Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Monday, August 13, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 6]


Separuh rasa aku menjadi seorang pengkhianat, separuhnya lagi aku merasa seperti pejuang yang menegakkan keadilan. Kamis malam aku merencanakan untuk eksodus ke kontrakannya Winarso di Jl.Kalimasada. Sebelumnya aku telah menjanjikan padanya kalau aku betah tinggal ditempat itu maka hutangnya padaku sebesar Rp.250.000 akan kuhilangkan. Janjiku seperti itu seharusnya membuat Winarso semangat untuk membantuku untuk eksodus ke kontrakannya itu. Tapi nyatanya tidak, malam Jumat yang sudah ku rencanakan matang-matang untuk eksodus gagal begitu saja. Winarso yang sudah bolak-balik ku bujuk melalui sms agar segera membantuku memindahkan barang-barangku ke kontrakannya pada malam itu juga ternyata dia tidak bisa, entah dia sedang dengan siapa yang kabarnya sedang ngopi di angkringan nasi kucing Jl.Cempaka. Katanya bahwa ada sesuatu yang penting pada saat itu sehingga ia memintaku menunda niat ini. Aku begitu memburu untuk pindah pada malam itu juga, karena ini adalah bagian dari konspirasiku agar aku tak perlu lagi melunasi tagihan listrik yang semena-mena dari ibu kos, dan aku memprediksikan kalau ibu kos besok pasti akan menghampiriku dan menagih bayaran itu. Winarso seharusnya mengerti tentang hal ini, tapi dia tidak mau mengerti, dia hanya berjanji bahwa esok subuh akan segera membantuku memindahkan barang-barangnya.

Aku tunggu hingga subuh, dan ternyata janji itu adalah palsu. Pelajarannya adalah jangan percaya pada janji orang yang begadang untuk berurusan dengannya di pagi buta !. Aku tunggu hingga sinar mentari setinggi mata tombak ternyata Winarso mungkin masih terlelap dengan tidur buaian ingkar janjinya itu. ketika aku hendak berangkat ke kampus, apa yang aku takutkan ternyata terjadi. Ibu kos datang jauh-jauh dari Boja masuk ke pintu gerbang Dinasti Dian-Ratna. Itu memang bukan pintu masuk satu satunya tapi sayangnya pintu yang lain selalu terkunci rapat, andaikan ada serombongan Harimau yang masuk ke kos ini melalui pintu itu pasti seluruh penghuni akan mati, karena tak ada lagi pintu alternatif lain. Seperti hanya denganku, mau tidak mau aku jika hendak keluar pasti lewat pintu itu. sebuah kamar yang biasa untuk tempat transit ibu kos juga posisinya sangat strategis, ia lurus menghadap pintu masuk atau berada di tepi arteri sirkulasi keluar masuk penghuni Dian Ratna, sehingga ibu kos akan selalu tahu siapa yang masuh dan siapa yang keluar. Jika diibaratkan Dian Ratna adalah kepulauan Nusantara maka kamar milik ibu kos itu adalah Kerajaan Sriwijaya, letaknya sangat strategis yaitu di tepian lalu-lintas pintu satu-satunya menuju kepulauan Nusantara. Selalu menarik pajak para pelayar-pelayar dari luar yang hendak masuk atau keluar Jawa. Seandainya ingin menghindari pajak maka setidaknya ia akan lewat selat Karimata tapi resikonya adalah akan dicegat oleh perompak liar yang siap membajak kapal bahkan sejarah juga mengabarkan bahwa umumnya perompak-perompak itu adalah kanibal.

Akhirnya aku berpas-pasan dengan ibu kos. Seperti yang telah terpikirkan, dan diapun mengatakan “Lisrtikmu lho nang iseh kurang”. Ucapnya sambil setengah tertawa dan menepuk lenganku, karena sejauh ini yang dia tahu bahwa aku adalah orang yang tidak pernah curang. Aku berwajah tegang dan hanya bilang “Nggih” saja, ibu kos mungkin langsung percaya bahwa dalam waktu dekat itu aku akan segera membayarnya. Pertemuan itu hanya seperti dua semut yang saling bertemu, berhenti hanya satu detik saja, ibu kos berjalan hendak ke tempat transitnya itu dan aku berjalan menuju ke kampus.

