Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Monday, September 17, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 8]


Sebelum aku meneba-nebak tentang hal yang kedua, aku diberitahu oleh Winarso kalau mayoritas penghuni kontrakan ini adalah anak-anak seni rupa. Aku baru bilang “Pantas Saja”, orang seperti mereka tentu harus menyukai hal-hal yang aneh-aneh. “Baik atau jelek sebuah karya yang terpenting adalah diperhatikan orang”. Mungkin itu adalah salah satu petikan ayat dari kitab suci orang-orang seni rupa. Penilaian dari orang adalah hal yang paling utama. Apalah arti mengerjakan tugas tanpa dinilai oleh dosen. Like doing for nothing. Ada dua kunci agar diperhatikan orang-orang adalah Keindahan dan Keanehan. Namun sudah terlalu banyak orang yang mengadopsi tentang Keindahan. Ibarat misalnya buku “antologi puisi terindah sepanjang zaman”, tentu pembaca akan bingung jika disuruh untuk memilih puisi mana yang terindah dari yang paling indah dalam buku itu. Hal kedua yang diadopsi oleh seniman adalah Keanehan Strange. Karya seni yang berbentuk aneh memang masih sangat langka, dan aku rasa para mahasiswa seni rupa penghuni kos ini beraliran Strange. Mereka memilih jalan karya seni yang langka, entah karena pesimistis soal persaingan keindahan atau memang itu adalah selera mereka.

Jika melangkah ke dalam kontrakan ini akan dihadapkan pada symbol swastika berwarna merah yang cukup besar sekitar 1x1 Meter. Sepengetahuanku Swastika yaitu logo yang dipakai dalam Weda/ kitab suci agama Hindu sebagai symbol kelangsungan hidup di dunia yang terus berputar dan ber reinkarnasi. Di Era 1930-an logo ini dipakai Hitler sebagai logo Partai NAZI Jerman, cukup melambangkan obsesi Hitler yang menghendaki kekuasaan The Third Reich dapat bertahan hingga ratusan tahun. Namun setelah keruntuhan Partai NAZI beserta Negara-negara Axis (poros Berlin-Roma-Tokyo) tahun 1945 logo ini haram untuk kembali dikibarkan di Jagat ini karena NAZI dicap sebagai penjahat perang kelas berat terkenal dengan istilah Holocaust (Genosida). Meskipun haram namun anak-anak kontrakan ini tetap mengadopsinya. Enyahlah . . . untung Indonesia tidak begitu awas dengan kisah sejarah dunia, swastika pun masih dianggap halal karena banyak orang yang tak tahu apa itu NAZI. Aku juga pernah naik bus dari Purbalingga ke Semarang atau Touring naik motor dari semarang ke Kudus menggunakan atribut lengan Nazi-sawastika toh aku juga tidak ditangkap Polisi. Swastika besar Itu adalah keanehan pertama yang kulihat di Kontrakan ini. Strange juga bisa diartikan melawan arus, paradox, atau memberontak dari hal-hal biasa.

Tak lepas dari studi mereka, pasti mereka juga memamerkan lukisan-lukisan di Kontrakan ini. Lukisan bernada strange banyak terpajang. Pertama, aku dapat melihat lukisan sekelompok kupu-kupu sedang mengendarai vespa. Lukisan aneh kedua adalah gambar kucing hamil terlihat bayinya di dalam perut dan di dalam perut bayi itu terdapat tulang belulang ikan. Segmen ruang kedua ada sebuah lukisan hitam pekat seperti foto hasil Rontgen terlukis tipis kepala bapak-bapak berkacamata (seperti seorang dosen) dan didepannya ada ilustrasi bayang-bayang tengkorak. Di ruang paling belakang ada dua lukisan terpajang, pertama bergambar sepasang kuda yang sedang becanda namun lekuk otot kuda itu nampak aneh seperti lekuk-lekuk akar medan menuju puncak Gunung Muria. Disebelahnya ada lukisan seseorang tegar di hadapan badai gurun pasir, dan badai gurun itu membentuk kepala kuda yang sangat besar. Dan banyak lagi lukisan-lukisan aneh yang hanya tertumpuk tak dipajang.

Kontrakan kala itu begitu sepi, aku belum melihat batang hidung mereka satupun. Barang-barang ku letakan sembarang di kamar Winarso itu. Selebihnya aku, Winarso, Nanang dan Aris masih bercanda di kursi depan namun senyum dan tawaku sedikit aneh, bukan tawa lepas, tapi tawa yang sebenarnya memendam rasa khawatir untuk tinggal di Kontrakan baruku ini, apakah aku akan disambut baik atau sebaliknya. Sedikit ada rasa sesal aku memutuskan tinggal di kontrakan ini namun rasa itu masih taraf menyerah sebelum perang dan aku masih belum tahu bagaimana kedepannya. Saat itu juga aku berfikir ulang tentang tawaran Aris dan Nanang untuk tinggal di kos mereka saja. Meskipun tempat yang dihuni Aris dan Nanang sangat jauh lebih baik dari ini, akan tetapi itu adalah “Kos” bukan “Kontrakan”. Lagipula bapak kosnya berada disitu. Akupun dapat memprediksikan seandainya aku memutuskan untuk tinggal bersama Aris dan Nanang mungkin akan terjadi hal yang lebih fatal ketimbang aku tinggal di Kontrakan ini (dua bulan kemudian prediksi ini akhirnya terbukti ketika kawanku Heraldi mencoba tinggal di Kos Aris, diapun diusir bersama barang-barangnya oleh bapak dan ibu kosnya, sungguh menyakitkan). Sementara aku masih memilih Kontrakan di Jl.Kalimasada ini, aku harus menyingkirkan negative thinking dalam kepala ini, menghapus kesan awal yang buruk tentang kontrakan semrawut ini. Biarlah akan tetap aku jalani.

Takdir itu seperti pemerkosaan, kalau kita tak bisa menghindarinya, maka cobalah untuk menikmatinya. ..
(bersambung)

Jl.Kalimasada, 17-09-12