Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Sunday, October 14, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 12]


Hidup yang dipenuhi dengan trik dan tingkah yang kehati-hatian biasanya tercermin  kalau dia adalah bagai orang  yang susah bernafas. Disini seolah memang aku begitu namun aku masih tetap bisa berespirasi. Semua hanya soal mindset saja. Aku positif thinking dengan mereka, dan merekapun juga sama. Meski kamar ini lebih gelap dari kamar ku di Dian Ratna dulu dan tidur hanya beralaskan kasur lantai tingginya tak lebih dari 3 Cm, tapi rasanya jauh lebih memendam kedamaian. Aku yakin dalam perhitungan Feng Shui pun akan memberikan jawaban yang sama. Meski di Dian Ratna lebih mahal tapi dekorasi dan penataan ruangannya sangat menjenuhkan. Kamar seluas 5X2,5 meter tak berjendela. Ada kaca itupun bukan jendela yang bisa dibuka dan itu juga ditutupi kertas agar isi ruangan tidak terlihat dari luar. Ada fentilasi, sebagian juga ditutup agar nyamuk tidak mudah masuk. Meski siang hari tapi seandainya pintunya ditutup, suasana akan gelap gulita, lebih gelap dari penjara sekalipun. Jika berjalan keluar yang ada hanya pemandangan barisan kamar yang sama, menyerupai bangsal di rumah sakit.

Belum lagi pakaian-pakaian kotor tergantung-gantung di setiap depan kamar, pakaian yang usai dijemur tapi pemiliknya lupa tidak mengambilnya lagi berhari-hari, berbulan-bulan, satu semester dan ketika sudah satu tahun tak ada yang mengambilnya Trio Dian Ratna (Lana, Prie, dan Ibu Kos) meringkus pakaian itu semua dan membakarnya di tempat sampah. Begitu kumuhnya jika diingat-ingat?? Bahkan ketika aku masih disitu kawanku Paemo (Karunia Rima) yang sedang mampir pernah bertanya sekaligus menjawabnya sendiri “Gan, kau tahu kosmu ini seperti apa?? Seperti di Film Slumdog Millionaire!!”

Itu Dian Ratna, berbeda dengan Ar[t]my. Disini kamar-kamar dinamai dengan nama-nama bunga, aku menempati kamar Flamboyan. Hanya seluas 3x2 meter, dua dinding bercat hitam dan dua dinding bercat putih. Satu hal yang membuatku betah adalah sebuah jendela yang rendah. Disitu aku bisa memandang suasana luar, pohon mangga pohon rambutan bergoyang diterpa angin dan mengipas udara segar masuk ke ruanganku. Seringku melamun berpandangan kosong ke luar jendela ketika pikiran bawah sadar sedang bergejolak, tapi teduhnya suasana bawah pohon itu telah memfilter dari pikiran-pikiran jahat dan Penyebab-penyebab depsresi.

Pemandangan depan rumah adalah sebuah perempatan jalan (depan Gg. Kalimasada III). Tempat orang lewat dari berbagai penjuru. Jarang sekali seorang mahasiswa di depan yang lewat dengan jalan kaki. Peradaban telah berubah, semua berangkat kuliah minimal menggunakan sepeda motor. Setiap pagi mereka berangkat dengan berwajah tegang dan sedikit ngebut, ekspresi takut terlambat. Siang hari mereka berangkat dengan wajah berminyak sedikit mengerutkan alis dan di hatinya sambil berzikir “malasterpaksaberangkat, malasterpaksaberangkat, malasetrpaksaberangkat. . . . (33x)”. Malam hari baru terlihat wajah cerianya, mereka bertebaran menjemput pacar, mencari makan dan mencari tempat tongkrongan. Ramai hingga jam dua dinihari.

Segenap ruang dan waktu dikala subuh yang dingin dan berbintang, giliran diambil alih oleh segolongan kaum-kaum tua keropos untuk beraksi. Depan kontrakanku juga terdapat sebuah surau. Terlihat seorang kakek-kakek selalu datang berjalan sangat pelan sambil memasang satu per-satu kancing baju kokonya melangkah menuju surau. Instingnya selalu tepat kapan ia harus bangun tidur dan kapan saat ia harus mengumandangkan adzan subuh itu tanpa melihat jadwal solat yang akurat sekalipun. Saat suaranya masuk ke mikrophon dan keluar melalui corong megaphone, maka saatnya lah sebuah (gejala) kiamat sugra bagi telinga-telinga penghuni ar[t]my. Selain karena corong megaphone (mungkin sengaja) tepat akurat menghadap kontrakan, suara kakek-kakek itu juga sangat tidak enak didengar. Meski yang diucapkannya salah satu petikan ayat Al-Qur’an yang biasanya mampu merasuk ke kalbu, tapi jika beliau yang membacakannya akan terdengar tidak karuan. Kau tahu beliau suaranya bagaimana?? Suaranya kasar seperti suaranya Doraemon masih dipadukan dengan kasarnya suara drum yang diisi gragal (kerikil besar) kemudian diseret-seret di jalan berbatu. Aku mengakuinya, dan teman-teman kontrakan juga. Seringkali kita tak dapat mengelak untuk bangun juga di kala subuh itu.

Inilah visualisasi sehari-hari disini. Aku akan tahu, hipotesis-hipotesis orang yang mengatakan ini adalah kontrakan yang buruk lama-lama itu akan terpatahkan. Nyatanya aku merasa lebih betah dan nyaman tinggal disini ketimbang di Dian-Ratna. Suasana desa lebih terasa, disini aku masih bisa mendengar kokok ayam, selalu melihat orang pergi ke surau, ibu-ibu berangkat yasinan, anak-anak kecil bermain di depan kontrakan, dan yang terpenting adalah disini aku sudah tidak melihat lagi sosok yang bernama “IBU KOS”.

written at:
ar[t]my jl.Kalimasada, 14 Okt 2012