Aku masih dalam idealismeku bahwa aku akan tetap tidak akan sudi membayar kekurangan itu. Biar bagaimanapun tariff listrik yang ibu kos kenakan untukku sangatlah tidak adil. Selama satu tahun itu aku hanya intens tinggal di Dian Ratna hanya satu semester saja, karena satu semester lain aku tinggal di Salatiga dan Brebes. Namun ibu kos tetap mengenakan tariff listrik padaku dengan porsi 100% yaitu Rp.180.000/tahun bukan 50%nya saja. Padahal tidak ada perjanjian sebelumnya, kecuali tariff kos yang memang sebelumnya telah ada perjanjian bahwa ingin satu semester atau kurang dari itu tarifnya tetap untuk satu tahun. Selama setahun ini listrik baru aku bayar Rp.100.000 atau 68%. Aku rasa jika aku tidak menepati apa yang diminta ibu kos mengenai tariff listrik itu, aku tidak akan merasa berdosa karena niat yang ada di dalam hati adalah niat menegakkan keadilan, bukan niat licik yang tersembunyi. Bahkan aku merasa telah menyelamatkan ibu kos dari dosa atas ketamakannya itu, dan memberi pelajaran bahwa ketamakan tentu tidak akan disukai banyak orang.

Jumat itu di kampus aku bertemu dengan Nanang dan Aris, dia sangat bersiap untuk membantuku memindahkan barang nanti, bahwa aku tinggal memberinya instruksi saja lewat SMS maka mereka langsung datang. Tidak perlu heran mengapa mereka bagitu sudi membantuku, bahkan jika dipikir-pikir mereka bagaikan kuli bagiku yang yang rela membawakan barang-barang berat tanpa mengharapkan imbalan. Namun itulah yang dinamakan teman yang baik, dalam persahabatan mereka memandang sejarah dan masa depan. Mereka memandang sejarah yaitu mencoba mengingat-ingat kembali kebaikan kebaikan apa saja di masa lalu yang telah aku berikan kepadanya sehingga ia terpacu untuk membalasnya di masa sekarang. Dan mereka juga memandang masa depan, bahwa masa depan tentu akan banyak tantangan dan jalan berliku yaitu dengan membatu seorang kawan di saat ini maka ia akan merasa mendapat jaminan bantuan juga di masa depan sebagai hasil dari balas budi. Mungkin itula yang dimaksud Albert Einstein dengan hukum kekekalan energy, yaitu energy yang dikeluarkan akan sama dengan energy yang diterima atau terkenal dengan rumus E=MC2 . Hanya saja rumus Einsten tentu hasil hitung hitungan, sementara apa yang dilakukan oleh kawan-kawanku itu tidak. Kawan-kawanku tidak menghitung berat beban atau tingkat kesukaran dari sebuah budi, inilah sesuatu yang begitu special dan aku menyebutnya sendiri dengan istilah Uncountable Requite (Balas budi yang tidak mengenal hitung-hitungan).

Jumat sore aku intai kembali, apakah ibu kos sudah pulang ke boja atau belum. Ternyata Allah memberkahiku, Ibu Kos mungkin sudah pulang sementara Pri an Lono juga tidak nampak. Sore itu aku langsung panggil Nanang dan Aris, mereka langsung datang dengan membawa satu tas Carier. Satu per satu barang-barangku langsung dibawa mereka menuju kontrakanya Winarso di Jl.Kalimasada. selekas mereka pergi, tiba-tiba Winarso datang, maka lekaslah sudah aksi eksodusku, dengan cepat barang-barangku telah berpindah tempat.

Kamar no.42 Dian Ratnaku menjadi kamar yang gelap, padahal separuh barang-barang milik Noval masih disitu termasuk laptopnya yang masih stand by. Noval entah sedang kemana pada saat itu, kabarnya ia juga akan pindah ke Banaran tapi aku tak tahu sebelah mana. Sebenarnya saat itu aku ingin berpamitan dan berterimakasih telah menjadi teman baik sekamarku selama dua tahun. Namun perpisahan itu terasa hampa, tak ada memo atau pesan-pesan terakhir yang ku tinggalkan, aku pergi begitu saja. . . . . meninggalkan kamar yang telah hampa. .         

Jl.Cempaka Sari Timur (Kos Aris, Nanang dkk), 13 Agustus 2012