Eksogami. Sedangkan aku si bebas saja, asimilasi bagiku bukan masalah.

Pernah aku debat secara minim pengetahuan dengan mereka orang Jawa tentang bahasa dan tulisan. Bagaimana tulisan Jawa di daerah ku? Bagiku kata dasar yang benar tetaplah “Ha. Na, Ca, Ra, Ka. . . . . . dst“ tapi bagi mereka “Ho, No, Co, Ro, Ko. . . . . . .”. dia salah besar. Untuk masalah tulisan, nenek moyang kita masih satu/ sama yaitu Prabu Ajisaka, maka segala kaidahpun sama. Untuk merubah vocal menjadi “O” tentunya ada aturannya yaitu dengan memasangkan “taling-tarung”. Benar mereka yang salah.

Etnis Banyumas bukanlah Ras Banyumas. Tapi kami punya peradaban sendiri, lihat Babad Pasirluhur, Babad Wirasaba I, Babad Pasirbatang, Babad Wirasaba II. Babad-babad itulah yang mempertemukan kami dengan nenek moyang kami yang sesungguhnya. “Banjoemas Civilization”. Siapakah yang disebut sebagai orang Banyumas? Pertama, orang-orang yang masih dan merasa dan mengakui memiliki kakek-nenek moyang (leluhur) sampai dengan bapak ibunya dilahirkan, meninggal dunia atau seumur hidupnya tinggal menetap di wilayah dalam nama babad-babad diatas. Kedua, orang-orang yang sampai saat ini masih merasa bangga menjadi anak-putu-buyut-canggah-wareng . . . . .dst sampai galih asem dari orang Banyumas, apa lagi yang bisa berbahasa Banyumasan. Ketiga, siapa saja yang pernah tinggal menetap di wilayah Eks Residentie Banjoemas ini, merasa hidup tentram manurunkan keturunannya disini dan terlanjur jatuh cinta pada kehidupan social-budaya, logat bahasa dan budayanya.

Thursday, May 26, 2011

Catatan seorang Pendiam 26 Mei 2011


Diam tidaklah selalu petang. Rekanku si Pendiam Dwi Setyo Adi, menerimaku sebagai sasama pendiam. Aku suka dengan teman lelaki sesama penganut Calm-isme seperti dia. Agaknya banyak perbedaan diantara kami, diamku adalah pemurung/ pelamun (bukan berarti pesimis), romantis juga, diamku mencari tahu hakikat manusia, sehingga aku mantap berani mengambil jalan sendiri. Kalo dia, tak banyak kata di kepalanya, aku ingat bagaimana dia mengajar saat latian dalam Manajemen Pendidikan Sejarah, absolute yang ia ucapkan adalah hapalan apakah artinya jika dia tak menghapal dia tak bisa berucap apa-apa? Kata si Eko Mad temannya waktu SMA katanya si Dwi tergolong anak cerdas, aku yakin dia pandai di Otak kirinya, mungkin ia salah jurusan saja, seharusnya ia masuk di PGSD (yang memang minatnya) atau di MIPA saja. Ketika di sejarah ia berdiam, tatapannya tidaklah kosong seperti aku, tapi mungkin dia bingung akan sesuatu.

Tadi siang aku menemaninya membuat KRS baru karena hilang, dan sarapan bareng di Kantin belakang Geografi serta berakhir ku ajak transit di kosku. Memberiku satu kotak dodol (mungkin dari temannya Geografi yang habis KKL ke Bandung). Tak ada obrolah yang kompleks diantara kami.

Penganut Calm-isme memang seharusnya menjadi orang yang tepat waktu dan menepati janji, dan dia tak melanggar dogma ini.
Kemarin Tyo, temanku yang berwawasan luas dan cukup cerewet juga sempat curhat kepadaku. Bagiku dia sangat pandai dalam memulai komunikasi dengan siapa saja dan berani iseng mengajak ngobrol, jadinya aku cukup kagum kepadanya karena aku orang yang tak berani iseng mengajak ngobrol (kecuali kalo punya urusan) dan aku paling suka dengan orang yang mengajak obrolan terlebih dahulu. Tapi bagiku ternyata Tyo tak ahli dalam forum resmi, anehnya ia menjadi gagap makanya ia menghindar dari presentasi. “yah itulah kebalikanku denganmu” kata dia. Karena kepandaiannya dalam komunikasi non-formalnya kepada siapa saja dia malah seringkali dianggap lagi naksir dengan lawan bicaranya (jika cewek) oleh teman-temannya. Dia ternyata mengeluhkan ini.

