Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Saturday, May 24, 2014

30 PERSEN MASYARAKAT GANDATAPA MASIH SUKA BAB DI SUNGAI


Sungai dengan mudah ditemukan di sekeliling rumah warga
SUMBANG- Sejumlah masyarakat desa Gandatapa kecamatan Sumbang ternyata masih memiliki kebiasaan buang air besar (BAB) di sungai. Kepala Desa Gandatapa, Irwan Budi Santosa mengungkapkan bahwa, hal ini memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat. Padahal menurutnya beberapa waktu silam desa ini sudah diberi bantuan sejumlah jamban dari Dinas Kesehatan kabupaten Banyumas. Namun pada kenyataannya kebiasaan tersebut sudah sulit untuk dirubah.

"Jika diperkirakan masyarakat disini 30 persennya masih suka BAB di sungai. Mengubah kebiasaan itu benar-benar sulit, padahal mereka ada yang sudah memiliki jamban bahkan dari Dinkes juga sempat memberi bantuan jamban tapi ternyata belum digunakan dengan maksimal," kata Irwan saat di temui Banyumas Ekspres Sabtu (24/5) kemarin.

Irwan menambahkan jamban dari Dinkes ini oleh pihaknya dibuat secara terpadu di suatu tempat di desanya mengingat keterbatasan. Sehingga memang tidak semua rumah tangga ini memiliki jamban. Kata dia bahwa banyaknya masyarakat yang yang suka BAB di sungai ini, bukan berarti keseluruhannya memang datang ke sungai. Akan tetapi juga melalui instalasi pembuangan yang mengarahkan ke sungai.

"Ini bukan berarti semuanya itu pergi ke sungai akan tetapi ada juga yang memiliki jamban akan tetapi pembuangannya disalurkan ke sungai, bukan ke septic tank. Ada juga yang dibuang ke kolam, tapi menurut kami ini ya masih sama saja," lanjutnya.

Kebiasaan yang tidak sehat ini tentu saja berpengaruh terhadap banyaknya jumlah kategori masyarakat miskin. Desa Gandatapa tercatat sebagai desa yang cukup tinggi rumah tangga miskinnya. Dalam catatan PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2011 kemarin terdapat 1313 rumah tangga miskin, dengan rincian 312 dalam kategori sangat miskin, 362 dalam kategori miskin, 391 hampir miskin dan 248 dalam kategori rentan miskin lainnya.

Irwan mengungkapkan selain faktor dari kebiasaan, juga dipengaruhi keberadaan geografisnya. Menurutnya, kawasan desa Gandatapa ini cukup kaya oleh air dan juga sungai. Ada satu sungai melintang di tengah desa, namun sungai tersebut juga bercabang-cabang lagi kecil-kecil sehingga sungai bisa ditemukan di setiap tepian, depan atau belakang rumah warga.

"Dari pihak kita memang sudah melakukan penyuluhan lewat PKK agar mereka sadar untuk tidak BAB di sungai. Mungkin untuk mengubah kebiasaan ini butuh waktu pelan-pelan. Yang namanya masyarakat biasanya juga nantang kepada kita agar memfasilitasi di setiap rumahnya, tentu saja kami tidak bisa," imbuhnya.

Kendati masyarakat yang masih memiliki kebiasaan demikian, namun Irwan menjamin di desanya urusan air bersih sudah terjamin. Pihaknya menuturkan akhir-akhir ini sudah dibangun sistem meterisasi. Sehingga sumber air bersih terpadu kemudian disalurkan ke setiap rumah tangga. Berdasarkan pantauan setiap rumah tangga sudah memasang instalasi meterisasi ini. Sehingga dapat dipastikan air yang dikonsumsi masyarakat Gandatapa tidak tercemar kotoran. (gan)

Ganda Kurniawan, jurnalis Banyumas Ekspres (Jawa Pos Group)

Friday, May 23, 2014

SUMBANG KECAMATAN TERMISKIN DI BANYUMAS



PURWOKERTO- Kecamatan Sumbang ternayata tercatat sebagai kecamatan termiskin di Kabupaten Banyumas. Kabupaten Banyumas sendiri merupakan salah satu daerah jumlah rumah tangga miskin cukup banyak berdasarkan data dari BPS. Tercatat dalam tahun 2011 melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS), terdapat 239.002 rumah tangga miskin, yakni urutan kedua dibawah Brebes yang mencapai 282.889.


