Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Wednesday, June 12, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 22]


Menghindari tarif lebaran aku berangkat lagi ke Semarang H+8. Pagi benar aku menghadang bus disebuah halte ilegal di tepi jalan menuju Kalikabong. Tapi menurutku ini lebih baik daripada menghadang bus di timur patung Jend. Sudirman dekat terminal Purbalingga, dan itu adalah hal bodoh yang pernah kulihat mereka manaikkan dan menurunkan penumpang di tepi traffic light.

Aku terus menunggu duduk di tepi jalan dan kerap kali masih ditemani bapakku. Pandanganku terlepas pada ratusan bahkan ribuan Prawan Pabrik berkendara menuju industrinya masing-masing. Kecantikan dan pesona mereka tidak kalah dengan mahasiswi yang pernah ku lihat di kampus, bahkan menurutku mereka lebih sederhana atau nrimoandengan menaiki minibus, angkot atau motor yang agak ketinggalan jaman. Kawasan Kalikabong – Mewek hingga Kedungmenjangan adalah kawasan Industri di Purbalingga. Tepikir betapa hebatnya angka pengangguran yang ada di Purbalingga jika investor Korea Selatan tidak menanamkannya disini. PT. Indo-Kores, BooYang, Yuro, BMT, Sung-Cang, Sung-Shim, Sin-Han, Interwork, dll  mereka banyak menghidupi kami jarang ada yang berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji, kecuali soal asosial dan ketidak adilan penetapan tarif lembur.
 Lamunan semua itu pecah kala bus Maju Makmur datang dan petualangan ke Semarangpun dimulai. Penumpang tampan, penumpang cantik, penumpang kaya, penumpang miskin, penumpang manja ada dalam satu bus yang tergolong pernah mewah di tahun 90an ini. Jarang ada bus Patas untuk rute Purwokerto-Semarang via Wonosobo. Meskipun ada namun tidak bisa adu balap cepat dengan bis ekonomi karena jalan berliku dan sempit.

Maju Makmur: Armada Bus Sederhana Purwokerto - Semarang
Maju Makmur: Armada Bus Sederhana Purwokerto - Semarang


Kadang aku hafal dimana dan orang seperti apa pengamen yang datang. Dari empat tahun silam pertama ke Semarang hingga kini wajah-wajah mereka tetap. Di sekitar Mrican Banjarnegara pengamen yang datang adalah pemuda berkulit gelap dan berkuncir agak panjang bertampang preman, lagu-lagu yang sering dinyanyikan adalah tembang campursari, atau entah lagu apa tapi berbahasa mbanyumasan. Antara tampang dengan lagu, benar-benar tak cocok.

Ketika bus berhenti lama di alun-alun Wonosobo, pengamennya adalah sosok tunanetra tapi bisa bermain gitar, menekan chord nya pun tidak pernah salah, aneh memang. Ia juga punya asisten yang fungsinya sebagai penuntun arah. Kadang jika tak dikasih ia suka menyindir.

Ada lagi pengamen wanita masih agak muda, seksi pula, yang sudah berpoles kosmetik bermodalkan microphone yang disambungkan minitape dan speaker bertenaga accu dibungkus dalam kotak kayu berukuran 30x30x30 Cm. Memutar lagu-lagu karaoke. Teknologinya memang ketinggalan jaman, suaranya cukup keras tapi kualitas kejernihan audionya masih sekelas format (.amr). Satu lagi pengamen yang nampaknya ia memang asli Wonosobo dan juga paling sering muncul di alun-alun Wonosobo ini. Kulit dan potongan rambutnya garang, tapi mukanya kalem. Alat musiknya adalah gitar listrik bikinan sendiri dari kayu mungkin juga menggunakan tenaga accu speakernya entah ditaruh sebalah mana yang jelas gitarnya sudah bisa mengeluarkan suara elektik, lengkap dengan microphone kecil yang mencongok mengarah ke bibirnya, sehingga pengamen yang satu ini cukup menarik perhatian. Hanya saja mungkin dia Cuma hafal satu lagu itu saja, yang kurang lebih liriknya begini: “kau, slalu jaga hatiku . . . . saat aku kembaliii”   

Ketimur sedikit lagi, tepatnya di terminal Mandala Wonosobo. Yang masuk adalah pengamen bapak kurus berkisar 50 tahunan. Berkacamata bulat mengenakan topi diputar ke belakang, kancing baju paling atas biasanya dibuka sehingga dada kerempengnya cukup kelihatan. Umumnya pengamen lain menggunakan alat musik Gitar, atau Ukulele alias Kencrung namun dia menggunakan Guitarlele. Cara memainkannya pun cukup kukagumi, karena dia menggabungkan 2 metode bermain gitar yaitu Chord dan Fingerstyle. Apalagi ketika kumelihatnya sedang fingerstyle, jarinya menari-nari menekan string bak permainan gitar ala Carlos Santana atau Antonio Banderas pokonya lah. Tapi sayang sungguh disayangkan. Lagu-lagu yang ia nyanyikan hanya lagu dangdut saja, terutama lagunya Bang Haji. Seandainya saja dia bisa cukup berakustik dengan fingerstyle nya untuk lagunya Richard Marx – Right here waiting, atau More than word nya Westlife pastilah ku kasih Rp2000 lah untuk dia.

