Thursday, May 26, 2011

Catatan seorang Pendiam 26 Mei 2011


Diam tidaklah selalu petang. Rekanku si Pendiam Dwi Setyo Adi, menerimaku sebagai sasama pendiam. Aku suka dengan teman lelaki sesama penganut Calm-isme seperti dia. Agaknya banyak perbedaan diantara kami, diamku adalah pemurung/ pelamun (bukan berarti pesimis), romantis juga, diamku mencari tahu hakikat manusia, sehingga aku mantap berani mengambil jalan sendiri. Kalo dia, tak banyak kata di kepalanya, aku ingat bagaimana dia mengajar saat latian dalam Manajemen Pendidikan Sejarah, absolute yang ia ucapkan adalah hapalan apakah artinya jika dia tak menghapal dia tak bisa berucap apa-apa? Kata si Eko Mad temannya waktu SMA katanya si Dwi tergolong anak cerdas, aku yakin dia pandai di Otak kirinya, mungkin ia salah jurusan saja, seharusnya ia masuk di PGSD (yang memang minatnya) atau di MIPA saja. Ketika di sejarah ia berdiam, tatapannya tidaklah kosong seperti aku, tapi mungkin dia bingung akan sesuatu.

Tadi siang aku menemaninya membuat KRS baru karena hilang, dan sarapan bareng di Kantin belakang Geografi serta berakhir ku ajak transit di kosku. Memberiku satu kotak dodol (mungkin dari temannya Geografi yang habis KKL ke Bandung). Tak ada obrolah yang kompleks diantara kami.

Penganut Calm-isme memang seharusnya menjadi orang yang tepat waktu dan menepati janji, dan dia tak melanggar dogma ini.
Kemarin Tyo, temanku yang berwawasan luas dan cukup cerewet juga sempat curhat kepadaku. Bagiku dia sangat pandai dalam memulai komunikasi dengan siapa saja dan berani iseng mengajak ngobrol, jadinya aku cukup kagum kepadanya karena aku orang yang tak berani iseng mengajak ngobrol (kecuali kalo punya urusan) dan aku paling suka dengan orang yang mengajak obrolan terlebih dahulu. Tapi bagiku ternyata Tyo tak ahli dalam forum resmi, anehnya ia menjadi gagap makanya ia menghindar dari presentasi. “yah itulah kebalikanku denganmu” kata dia. Karena kepandaiannya dalam komunikasi non-formalnya kepada siapa saja dia malah seringkali dianggap lagi naksir dengan lawan bicaranya (jika cewek) oleh teman-temannya. Dia ternyata mengeluhkan ini.

Akhirnya keinginkanku tuk berceramah tentang Nugroho Notosusanto (sejarawan yang kukagumi) didepan teman-teman terwujud juga tentang intervensi militer dalam pendidikan, tapi aku tetap berusaha objektif. Sangat ditanggapi positif oleh senior Mas Fakhan Ashari dan kawanku Artha.

Tian di Jakarta juga curhat padaku, aneh badan segembrot itu dia ngakunya orang susah dari segi financial. Dia kehilangan pekerjaannya dan kembali menggantungkan sepenuhnya kepada orangtuanya untuk membiayai kuliahnya. Bagiku, jika memang orang tua memang mampu, meski terseok-seok biarlah ia yang bertanggung jawab kepada kita. Kuliah sambil kerja membuat kita tak handal lagi soal studi yang kita jalani. Secara psikologis orang yang sudah merasa membantu orang tua atau meringankan tanggungjawab orangtuanya dalam membiayai kuliah, dia sendiri akan merasa berhak untuk bebas, bebas dari tuntutan orang tua agar kita cerdas, oleh karena itu mereka yang kuliah sambil kerja pasti kuliahnya nggak beres. Akan terbiasa dengan profesi rendahan itu.

Berbeda jika kita sebaliknya. Jika kita cukup konsentrasikan untuk kuliah, biarlah orang tua kita tragis dalam berjauang. Maka ketika kita lulus kita baru terketuk pintu hati kita akan ketragisan orang tua berjuang untuk kita. Karena akumulasi rasa iba itu maka kita akan mati-matian menjadi yang lebih baik berjuang keras untuk membalas budi akan ketragisan itu. Kita akan terdorong untuk menjadi orang yang lebih tinggi.

0 comments:

Post a Comment