Akhirnya keinginkanku tuk berceramah tentang Nugroho Notosusanto (sejarawan yang kukagumi) didepan teman-teman terwujud juga tentang intervensi militer dalam pendidikan, tapi aku tetap berusaha objektif. Sangat ditanggapi positif oleh senior Mas Fakhan Ashari dan kawanku Artha.

Tian di Jakarta juga curhat padaku, aneh badan segembrot itu dia ngakunya orang susah dari segi financial. Dia kehilangan pekerjaannya dan kembali menggantungkan sepenuhnya kepada orangtuanya untuk membiayai kuliahnya. Bagiku, jika memang orang tua memang mampu, meski terseok-seok biarlah ia yang bertanggung jawab kepada kita. Kuliah sambil kerja membuat kita tak handal lagi soal studi yang kita jalani. Secara psikologis orang yang sudah merasa membantu orang tua atau meringankan tanggungjawab orangtuanya dalam membiayai kuliah, dia sendiri akan merasa berhak untuk bebas, bebas dari tuntutan orang tua agar kita cerdas, oleh karena itu mereka yang kuliah sambil kerja pasti kuliahnya nggak beres. Akan terbiasa dengan profesi rendahan itu.

Berbeda jika kita sebaliknya. Jika kita cukup konsentrasikan untuk kuliah, biarlah orang tua kita tragis dalam berjauang. Maka ketika kita lulus kita baru terketuk pintu hati kita akan ketragisan orang tua berjuang untuk kita. Karena akumulasi rasa iba itu maka kita akan mati-matian menjadi yang lebih baik berjuang keras untuk membalas budi akan ketragisan itu. Kita akan terdorong untuk menjadi orang yang lebih tinggi.

Wednesday, May 25, 2011

Catatan seorang Pendiam 25 Mei 2011


Saat ini pukul 22:30 aku belum juga tidur, usai menelanjangi sosok Nugroho Notosusanto untuk tugas Sejarah Militerku besok.

Aku tak tahan untuk tak menulis, si misterius itu mungkin tak membaca status-statusku tadi siang dan tak mengerti.
Kau tetaplah misterius, misterius. . . . .
Dan aq seringkali bosan dg kemisteriusan itu. . . Ada yg ganjil dalam rasional
NgeRap:
Di hidup ku, kau hanya wanita misterius#
Gak mau nampakan diri pada ku seolah kau tak mau serius#
Di dalam coklat terpendam buah kismis#
aku sempat terpikat karena kata-katamu yg manis#
Sabar ku habis, hingga aku ragu tuk mengambil#
Meski kau rmantis, tapi bagiku kau masih tetaplah ganjil#

Karena ku ingat maka Beat ini ku tulis#
Dulu pernah semangat, kenapa lambat laun ku terkikis#
Dulu optimis, kelak kita bisa bersatu#
Tapi kau tak nampakan diri hingga kian lama waktu#
Kau janji kan tunjukan drimu, suatu hari nanti#
ku coba menunggu tapi 1 foto pun belum juga kau beri#

Ada yang kurang saat ada hal yang tak ku ngerti#
Saat sekarng, kau tak berani tunjukan diri#
Kau selalu menghampiri tapi hanya di SMS#
saat ku tanya apa Fbmu, kamu hanya speechless#
Cuma gitu saja koq main rahasia#
Bisa-bisa Rasa kagumku padamu berubah sia-sia#

-----------
Kenapa pula aku tak merasa bangga bergabung dengan segerombolan teman-temanku yang berdasi. Mereka bisa membusungkan dada, terpilih menjadi pasukan khusus sebagai calon pengajar kelas Immersion. Ini hanya rasa malasku saja mungkin, karena aku tak punya alasan untuk menolaknya dengan logis.

