Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Saturday, June 4, 2011

Catatan seorang Pendiam 4 Juni 2011


Hari-hari yang hitam dan penuh dosa. .
Telingaku tak peka mendengar kokok ayam diwaktu subuh….
Jam-jam pagi paling puitis itupun kulalui begitu saja
dengan mimpi mimpi dan dengkuran kemalasan..
jiwa-jiwa kesepian inipun bangun tanpa ada yang menyapa.
Kemudian haripun menjadi malam. . . .
Yah begitulah hari ini, begitu cepat.
secepat bandwith internet WiFi di Kampus yang berhasil ku bobol. . . .!!!
rasanya opium-opium ini makin nikmat saja ku sedot.
benar Opium, karena siapa saja pasti ketagihan dengan internet.

Friday, June 3, 2011

Catatan seorang Pendiam 3 Juni 2011


Pagi ini rasanya aku malas untuk bangun. Ditambah lagi MagicCom ku kosong, belum menanak nasi. Rasanya bakal banyak tanggungan harian ketika ku terbangun. Tapi apa boleh buat aku harus menyambut sang pagi.

Menunggu nasi matang adalah hal yang kurang nyaman. Perut terasa lapar dan biasanya aku meluangkannya untuk membaca buku. Asal mengambil saja di rak, aku dapati kukuku yang berjudul “Membedah Tokoh Sejarah -Hidup atau Mati”. Aku ingat sekali buku ini adalah buku copyan dari penerbit Ombak, ketika aku mengadakan Bazar satu setengah tahun yang lalu bersama anak-anak HIMA. Winarso sengaja membuka segelnya untuk difotocoy bersama.

Salah satu tokoh yang ku dapati dalam buku ini adalah sosok Hoegeng Imam Santoso, seorang purnawirawan Jenderal Polisi. Idealismenya sangat patut dicontoh. Ketika dia baru menjadi kepala reskrim dia ditempatkan di Sumut, suatu daerah yang marak dengan penyelundupan. Disana ia disambut secara unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan oleh beberapa cukong perjudian. Ia menolak dan memilih di hotel sebelum dapat rumah dinas. Masih ngotot, rumah dinas itu juga kemudian dipenuhi perabot oleh tukang suap itu. Kesal, ia mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi dan karena tidak dipenuhi akhirnya perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan. Maka gemparlah Kota Medan karena ada seorang kepala polisi yang tidak mempan disogok.

Tahun 1968 ia menjadi panglima angkatan kepolisian. Banyak kasus menarik lainnya dimasa tugasnya. Keuletan menuntaskan kasus besar dan menjadi tokoh yang tegas anti korupsi (mengingat orde baru juga banyak KKN) menyebabkan Hoegeng diberhentikan oleh Presiden Soeharto. Pendirian yang begitu kuat itu mungkin ditanamkan oleh ayahnya bahwa “yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan”.

Soal idealisme, aku juga melihat figurnya di kampus. Dia adalah Bu Putri Agus Wijayanti (ahli dalam soal kearsipan dan Sejarah Indonesia abad 18-19, ilmu sejarah murni). Beliau kurang disukai mahasiswa, lantaran tuntutannya terlampau tinggi. Bahkan konon ia adalah salah satu dosen yang perneh tidak meluluskan mahasiswanya dalam ujian skripsi.

Memang tuntutan yang tinggi itu setidaknya sebanding dengan kualitas personal yang menuntutnya. Misalkan seorang guru yang menuntut muridnya untuk dapat menguasai soal Perang Koalisi Napoleon Bonaparte, padahal gurunya itu soal Revolusi Prancis saja kurang menguasai. Tapi jika melihat kualitas penyampaian materi oleh Bu Putri, ia masih tergolong professional. Dan pantas untuk menuntut mahasiswanya untuk setinggi itu. Tyo sempat agak mencela, dan kurang menyenanginya dengan berbicara kepadaku dibelakang, aku yakin sebenarnya dari dalam hati Tyo menganggap tindakan Bu Putri seperti itu sebenarnya sangat positif dan konstruktif demi kemajuan Indonesia. Tyo tidak menyukainya karena dia sendiri takut dan merasa sangat terbebani dengan tuntutan yang tinggi dari bu putrid itu. Tapi pada intinya jika mendapat peryataan yang jujur dari teman-teman, dosen karakter semacam ini kurang disukai.

