Thursday, June 2, 2011

Catatan seorang Pendiam 2 Juni 2011


Jauh hari lalu aku sudah merencanakan. Sebelum KKL aku harus merapikan rambutku, selain biar gak kena kritikan sama bu Santi juga biar aku tampak 5 tahun lebih muda. Sekarang sudah terwujud, aku tampak seperti SMA lagi dengan potongan rambut yang sporty, dipotong oleh tukang cukur pemuda rasanya lebih bagus ketimbang dicukur sama seorang bencong.

Sedikit melamun melihat diri sendiri di kaca dengan tubuhku yang tertutup kain dan tukang cukur tampak serius memotong detail kerapian rambutku. Disitulah otak bawah sadarku light on. Sekarang aku paham mengapa dalam salon terdapat tukang cukur bencong. Ternyata bukanlah profesi tukang cukur menjadikan pria normal menjadi banci akan tetapi sosok banci lah yang sangat diperlukan dalam profesi ini. Mengapa harus banci?? Karena orang banci bisa dan mau menggarap hal-hal tentang lelaki dan perempuan sekaligus. Coba bayangkan bila seorang Cewek dicukur sama seorang cowo normal? Tentunya si cewek bakal rikuh dan merasa si tukang cukur ini tidak tahu persis soal selera pelanggan perempuan ini. Begitu pula sebaliknya jika seorang Cewe yang memotong rambut anak cowo? Pasti ada persepsi yang sama dengan tadi dan pencukur cewek juga agak grogi. Tapi seorang bencong bisa menggarap kedua-duanya sehingga waktu lebih efisien, mengatasi antrian panjang mereka yang akan mencukur. Bagitu juga dengan perancang busana, seperti Ivan Gunawan. Bukankah dia berlagak banci? Ya tentu dan dengan banci seperti itu dia menjadi bisa melayani busana untuk pria dan untuk wanita sekaligus. Ternyata orang-orang model banci seperti ini sangat dibutuhkan juga, khususnya dalam bidang merancang penampilan bisa mengerti dua selera sekaligus yaitu selera pria dan selera wanita. Tapi biar bagaimanapun juga aku tetap agak jijik aja melihat mereka, tapi bagiku itu masih mendingan ketimbang dengan mereka kaum Homoseksual/ gay.

Dikampungku dulu juga ada pemuda yang diisukan Homoseksual. Namanya Haliman, tiap sore ia suka ke lapangan untuk bermain bola. Orangnya pendiam dan bagi wanita mungkin ia masih tergolong manis. Dia bisa diisukan begitu karena tingkah lakunya. Ketika ada anak lelaki yang sedang tidak mengenakan baju, atau menggunakan celana pendek mini dia selalu menghampiri, meski tidak mengenal, atau terkadang berhenti pura-pura ada sesuatu tapi dia terus sesekali melirik bagian yang tidak tertutup itu, dan mungkin membuat dia terangsang.

Aku agak ngeri sekaligus takut jika berhadapan dengan sosok Gay. Kadang kesan pertama yang didapat memang dia seperti pria normal. Aku sempat menghadapinya di Pasar Bandarjo Ungaran (tempat biasa aku mencari bus jurusan Semarang-Purwokerto).

Ketika  terik sinar mentari hingga kelopak mata sengaja menyempitkan pandangan. Mondar-mandir dengan posisi tangan seperti sedang hormat, berusaha menghindari silaunya sinar matahari. Bus yang dicari belum juga datang. Tiba tiba seorang bapak-bapak dari dinas DLLAJ perpakaian biru dan celana biru tua mengajakku untuk duduk disebelahnya. Tepatnya dekat pangkalan ojeg yang lumayan teduh. Dia begitu penasaran denganku, menanyakan identitas, alamat, status mahasiswa, nomor HP dan lain-lain. Ia ingin aku memanggilnya “Om Rudy”. Dalam percakapan ini dia sembari sesekali pergi kesana-kemari memungut pajak dari para kernet bus yang singgah di depan pasar ini.
Setelah bus yang kucari datang, akhirnya kami berpisah, sebelum kakiku menginjak lantai bis dia berbisik kepadaku “Hati-hati ya Ganda” sambil menepuk punggungku.

Setelah sebulan ia mengirim  sms padaku dengan kalimat-kalimat yang menurutku aneh atau tidak wajar seperti halnya lelaki normal “dengan kata-kata maja ala perempuan”. Dia mengajakku mampir ke kosnya, dan minta tukar foto. Aku kaget saja ketika ia mengirim fotonya ke aku. Aneh, yang dia kirim adalah foto dirinya yang sedang tidak mengenakan baju atasan dan mengedipkan satu mata. Gila, sudah ku duga dia ternyata Gay Oriented, setelah itu dia akhirnya mengaku. Ternyata dia sudah cerai dengan istrinya, dan memutuskan untuk tidak menikah lagi.

Ada sisi mulia dibalik dirinya yang Gay, dia sudah banyak mengangkat anak orang yang tidak mampu dan membiayai pendidikan hingga sudah kerja mandiri. Kadang anak yang diangkatnya itu dianggap sebagai pacarnya (karena lelaki). Namun suatu saat ia harus menerima kenyataan. Anak yang diangkatnya itu harus menuju pelaminan sebagai pria normal yang menikahi seorang wanita. Hingga kelak punya anak. Namun hingga kini pertalian pertemanan dan persaudaraan mereka masih terjalin hangat.

Aku terkesan dengan sebuah artikel di rubrik Ragam Ilmiah bulletin Mutiara Pers (buletinnya anak HIMA Sosiologi Antropologi). Memamerkan judul “Dualisme Komunitas Gay pada Masyarakat Kota Salatiga”. Sebuah komunitas satu-satunya di Jawa tengah yang menampung para MSM (men who have sex with men).  Mereka datang dari berbagai penjuru kota. Bagi masyarakat Salatiga mereka dianggap “saru” mencintai sesama jenis bahkan resah akan dampak negative seperti rusaknya citra kota salatiga dan degradasi moral masyarakat. Akan tetapi persepsi itu kian terobati katika komunitas ini bekerjasama mensukseskan program pemerintah seperti kegiatan social, pelatihan keterampilan atau karnaval kebudayaan. Mereka tidak menimbulkan masalah.

Aku sempat berdebat dengan Tyo, dia tetap respect dan memaklumi dengan adanya perilaku gay, dan dia tidak terima bila mereka harus di diskriminasikan. Namun bagiku biar bagaimanapun ia telah melanggar agama. Dikaitkan dengan konsepsi kemanusiaan memanglah benar, tidak boleh ada diskriminasi terhadap mereka.

Bagiku ia harus segera disadarkan akan penyimpangan itu. Atau dikarantina seperti halnya pondok pesantren yang menangani rehabilitasi pacandu narkoba. Itu akan membuatnya lebih baik.

0 comments:

Post a Comment