Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Tuesday, October 29, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 26]


Dulu, disini adalah semak belukar yang dipenuhi rumput gajah. Tak pernah bisa dibajak atau ditanami padi karena hampir tak ada sungai yang mengurat nadi di ujung bukit ini. Hanya terdapat segelintir koloni pohon rambutan. Sepanjang tahun ada yang berbuah dan ada yang tidak, menandakan benih bukan sengaja ditanam. Melainkan biji-biji yang jatuh tersebar liar oleh kawanan Codot sisa kelebihan rejeki di musim penghujan. Jarang ada burung pipit yang mampir di dahan pohon rambutan terlantar ini. Transitpun tidak, sumber padi dan biji-bijian terlampau jauh dari sini. Justru paling sering adalah burung Cucak Rowo yang datang sendirian, hinggap dan mengkibas-kibaskan ekornya yang indah. Dia adalah penari soloist yang eksotik. Tapi ia tak bisa bertahan lama disini, karena terlalu panas untuk tempat pentas.

Sekarang lahan ini mulai ditanami tembok beton. Jalan-jalan kecil mulai bermunculan, seperti simpul yang saling menghubungkan jalan satu ke jalan yang lain. Dulunya jalan ini menyerupai offroad terlebih ketika pasca hujan akan tercipta bubur lempung. Namun berkat kebijakan walikota, jalan ini sudah tertutup paving stone yang tidak lagi membuat roda selip dan bebas kubangan air. Ditengah modernisasi ini, berdiri sebuah rumah yang menyendiri di pinggir bukit. Terbinalah sebuah rumah kos yang dihuni oleh lima sekawan subur jibar-jibur dan memiliki cerita yang berbeda-beda. Kita bisa datang ke tempat ini dari gang Cempakasari Timur hingga jalan habis diujung Timur dan masuk lagi ke jalan kecil. Jika ke Utara kita akan tembus sampai ke Gor dan lapangan Golf FIK.

Jika pilih ke Barat kita akan semakin dalam dan mendapati kos-kos putri yang super liar, atau Kos Kêmprét. Kêmprét dalam bahasa setempat berarti “Cabul”, jadi kos Kêmprét berarti Kos Cabul. Padahal orang yang disitu belum tentu cabul. Hanya saja konon disitu markasnya pergaulan bebas. Aslinya adalah kos putri, tapi tak jarang kaum adam yang suka memarkirkan motor hingga bermalam disitu. Jika ingin Kêmprét  disini termasuk aman, seolah telah menjadi kawasan yang dikorbankan atau sebuah sentra, ketimbang fonomena Kêmprét terjadi berdiaspora. Kanan-kirinya gelap, tak ada pengamanan, juga tak ada pengawasan. Aku yang berpengalaman masuk ke kosnya iX khayalanku kebablasan bagaimana tentang kos Kêmprét ini. Kosnya iX saja yang tergolong kos normal, bukan kos cabul atau kos yang sudah berstandar SNI ini saja penghuninya suka berpakaian minim, atau setidaknya membuat hangat selangkangan lelaki. Lalu bagaimana dengan kos Kêmprét, diperkirakan pakaian mereka lebih “seadanya”.

Lain jika ke Timur, kita akan menuruni bukit menuju lembah yang lebih teduh dan masih banyak rumput-rumput segar. Peternak seringkali membawa sekalian sapinya untuk menemaninya menyabit rumput. Namun jika memandang ke hamparan bukit sebelahnya ternyata lembah tadi adalah jurang pemisah antara bukit Gunungpati dengan kawasan perkotaan Banyumanik dan Srondol Wetan. Terlihat dari jauh hutan tower seluler, hutan beton, kantor, Universitas dan terdengar sedikit dengungan suara kendaraan mobilitas kesibukan kota megapolitan Semarang.

Sebelah kosnya persis kini dibangun kos putri khusus Akhwat (Muslimah Tulen) yang tidak akan menerima tamu laki-laki dan tidak sembarangan dalam berpakaian. Dinding pembatasnyapun tinggi, sehingga orang ingin memandang jemuran-jemuran seksinya pun tentu tak bisa, apalagi saling temu pandang dengan penghuninya. Jangan harap bisa ngefek menggodanya dengan  lempar rayu-gombal di balik dinding seperti kisah cinta di film “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Percuma saja, eksperimen itu takkan pernah berhasil sekalipun dipancing godaan dengan suit maut dari seorang Ikhwan.

Dulu, Nanang datang dari seberang Kos Rawarontek gang Jeruk yang sempit dan bising. Anggoro datang dari kos sekitar pertigaan Jl Taman Siswa Banaran lebih bising lagi untuk orang secerdas dia. Harry datang dari depan lapangan Banaran ingin menyingkir dari keamburadulan peradaban di kosnya yang suka Mabok dan Madon. Marwan datang tak jauh juga dari pedalaman belakang warnet Cempaka, namun terlampau sederhana untuk orang setampan dia. Sementara Aris datang dari kos gang Cempakasari Timur, ingin melarikan diri dari mata-mata Menwa yang ingin menangkapnya perkara desersi. Keempat orang ini bersatu dan bertemu bersemayam di kos ini, membentuk semacam keluarga kecil. Mereka berlatar belakang sama dari jurusan sejarah. Keempat orang ini terbukti tumbuh subur dan gemuk-gemuk semenjak tinggal disini. Tentu karena tempatnya yang lebih damai, banyak elemen warna hijau yang memanjakan mata. Harry semakin gemuk, matanya semakin sipit, bukan menyerupai sipit orang Asia Timur melainkan sipit kudup Sleepy Eye, karena disini ia lebih hobby tidur. Anggoro,  postur dan wajahnya mengingatkanku akan pembawa acara “Makan Besar” di Trans|7. Wajah Nanang yang mirip Syahrul Gunawan memudar dan berubah mirip Pak Romadi, dosen MPS. Aris paling ironis, karena ia lebih mirip dengan budak Negro yang bergaji tinggi, biar hitam plontos tapi tubuhnya terlihat seperti orang yang selalu kenyang. Semantara Marwan paling bisa menjaga postur tubuhnya, tapi ia paling tertinggal soal akademis keempat kawan gemuknya yang sudah lulus duluan.

Kini, Nanang telah jauh pergi ke Lampanah, Aceh. Harry juga pasrah dibuang ke Landak, Kalimantan Barat. Anggoro justru paling semangat dengan tugasnya ke Ende, NTT. Sedangkan Marwan merasa terasing di kos ini karena tak ada yang bisa diajak ngobrol dan nyambung tentang kesukaanya: Endang Soekamti, Efek Rumah Kaca dan band-band Indie yang lain. Akhirnya ia pindah kos ke sekitar Patemon. Tinggallah Aris.  Yah, Aku sedang tinggal di kos pinggir lembah ini bersamanya. Meski ini bukan tempat tinggalku, tapi lebih banyak meninggalkan jejak sejarah pentingku ketimbang di Kalimasada. Termasuk hari ini, aku sedang menunggu matahari terbit untuk mengikuti Wisuda Fakultas.

