Sunday, May 22, 2011

Catatan seorang Pendiam 22 Mei 2011


Makan siang dan makan malamku hari ini Nasi Padang. Aku seringkali diejek/ disindir Winarso atau Nurjayanto yang mengira aku ini anak orang kaya dimana makanan hariannya minimal Nasi Padang, padahal tidak, ini saja aku baru merasakannya lagi setelah sekian lama aku tak menikmatinya. Nggak biasa, tapi harganyapun juga ga terlalu tinggi, tapi yang jelas enak. Kucing-kucing liar di kost ku pun tahu kalau aku bawa manakan enak. Mereka mengerumuniku di depan pintu kamar berharap kerelaanku berbagi dengannya meski secuil. Mengeong-ngeong dengan suara meminta-minta mendekati, padahal mereka sangat anti dipegang manusia. Aku pun tak pernah sekalipun berhasil menangkapnya.  Hampir sama halnya dengan Kuda Mustang, banyak orang ingin memilikinya tapi sangat susah untuk ditangkap, begitu liar.

Sejak kecil aku sangat menyukai hewan ini, aku sering berbuat baik kepadanya. Baik memberinya makan atau menyelamatkan nyawanya karena dibuang oleh manusia yang membencinya. Di tengah makan siangku akupun berbagi dengannya, memberinya rendang, meski hanya secuil. Dan mungkin itu makanan paling enak yang pernah ia makan. Bagiku ini tak ada ruginya.

Aku pernah mendengar Al-Kisah dari Hadist Bukhari Muslim... “Pada suatu hari seorang Pelacur melihat seekor anjing yang hampir mati karena kehausan...Pelacur itu merasa kasihan terhadap anjing tersebut lalu ia melepas sepatunya untuk mengambilkan air minum dan memberikannya kepada anjing tersebut...Allah mengampuni dosa-dosa Pelacur itu dan memasukkannya ke dalam surga karena memberikan minum kepada anjing yang kehausan....”. Aku seringkali lihat, orang non-muslim selalu mengejek-ejek Islam dari cerita itu. Seolah itu adalah kebodohan Allahnya orang islam berbuat tidak adil. Tapi bagiku cerita itu tetaplah ada hikmahnya. Mungkin Allah itu sangat menghargai dan suka sekali bila makhluk ciptaanya ini mengaktualisasikan rasa kasih sayangnya, rasa belas kasihnya. Rasa itu adalah bagian dari kendali jiwa, dimana ada pikiran dan kesadaran. Para filsuf Rasionalis menganggap hal tadi sebagai suatu kehadiran jiwa manusia mengambil alih sistem otomatis ini (raga), karena kata Rene Descartes, bahwa Cogito ergo Sum atau “saya berfikir, maka saya ada”. Orang yang tidak berfikir sebenarnya jiwanya tidak hadir di dalamnya. Raga tanpa Jiwa maka raga itu bertindak otomatis seperti hanlnya instinct yang ada pada hewan, maka ia seolah menjadi tidak bermoral, tidak manusiawi dan mudah sekali mengumbar nafsu.

Masih ku ajak ke dunia aliran Filsuf Rasionalis. Kucing atau hewan lainnya tidaklah memiliki jiwa, mereka hanya memiliki nyawa dan raga sebagai substansi yang berjalan otomatis atau yang sering disebut instinct. Itulah bedanya hewan dengan manusia, karena Hewan tidak memiliki jiwa maka seringkali manusia tidak merasa berdosa ketika manusia membrantasnya, seperti membrantas semut, nyamuk, tikus dll.

Bagiku jiwa adalah sikap positif manusiawi yang dianugerahkan oleh Allah. Mungkin teori Tabularasa (Manusia dasarnya dilahirkan sebagai orang baik) John Locke ada benarnya juga. Manusia dicaiptakan sama, Tuhan maha adil dalam penciptaan jiwa (bukan raga). Bagiku Lingkungan juga bukanlah sesuatu yang mutlak membentuk watak manusia. Nabi Muhammad, lahir di lingkungan yang sangat miskin, dan sangat keras, panas, di Arab tapi dia tidak menunjukan keidentikan lingkungan itu dalam wataknya, justru ia sangat mulia dan menjadi manusia yang sempurna di Dunia ini. kita harus menjadi orang yang selalu terjaga, kita harus selalu berfikir, agar jiwa kita selalu hadir, agar setan senantiasa tidak meminjam mengendalikan sistem otomatis ini (raga). 

0 comments:

Post a Comment