Sekitar idealism murni, tidak boleh terlepas dari tokoh sejarah yang paling saya idolakan (bukan berarti mengkultusindividukan) yaitu Soe Hok-Gie. Ia benar-benar melihat kebobrokan para pemimpin Indonesia  masa demokrasi terpimpin yang cenderung korup. Dan masyarakat yang semakin susah.  Sungguh GAP semakin lebar diantara mereka. makanya ia menggerakan demonstrasi besar-besaran dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menuntut untuk melakukan ritul birokrat, serta membubarkan PKI (TRITURA). Setelah Soekarno jatuh, para aktivis kebanyakan giliran diangkat menjadi pejabat. Tapi GIe tidak mau, dia tetap ingin menjadi pengontrol mereka. sehingga seringkali kritikan pedas kepada pemerintah muncul darinya. Tidak hanya pemerintah, para mahasiswa dan rekan dosennya pun turut kena kritik yang ditulisnya dalam wacana “Wadjah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah”. Banyak yang menganggapnya keras kepala dan selalu mencari masalah. Karena tulisan itu ia menjadi semakin banyak musuh dibenci mahasiswa, dibenci para rekan dosennya. Keberaniannya soal mengkritik membuat orang tua pacarnya tidak ingin anaknya punya pacar seperti dia. Hingga pada suatu saat dia merasa terasingkan. Bagi Gie “Biarlah, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”. Ia sempat mendapat surat dari kawannya di Amerika “Gie…. seorang Intelektual bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesuadah kekuasaaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari system kekuasaan. Ini akan terjadi terus menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertaha sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”.

Thursday, June 2, 2011

Catatan seorang Pendiam 2 Juni 2011


Jauh hari lalu aku sudah merencanakan. Sebelum KKL aku harus merapikan rambutku, selain biar gak kena kritikan sama bu Santi juga biar aku tampak 5 tahun lebih muda. Sekarang sudah terwujud, aku tampak seperti SMA lagi dengan potongan rambut yang sporty, dipotong oleh tukang cukur pemuda rasanya lebih bagus ketimbang dicukur sama seorang bencong.

Sedikit melamun melihat diri sendiri di kaca dengan tubuhku yang tertutup kain dan tukang cukur tampak serius memotong detail kerapian rambutku. Disitulah otak bawah sadarku light on. Sekarang aku paham mengapa dalam salon terdapat tukang cukur bencong. Ternyata bukanlah profesi tukang cukur menjadikan pria normal menjadi banci akan tetapi sosok banci lah yang sangat diperlukan dalam profesi ini. Mengapa harus banci?? Karena orang banci bisa dan mau menggarap hal-hal tentang lelaki dan perempuan sekaligus. Coba bayangkan bila seorang Cewek dicukur sama seorang cowo normal? Tentunya si cewek bakal rikuh dan merasa si tukang cukur ini tidak tahu persis soal selera pelanggan perempuan ini. Begitu pula sebaliknya jika seorang Cewe yang memotong rambut anak cowo? Pasti ada persepsi yang sama dengan tadi dan pencukur cewek juga agak grogi. Tapi seorang bencong bisa menggarap kedua-duanya sehingga waktu lebih efisien, mengatasi antrian panjang mereka yang akan mencukur. Bagitu juga dengan perancang busana, seperti Ivan Gunawan. Bukankah dia berlagak banci? Ya tentu dan dengan banci seperti itu dia menjadi bisa melayani busana untuk pria dan untuk wanita sekaligus. Ternyata orang-orang model banci seperti ini sangat dibutuhkan juga, khususnya dalam bidang merancang penampilan bisa mengerti dua selera sekaligus yaitu selera pria dan selera wanita. Tapi biar bagaimanapun juga aku tetap agak jijik aja melihat mereka, tapi bagiku itu masih mendingan ketimbang dengan mereka kaum Homoseksual/ gay.

Dikampungku dulu juga ada pemuda yang diisukan Homoseksual. Namanya Haliman, tiap sore ia suka ke lapangan untuk bermain bola. Orangnya pendiam dan bagi wanita mungkin ia masih tergolong manis. Dia bisa diisukan begitu karena tingkah lakunya. Ketika ada anak lelaki yang sedang tidak mengenakan baju, atau menggunakan celana pendek mini dia selalu menghampiri, meski tidak mengenal, atau terkadang berhenti pura-pura ada sesuatu tapi dia terus sesekali melirik bagian yang tidak tertutup itu, dan mungkin membuat dia terangsang.

