Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Wednesday, January 16, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 14]


Beda peradaban tentu beda kebiasaan. Sebelum kehilangan headset dan sebelum memiliki laptop di Dian Ratna selagi santai aku luangkan untuk mendengarkan radio sambil smsan dengan sosok lawan jenis. Semenjak memiliki laptop aku punya hobby baru suka hotspotan di kampus dikala malam. Kadang di depan jurusan Sos-ant, Gazebo Geografi dan Gazebo FE. Itulah titik segitiga yang paling sering aku singgahi. Pulang agak malam, dan lompat pagar besi setinggi 2 meter di belakang gedung C2. Jika pulang hingga dini hari terkadang juga harus lompat dinding pagar samping kos. Kudapati terakhir dini hari di Dian Ratna sudah begitu sunyi, semua aktivitas telah berhenti, yang terlihat bergerak hanyalah seekor kucing yang sedang mengendus-endus tempat sampah mencoba mengais rejeki. Setiap melewati koridor utama selalu mengingatkanku tiga setengah tahun silam zaman kegelapan Dian Ratna, kala itu dini hari disini adalah jam-jam ketika tikus-tikus kotor beraksi menyetel musik keras-keras sambil mabuk dan suka menggedor-gedor pintu anak-anak untuk memalak. Ah, semua sudah berlalu dan ini adalah akhir yang baik pemandangan terkhirku di Dian Ratna.

Gang Setanjung adalah gang paling pesat perkembangannya dibanding gang-gang lain di Unnes. Layaknya Jepang yang kecil namun amat maju. Setanjung adalah gang yang bisa dilewati hanya sepanjang 150 meter saja, selebihnya adalah jalan off-road atau shortcut. Biar pendek tapi cukup padat. Beberapa orang di Setanjung telah hafal dengan seleraku sebagai konsumen. Toko Wardjo adalah toko pensuplai roti yang baik dan murah bagiku, dulu disini adalah wartel tapi bisnis itu sudah digulung tikar dan menjadikannya menjadi 100% minimarket. Bapak kasir di toko Dinasty hafal kalau aku adalah konsumen yang rajin sekali mencari mie instant, camilan kedelai oven dan susu sachetan. Ibu Kiss lebih hafal lagi, karena aku adalah pelanggan setianya selama 2 setengah tahun untuk membeli rames atau lauknya saja. Selebihnya satu semester sering pula membeli rendang dan lele goreng ke warung Masakan Padang, Setanjung depan.

Untuk mengatasi kebosanan rasa masakan, seringkali aku juga mampir ke WM Pati. Pemiliknya mungkin berasal dari Kabupaten Pati, atau bisa saja mereka dari luar Pati tapi berhasil mencuri dan menjiplak masakan khas Pati. Karena aku juga sering mendapati hal yang tidak sinkron seperti mengatasnamakan “Warteg” tapi penjualnya berasal dari Brebes atau Randudongkal, membuat warung Masakan Padang ternyata penjualnya berasal dari Semarang saja. Kondisi WM Pati sederhana. Aku memang tak terlalu sering kesini, namun acap kali aku mendapati salah satu pelayannya memang terlihat berbeda, cantik maksudku.

Pendiam sungguh bahkan lebih pendiam dari aku, tapi geraknya cepat ketika melayani pembeli. Putih, rambut hitam lurus diikat kuncir ekor kuda. Ibunya sama putih. Juga adiknya, matanya kudup mirip orang Korea. Mereka seperti keturunan suku bangsa Ainu (Jepang), mungkinkah nenek moyang mereka orang Jepang?. Tak pernah aku cari tahu, bahkan berkenalanpun tidak. Dan satu semester beralih di WM bu Issah, terkenal mahal, tapi kualitas maasakannya bagus.

Mulai tanggal 14 Juli aku sudah tak lagi mengakui Dian Ratna sebagai tempat tinggalku. Ekosistem di seluruh gang setanjung akan mengatakan padaku begitu teganya aku mudah meninggalkan mereka tanpa menangisi perpisahan terlebih dahulu. Berpisah dengan sejarah yang ku rajut sendiri disana. Suatu hari aku ingin meninggalkan sesuatu dalam kamar no.42 milikku sebagai kenang-kenangan, cukup deretan huruf ambigram bertuliskan “Illuminati”. Ku tulis di lemari menggunakan cat Pyloc. Masih jarang orang yang tahu tentang “Illuminati”. Aku harap lewat cap tulisan ini penghuni kamar no.42 kelak akan tahu bahwa kamar ini pernah dihuni oleh sosok pemuda yang juga sedikit tahu tentang cerita konspirasi New World Order.