Yusak, Anggit dan Aan (kawan satu etnisku) telah berhasil lolos seleksi sebagai pengajar sementara untuk para kontestan SNMPTN. Mereka tinggal menengadahkan tangan untuk menerima gajian yang lumayan besar nanti. Aku menyesal tak menyentuh proyek ini sebelumnya padahal aku sudah diberitahu Yusak sebelumnya.

Tuesday, May 24, 2011

Catatan seorang Pendiam 24 Mei 2011


Takdir hari Ini mungkin Allah menginkan aku menanggapi soal NII atau kasus berkaitan dengan islam lainnya. Partama, aku dihadirkan dengan koran tentang penggrebekan Gubernur NII yang ngantor di Belakang gedung DPRD Ungaran. Kedua, aku menemukan bulletin KAMMI yang menelanjangi NII. Ketiga aku tak sengaja nonton Film (baru saja dikasih Tyo) jdulnya from Paris with Love, tentang perjalanan agen mata-mata untuk menggagalkan aksi teroris islam yang ingin meledakan diri ketika Menlu AS datang ke Paris. Sebelumnya aku sangat tidak acuh mendengar hal ini, malas mendengar mereka yang beropini, yang berdebat soal NII, berdebat soal Teroris. Bagiku tak ada indahnya berbicara agama dikaitkan dengan proyek negatif. Rasanya tak masuk akal, pasti ada konspirasi dibalik itu yang numpang atas nama islam.

Aku dengar di orang islam yang tinggal di Amerika hidupnya harus dikucilkan, atau patut diwaspadai, atau layak diidentikan dengan teroris (membawa rumpi Bom, atau memanggul AK-47). Proyek mewujudkan Negara Islam Indonesia pun dinggap negatif. Teroris yang mengatasnamakan dirinya berjihad pun dianggap musuh bersama. Seolah tindakan-tindakan negatif itu dikatakan sebagai proyek islam dalam upaya memusuhi orang yang tidak seiman. Sebuah konspirasi agar orang takut kepada islam. Bahkan pemerintah Indonesia pun mengeluarkan RUU intelejen, jelas ini membuat protes ormas islam dikarenakan RUU tersebut dimungkinkan berpotensi menghambat gerakan islam. Saat ini memang banyak anggapan miring dengan gerakan islam.

Ketika di Purbalingga aku sempat membeli 3 bordiran, terdiri dari 2 bordiran bendera Amerika Serikat (Karena music Rap hip-hop yang saya cintai identik dengan AS) dan yang satu saya beli bordiran bendera Saudi Arabia (untuk kebanggan diri mengenakan simbol Islam) yang bertuliskan “La ila ha ilallah Muhammad Rosulullah” dan bergambar ada satu bilah pedang Arab. Aku meminta ibuku agar bordiran-bordiran bendera ini dijahitnya dan dipasang di lengan jaket-jaketku. Tapi ketika saya menunjukan Bordiran Bendera Arab agar dijahitnya di salah satu jaketku, ibu sejenak berhenti, mulai berfikir dan berpendapat kepadaku “lah bendera kaya kiye d’pasang mengko kho mbok ndarani teroris kepriwe? (Lhah bendera seperti ini kok dipasang, nanti kamu bisa dikira teroris bagaimana?)”. Aku jawab “ini kan bendera Arab ma, biar bangga beridentitas Islam, lagipula ini juga bertuliskan La ila ha ilallah Muhammad Rosulullah, masa gak boleh mak? Ini kan kalimat pernyataan Keteuhidan kita kepada Allah/ Tuhanku dan Muhammad sebagai rosul??”, ibu diam saja. Aku memasrahkan “yah udal lah mak, yang ini gak usah dipasang saja, biar bendera AS saja yang dipasang.