Aku tak khawatir kalau mantan pacarku kembali ke pelukan mantannya yang sekarang sudah jadi Brimob itu. Aku tak khawatir kalau besok orang tuaku akan mengetahui bagaimana sebenarnya Kosku di Kalimasada. Aku tak khawatir kalau malam yang gelap nan sepi ini tiba-tiba Aris jujur kepadaku kalau dia sebenarnya suka sesama lelaki dan meminta yang aneh-aneh, karena aku telah menaruh buku tebal disampingku sebagai senjata untuk mengantisipasi. Aku juga tak khawatir kalau pagi nanti aku dimarahi ibu kosnya Aris, karena aku bermalam, buang dan mandi disini tanpa ijin. Tapi, entah apa yang aku khawatirkan, sehingga malam ini aku tak bisa tidur. Apakah karena jam biologisku yang selalu membarengi jam tidur di Teheran, Iran?. Kurasa tidak, karena sepanjang siang tadi aku sengaja memperbaiki jetlag dengan menyempatkan seluruh waktunya untuk beraktifitas, tanpa tidur siang. Seharusnya malam ini aku sedang tertidur lelap, bahkan seharusnya bisa tidur lebih awal. Tapi masih saja aku belum bisa memejamkan mata. Miring ke kanan, melihat tumpukan buku-buku dan berkas-berkas milik Marwan yang belum sempat di boyong ke kos barunya. Miring ke Kiri, melihat Aris yang tengah mendengkur dan tertidur pulas menandakan bahwa ia memang lelaki tulen dan tidak ada niat jahat itu kepadaku. Sedangkan melirik ke Jendela terlihat garis-garis cahaya bulan yang menerobos lewat celah celah gorden.

Tak terpikirkan untuk mencari cara ampuh yang biasa kupakai untuk mengatasi insomnia. Biasanya aku akan cepat tertidur jika mendengar musik klasik seperti Concerto for Piano and Orchestra in D Minor No.20 Romance by Mozart, kemudian semua musiknya Kevin Kern, Yiruma, atau Sleep Away nya Bob Acri. Semua itu adalah senjata ampuhku yang memang khusus sebagai lullaby. Aku takut Aris akan merasa terganggu jika aku memutarnya, karena setiap orang memiliki selara yang berbeda-beda. Sepanjang yang ku tahu Aris adalah pecinta dangdut, jadi bisa saja dia akan merasa nyaman di telinga dengan dangdut sebagai pengantar tidurnya. Mustahil rasanya aku tiba-tiba memutar musik itu di tengah malam seperti ini.

Gelisah demi gelisah tak kunjung menemukan jawaban untuk mengatasi insomnia ini. Hingga pukul tiga dini hari baru aku tertidur, otomatis melewatkan waktu subuh. Dan kaget dibangunkan oleh budak Negro bergaji tinggi itu pukul 6 pagi. Orang tuaku telah menunggu di MUA (Masjid Ulul Albab) semenjak jam 4 pagi dari Purbalingga berangkat jam 10 malam. Miris sekali orang tuaku yang telah membiayaiku kuliah selama 4 tahun di hari yang gemilang ini tidak kuajak transit di kosku yang seharusnya terhormat, layak dan menyatukan silaturahmi antara pemilik dan penghuni kos dengan orangtuaku. Jauh hari sebelumnya aku telah jujur kepada bapak: “Pak, mengko nek mangkat ming Unnes mending transite neng Mesjid gemiyen kae pas ngeneh (MUA). Inyong turu neng kose kancaku kae sing ireng gemiyen tau mampir ngumah kae. Kosku sing siki neng kalimasada mandan semrawut pak, langka ruang tamune tur ra kpenak karo bocah-bocaeh. Neng mesjid tli kpenak, pan solat gari solat, pan adus gari adus” demikian doktrinku yang dengan mudah diterima begitu saja. Mamak ku belum pernah singgah dan tahu tantang Semarang, apalagi tentang bagaimana Kos ku di Setanjung yang sering ku ceritakan dulu ketika aku pulang ke Purbalingga. Bapakku sudah dua kali. Sementara keadaan sekarang memang berbeda. Aku tak lagi di Setanjung, bukan di kos yang terhormat. Dan kami hanya bertemu di MUA.
Area parkir Auditorium lebih sesak ketimbang kamarin, karena kali ini melibatkan kedatangan orang tua. Berbagai macam mobil berjajar, dan yang lebih gila ada yang membawa serombongan tetangga kampungnya menggunakan bus mikro. Stand fotografi menjamur, umumnya memilih berfoto di pagi ini dengan alasan belum berkeringat. Dalam hitungan jam saja selepas acara, foto sudah bisa diambil. Semuanya adalah foto minim manipulasi, sehingga banyak yang kecewa. Aris muring-muring setelah mengetahui hasil cepretannya tidak bagus. Dalam foto, wajahnya yang hitam dan gempalnya kali ini tidak lagi mirip dengan budak Negro yang bergaji tinggi, melainkan seperti kreasi seni patung yang terbuat dari gemuk atau fat. Gemuk atau fat adalah semacam pelumas colek yang biasa digunakan untuk melumasi engsel atau lakher, warnanya hitam kecoklatan dan mengkilat. Dia manyalahkan fotografernya yang dianggap tidak profesional yang salah mengambil spot angle nya sehingga ada sepercik cahaya blitz kurang sempurna mengenai kulitnya dan kembali terpantul ke kamera. Padahal bisa juga salah editornya yang saking gugupnya dikejar target cetak dari banyaknya order ada kemungkinan tak sengaja tersenggol menu saturation nya dan ke-drag sedikit sehingga yang seharusnya Aris hitam manis berubah menjadi hitam jenuh. Bahkan bisa juga salah Aris sendiri yang ceroboh tidak mengelap keringatnya saat berfoto atau dia sendiri lupa tidak cuci muka setelah bermasker dengan minyak zaitun.

Acaranya memang tak semegah hari kemarin. Tapi ada satu hal yang unik, yaitu tempat duduk. Jika urutan tempat duduk wisuda universitas kemarin berdasarkan nomor registrasi sikadu, sementara nomor urut tempat duduk kali ini berdasarkan ranking. Tempat duduk orang tua dan wisudawan terpisah, namun dengan nomor urut yang sama. Nomor urut inilah penentu seberapa besar pengabdian kita kepada orang tua. Semakin belakang ranking kita maka semakin belakang pula kita menempatkan tempat duduk orang tua. Ini adalah soal reputasi dan harga diri. Seharusnya aku mendapat ranking-13, berhubung minus Anggoro dan Revita yang ikut SM3T maka aku menjadi urutan ke-11. Sebuah angka yang tidak terlalu buruk dari 73 lulusan. Sebelah kananku ada Ema, kuakui dia memang Akhwat yang cerdas dan pantas mengungguli aku. Sementara sebelah kiriku, lagi-lagi si manusia multidimensi Eko Nurrohmad, tapi aku cukup berbesar hati diakhir ini rankingku bisa sejajar dengan teman yang pernah menjadi orang nomor satu di semester-semester awal itu.

Tak ada Rektor, adanya Dekan. Tak ada Unnes Choir, adanya FIS Choir. Tak memakai sound system utama, tapi memakai sound system dadakan. Tak ada Karawitan, tak ada Orchestra, tak ada bunga-bunga di tepi karpet merah. Dan tak ada acara pamer kebaya lagi. Dandanan wisudawati juga banyak berubah dari hari kemarin. Agaknya hari ini mereka lebih banyak yang mengenakan jilbab, ketimbang sanggul.