Curug Ceheng salah satu aset wisata di kecamatan Sumbang



Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyumas, Nooryono saat ditemui Banyumas Ekspres kemarin (22/5). "Untuk di Banyumas sendiri itu kecamatan Sumbang memang paling miskin, tapi says tidak bisa memastikan apakah termiskin di Jateng atau tidak," kata Nooryono.

Apabila dilihat dari 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyumas, terdapat 5 kecamatan yang angka kemiskinannya tertinggi salah satunya kecamatan Sumbang. Dilihat dari jumlah rumah tangga miskinnya memang Sumbang berada di urutan kedua dengan jumlah 14.007. Masih dibawah Cilongok yang mencapai 21.013. Begitu juga dari segi prosentase dibandingkan jumlah penduduk rumah tangga miskin di Sumbang masih di urutan kedua yaitu 18,9% sedangkan Cilongok 20,7%.

Namun beda lagi jika dalam kategori Rumah tangga sangat miskin (RTSM). Kecamatan Sumbang menyokong jumlah RTSM sebanyak 2883. Sedangkan Cilongok berada di urutan kedua yaitu 2759. Dengan demikian dana Program Keluarga Harapan (PKH) untuk Kabupaten Banyumas terbanyak akan dialokasikan kepada RTSM di Sumbang ini.

Nooryono mengungkapkan bahwa banyaknya RTSM di Kecamatan Sumbang ini disebabkan oleh faktor SDM dan profesi di masyarakatnya. "Kebanyakan memang disana bekerja serabutan, jadi ketika sedang tidak ada yang digarap ya mereka nganggur. Disamping itu juga diantara mereka banyak yang sebagai buruh tani, mereka tidak memiliki lahan pertanian," ujarnya.

Berkaitan dengan hal demikian, Nooryono juga mengungkapkan bahwa di Kecamatan Sumbang juga terdapat sebuah pabrik bulu mata dan rambut palsu. Namun perusahaan tersebut dinilai belum mampu menyerap banyak tenaga kerja dari Kecamatan Sumbang dan meningkatkan kesejahteraannya.

"Biasanya dari perusahaan menetapkan kualifikasi seperti umur produktif. Ketika sudah lebih dari itu masyarakat ya kembali menganggur karena SDMnnya juga belum maksimal," ungkapnya.

Tercatat di Kecamatan Sumbang tahun 2013 kemarin jumlah pengangguran sebanyak 2988 dengan komposisi 1984 dari kaum laki-laki dan 1004 dari kaum perempuan. Mengetahui hal demikian tentang Sumbang, Nooryono berharap bahwa secara terpadu setiap SKPD bisa ikut merencanakan program untuk menanggulangi kemiskinan.

"Sementara dari Dinsosnakertrans sendiri memiliki program untuk memperbaiki rumah tidak layak huni dan PKH atas dana dari kementerian," tutupnya.


Pihak Camat Sumbang

PURWOKERTO- Kecamatan Sumbang dalam catatan PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) merupakan daerah terbanyak di Kabupaten Banyumas dalam kategori Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), yaitu 2883 RTSM dari total 14.007 rumah tangga miskin yang ada di kecamatan tersebut.

Kepala Kecamatan Sumbang, Drs Nungky Harry Rachmat MSi mengungkapkan bahwa pihaknya sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah. Pasalnya, kebanyakan faktor yang menjerat masyarakat sumbang ini adalah persoalan SDM (Sumber Daya Manusia) yang kurang kompetitif. Nungky mengungkapkan bahwa solusi yang dianggap cukup untuk memperbaiki nasib adalah dengan memperbanyak fasilitas sekolah. Salah satunya yaitu SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).

"Sekolah-sekolah disni belum cukup banyak, hanya ada sejumlah SMP. Dan yang paling penting kami butuhkan adalah SMK. Kami sudah mengusulkan agar disini didirikan sebuah SMK untuk meningkatkan SDM dan yang terpenting adalah keterampilan kerja," ungkapnya saat diwawancarai kemarin (22/5).

Pihaknya menambahkan bahwa kemiskinan di kecamatan Sumbang ini bukanlah dalam arti keseluruhan untuk desa yang ada. Ada 4 desa yang memang dalam kategori RTSM cukup tinggi ini, sementara desa yang lain tidak. Empat desa tersebut diantaranya adalah desa Gandatapa, Limpakuwus, Kotayasa dan Banteran. Tercatat dalam PPLS desa Gandatapa terdapat 1313 rumah tangga miskin, Limpakuwus ada 1163, Banteran 1271 dan yang terbanyak adalah Kota yasa yaitu 1915. Sementara untuk desa lain masih dalam kisaran 300 hingga 800. Selisihnya cukup jauh.