Dari cerita itu sungguh aneh dan ironis. Sebegitu parahkah katakutan kita menggunakan identitas Islam yang murni? Hingga kita takut dikira teroris. Bahkan ibu saya sekalipun, padahal ibu saya taat agama, rajin sholat, rajin baca Qur’an. Negara ini makin aneh saja , bisa-bisa lama-lama orang Indonesia kebanyakan dari hati memeluk Islam, tapi ketika ditanya ia takut mengaku Islam. Tak punya pendirian yang kuat !, penuh keraguan ! dan setengah-setangah !. Itulah Indonesia, makanya saya tidak membeli bordiran bendera Indonesia (saya tidak bangga dengan Indonesia). Para martir-martir Islam : Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas pun berfikiran hal yang sama, buktinya untuk kata-kata terakhirnya salah satunya ia berkata “Untuk anak saya kelak nanti, janganlah kalian bekerja menjadi pegawai negeri, jangan mendedikasikan diri untuk pemerintah negeri ini!”.     

Monday, May 23, 2011

Catatan seorang Pendiam 23 Mei 2011


Kuliah Kewirausaan hampir memberiku pemahaman baru. Aku suka diajar Pak.Bain analisisnya selalu menggunakan otak kanan, aku tahu persis itu. Masalah profesi setelah lulus aku malah lebih pesimis menjadi seorang pegawai negeri atau guru. dan yang jelas dari dulu hingga sekarang aku sangat anti menjadi Karyawan/ buruh. Aku pikir bodoh sekali orang-orang yang mencari lowongan pekerjaan, apa lagi mereka yang ditanya “kenapa kamu ambil jurusan itu??” dan dia menjawab “biar aku jadi ini. . . . karena lowongan pekerjaanya sekarang banyak”, perlu dikasihani. Mereka yang kuliah di jurusan yang kelak dicetak menjadi karyawan atau bagian dari suatu perusahaan besar. Mencari lowongan pekerjaan saya pikir hampir sama dengan mencari pintu rumah untuk me-majikan-kan orang atau memperbudak diri. Persetan dengan jumlah gajinya.

Lalu apa bedanya Guru dengan karyawan (yang notabene aku sangat anti)???. Bagiku Profesi guru mungkin menyenangkan dan gaji sudah terjamin hingga sudah mati sekalipun, itulah yang terlintasku masih ada seberkah kemauan menjadi guru. Itulah pola pikir orang Jawa, dan aku sudah terlanjur terjebak didalamnya hanya karena menginkuti keinginan Orang Tuaku agar aku bisa naik kasta dari Waisya ke Ksatriya (Pegawai Negeri), karena orang tuaku juga duduk di Kasta Waisya (dalam perumpamaan masyarakat Hindu). Orang tuaku sebelumnya tidak menyadari bahwa sebenarnya kaum Waisyalah yang berpotensi menjadi seorang Borjuis. Terminologi ini hampir sama dengan sekitar Revolusi Prancis, dimana ada golongan-golongan pedagang/ pengusaha yang kekayaanya jauh melebihi seorang bangsawan atau Rajanya sekalipun. Alangkah senangnya hidup mereka (Jika orientasi kita pada hedonisme).

Aku ingin menggali mimpi-mimpiku yang semenjak SMP pernah ku sketsakan. Aku terinspirasi dari sebuah game di Play Station, namanya Harvest Moon: Back to Nature. Aku ingin seperti ada yang di permainan itu. Game ini secara virtual bertindak sebagai seorang petani, ia hanya bermodal rumah kecil, tanah yang cukup luas, empang dan kuda kecil. Kelak ketika sudah berjalan lancar ia menjadi petani yang menyenangkan. Ia punya  rumah yang besar, punya peternakan ayam, peternakan sapi, peternakan domba, dan menaiki Kuda dengan gagahnya mengelilingi kebun pertaniannya yang luas dan siap dipanen. Dia hidup di sebuah desa yang sederhana, dekat gunung dan banyak gadis cantik. Gadis yang telah dinikahinya itu menjadi ibu rumah tangga biasa, mengurus anak dengan baik dan seringkali membuat kejutan, terkadang mengajaknya kencan di puncak gunung, menari, atau kadang membuatkan masakan yang special. Sungguh mengasikan game itu.. dan aku ingin mewujudkan game ini di dunia nyata ku. Aku sudah mulai menulis sekenarionya.