Orang kadang lupa, bahwa yang ganjil seringkali justru lebih menarik perhatian ketimbang yang lurus-lurus saja cari aman. Misalnya saja ketika sampai pada sambutan dari pak Subagyo, sebagai Dekan. Siapapun tahu kalau beliau memang orang yang ramah, sopan dan tentu terlihat cerdas. Sepanjang yang aku rasakan ketika sedang mengajar, beliau selalu mengeluarkan kata-kata yang sangat lurus dan sangat formal. Akibatnya memang cukup membosankan. Orang yang mendengarnya akan terkantuk-kantuk, menguap-uap, pura-pura sedang merenungi ceramahnya dengan serius sambil memegangi dahi padahal sebanarnya sedang menutupi mata kantuknya, mahasiswa justru lebih konsen dengan tawon Bambung yang masuk melalui celah fentilasi ruangan kuliah kemudian mondar-mandir di dalam dan hampir-hampir hinggap ke mahasiswa yang diajar. Atau lebih terpancing sekedar melamun ke arah luar jendela menatap pergerakan awan. Perhatian ke pelajaran masih kalah dengan perhatian mengamati perpindahan presensi yang sedang bergilir ditandatangani. Dan yang paling memalukan adalah ketika di tengah kuliah, Aris mulai nekad nyletuk “Laut. . .Laut!!!”. Pertanda mahasiswa menginginkan acara belajar mengajar saat itu segera diakhiri. Bagaimana tidak? Bakat mengajar pak Bagyo yang lebih mengantukan ketimbang lagu lullaby manapun dan lebih membosankan ketimbang menunggu atrian mandi di kos Dian-Ratna itu rupa-rupanya diterapkan juga dalam pidato sambutan acara wisuda kali ini. Mari kita simak cuplikan pidato berikut ini:

“. . . . . . hadirin yang berbahagia. Secara personal saya ingin berpesan kepada para wisudawan agar seluruh pengetahuan, skill, sikap konstruktif, nilai dan filosofi, yang didapatkan selama studi, bisa segera diimplementasikan dalam dunia riil. Baik dalam ranah kultural masyarakat madani maupun dalam lingkup lapangan pekerjaan yang makin kompetitif, dewasa ini. Ditunjang dengan pengalaman koognitif yang telah mumpuni ketika di bangku kuliah, diharapkan wisudawan dapat berekspresi dalam aksi psikomotorik yang profesional mampu berjuang hingga pada titik kulminasinya demi mempertahankan kontinuitas kemajuan peradaban. Dan yang paling penting adalah mampu mengembangkan sikap afektif yang berbudi luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai cerminan keberhasilan Unnes konservasi”.

Kira-kira semacam itulah, beliau berucap. Jangankan orang awam. Sesama dosenpun juga bisa bosan mendengar pidato serupa ditambah dengan durasi yang tidak sebentar, tidak ada pengaturan intonasi suara alias dibaca dengan nada do berturut turut, tidak ada body language, yang ada hanya mata pak bagyo yang sesekali menghadap hadirin dan sesekali menghadap ke teks pidatonya di mimbar.

Perasaanku yang hadir saat itu hanyalah sedikit ingin tertawa. Jika dimasa luguku aku masih termangu kagum mendengar rangkaian pidato yang sedemikian kompleksnya memilih diksi dan kata serapan yang begitu intelektualis itu. Tapi sekarang aku ingin menertawakannya layaknya kata yang hampir tak berguna. Alih-alih pak Subagyo ingin dianggap cerdas dengan bahasa pidatonya yang terlampau tinggi. Tapi justru menebar wabah kantuk dimana-mana, termasuk mamakku yang tukang jahit dan bapakku yang tukang las tidak bisa menangkap inti dari pidato itu.

Hiburannya tergolong minimalis, sekadar lagu “Simfoni yang Indah” menggunakan Organ tunggal dan sedikit bantuan efek suara dari FIS Choir. Suasana auditorium masih dalam ingar bingar keceriaan wisuda. Namun detik demi detik ke depan selalu menunjukkan adanya anti klimaksnya. Selapas acara kita semua berpisah, tidak ada acara kembali ngumpul kemudian pesta blitz seperti hari kemarin. Semua hanya terarah pada stand fotografi untuk mengambil hasil jepretannya masing-masing tadi pagi. Ada yang lari menuju spot yang indah untuk berfoto sendiri, seperti taman depan perpus, taman tugu Konservasi, Rektorat, bahkan di gerbang agung Unnes kuil Parthenon itu. Aku tak berbuat banyak, namun disini aku mengamati dan mengumpulkan galeri-galeri senyuman-senyuman dari kawan-kawan bersama orang tuanya, “lihatlah mah pah aku sudah lulus, sudah jadi sarjana, aku siap untuk pulang menjemput masa depan” begitulah kurang lebih makna dari senyuman-senyuman mereka.

Di siang yang terik ini tampak fatamorgana meliuk-liuk diatas aspal, aku sekali lagi ingin menatap auditorium dari kejauhan. Dia adalah saksi bisu awal dan akhirku disini. Kami lega, merasa telah mematahkan mitos bahwa kuliah itu sesuatu yang amat berat. Nyatannya berakhir juga, yakinkan bahwa tuhan pasti menafkahi kita asal ada kemauan dan tekad untuk maju. Berjuta-juta rupiah kudapat dari beasiswa disini, berjuta-juta rupiah kudapat dari proposalku yang tembus ke Dikti, serta berjuta-juta kenangan dan pengalaman di sini yang lebih berharga daripada rupiah. Itu adalah jawaban Tuhan, bahwa dibalik ada kesulitan pasti ada kemudahan. Aku puas dengan masa mudaku menjadi mahasiswa yang merdeka dan tidak terenggut oleh penjajahan zaman. Aku merasa puas telah memilih takdir menjadi seorang mahasiswa. Tatapanku merayap ke atap auditorium, dan berakhir memandang ke cakrawala yang abadi milik Tuhan, dan awan yang terus bergerak layaknya perjalanan hidup manusia. Tersadar bahwa aku harus segera menghentikan lamunan ini, dan kemudian bergerak mengikutinya.

Segera kulepas baju badut toga ini, ku kemasi ke tas. Dan untuk sekali ini saja, kuajak keluargaku ke kontrakanku Ar[t]my di Kalimasada. Cukup kusarankan saja mereka agar tidak usah turun dari mobil, karena aku hanya ingin memasukan tumpukan kardus barang dan pakaianku dari kos ke mobil. Beruntung suasana kos masih sepi, sehingga kedatangan kami tidak membuat heboh penghuni. Mas Eky datang bersama pacarnya yang berbibir tipis dan rambutnya yang dicat merah sehabis wari warung makan mba Kiss di sebelah kontrakan, beruntung aku telah  selesai memindahkan semua. “Meh balik, Gan!?” tanyanya. “Durung mas, mung meh mbalekno barang disek” jawabku. Orang tuaku tidak menaruh curiga sedikitpun atas semua tingkah anehku yang seolah-olah terus menutup-nutupi dan menghalangi mereka untuk bereksplorasi dengan Ar[t]my dan lingkungan pergaulanku disini. Kedatangan mas Eky bersama pacarnya yang menuju kamarpun tidak jeli dilihat orang tuaku dari mobil. Perhatian mereka hanya tertuju padaku tentang barang-barang yang akan dibawa itu, apakah sudah tidak ada lagi yang tertinggal. Skenarioku berjalan dengan mulus, rombongan keluargaku akhirnya segera menekan pedal gas mobilnya, setelah berpamitan pulang padaku di tepi jalanan Kalimasada depan kontrakan.

Orang tuaku hanya sekelumit saja mampir di Semarang, semalam sebelumnya berangkat kemudian siangnya langsung pulang lagi ke Purbalingga. Tak mencoba menyempatkan mampir ke Simpang Lima, Tugu muda, Kota Lama, Pecinan, Masjid Agung Jateng, atau Gedong Songo, tak tahu lebih dalam tentang Semarang. Yang mereka tahu dari Semarang adalah Unnes dan lebih khususnya MUA. Mereka tidak keberatan dengan kunjungan kilat itu. Memang lebih baik, daripada mereka masuk ke Kontrakan Ar[t]my memeriksa setiap sudutnya yang sangat sederhana. Setiap kamar hanya bersekat triplek, hanya dinding eksternalnya saja yang beton, sementara plafon kamar yang terbuat dari terpal bekas baliho. Belum lagi kebiasaan teman-teman kontrakan yang suka membawa pacarnya berduaan di kamar. Jangankan masuk ke dalam, seandainya orang tuaku hanya duduk-duduk di beranda depannya pun aku sedikit khawatir karena seringkali disitu ada botol Chong Yang tergeletak lupa belum dimasukan ke tong sampah. Apa jadinya orang tuaku menyaksikan sendiri keamburadulan ini. Memang aku tidak ikut-ikutan sebagai pelaku penyelundupan pacar ke kamar, juga tidak pernah jadi konsumen Chong Yang, tapi karena orang kadang punya pandangan “Kita itu cerminan dari rumah kita”.