Selain itu aku juga meninggalkan barang-barang lain yang tak berguna. Setumpuk instrumen penelitian skripsiku juga ku tinggal, tidak penting, karena skripsiku juga skripsi pragmatis yang ku buat asal selesai dengan cepat. Setumpuk skripsi bekas koreksian dosen pembimbing ku tinggal di lemari, kesal melihatnya, berapa ribu uang terbuang percuma karena suatu bagian skripsi yang salah. Sebuah sepatu Piero putih ku tinggal karena sudah rusak, tak peduli ia adalah artefak saksiku menginjak puncak Gunung Gede (TNGP Cianjur).

Hari-hari aku masih sering ke kampus untuk mengurus skripsi, tapi aku tak pernah lupa kalau pulangnya adalah ke Kalimasada tak lagi di Setanjung. Kebiasaanku pun banyak yang berubah. Sekarang tak perlu lagi melompat pagar dan sebagainya. Magnet telah berubah posisi, dan Dian Ratna sudah tidak terdeteksi lagi dalam radar otakku untuk menuntun jalan pulang. Sekarang yang ku tahu adalah Ar[t]my.

Hingga kuliah selama empat tahun aku masih seperti prajurit yang tak berkuda, aku adalah infanteri sejati, alias pejalan kaki. Untuk menuju jalan pulangpun tentu aku perlu mengenal semua jalan-jalan kecil di sekitar kontrakan sebagai shortcut agar tenaga dan waktu lebih efisien. Dari FIS menuju ar[t]my lebih panjang ketimbang dari FIS menuju Dian Ratna. Tapi dengan perjalanan yang cukup panjang ini aku jadi lebih banyak pula mengenal ekosistem selama perjalanan pulang. Ekosistem pertama adalah Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), aku jadi tahu betul tata gedung fakultas ini termasuk spot spot yang nyaman untuk surfing internet dengan menjala sinyal wifi. Musholanya pun sudah beberapa kali ku sujudi dan kamar mandinya sudah beberapa kali kukencingi. Padahal selama empat tahun silam 70% aku tak mengenal FIP. FIP adalah perlintasan pertama untuk menuju jalan pulang, belakangnya masih ada jalan hanya saja berupa sebuah pematang sawah. Ya memang aneh mungkin ini satu-satunya sawah yang masih bisa bertahan di Desa Sekaran ini, tepat berada di belakang megaproyek gedung Parkir Unnes.

Pematang tak lebih dari sepuluh meter panjangnya diakhiri oleh titian kayu diatas parit alam, parit yang sudah sangat bau tercemar limbah rumah tangga. Aku memasuki peradaban baru yaitu sebuah delta yang mempertemukan gang Goda dengan gang Cokro. Dalam pertigaan ini terdapat koskosan cewek yang cukup megah bertingkat. Setidaknya ketika malam suasananya lebih menyemarakkan sawah yang ada di depannya. Air sawahnya memantulkan barisan lampu kos tersebut sehingga tampak seperti samudera malam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu kapal Titanic melintas. Kala dinihari suasana tak berbeda, hanya saja lebih sepi tinggal jemuran-jemuran bergelantungan yang bergerak karena diterpa angin malam.
Tak jarang aku pulang malam, bahkan larut. Hanya kelelawar dan burung hantu saja yang mampu melihat detail gerak langkahku. Dan rembulan yang terang terlihat terus mengikutiku. Kedatanganku bahkan seringkali menggangu kawanan katak yang sedang asik mencari pasangan di malam hari. Mereka bertebaran di tengah jalan ini. Tembusan gang Cokro menuju gang Kalimasada bukanlah jalan yang gelap. Masih banyak pemukiman hanya saja masih terlihat sejuk ketika di siang hari. Dari sisi kanan masih terdengar gemericik air, ia tak tampak karena berada di bawah jurang yang tepinya rindang ditumbuhi hutan bambu. Terus melangkah hingga tiba di suatu perempatan dan disinilah ar[t]my berada.
Tempat untuk melepas segala rasa capekku. Setiap hendak tidur, aku selalu mengevaluasi tentang apa saja yang telah terjadi di hari ini. Baru terpejam, rasa penasaran menghatuiku tentang hari esok. Ada banyak hal yang belum aku lewati saat itu, satu hal yang membuatku risau dalah UJIAN SKRIPSI.