Aku agak ngeri sekaligus takut jika berhadapan dengan sosok Gay. Kadang kesan pertama yang didapat memang dia seperti pria normal. Aku sempat menghadapinya di Pasar Bandarjo Ungaran (tempat biasa aku mencari bus jurusan Semarang-Purwokerto).

Ketika  terik sinar mentari hingga kelopak mata sengaja menyempitkan pandangan. Mondar-mandir dengan posisi tangan seperti sedang hormat, berusaha menghindari silaunya sinar matahari. Bus yang dicari belum juga datang. Tiba tiba seorang bapak-bapak dari dinas DLLAJ perpakaian biru dan celana biru tua mengajakku untuk duduk disebelahnya. Tepatnya dekat pangkalan ojeg yang lumayan teduh. Dia begitu penasaran denganku, menanyakan identitas, alamat, status mahasiswa, nomor HP dan lain-lain. Ia ingin aku memanggilnya “Om Rudy”. Dalam percakapan ini dia sembari sesekali pergi kesana-kemari memungut pajak dari para kernet bus yang singgah di depan pasar ini.
Setelah bus yang kucari datang, akhirnya kami berpisah, sebelum kakiku menginjak lantai bis dia berbisik kepadaku “Hati-hati ya Ganda” sambil menepuk punggungku.

Setelah sebulan ia mengirim  sms padaku dengan kalimat-kalimat yang menurutku aneh atau tidak wajar seperti halnya lelaki normal “dengan kata-kata maja ala perempuan”. Dia mengajakku mampir ke kosnya, dan minta tukar foto. Aku kaget saja ketika ia mengirim fotonya ke aku. Aneh, yang dia kirim adalah foto dirinya yang sedang tidak mengenakan baju atasan dan mengedipkan satu mata. Gila, sudah ku duga dia ternyata Gay Oriented, setelah itu dia akhirnya mengaku. Ternyata dia sudah cerai dengan istrinya, dan memutuskan untuk tidak menikah lagi.

Ada sisi mulia dibalik dirinya yang Gay, dia sudah banyak mengangkat anak orang yang tidak mampu dan membiayai pendidikan hingga sudah kerja mandiri. Kadang anak yang diangkatnya itu dianggap sebagai pacarnya (karena lelaki). Namun suatu saat ia harus menerima kenyataan. Anak yang diangkatnya itu harus menuju pelaminan sebagai pria normal yang menikahi seorang wanita. Hingga kelak punya anak. Namun hingga kini pertalian pertemanan dan persaudaraan mereka masih terjalin hangat.

Aku terkesan dengan sebuah artikel di rubrik Ragam Ilmiah bulletin Mutiara Pers (buletinnya anak HIMA Sosiologi Antropologi). Memamerkan judul “Dualisme Komunitas Gay pada Masyarakat Kota Salatiga”. Sebuah komunitas satu-satunya di Jawa tengah yang menampung para MSM (men who have sex with men).  Mereka datang dari berbagai penjuru kota. Bagi masyarakat Salatiga mereka dianggap “saru” mencintai sesama jenis bahkan resah akan dampak negative seperti rusaknya citra kota salatiga dan degradasi moral masyarakat. Akan tetapi persepsi itu kian terobati katika komunitas ini bekerjasama mensukseskan program pemerintah seperti kegiatan social, pelatihan keterampilan atau karnaval kebudayaan. Mereka tidak menimbulkan masalah.

Aku sempat berdebat dengan Tyo, dia tetap respect dan memaklumi dengan adanya perilaku gay, dan dia tidak terima bila mereka harus di diskriminasikan. Namun bagiku biar bagaimanapun ia telah melanggar agama. Dikaitkan dengan konsepsi kemanusiaan memanglah benar, tidak boleh ada diskriminasi terhadap mereka.

Bagiku ia harus segera disadarkan akan penyimpangan itu. Atau dikarantina seperti halnya pondok pesantren yang menangani rehabilitasi pacandu narkoba. Itu akan membuatnya lebih baik.