"Pusat kemiskinan ternyata hanya di 4 desa itu. Sementara desa yang lain sama dengan desa kebanyakan dengan tikat kemiskinan yang wajar," ucapnya.

Disisi lain dia juga keluhkan sepinya investasi yang masuk untuk mendirikan perusahaan yang memungkinkan terserapnya tanaga kerja. Oleh karena itu sangat dibutuhkan dorongan dari pemerintah agar mengarahkan para investor agar mau mendirikan perusahaan di sekitar kecamatan Sumbang ini.

"Sejauh ini di empat desa tersebut kebanyakan masih berprofesi sebagai buruh tani, jadi mereka bekerja untuk para pemilik lahan dan itupun juga musiman," terangnya.

Faktor penentu dalam pencatatan PPLS ini menurutnya ada berbagai faktor yang dinilai seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan dan ekonomi. Semua faktor ini dinilai masih rendah. Nungky menngungkapkan bahwa yang terpenting dari mereka adalah mengubah mindsetnya.

"Misalnya saja soal kebiasaan buang air besar. Mereka lebih suka melakukannya di sungai-sungai. sehingga mereka tidak membutuhkan kakus. Mereka menganggap bahwa BAB di sungai ini lebih marem," ungkap Nungky.

Pihaknya juga menyampaikan bahwa meskipun empat desa tersebut dalam kategori sangat miskin. Namun di Kecamatan Sumbang ini dari segi infrastruktur sudah baik. Nungky menganggap tidak ada di daerahnya yang terisolasi. Semua desa masih mudah untuk dijangkau dan dilalui.

"Masyarakat desa tersebut pada dasarnya ramah. Saya yakin jika diberdayakan mereka juga mau seandainya ada sebuah usaha ekonomi yang merintis. Bahkan saya juga mengusulkan agar desa Gandatapa ini dijadikan desa wisata agar mereka bisa memiliki tambahan penghasilan," tutupnya. (gan)

Ganda Kurniawan, jurnalis Banyumas Ekspres (Jawa Pos Group)

KALANGAN MENENGAH DINILAI PENYEBAB INSTABILITAS EKONOMI


Mirza (tengah)
PURWOKERTO- Pertumbuhan ekonomi dari kalangan menengah atau munculnya kalangan menengah baru ini justru dinilai sebagai penyebab instabilitas perekonomian indonesia. Hal ini disampaikan oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara dalam kuliah umum di Gedung Rudhiro Fakultas Unsoed Jumat (23/5).

Menurutnya bahwa dengan meningkatnya jumlah kalangan menengah ini justru mengganggu ekonomi khususnya dalam menyeimbangkan rasio eksport import. "Yang manjadi masalah adalah kalangan menengah ini terjadi kenaikan daya beli, khususnya membeli barang-barang impor yang menyebabkan kita jadi defisit ekspor. Atau kita lebih banyak mengimpor daripada ekspornya," terang Mirza saat memberi materi kuliah umum yang bertajuk Perkembangan terkini, tantangan dan prospek ekonomi Indonesia Jumat (23/5) lalu.

Dengan defisit ekspor atau dalam hal ini menjadikan besar pasak daripada tiang ini, menyebabkan Indonesia harus berhutang kembali kepada luar negeri. Disamping itu bisa juga pemerintah mengeluarkan kebijakan menjual aset negara atau menerbitkan obligasi atau surat hutang. Mirza merinci sebanyak 350 T surat utang negara (SUN) sekarang ini dipegang oleh investor asing.

"Sementara pihak kami sendiri memang tidak melarang hutang maupun defisit ini. Boleh defisit asal jangan sampai 3% dari PDB (Produk Domestik Bruto) yang kita miliki, atau jika dinilai dengan rupiah prosentase tersebut bernilai 10 ribu Triliun," ujarnya.

Gejala peningkatan kemampuan daya beli masyarakat untuk mengimpor ini memang sudah menjadi trend di masyarakat Indonesia sendiri. Padahal jumlah mereka cukup banyak. Mirza menilai masyarakat indonesia masih bangga untuk memakai produk impor, namun tanpa disadari hal ini justru membahayakan kondisi perekonomian Indonesia.

Tidak hanya masalah kemampuan daya beli impor saja. Mirza mengatakan perekonomian Indonesia untuk sekarang ini tengah ketergantungan dengan negara Cina sebagai konsumen Batubara yang berasal dari Indonesia. Selama ini penjualan batubara ini merupakan ekspor terbesar dari Indonesia. Namun yang sedang dialami Cina saat ini adalah mengerem laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga permintaan batubara Indonesia otomatis menurun. Disamping itu juga kata dia harga karet tengah menurun dan di Indonesia sendiri masalah ekspor masih terhambat oleh kebijakan pelarangan ekspor bahan mineral.