Aku masih harus berada di Semarang, memanfaatkan sisa-sisa hariku untuk melegalisir ijazah, akta mengajar dan transkrip nilai, itu adalah misi santai. Kemudian aku terbawa suasana oleh kucing yang sedang tertidur lelap di kursi beranda kontrakan siang ini. Baru aku teringat, kalau aku semalam tak bisa tidur. Kelopak mataku serasa semakin berat terbebani hutang-hutang istirahat. Dalam situasi seperti ini tempat tidurku yang amburadulpun terlihat seperti paha bidadari-bidadari tersanding yang menggoda segera ingin ku tiduri. Akupun terlelap      


Padamara, 29 Oktober 2013

Wednesday, October 16, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 25]


“Burung-burungpun bernyanyi
Bungapun tersenyum, melihat kau hibur hatikuuuuu
Hatiku mekar kembali, terhibur simphonii
Pasti hidupku kan bahagiaaa. . . .”
Sore yang tenang ini aku berbaring santai, menyenandungkan lagu itu di atas risban. Wisudawan mana yang lupa tentang lagu itu. Meski telah terlewat satu tahun silam, namun musik dan lirik lagu itu masih memiliki resonansi yang sanggup menghidupkan kembali memori-memori wisudawan tentang hari-hari yang gilang gemilang itu. Enam belas Oktober 2012.

Dalam mata yang terpejam sekalipun, musik itu akan mengantarkan kembali sebuah visualisasi yang sangat jelas, sejernih kualitas Blue-Ray movie, dan akan mampu bertahan hingga berpuluh-puluh tahun bersemayam dalam otak dikelilingi jaringan, sel, dan neurotransmiter hingga kejernihan itu takkan melapuk, selapuk kualitas 3gp meski di usia senja nanti.

Aku akan teringat terus tentang lagu ini, tepat mengenang satu tahun yang lalu maka aku memasukannya di playlist di mp3 handphoneku. Kuputar sekali dalam sehari, kadang malah beberapa kali, karena memang memiliki efek yang bisa kembali mengobarkan semangat sebagaimana lagu Chariots of Fire by Vangelis yang menyemangati Olimpiade 2004 di Athena.

Nampaknya ini adalah lagu wajib untuk acara apa saja yang beratmosfer kebahagiaan.  Ketika wisuda jurusan, pak Ibnu Sodiq mengajak  duet dengan sang biduan, menyanyikan lagu ini, kemudian aku mendengarnya lagi di wisuda universitas, kemudian wisuda fakultas. Adalah lagu yang berjudul “Simphony yang Indah”, ciptaan Robby Lea. Pernah dipopulerkan oleh Bob Tutupoly di era 80-an. Sementara di era sekaranng aku baru mendengarnya sekitar tahun 2008-an, dan beruntung lagu ini jatuh ke seorang penyanyi yang menurutku memiliki kualitas suara terbaik se-indonesia, Elfonda Mekel (Once) secara single tanpa Dewa19. Dan diaransemen pula menjadi beraliran orchestra yang maha agung.

Kawan, akan aku ceritakan bagaimana satu lagu ini berproses di otakku, memanggil kembali memori-memori detik detik wisuda universitas yang maha megah itu. Mari kita tekan tombol “PLAY” Simphony yang Indah by Once:

Dimulai dari sebuah intro lagu, seperti himpunan suara biola yang berlarian balapan menuju oktaf yang tinggi. Angan kita persis terhipnotis seperti sedang ditarik kembali oleh mesin waktu yang berdinding gelap melaju cepat menuju satu titik cahaya, baru ketika bunyi piano masuk kita seperti baru sampai di sumber cahaya. Cahaya itu adalah setting ruang dan waktu di 16 Oktober 2012. Terdengarlah bunyi alat musik triangle yang sebening air embun menetes. Dan kisahpun dimulai.

Kamera men-shoot kontrakan Ar[t]my dari kejauhan pagi itu. Dari luar berjalanlah  Agus Nur Fuadi menuju pintu masuk. Dilihat dari raut mukanya ia seperti baru pulang begadang entah dari mana. Mengetuk pintu kamarku “Gan!, Gan!” dan terbukalah pintu yang tak ku kunci itu. Ia melihatku yang sudah terbangun, “Oh jebul wis tangi, eembok urung tangi, mengko wisuda”. Aku tak menjawab apapun, kecuali menggeliatkan tubuh saja. Meskipun dia tidak juga berwisuda hari ini namun lelaki yang berwajah mirip Dony Ada Band itu, cukup solider juga, mengingatkanku tanpa ada rasa iri dengki. Aku salut memang kebanyakan mahasiswa-mahasiswa yang pernah berasrama di PKM FIS memang memiliki watak seperti ini. Sama halnya Sastro, mas Kingkong mereka berjiwa solider: sosialis, dan baginya tidak ada istilah sikut-sikutan untuk sesama teman. Maka Agus membangunkanku.

Akhirnya kupakai juga baju Toga ini. Aku menyebutnya baju bergembira. Karena modelnya yang tidak wajar. Krahnya bulat dan berwarna warni seperti bendera Ukraina yang dipasang melingkar ke leher. Belum lagi topinya yang segi lima dan berkuncir. Semuanya hampir saja menyerupai Badut. Tapi tetap saja orang-orang menyebutnya sebagai pakaian kebanggaan. Mendapatkan pakaian ini sebenarnya gampang saja, tinggal sewa ke Kopma. Namun yang  tidak mudah adalah mendapatkan keabsahan untuk memakainya. Mahasiswa yang belum lulus akan boleh-boleh saja dan bisa-bisa saja memakai toga dan ikut datang ke Auditorium, meski paling tidak akan mendapatkan anugrah gelar Orang Sinting. Tapi untuk memperoleh sebuah keabsahan, baru didapat bagi mereka yang telah lulus menempuh  sekian SKS, belum lagi harus melewati sensasi cemas dan penasaran lotrean ploting KKN, PPL dan dosen pembimbing, Lolos Sikadu, lolos SISkripsi. Dan tentu dia juga harus lolos dari pencabik-cabikan mental saat sidang skripsi, jika tidak maka ia akan pulang dalam keadaan gila, pandangan kosong, melongo, frustasi dan perlu dibawa ke panti rehabilitasi penderita Dosenofobia.

Jalanan raya dipenuhi mahasiswa berkostum serupa bersliweran. Wisudawati konon telah mempersiapkan penampilannya semenjak jam 3 pagi, dikala kelelawar mulai merasa ngantuk atau dikala pedagang sayur sedang memanasi motornya untuk bersiap berangkat ke pasar. Wisudawati mengantri bermake-up setebal mungkin, sampai bopeng sedalam setengah sentipun bisa diratakan. Yang mustahil adalah menyembunyikan tahi lalat yang besar, karena tidak ada jasa tatarias yang terampil mengoperasikan adobe photoshop. Tidak ada juga wisudawati yang tak berdandan, sekalipun ia tomboy lesbi sekalipun, selanang-lanange cah wadon mesti dandan, dan seboke-bokenya mereka untuk membiayai tatarias juga berdandan meski otodidak atau dengan hutang.