Sunday, May 22, 2011

Catatan seorang Pendiam 22 Mei 2011


Makan siang dan makan malamku hari ini Nasi Padang. Aku seringkali diejek/ disindir Winarso atau Nurjayanto yang mengira aku ini anak orang kaya dimana makanan hariannya minimal Nasi Padang, padahal tidak, ini saja aku baru merasakannya lagi setelah sekian lama aku tak menikmatinya. Nggak biasa, tapi harganyapun juga ga terlalu tinggi, tapi yang jelas enak. Kucing-kucing liar di kost ku pun tahu kalau aku bawa manakan enak. Mereka mengerumuniku di depan pintu kamar berharap kerelaanku berbagi dengannya meski secuil. Mengeong-ngeong dengan suara meminta-minta mendekati, padahal mereka sangat anti dipegang manusia. Aku pun tak pernah sekalipun berhasil menangkapnya.  Hampir sama halnya dengan Kuda Mustang, banyak orang ingin memilikinya tapi sangat susah untuk ditangkap, begitu liar.

Sejak kecil aku sangat menyukai hewan ini, aku sering berbuat baik kepadanya. Baik memberinya makan atau menyelamatkan nyawanya karena dibuang oleh manusia yang membencinya. Di tengah makan siangku akupun berbagi dengannya, memberinya rendang, meski hanya secuil. Dan mungkin itu makanan paling enak yang pernah ia makan. Bagiku ini tak ada ruginya.

Aku pernah mendengar Al-Kisah dari Hadist Bukhari Muslim... “Pada suatu hari seorang Pelacur melihat seekor anjing yang hampir mati karena kehausan...Pelacur itu merasa kasihan terhadap anjing tersebut lalu ia melepas sepatunya untuk mengambilkan air minum dan memberikannya kepada anjing tersebut...Allah mengampuni dosa-dosa Pelacur itu dan memasukkannya ke dalam surga karena memberikan minum kepada anjing yang kehausan....”. Aku seringkali lihat, orang non-muslim selalu mengejek-ejek Islam dari cerita itu. Seolah itu adalah kebodohan Allahnya orang islam berbuat tidak adil. Tapi bagiku cerita itu tetaplah ada hikmahnya. Mungkin Allah itu sangat menghargai dan suka sekali bila makhluk ciptaanya ini mengaktualisasikan rasa kasih sayangnya, rasa belas kasihnya. Rasa itu adalah bagian dari kendali jiwa, dimana ada pikiran dan kesadaran. Para filsuf Rasionalis menganggap hal tadi sebagai suatu kehadiran jiwa manusia mengambil alih sistem otomatis ini (raga), karena kata Rene Descartes, bahwa Cogito ergo Sum atau “saya berfikir, maka saya ada”. Orang yang tidak berfikir sebenarnya jiwanya tidak hadir di dalamnya. Raga tanpa Jiwa maka raga itu bertindak otomatis seperti hanlnya instinct yang ada pada hewan, maka ia seolah menjadi tidak bermoral, tidak manusiawi dan mudah sekali mengumbar nafsu.

Masih ku ajak ke dunia aliran Filsuf Rasionalis. Kucing atau hewan lainnya tidaklah memiliki jiwa, mereka hanya memiliki nyawa dan raga sebagai substansi yang berjalan otomatis atau yang sering disebut instinct. Itulah bedanya hewan dengan manusia, karena Hewan tidak memiliki jiwa maka seringkali manusia tidak merasa berdosa ketika manusia membrantasnya, seperti membrantas semut, nyamuk, tikus dll.

Bagiku jiwa adalah sikap positif manusiawi yang dianugerahkan oleh Allah. Mungkin teori Tabularasa (Manusia dasarnya dilahirkan sebagai orang baik) John Locke ada benarnya juga. Manusia dicaiptakan sama, Tuhan maha adil dalam penciptaan jiwa (bukan raga). Bagiku Lingkungan juga bukanlah sesuatu yang mutlak membentuk watak manusia. Nabi Muhammad, lahir di lingkungan yang sangat miskin, dan sangat keras, panas, di Arab tapi dia tidak menunjukan keidentikan lingkungan itu dalam wataknya, justru ia sangat mulia dan menjadi manusia yang sempurna di Dunia ini. kita harus menjadi orang yang selalu terjaga, kita harus selalu berfikir, agar jiwa kita selalu hadir, agar setan senantiasa tidak meminjam mengendalikan sistem otomatis ini (raga).