Friday, June 3, 2011

Catatan seorang Pendiam 3 Juni 2011


Pagi ini rasanya aku malas untuk bangun. Ditambah lagi MagicCom ku kosong, belum menanak nasi. Rasanya bakal banyak tanggungan harian ketika ku terbangun. Tapi apa boleh buat aku harus menyambut sang pagi.

Menunggu nasi matang adalah hal yang kurang nyaman. Perut terasa lapar dan biasanya aku meluangkannya untuk membaca buku. Asal mengambil saja di rak, aku dapati kukuku yang berjudul “Membedah Tokoh Sejarah -Hidup atau Mati”. Aku ingat sekali buku ini adalah buku copyan dari penerbit Ombak, ketika aku mengadakan Bazar satu setengah tahun yang lalu bersama anak-anak HIMA. Winarso sengaja membuka segelnya untuk difotocoy bersama.

Salah satu tokoh yang ku dapati dalam buku ini adalah sosok Hoegeng Imam Santoso, seorang purnawirawan Jenderal Polisi. Idealismenya sangat patut dicontoh. Ketika dia baru menjadi kepala reskrim dia ditempatkan di Sumut, suatu daerah yang marak dengan penyelundupan. Disana ia disambut secara unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan oleh beberapa cukong perjudian. Ia menolak dan memilih di hotel sebelum dapat rumah dinas. Masih ngotot, rumah dinas itu juga kemudian dipenuhi perabot oleh tukang suap itu. Kesal, ia mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi dan karena tidak dipenuhi akhirnya perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan. Maka gemparlah Kota Medan karena ada seorang kepala polisi yang tidak mempan disogok.

Tahun 1968 ia menjadi panglima angkatan kepolisian. Banyak kasus menarik lainnya dimasa tugasnya. Keuletan menuntaskan kasus besar dan menjadi tokoh yang tegas anti korupsi (mengingat orde baru juga banyak KKN) menyebabkan Hoegeng diberhentikan oleh Presiden Soeharto. Pendirian yang begitu kuat itu mungkin ditanamkan oleh ayahnya bahwa “yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan”.

Soal idealisme, aku juga melihat figurnya di kampus. Dia adalah Bu Putri Agus Wijayanti (ahli dalam soal kearsipan dan Sejarah Indonesia abad 18-19, ilmu sejarah murni). Beliau kurang disukai mahasiswa, lantaran tuntutannya terlampau tinggi. Bahkan konon ia adalah salah satu dosen yang perneh tidak meluluskan mahasiswanya dalam ujian skripsi.

Memang tuntutan yang tinggi itu setidaknya sebanding dengan kualitas personal yang menuntutnya. Misalkan seorang guru yang menuntut muridnya untuk dapat menguasai soal Perang Koalisi Napoleon Bonaparte, padahal gurunya itu soal Revolusi Prancis saja kurang menguasai. Tapi jika melihat kualitas penyampaian materi oleh Bu Putri, ia masih tergolong professional. Dan pantas untuk menuntut mahasiswanya untuk setinggi itu. Tyo sempat agak mencela, dan kurang menyenanginya dengan berbicara kepadaku dibelakang, aku yakin sebenarnya dari dalam hati Tyo menganggap tindakan Bu Putri seperti itu sebenarnya sangat positif dan konstruktif demi kemajuan Indonesia. Tyo tidak menyukainya karena dia sendiri takut dan merasa sangat terbebani dengan tuntutan yang tinggi dari bu putrid itu. Tapi pada intinya jika mendapat peryataan yang jujur dari teman-teman, dosen karakter semacam ini kurang disukai.

Sekitar idealism murni, tidak boleh terlepas dari tokoh sejarah yang paling saya idolakan (bukan berarti mengkultusindividukan) yaitu Soe Hok-Gie. Ia benar-benar melihat kebobrokan para pemimpin Indonesia  masa demokrasi terpimpin yang cenderung korup. Dan masyarakat yang semakin susah.  Sungguh GAP semakin lebar diantara mereka. makanya ia menggerakan demonstrasi besar-besaran dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menuntut untuk melakukan ritul birokrat, serta membubarkan PKI (TRITURA). Setelah Soekarno jatuh, para aktivis kebanyakan giliran diangkat menjadi pejabat. Tapi GIe tidak mau, dia tetap ingin menjadi pengontrol mereka. sehingga seringkali kritikan pedas kepada pemerintah muncul darinya. Tidak hanya pemerintah, para mahasiswa dan rekan dosennya pun turut kena kritik yang ditulisnya dalam wacana “Wadjah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah”. Banyak yang menganggapnya keras kepala dan selalu mencari masalah. Karena tulisan itu ia menjadi semakin banyak musuh dibenci mahasiswa, dibenci para rekan dosennya. Keberaniannya soal mengkritik membuat orang tua pacarnya tidak ingin anaknya punya pacar seperti dia. Hingga pada suatu saat dia merasa terasingkan. Bagi Gie “Biarlah, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”. Ia sempat mendapat surat dari kawannya di Amerika “Gie…. seorang Intelektual bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesuadah kekuasaaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari system kekuasaan. Ini akan terjadi terus menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertaha sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan”.

0 comments:

Post a Comment