Wednesday, June 1, 2011

Catatan seorang Pendiam 1 Juni 2011


Sebenarnya aku muak, tapi demi menghargainya aku menanggapinya. Beberapa sms yang datang seperti serbuan peluru dari senjata Klashnikov. Tapi tulisannya sama semua. Sungguh membosankan, tapi aku memaklumi. Pengirim yang ku namai “Krjb.Tonho” (baca:Karangjambe Tonho) kawanku sekampung halaman biasa dipanggil Tonho. Seorang kawanku tukang becak satu-satunya. Tidak terlalu tua hanya 30 tahun dan belum menikah, SD pun tak tamat. Awalnya tak bisa mambaca, tapi setelah punya HP ia jadi bisa menulis dan membaca. Baginya HP adalah hal yang mengasikan, apalagi jika menggunakan operator yang setelah kirim 10SMS akan mendapat 1000SMS. Makanya aku sering diberodongnya dengan SMS dan berisi pertanyaan yang useless.

Rencananya bulan ini ia dan kawan-kawan sekampungku akan mendaki Gunung Slamet. Aku tak bisa ikut…. Proposal Skripsiku sudah seperti wanita genit yang ingin digauli. Sudah sekian lama aku tak memanjakannya, malas rasanya. Tapi akhirnya hari ini aku menyempatkan diri untuk mencoba menyentuh dan menyukai tiap lekuk tubuhnya yang katanya seksi. Hari ini aku berhasil menelanjangi bagian atasnya, mulai T-shirt Pendahuluan, dan B** Landasan Teorinya.  Kalau masih Horny, besok aku akan membuat tak sehelai benangpun menempel pada dirinya, karena aku akan melucuti Segitiga pengamannya (Segitiga: Instrumen Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data). Dan terakhir, aku akan melakukan finishing yang memuaskan. Berharap Pak Karyono dan Pak Sodiq (Dosbingku) merestui hubungan kami. Aaaamiin…

Tuesday, May 31, 2011

Catatan seorang Pendiam 31 Mei 2011


Rambutku hari ini terlihat acak acakan. Terlihat seperti Einstein tau seorang professor yang banyak berfikir untuk menemukan rumus. Tentunya ini ada sebab-akibat. Aku lupa tak manunaikan Sholat Isya. Gel yang ada dirambut yang aku oles sesudah Maghrib belum hanyut oleh air Wudlu. Masih menempel seolah terus mengajak rambut tetap siap. Hingga ketika bangun tidur, rambutku sudah seperti pohon bambu yang habis diterpa badai.

Sedikit ku abaikan. Malah saya rasa dengan rambut yang kaku seperti ini akan lebih menghayati Novel yang sedang saya baca ini yang memvisualisasikan tokoh Utamanya si Ikal yang rambutnya sama denganku sekarang ini. Ditambah lagi tubuhnya yang kurus dan berkulit agak gelap.. ahh rasanya itu aku sekali. Tapi Mimpiku tak setinggi mimpinya. Yah benar, Novel “Sang Pemimpi”. Semangatnya berubah menjadi realistis ketika ditiup oleh impian-impiannya. “Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejek-jejak Sartre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Disanalah orang belajar science, sastra dan seni hingga mengubah perdaban……..”

Setiap peristiwa di jagat raya ini adalah potongan potongan mozaik. Akan tetapi bagiku tak ada bedanya dengan potongan kaca yang berwarna-warni. Terserak disana-sini, tersebar dalam rentang waktu dan ruang-ruang. Namun, perlahan ia akan bersatu membentuk lukisan indah, sebuah seni ‘Fresko’. Sebuah seni dekorasi yang sudah ada semenjak peradaban Pulau Creta, kata Bu Nina. Mozaik-mozaik itu akan membangun siapa dirimu dewasa nanti…. Maka berkelanalah diatas muka bumi ini untuk menemukan mozaikmu.

Kata-kata diatas bagaikan awan putih terus mengikutiku diatas kepala, hari ini. Sepenuhnya aku yakin, Allah tak mutlak memegang kendali akan nasib manusia di dunia. Manusia adalah makhluk bebas untuk menemukan mozaiknya sendiri. Maka akan terbentuk watak dan kepribadiannya. Jika Allah sudah mengkaruniakan watak dan kepribadian manusia dari lahir rasanya kurang adil. Karena muncul pendosa dan si alim. Jika Allah menciptakan pendosa dan (sesuai janjinya) ia akan dijebloskan ke Neraka. Buat apa menciptakan manusia kalau Ia sendiri mentakdirkannya untuk masuk neraka, bukankah diskriminasi?. Allah tentu tidak begitu.