Mayoritas yang telah dipersiapkan mereka sebelumnya adalah baju kebaya. Mudah sekali mengamatinya, ketika persis acara wisuda selesai, akan ada ajang pamer kebaya. Mereka segera melepas baju badut toga itu, kemudian memepertontonkan keelokan lekukan tubuhnya yang dibalut kebaya. Tatanan rambutnyapun bermacam-macam. Ada yang memilih mengadopsi sanggul model sinden jawa, bulat melebar ke samping, ada yang memilih ditutup kerudung,  atau mungkin turban dan ada pula yang mengadopsi model angin puting beliung, juga angin ribut yang tak dapat ku mengerti polanya. Semuanya telah tertata rapi, berikut disambungkan dengan topi wisudanya. Kalau perlu terus dijaga jangan sampai terkena guncangan hebat. Bisa rontok nanti. Sehingga cara berjalan mereka sangat berhati-hati, sehati-hati cara berjalan peserta lomba nyunggi tampah saat tujuhbelasan. Mereka benar-benar tampak berbeda pada hari itu. Yang cantik tambah cantik, yang jelek tambah cantik, semakin cantik mereka semakin tidak kukenal, karena semakin tidak teridentifikasi wajah asli mereka.

Jika wanita adalah makhluk tuhan yang paling seksi. Maka pria adalah makhluk tuhan yang paling simpel. Bagi pria wisudawan, tidak ada acara macak atau bersolek disini. Mereka kebanyakan bangun jam 6, atau paling bagus bagun ketika subuh yaitu ketika kelelawar sedang mendengkur atau ketika pedagang sayur dipasar telah laku separuh dari dagangannya. Kemudian sepaket mandi, bahkan sarapan pun tidak. Pria memang cenderung mblaur (pemalas), jika bangun agak kesiangan setidaknya mereka hanya cuci muka dengan facial wash dan gosok gigi, jika lebih telat lagi mereka minimal hanya gosok gigi saja. Tak perlu kebaya. Hem putihpun cukup atau menggunakan T-shirt bahkan singlet pun tidak akan kelihatan dan tidak akan peduli. Yang kami tahu bahwa hari ini adalah upacara wisuda, bukan upacara pernikahan.

Begitulah kesimpelan pria dan kerumitan wanita. Pandang saja di dunia luar. Ibuku seorang penjahit busana wanita, yang sepanjang tahun hampir tidak pernah kehabisan pelanggan dan setiap harinya paling tidak bisa mendapatkan Rp.200.000,-. Namun tak ayal, persis didepan rumahku adalah seorang penjahit pakaian pria yang  realitanya berjungkirbalikan dengan ibuku. Dia lebih sering tertidur di ruang kerjanya karena saking sepinya pelanggan, bahkan sekali-kali ia rela mengerjakan borongan konveksi yang hanya dibayar murah itu. Mudah dan murahnya garapan konveksi itu karena hanya mengandalkan standar S, M, L, XL dst. Sementara ibuku menggarap busana wanita wajib mengukur  tubuh pelanggan mulai dari lebar badan, lebar leher, lebar lengan , lebar pinggang, lebar pinggul, lebar lingkar dada, panjang ke pinggul, dan panjang pakaian, dan semua itu kemudian dikumpulkan menjadi database yang suatu saat bisa digunakan kembali di pelanggan yang sama. Lelaki seringkali kurang minat dengan pengukuran detail seperti ini, karena dipastikan harganya tidak murah, maka pria lebih suka pergi ke distro mencari hasil konveksian S,M,L dst juga tentu harganya lebih terjangkau kadang juga rela agak kedodoran, rela agak kekecilan, dan paling beruntung mereka dapat yang pas. Bagi wanita cara asal-asalan S,M,L ini tentu kurang estetis, meski mereka membeli di distro dengan ukuran yang kurang pas, mereka akan memabawakan ke tukang jahit untuk merombaknya. Baginya kedodoran sedikit saja akan sangat mengganggu reputasi dan merasa risih.

 Pria hampir tak peduli bagaimana pria kurus seharusnya berpakaian bermotif horizontal agar terlihat ideal dan pria berbadan gemuk seharusnya menggunakan pakaian bermotif vertikal. Sementara pria ideal akan terlihat lebih gagah dan tampan jika menggunkan pakaian yang press body dsb. Semuanya hampir tidak diperhatikan. Makanya dalam hal fashion lebih banyak majalah wanita daripada majalah pria (majalah dewasa jangan dihitung). Di indonesia, yang aku tahu dan yang sering kubaca hanya majalah Men’s Guide, itupun baru-baru ini mencantumkan soal fashion dalam kontennya akhir-akhir ini, sebelum-sebelumnya majalah ini murni membicarakan soal seks, tips bercinta, tips cinta, nutrisi, kebugaran dan kesehatan pria. Bagitulah pria, ini baru sebagian kecil, dalam bidang yang lain pun tentu tidak akan jauh berbeda. Makhluk Tuhan yang paling simpel.

Aku berjalan di sepanjang gang Kalimasada, menuju ke jalan Taman Siswa, karena Aris tak kunjung menjemputku. Aku hanya mengenakan hem putih yang sudah ku bungkus baju toga hitam dan mengabaikan topi dan krah gembira itu yang kukira sudah kutaruh di tas untuk dipakai disana saja. Pakaian seperti inipun terlihat sangat ganjil seperti menegnakan jubah dukun serba hitam. Sampailah aku dan Aris di parkiran Auditorium.

Seketika turun dari motor, aku begitu terkesiap, dan shock ketika di tasku tidak ku temukan krah gembira itu. Mencari-carinya hingga ruang rahasia di tasku, padahal aku sudah yakin telah ku masukkan ke tas. Aku menjadi plin-plan dan terpikirkan bahwa aku mendapat paket toga itu tanpa krah gembira semenjak dari Kopma karena sebelumnya belum pernah ku-cek. Kemudian berfikir bagaimana jika aku pergi ke Kopma saja untuk mengambil krah gembira itu. Tapi ini baru pukul setengah tujuh, dan kopma paling tidak buka pukul delapan. Sampai-sampai Aris yang terbiasa memujiku kali ini dia malah memakiku “Ta akui kowe iki pinter gan, tapi iso-isone urusan sepele koyo ngene kowe  iso teledor tingkat jagat gan!!, padahal iki acara penting !! (sambil geleng-geleng). Betul ini adalah acara maha penting, akan malu sekali jika aku akan tetap masuk tanpa mengenakan krah itu, dan tentu lebih baik tidak berangkat sekalian. Kemudian muncul ide, “Bagaimana kalau aku pinjam ke anak FIK atau MIPA dimana mereka akan wisuda di kloter ke dua”. Suasana bertambah darurat ketika kami tidak menemukan no hp sahabat di jurusan-jurusan itu. Apa boleh buat aku mencoba mengajak Aris untuk mengecek kembali ke kontrakanku. Perasaanku begitu cemas, secemas menjadi ketua panitia peringatan Isra-Miraj dimana Kyai penceramahnya tak kunjung datang.

Tiba-tiba di tengah jalan pulang itu aku merasa optimis, karena telah mengingat sesuatu, kalau kemungkinan besar krah itu terselip tertinggal di plastik tas kresek dari kopma dan itu ada di kamar. Betul, begitu ke kamar aku menemukannya. Benar-benar sujud syukur alhamduliillah aku menemukannya. Benar-benar lega, ploong dan senang sekali seperti sehabis mendapat dispensasi dari malaikat Izroil agar tidak mencabut nyawaku hari ini.