Sejauh ini selain Cina, andalan ekspor dari Indonesia yang lain adalah tekstil, kimia dan listrik yang ditujukan ke Amerika. Mirza berharap bahwa ekspor non batubara ini bisa lebih berkembang untuk bisa mengimbangi penurunan permintaan yang terjadi di sektor batubara.    

"Justru yang saya khawatirkan, seandainya Cina, beralih ke bahan bakar gas. Karena selama ini mereka menilai batubara menimbulkan polusi. Sementara di Amerika sedang menggencarkan gas jenis Shielding Gas, kalau Cina mengadopsi ini, batubara kita jadi tidak laku dan indonesia harus bisa shift ke produk ekspor non batubara ini," tutupnya. (gan)

Ganda Kurniawan, Jurnalis Banyumas Ekspres (Jawa Pos Group)

PERTUMBUHAN EKONOMI NAIK BELUM TENTU SEHAT


Mirza Adityaswara (tengah) didampingi Kepala BI perwakilan Purwokerto
 (Rahmat Hernowo) dan Jateng (Sutikno) 
PURWOKERTO- Sejauh ini paradigma masyarakat mengatakan bahwa setiap pertumbuhan makro ekonomi yang naik selalu dinilai positif. Padahal tidak mesti demikian, seperti yang disampaikan oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara dalam kuliah umum di Gedung Rudhiro Fakultas Unsoed kemarin (23/5). Menurutnya pertumbuhan ekonomi yang ngebut itu justru lebih berpotensi terjadi chaos atau kekacauan. Jadi yang terpenting adalah menjaga stabilitas ekonominya.

"Pertumbuhan ekonomi yang terlalu pesat juga memiliki dampak yang kurang baik. Sejumlah sektor akan mengalami kenaikan harga, ketika masyarakat tidak bisa menjangkau bisa terjadi revolusi atau reformasi kembali. Ibarat ngebut jadi ketika ada persimpangan salah jalan, atau mungkin bisa menabrak sesuatu dan beresiko," ungkap Mirza saat mengisi kuliah umum yang bertajuk Perkembangan terkini, tantangan dan prospek ekonomi Indonesia kemarin.

Pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat akan menimbulkan kenaikan harga-harga khususnya properti. Disamping itu juga bunga kredit akan membengkak sehingga menyebabkan kredit macet. Harga barang akan lebih cepat naik. Disamping itu juga masalah polusi. Pihaknya belajar dari negara Cina. Negara tersebut dalam kurun beberapa waktu ini bisa menaikan pertumbuhan ekomoni diatas 10% yang akibatnya menuai kritik karena menjadi terlalu banyak polusi ini.

"Pertumbuhan ekonomi yang baik adalah pertumbuhan yang tidak menyebabkan ekses, pemerintah harus mengendalikan harga barang ini. Adakalanya memang pertumbuhan ekonomi harus direm. Stabilitas terus dijaga jangan sampai hutang membengkak," teragnya.

Pihaknya menargetkan tahun ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa naik sekitar 5,6% -5,7%. Sementara pada tahun 2013 kemarin target memang belum sesuai harapan BI yaitu hanya 5,21 saja.

Sejauh ini Indonesia juga masih tergantung dengan Cina soal pemasaran Batubara. Cina yang sedang mengerem pertumbuhan ekonominya hingga menjadi sekitar 7,5% ini ternyata turut berpengaruh terhadap turunya permintaan dan turunya harga batubara yang diimpor dari Indonesia. Sehingga Indonesia tengah mengalami defisit, akrena ekspor lebih rendah daripada impornya.

"Karena defisit kita juga akhirnya hutang. Peran dari BI sendiri adalah menaikan suku bunga, meskipun pahit tapi itu cukup efektif untuk mengurangi kemampuan mengimpor khusunya untuk barang yang tidak begitu dibutuhkan. Disamping itu juga dengan melemahnya rupiah juga cukup menguntungkan karena juga bisa mengerem impor. Lebih baik memang rupiah melemah tapi stabilitas terjaga daripada rupiah menguat tapi kondisi ekonominya kurang sehat, jadi ini paradigma baru yang harus dipahami," katanya. (gan)

Ganda Kurniawan, jurnalis Banyumas Ekspres (Jawa Pos Group)