Bagaikan penggembala yang melepas kambingnya untuk mencari makan sendiri. Kambing itu terpencar kemana-mana. Kelak pertmbuhannya berbeda-beda karena nutrisi makanan yang mereka dapat berbeda-beda. Apa yang mereka makan, apa yang mereka pilih itulah bagian dari mozaik. Sebuah pengalaman yang akan membentuk diri.

Apa yang aku perbuat sekarang, akan menggema dan membentuk masa depanku. Dengan begitu Aku tidak akan menyalahkan Allah ketika aku gagal nanti. Aku sadar dan menyalahkan diriku sendiri akan bodohnya strategi yang diambil. Jadi bagiku orang miskin bukanlah sebuah takdir, akan tetapi itu adalah ulah sendiri baik dari dirinya maupun generasi sebelumnya yang mewarisi. Sebuah hubungan sebab-akibat.

Banyak pengetahuan dan pengalaman hidup yang sangat bermanfaat yang ku dapatkan di luar bangku sekolah, diluar bangku kuliah. Jadi aku tak heran mereka yang tidak sekolah dan kuliahpun juga banyak yang bisa sukses.

Monday, May 30, 2011

Catatan seorang Pendiam 30 Mei 2011


Wajah-wajah asing berkeliaran disekitarku. Wajah-wajah pembaharu. Tentunya jauh lebih muda dari aku dan sementara ini mereka masih digandeng ayahnya menemani kesana kemari. Sekedar berjalan jalan mencari kursi dimana besok mereka duduk bergelut dengan soal. Bertarung mati-matian demi mendapatkan kursi di PTN yang mereka inginkan.

Aku masih ingat akan masa-masa itu. Masa-masa ketika berjuang di SNMPTN. Pagi-pagi aku berangkat ke SMPN 9 Purwokerto. Aku merasa mantap, dan memasukan persneling satu-per satu Yamaha Jupiter Z biru ku yang paling aku banggakan. Menempuh jalanan yang masih sepi dikala embun tipis turun serasa di belahan bumi beriklim subtropis. Melaju dengan lancar dan melewati tikungan demi tikungan dengan cepat bak pembalap moto GP. Berpakaian rapi menggunakan hem hijau muda lengan panjang dan celana warna hijau tua. Aku tampak paling cupu dibanding yang lain. Penampilanku lebih tepatnya seperti guru agama, atau seperti mereka yang bekerja di Depag. Tak peduli tentang semua ini, aku menganggap diriku tak dilihat oleh orang lain sehingga aku tak merasa sedang ditertawakan akan penampilanku yang bodoh ini. Ujian berjalan lancar, dan rasanya aku maksimal di IPS. Kelak hasil tes ini adalah harapan besar orang tuaku. Mereka menginginkan aku bisa duduk di PTN berbasis pendidikan agar aku tercetak menjadi seorang guru. UNNES, UNS, UNY atau UPI.

Profesi guru adalah doktrin terbesar dari orang tuaku. Karena orang tuaku merasa mampu maka merekapun berani memasukan kami ke Perguruan Tinggi. Kakakku adalah proyek pertamanya, ia gagal SNMPTN dan kembali ke dalam kemurnian cita-citanya menjadi sastrawan bahasa Inggris, akhirnya Masuk ke jurusan Sastra Bahasa Inggris di UNSOED. Namun di tengah jalan ia malah kembali pindah haluan manjadi apa yang menjadi rel keinginan orang tua, “Guru”, Guru Bahasa Inggris.

Sedang aku berminat pada sejarah. Sama-sama sebagai bagian dari sastra. Akhir-akhir SMA aku senang pergi ke perpus. Aku hanya tertarik pada fenomena paling tidak berprikemanusiaan sepenjang sejarah, Pembantaian Masal abad 20, The Mass Killers at Century XX. Rasanya aku ingin tahu banyak tentang sejarah. Ternyata dibalik itu dunia ini pernah mengalami zaman yang tidak beruntung, zaman yang tidak senyaman sekarang aku hidup, zaman ketika nyawa bisa dibayar dengan sangat murah hanya karena perbedaan konsepsi. “Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemerasan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir?? Seolah jika kita membagi sejarah maka yang kita jumpai ialah pengkhianatan. Solah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup diatasnya. Yahh betapa tragisnya. Hidup adalah penderitaan (Kata Budha) dan kita tidak dapat lepas daripadanya” ungkap GIE.