Lalu kami langsung beranjak berangkat, dan tidak sempat menjawab sapaan dari kakek-kakek tua yang terbiasa menyapu lingkungan kontrakan Ar[t]my “Badhe wisuda mas?”. Dengan wajah keheranan dan di benak ia berkata “Bagaimana bisa, anak kontrakan Ar[t]my yang semrawut ini bisa wisuda juga????”.

Di jalan Aris bilang “Sori Gan, sori Gan”, ia meminta maaf atas makiannya tadi kepadaku.

 Semua hampir saja tersia-siakan oleh kecemasan bodoh itu. Apa jadinya jika aku memutuskan membolos, kejiwaanku bisa terguncang mendekati abnormal, frustasi di kamar. Masih mending jika aku berangkat telat karena mengambil krah gembira itu dari kopma, setidaknya aku hanya terpacu adrenalin karena ditangkap menwa. Dan tersial mungkin jika aku jadi meminjam krah gembira itu dari anak FIK atau FMIPA, karena ternyata motif corak krah tiap fakultas berbeda, mungkin nanti aku akan terlihat seperti anak ayam cemani yang nyasar diantara peternakan ayam broiler, itu akan membuatku sangat malu lalu menyembunyikan muka setelah mungkin aku akan berjanji seumur hidup bahwa aku akan selalu mengenakan topeng dan tidak akan melepaasnya, seperti halnya Rey Mysterio atau Bang Napi.

Nasib malang semua itu akhirnya lenyap seketika. Beruntung aku memutuskan pulang ke Ar[t]my. Sebuah keputusan yang tepat yang membuka simpul ingatan akan letak dimana krah gembiraku bersemayam. Aku telah memilih memotong kabel yang tepat, sehingga bom waktu itu berhenti berdetik. Padahal sekitar 10 menit kemudian, acara baru segera dimulai.
*****


Akhirnya kami masuk ke Auditorium yang maha megah itu. Bangunan yang belum pernah direnovasi semenjak 4 tahun lalu ini selalu mengingatkanku ketika awalku masuk Unnes  saat registrasi paling awal. Aku sangat ingat, teman sejarah yang pertama kali ku kenal adalah Hasan Wahid (anak ilmu sejarah 2008) namun kami belum sempat akrab. Dan teman sejarahku yang pertama akrab adalah dengan Yuli Setyo Nugroho yang saat itu berambut plontos mirip tahanan di Kamp Auschwitz. Gadung ini membawa banyak kenangan. Kenangan kedua adalah pengisian KRS masal yang dilakukan di balkon Auditorium, itu untuk pertama kalinya aku menyentuh laptop dan menyentuh Synaptic Mouse. Ketika aku telah menjadi kakak kelas di HIMA, disini aku menggiring calon-calon adik kelas untuk datang ke stand pembayaran KEMAS. Sebagai penerima beasiswa aku sering diundang ke tempat ini guna menyambut kedatangan menteri-menteri negara. Kemudian tes akhir Kuliah Ahad Pagi dan Pembekalan KKN juga disini. Belum lagi acara penganugrahan Mapres dan menyaksikan kejahilan teman-teman mengambil snack sebanyak-banyaknya dan diselundupkan ke tasku. Mungkin hari itu dan esok 17 Oktober 2012 adalah moment terakhir menginjak gedung paling bergengsi di Unnes ini.


Semua masuk berjalan dengan rapi dan mengular seperti game Snake Xenzia. Jika di waktu gladi bersih ada sedikit ketegangan dan makian dari instruktur acara ketika beberapa wisudawan entah dari S2 atau pendidikan profesi yang menyalahi ritme mengular. Namun ketika acara inti berlangsung, berjalan cukup rapi dan tidak ada yang telat atau nyleneh sedikitpun. Aku segera duduk menempati kursi nomor-0042 sesuai nomor urut registrasi sikadu. Sementara sebelah kiriku ada Eko Nurrohmad manusia multidimensi, dan sebelah kananku ada Zahrotun Aula yang mengeluh mengapa air mineral botolan yang disediakan di snack tidak ada sedotannya, sudah cantik-cantik dandan begitu apakah cara minumnya dengan cara menenggaknya langsung. Butuh kehati-hatian khusus, kalau tidak bisa-bisa make-up di sekitar mulut bisa luntur atau setidaknya mengkocar-kacirkan polesan lipstiknya. Aku tertawa kecil saat itu, alangkah tak menariknya seksi konsumsi acara wisuda ini.

Terbiasa, budaya Unnes yang tidak akan lekang adalah permainan musik karawitan yang mengiringi kedatangan Rektor (atau bisanya juga menteri) dan perangkatnya. Dari pintu masuk lalu mereka berjalan di hamparan karpet merah, alunan musik dari perangkat karawitan yang diperkirakan senilai ratusan juta itu rupiah itu benar-benar sesuai dengan harganya dan membuat setiap langkah dari Rektor CS itu penuh wibawa laksana menyambut raja, kemudian mereka duduk di barisan kursi dan meja yang ditata secara elegan mirip sidang perlemen. Iringan musik ini diakhiri dengan sebuah pukulan gong yang paling besar sebagai pungkasan. Menggema lembut dan begitu ngebass hingga speaker sekelas auditorium pun belum kompatibel mengimbangi nada rendah yang diciptakan gong paling besar itu, sehingga masih terdengar bunyi “crrrrrrk” di membran speakernya.

Hampir-hampir tak ada cela di semua rangkaian wisuda ini. Aku terkesima mendengar penyanyi-penyanyi yang unjuk gigi, meski tak tahu apakah ia adalah mahasiswa atau dosen. Sepertinya suara semua orang disini sangat bagus, berkat penggunaan speaker besar yang bergantung di sisi-sisi dinding dan terpantul dengan sempurna tanpa ada noise “ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing” sedikitpun. Benar-benar spektakuler. Berbeda cerita dengan saat pembekalan KKN dulu atau saat Wisuda fakultas nanti yang hanya menggunakan speaker dadakan yang malah menciptakan echo yang merusak kejalasan makhroj pembicara dan itu cukup tidak lebih baik dari T.O.A.

Tak tahu mengapa, atau aku baru tahu, kalau lagu Simfoni yang Indah – By Once ini menjadi lagu yang berulang kali muncul saat-saat wisuda. Justru dirasa lebih penting dari mars Unnes itu sendiri yang aku sendiri lupa bagaimana lagunya. Lebih tepatnya mungkin ini adalah Mars kebahagiaan, atau Hymne the powerfull of happiness. Mengalunlah lagu Simphony yang indah yang dibawakan oleh seorang wanita paruh baya. Para wisudawan dan penonton kali ini memusatkan perhatiannya ke sisi stage bagian kanan dimana disana terdapat sekumpulan musisi orchestra dan Unnes choir. Sementara para musisi gamelan karawitan di sisi stage bagian kiri dicampakan sementara. Untuk mengiringi lagu Simphony yang indah kali ini bukanlah menggunakan musik organ tunggal apalagi karaoke mp3, melainkan secara orisinal menggunakan seperangkat pemain orchestra yang terdiri dari pemain-pemain Biola, Cello tenor dan bass, Gitar Akustik, Rhytm, Bass, Organ, Grand piano, saxophone, flute, trombone, penabuh symbal dan berbagai alat perkusi dan yang tidak ketinggalan adalah sang Konduktor atau orang Indonesia menyebutnya “dirigen”.