Di Tamanggung hampir-hampir tidak ada pengamen. Meskipun ada tapi ia bukan pengamen langganan yang tetap dan khas seperti pengamen-pengamen diatas. Biasanya adalah pengamen yang asal masuk saja karena ada kesempatan.

Begitu juga di terminal Bawen kab. Semarang, pengamennya tidak bisa dihafalkan karena terus berganti-ganti. Menurutku terminal Bawen memang gudangnya para pengamen, karena Bawen lokasinya cukup strategis berada di pertigaan besar, simpang Utara menuju Kota semarang dan kota-kota di Pantura, sementara ke selatan adalah arah menuju Solo sedangkan simpang ke barat adalah jalan menuju Jogja dan Purwokerto. Namun yang unik dari pengamen-pengamen di Bawen ini adalah semacam ada lagu khas atau mungkin lagu wajib. Hampir dipastikan pengamen disini pasti menyanikan lagu itu. Aku tak tahu judulnya apa tapi aku hafal sedikit potongan liriknya, seperti ini:
. . . . . . . Rodo papat rupo menungso, jujugane omah tuwo,
Tanpo lawang tanpo jendelo, tanpo bantal tanpo kloso,
Ditutupi anjang-anjang, siramane banyu kembang,
Tonggo tonggo podo nyawang, podo nangis koyo wong nembang,
Sing neng ngomah rebutan warisan, direwangi paten-patenan.
. . . . . . tondo-tondone wong pelit, wong ngamal wae yo ora tau.
paribasan weruh pengamen, lha koq deweke etok-etok turu
eto-etok turu, ben duwite ora metu. Dst

Perjalanan selama 200 Km itu tidak selesai hanya keluar dari pintu bus, masih harus naik angkutan umum warna hijau yang biasa berkoloni di pojok luar terminal Ungaran. Paling sering mayoritas penumpangnya adalah mahasiswi, semuanya juga tidak pernah kukenal. Jadinya saling diam, saling lempar pandang. Atau minimal kadang melihat Kirana, atau Kristin.

Suasana capek dan panas belum berhenti menyiksa, karena kami harus mengetem atau menunggu hingga angkutan penuh penumpang, kira-kira selama 30 menit. Bagiku mengetem mungkin berasal dari kata inggris: steam, yang artinya “dikukus”, karena ketika mengetem kami serasa sedang dikukus, keringat semua penumpang mengucur. Inilah spa alami. Bau parfum berubah menjadi bau ketek. Yang tidak pakai parfum baunya berubah menjadi bau kain kafan yang telah terkubur bersama jenazah selama 1 tahun. Ingin muntah rasanya.

Penumpang laki-laki paling sering mengalah ditempatkan di tepi pintu, dimana ketika sedang berada di tikungan, kocokan penumpang menekan ke arah ke luar pintu, jadi yang di tepi pintu harus selalu siaga menahan tekanan penumpang yang ada di dalam, otot yang digunakan untuk menahan penumpang adalah otot deltoid (lengan atas) dan otot quadriceps (paha). Sekali lengah saja mungkin yang di tepi kedorong keluar jatuh tersungkur, apalagi jalan Ungaran – Sekaran ada sekitar 10 titik tikungan. Belum lagi ditambah kalau lagi nyalip kendaraan lain.  

Ini adalah kepulangan pertamaku semenjak tinggal di Kalimasada. Ada rasa yang berbeda ketika angkutan sudah memasuki Jl.Taman Siswa, biasanya aku bilang “KIRI PAK!!” tepat ketika angkutan sedang melewati depan Gang Setanjung. Namun kali ini aku hanya terdiam saja, melewatkan gang Setanjung. Seperti tereinkarnasi di jaman yang berbeda, antara jaman hidup di Setanjung dan Kalimasada. Seperti Ken Arok yang dalam legenda Pararaton merupakan penduduk Kampung Jiput. Karena kelakuannya yang tidak senonoh, ia dijadikan tumbal oleh pendeta sakti Tawapangkeng sebagai pengganti kambing. Ia kemudian lahir kembali di desa Pangkur sebagai anak Ni Ndok. Mungkin saja bagaimana Ken Arok melihat Kampung Jiput, sama saja bagaimana aku melihat gang Setanjung.

 Tak perlu bilang “Kiri” sekalipun. Aku mengikutinya hingga berhenti, tepat di bawah pohon Waru sebelah timur laut  Masjid Ulul Albab. Aku turun, langsung masuk ke gang Cokro, turun belok ke Utara, ini adalah jalan yang paling sering ku tempuh ketimbang langsung lewat depan gang Kalimasada karena jalan ini langsung mem by-pass ke Kontrakan Ar[t]my. Suasananya juga lebih rindang dan sejuk oleh pohon-pohon bambu spasies Schizotachyum caudatum ini. Tibalah aku di ar[t]my, dan bersalaman dengan mas-mas senior disini.


Padamara, 12 Juni 2013