Semakin aku sangat realistis semakin aku merasa putus asa. Masa depan berputar berbeda dengan masa lalu. Peluang guru sejarah tidaklah seberapa. Hawa positif dalam tubuhkupun menguap dibawa hasutan-hasutan pragmatis. Apakah benar siswa mempelajari Perang Dunia II akan menjadi lebih bijak? Apakah benar siswa mempelajari sekitar revolusi 45 akan termotivasi akan nasionalisme? Apakah benar belajar sejarah akan menjadikan kita menjadi kaya?. Ahh itu Cuma judul skripsi dari temen-temen saja. Sekalipun ada efeknya paling presentasenya Cuma seberapa. Untuk apa berdebat soal siapa dalang G 30S PKI kalau kelak kita hanya melakukan persuasi dengan pelanggan/ konsumen agar tertarik dengan produk kita? Atau berdebat tarik menarik tawaran harga dalam bisnis perdagangan kita?.

Bagiku penghayatan terbaik dari Sejarah adalah sebagai sastra. Seperti yang sedang saya nikmati sekarang ini, yang kadang begitu pilu, kadang begitu romantic, kadang begitu mesra. Aku hanya bermain-main di jurusan ini, aku hanya sedang bermabuk-mabukan atau seperti orang yang menikmati putau dengan puitisnya Sastra Sejarah. Aku sungguh mencintaimu “Sejarah”. . .
Setidaknya aku masih punya Mimpi

Catatan seorang Pendiam 30 Mei 2011


Wajah-wajah asing berkeliaran disekitarku. Wajah-wajah pembaharu. Tentunya jauh lebih muda dari aku dan sementara ini mereka masih digandeng ayahnya menemani kesana kemari. Sekedar berjalan jalan mencari kursi dimana besok mereka duduk bergelut dengan soal. Bertarung mati-matian demi mendapatkan kursi di PTN yang mereka inginkan.

Aku masih ingat akan masa-masa itu. Masa-masa ketika berjuang di SNMPTN. Pagi-pagi aku berangkat ke SMPN 9 Purwokerto. Aku merasa mantap, dan memasukan persneling satu-per satu Yamaha Jupiter Z biru ku yang paling aku banggakan. Menempuh jalanan yang masih sepi dikala embun tipis turun serasa di belahan bumi beriklim subtropis. Melaju dengan lancar dan melewati tikungan demi tikungan dengan cepat bak pembalap moto GP. Berpakaian rapi menggunakan hem hijau muda lengan panjang dan celana warna hijau tua. Aku tampak paling cupu dibanding yang lain. Penampilanku lebih tepatnya seperti guru agama, atau seperti mereka yang bekerja di Depag. Tak peduli tentang semua ini, aku menganggap diriku tak dilihat oleh orang lain sehingga aku tak merasa sedang ditertawakan akan penampilanku yang bodoh ini. Ujian berjalan lancar, dan rasanya aku maksimal di IPS. Kelak hasil tes ini adalah harapan besar orang tuaku. Mereka menginginkan aku bisa duduk di PTN berbasis pendidikan agar aku tercetak menjadi seorang guru. UNNES, UNS, UNY atau UPI.

Profesi guru adalah doktrin terbesar dari orang tuaku. Karena orang tuaku merasa mampu maka merekapun berani memasukan kami ke Perguruan Tinggi. Kakakku adalah proyek pertamanya, ia gagal SNMPTN dan kembali ke dalam kemurnian cita-citanya menjadi sastrawan bahasa Inggris, akhirnya Masuk ke jurusan Sastra Bahasa Inggris di UNSOED. Namun di tengah jalan ia malah kembali pindah haluan manjadi apa yang menjadi rel keinginan orang tua, “Guru”, Guru Bahasa Inggris.

Sedang aku berminat pada sejarah. Sama-sama sebagai bagian dari sastra. Akhir-akhir SMA aku senang pergi ke perpus. Aku hanya tertarik pada fenomena paling tidak berprikemanusiaan sepenjang sejarah, Pembantaian Masal abad 20, The Mass Killers at Century XX. Rasanya aku ingin tahu banyak tentang sejarah. Ternyata dibalik itu dunia ini pernah mengalami zaman yang tidak beruntung, zaman yang tidak senyaman sekarang aku hidup, zaman ketika nyawa bisa dibayar dengan sangat murah hanya karena perbedaan konsepsi. “Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemerasan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir?? Seolah jika kita membagi sejarah maka yang kita jumpai ialah pengkhianatan. Solah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup diatasnya. Yahh betapa tragisnya. Hidup adalah penderitaan (Kata Budha) dan kita tidak dapat lepas daripadanya” ungkap GIE.