Permainan mereka cukup baik, hanya saja terdengar kurang keras dan kurang megah, tidak pernah bisa dibandingkan dengan festival Youtube Smphony 2011 di Sydney kemarin. Maklum, personil orchestranya tidak banyak, sekitar kurang dari 30 bahkan ada yang satu instrumen untuk satu orang saja. Sementara personil Unnes Choir bukan berperan sebagai penyanyi utama melainkan sebagai semacam Backing Vokal yang memperindah penyanyi utama.

Mereka mencoba menunjukan dan menyamakan musik asli milik lagunya Once di auditorium. Sayang sekali keindahan harmoni yang sudah ada, masih ada dua instrumen yang kurang jika ingin menyamakan, yaitu alat musik Oboe dan Harpa. Seharusnya ada bunyi tiupan instrumen Oboe ketika jatuh di sepanjang lirik “ . . . . . . melahirkan kedamaian, melahirkan kedamaian” . Kemudian persis setelah itu dilanjutkan melodi petikan Harpa yang begitu indah, bening dan surgawi yang memisahkan antara lirik verse-1 dan terus dipetik di sepanjang bridge-1: “Syaaaaair dan melodiiii, kau bagai aroma penghapus piluuu, geeelora diihatiii bak mentari kau sejukkan hatiku”.

Seorang drummer sangat bersemangat menggebug drumnya ketika menyambut Reff atau Chorus nya :
“Burung-burungpun bernyanyi
Bungapun tersenyum, melihat kau hibur hatikuuuuu
Hatiku mekar kembali, terhibur simphonii
Pasti hidupku kan bahagiaaa. . . .”
“Cessssss!!!!” suara simbal mengakhiri Reff itu memberi sensasi visualisasi yang menyegarkan seperti disiram ratusan liter air dingin di tengah gurun panas. Demikian semarak yang bergelora di dalam auditorium. Hati para wisudawan kemudian terenyuh ingin meneteskan air mata, ketika lagu ini berkhir dengan musik yang bergitu bergemuruh di lirik “Pasti hidupku kan bahagiaaa!!!!. . . . PASTI HIDUPKU KAN BAHAGIAAAAA!!!!” rasa bercampur aduk sedih mengingat akan  telah terlewatnya masa-masa yang berat saat kuliah serta rasa bangga yang bukan kepalang karena telah puas mendapatkan gelar.
*****

Agak mustahil rasanya jika rektor menyanggupi menyematkan kuncir topi toga dari kiri ke kanan untuk semua (3110) wisudawan hari itu. Bayangkan saja untuk menghadapi satu wisudawan saja seorang rektor, pertama ia harus senyum pamer gigi, kedua ambil ijazah kemudian serah ijazah, ketiga baru sematkan kuncir ke kanan dan terakhir baru bersalaman. Empat langkah itu dikali sebanyak 3110 maka terhitung akan ada 12440 gerakan. Oleh karenanya, pemindahan kuncir ini dilakukan secara otodidak oleh wisudawan melalu aba-aba dari pembawa acara. Setidaknya akan mengurangi kewalahan rektor . Bahkan kalau tak ingin repot semua gerakannya diganti dengan otodidak. Tapi itu adalah hal yang keterlaluan, masa seumur kuliah di Unnes tidak sempat berfoto dan bersalaman dengan sang Rektor??.

Sebenarnya apa makna memindahkan kuncir dari kiri ke kanan ini??. Orang mengatakan adalah saatnya menguncapkan selamat tinggal di dunia otak kekirian dan selamat datang menuju dunia otak kanan. Konon semakin tinggi pendidikan orang maka semakin kiri pula otaknya, kiri disini bukan berarti komunis, akan tetapi prinsip kerja otak kiri. Kiri selalu diartikan otak teoritis, matematis, realistis, logis, fokus, linier. Kuliah adalah gudangnya itu semua makanya mereka pandai berteori. Tapi teori hanyalah teori. Sesuatu yang sama-sama abstrak. Kemudian kanan adalah dunia kenyataan, dunia praktek, dunia yang butuh daya intuitif dan imajinatif, dunia yang terkadang tak semudah teori atau juga tak serumit teori. Orang yang telah begitu dalam dan terasah otak kirinya belum tentu dia becus menghadapi kenyataan untuk mempraktikannya. Seorang dosen tata busana yang bergelar profesor sekalipun belum tentu dia trampil manjahit pakaian, ia hanya trampil berteori saat mengajar. Sementara orang yang telah banyak bergerak di bidang dunia nyata otak kanan ia akan mengambil teori setelah ia praktik merasakan sendiri. Makanya jaman sekarang dalam pencarian kerja lebih diutamakan pengalaman daripada gelar. Makanya Gaji dosen sekarang masih kalah dengan pendapatan jasa sedot WC, gaji guru honorer di sekolah negeri ternyata masih kalah dengan pendapatan seorang tukang becak, atau gaji pokok Jenderal berbintang empat pun juga masih kalah dengan pendapatan Bos kuliner Buntil Kutasari. Kasta Ksatria belum tentu menang melawan gaji kasta Sudra. Kaum Bangsawan belum tentu menang melawan kaum Borjuis. Sungguh banyak tipu muslihat di dunia ini. Kita harus segera sadar. Makanya kita harus buru-buru dikanankan atau terjun ke dunia nyata.

Habis sambutan rektor  dan  PR Bid. Akademik ada hiburan, habis pembacaan janji wisudawan ada hiburan, dan habis pembagian jizah juga ada hiburan. Kali ini kami tak kalah terkesima dengan lagu “Simfoni yang Indah” tadi, sungguh kami terperanjat ketika tiba-tiba kamera yang tersambungkan live dengan screen proyektor besar di kedua sisi stage itu men-zoom in tengah-tengah bangku wisudawan FBS. Muncul seorang wisudawati yang berdiri sambil memegang mic kemudian menyanyikan salah satu reff sebuah lagu dengan bening dan sangat lembut sekali: “enn aaaaaiiaii willoweys lav yuuuuu. . . . . .”. Ternyata sebaris reff itu diletakan di pra-intro yang sengaja untuk mengejutkan wisudawan lain dan juga penonton di balkon, terlebih lagi ia tidak muncul dari backstage kemudian ke panggung melainkan dari tengah wisudawan menuju ke panggung. Dan betul sekali, setelah itu Intro baru dimulai semua baru bisa menebak ini adalah sebuah lagu yang berjudul I Will Always Love You. Semuanya bertepuk tangan atas rasa terkejut itu. Wisudawati itu kalau tidak salah bernama Neni Yuniansari dari prodi pend Sendratasik (seni drama, tari & musik). Dia adalah wisudawan yang dipermalukan sekaligus dipuji dalam acara ini. Dipermalukan karena MC menampilkan dia sebagai sosok yang akhirnya wisuda juga setelah kuliah S1 selama 6 tahun, 11 bulan, 15 hari, dimana seharusnya 15 hari lagi dia di D.O karena hampir menempuh 14 semester tanpa ampun. Orangnya tidak begitu cantik ditambah lagi dia obesitas, jadi gemuk sekali, dua buah kelemahan yang paling ditakuti semua wanita tapi tak disangka ia memiliki kelebihan yang sangat telak dibanding semua orang yang ada di situ, yaitu memiliki suara yang bening dan lembut sekali. Ini adalah sebuah pujian untuknya. Untuk menyanyikan lagu yang legendaris, everlasting, dan very romantic ini dia benar-benar hampir setara dengan Whitney Houston, penyanyi aslinya. Saat  meghentikan di lirik “. . . . . . but above all this I wish you love” menuju reff, semuanya seraya ikut menarik nafas. Tiga detik kemudian dilepaskanlah reff dengan suara maha indah itu “Ennd Aaaaaaaaaaaaaiiaaaa wil Loweys Lavyhuuuuuuuuuuuuuuuua!!!!!! . . . . . . will Loweys LavYhuuuuuuuu”. Bulu kudukku berdiri, merinding mendengarnya. Sebuah Peach Control yang dramatis dan benar benar PERFECTO. Aku yakin sekali tak jarang penyanyi yang berani menyanggupi menyanyikan lagunya Whitney Houston yang satu ini ke sebuah pagelaran, mereka takut gagal ketika mencapai intonasi tinggi dan dramatis di reff terakhir itu. Saat lagunya usai seantero auditorium bergemuruh memberikan aplause atas kesempurnaan itu, semeriah Estadio Santiago Bernabeu seusai Madrid menewaskan Barca atau semeriah Eitihad Stadium setelah Man City berhasil mempecundangi MU. Bahkan Rektor Cs sempat standing aplause.