Semakin aku sangat realistis semakin aku merasa putus asa. Masa depan berputar berbeda dengan masa lalu. Peluang guru sejarah tidaklah seberapa. Hawa positif dalam tubuhkupun menguap dibawa hasutan-hasutan pragmatis. Apakah benar siswa mempelajari Perang Dunia II akan menjadi lebih bijak? Apakah benar siswa mempelajari sekitar revolusi 45 akan termotivasi akan nasionalisme? Apakah benar belajar sejarah akan menjadikan kita menjadi kaya?. Ahh itu Cuma judul skripsi dari temen-temen saja. Sekalipun ada efeknya paling presentasenya Cuma seberapa. Untuk apa berdebat soal siapa dalang G 30S PKI kalau kelak kita hanya melakukan persuasi dengan pelanggan/ konsumen agar tertarik dengan produk kita? Atau berdebat tarik menarik tawaran harga dalam bisnis perdagangan kita?.

Bagiku penghayatan terbaik dari Sejarah adalah sebagai sastra. Seperti yang sedang saya nikmati sekarang ini, yang kadang begitu pilu, kadang begitu romantic, kadang begitu mesra. Aku hanya bermain-main di jurusan ini, aku hanya sedang bermabuk-mabukan atau seperti orang yang menikmati putau dengan puitisnya Sastra Sejarah. Aku sungguh mencintaimu “Sejarah”. . .
Setidaknya aku masih punya Mimpi

Sunday, May 29, 2011

Catatan seorang Pendiam 29 Mei 2011


Sedikit membuka mata, berharap aku belum telat melihat sunrise. Bangkit dari tidur beralaskan tikar diatas pasir tak beratap. Ternyata masih pagi buta. Aku hanya teringat sesuatu akan suasana fajar seperti ini. Teringat tokoh Hans dalam film GIE yang dibunuh waktu pagi buta di salah satu pantai di Bali. Ditembak dari belakang dengan tangan terikat dan mata jauh memandang lautan. Itu adalah pertama kalinya ia melihat pantai yang semenjak kecil sudah ia inginkan. Ia dibunuh karena keikutsertaannya manjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia. Tepat sekali warna awan dan suasananya seperti ini ketika ia sedang dieksekusi. Rasanya sia-sia sekali, mati sebagai korban atas sengitnya percaturan politik.

Untunglah aku tak hidup di jaman itu. Aku hidup dikala Amerika sudah mengajak banyak Negara untuk merdeka. Warna awan ini masih terlihat mencekam, yang terlihat bukanlah barisan orang yang dieksekusi. Akan tetapi melihat mereka para peserta Pradiksar anggota baru KSG-SAC sedang digembleng, sedang dipaksa untuk push-up, sit-up dll sambil meneriakan kata KSG-SAC!!!. Itulah tantangan fisik yang dirasakan, agar nanti sudah terbiasa lagi ketika mendaki gunung.

Perlahan sangat pelan matahari menampakan diri hingga terang kan menjelang. Cahaya kelam mesra menyambut sang terang.

Aku tengah membaca “Sang Pemimpi”. Meski baru sepertinganya tapi aku mendapatkan sesuatu. Ayah dari tokoh utama Ikal dan Arai adalah seorang yang pendiam. Namun belasan tahun mereka menjadi anaknya, mereka belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya memiliki kasih sayang yang jauh berlebih disbanding pria sok ngatur yang merepet saja mulutnya.

Ada benarnya juga. Kata ibuku ketika muda bapakku adalah orang yang pendiam dan kalem, ibuku agak tertarik kepadanya soal hal ini. kini Beliau telah menjadi bapakku, dan mewarisi karakter tak banyak bicara itu kepadaku. Beliau telah banyak menaruh perhatian penuh kepadaku. Dari SMP sampai sekarang beliaulah yang hampir selalu memberiku suplai uang saku. Kami bukanlah bagian dari golongan pegawai negeri/bangsawan. Tapi Ada keinginan yang kuat agar kelak aku menjadi orang yang lebih baik dari mereka. Tiap kali pulang dari Semarang seolah aku dianggap seorang pahlawan, seorang paling diharapkan. Maka kerap kali aku ditraktir makan enak sama bapak, ini adalah kesempatan yang terus berulang. Selalu ada kasih sayang dari sang pendiam, bapakku.