Tak begitu rugi lah tarif Wisuda sebesar limaratus ribu itu, selain dapat tas jinjing Unnes, Buku Alumni, snack dan ijazah juga dapat pertunjukan sebuah konser  yang nyaris tak ada cela. Banyak pertunjukan yang tak sempat terceritakan disini, karena keterbatasan ingatan.

Bertebaranlah teman-temanku di sekitaran taman dan teras auditorium seusai acara berakhir. Teman-teman perempuan satu per satu mulai melepas baju toganya masing-masing kecuali topinya. Nampaknya mereka ingin memamerkan kebaya barunya yang membuat lekuk tubuhnya semakin terlihat modis. Tak mesti kebaya, yang penting itu terlihat feminim.

Mereka sudah tak sabar ingin memencet tombol “Capture”, atau berpesta blitz dari kamera digital mereka untuk mengabadikan hari yang takkan terulang ini. Bondan, kawan seangkatan yang belum lulus hari ini harus rela menjadi juru jepret. Selasar auditorium, dan sekitaran area parkir dipenuhi stand-stand foto wisuda, yang siap menampung kenarsisan teman-teman dengan background yang berkesan sangat intelek dan kualitas SLR.

Hingga aku akan pulang tiba-tiba aku menemukan baju toga yang tergeletak sembarang di tangga teras Auditorium. Tidak lain ini adalah milik teman perempuanku yang tadi keburu-buru ingin memamerkan kebayanya. Feelingku tepat, ini adalah milik Viki. Tepat sekali aku mengembalikannya sebelum ia menarik handle gas motornya untuk pulang.

Dari kanan atas: Ida, Endah, Aku, Udin
Tengah: Agung, Aris, Viki, Lissa
Bawah kanan: Heraldi, Kholis, Nung, Amanah, Deni
Bawah: Eko Nurrohmad
Dari kanan atas: Ida, Endah, Aku, Udin Tengah: Agung, Aris, Viki, Lissa Bawah kanan: Heraldi, Kholis, Nung, Amanah, Deni Bawah: Eko Nurrohmad




***


Tinggalah besok apa yang akan terjadi. Keluargaku akan datang menemuiku disini. Semarang bagi mereka seperti kota Mekkah yang hanya sekali atau dua kali saja disinggahi seumur hidup. Apakah aku akan menemuiku di Ar[t]my??, rasanya aku harus menghindari ini. Aku tidak ingin orang tuaku kaget melihatku tinggal di tempat seperti itu, seperti sarang setan. Aku sengaja memilih bermalam di kosnya Aris yang letaknya cukup dalam dan sulit dijangkau dengan mobil, sehingga aku bisa meminta orang tuaku untuk cukup menungguku saja dari M.U.A. ini skenario ku.


Aris adalah kawan wisuda yang paling sebatangkara di kontrakannya, setelah ditinggal Nanang, Harry dan Anggoro ke tanah perantauan dan Marwan pindah kos. Sangat sepi, bapak dan ibu kosnya pun selalu tidur lebih awal. Seandainya Aris tidur sambil telanjangpun tak ada orang yang melihatnya. Atau seandainya ia membawa wanita simpanan pun tak ada orang  yang bisa dijadikan saksi atas tingkah bejat Aris. Sangat kesepian. Aku memutuskan untuk menemaninya untuk menghapuskan negatif thinkingku tentangnya itu.

Dan aku tak bisa tidur.


Padamara, 16 Oktober 2013

Thursday, September 26, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 24]


“gand ‘tr kita berngktnya bareng2 ma aris, Q Kmaren dh janjian ma dia!. Dia dh tw tempate ‘lh gmn km mw g boncengan sm q pke motorku?; ------ Vera pke nmer tmen”. Sms itu kubuka sambil menguap menggeliat terbangun dari tidur siang. “Oke ve gampang”, balasku sekenanya.


Aku duduk di lantai kamar gelap itu sambil bengong mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya menyatu, sebagian sudah terpasang di kepala, sebagian lain masih berada di dalam bantal. Tak terasa, besok adalah ritual pertama Wisuda. Masih tak percaya, aku mengambil kemeja putih yang tergantung di belakang pintu kamar kemudian menciumi bagaian ketiaknya. “Hmmm Rasanya aku masih mencium aroma keringat ketiakku buah kecapekan mengikuti PPA FIS kemarin. Pasti Sms itu hanya dalam mimpi tadi. Kan aku masih kuliah”. Lalu aku menuju kardus yang berisi tumpukan berkas-berkas dan catatan masa lalu, kutemukan sebuah name tag PPA FIS ku. Kuambil dan amati, ternyata tinta bolpen tulisan identitasnya sudah memudar yang tadinya hitam pekat kini menjadi kemerahan, dan fotonya pun sudah tersamar seperti bukan wajahku lagi, background pink tembok Dian Ratna kini di foto pudar menjadi warna orange. Kemudian aku tersadar bahwa, name tag ini ternyata sudah kusimpan semenjak empat tahun yang lalu. Setelah aku cek lagi HP ku, ternyata SMS itu memang benar adanya dan tertera masuk tanggal  13/10/12 pukul 2:49pm. Lalu bau keringat di bagian ketiak kemeja putihku tadi setelah ku ingat bahwa itu adalah sisa aroma keringat tegangku saat menjalani sidang skripsi dua bulan lalu, dan belum tercuci.


Sekarang aku harus benar-benar tersadar, bahwa besok adalah saatnya wisuda jurusan, pesta jurusan. Ingin rasanya aku menangis tersedu-sedu sambil berpelukan dengan sang waktu. Aku justru merasakan sedih yang tidak terperi: mengapa waktu terasa begitu cepatnyaaa??!. Rasa tangis dan sedih ini persis seperti tangis Bung Karno dan Bung Hatta kala berpelukan bersama untuk yang terakhir kalinya di masa tuanya. Bahwa dulu mereka sempat berjuang bersama, bahkan bermusuhan, namun seketika itu masa lalu seperti tak berguna lagi ketika tersadar bahwa ada awal memang selalu ada akhir.

*****


Sudah banyak yang berkumpul di lorong C7, rencana akan berangkat bersama ke tempat Wisuda di rumah makan Nglaras Rasa di Jl.Thamrin. Aksi saling tunggu ini sangat membosankan, sebagaian ada yang berangkat mendahului. Aku berangkat di rombongan kloter 2 memboncengi Vera pakai Supra Fit butut miliknya. Selama empat tahun masih bisa dihitung berapa kali aku berkendara motor di kawasan Kota Semarang. Aku tak hafal nama jalan yang begitu rumit itu, tak tahu mana jalan yang sekiranya bisa mem-bypass langsung menuju tujuan. Di Semarang aku hanya hafal jalan-jalan besar untuk menuju ke tempat-tempat penting seperti jalan menuju arteri Kendal, ke Demak, Ungaran, Tugu Muda, Simpang Lima, Kota Lama, Johar, Jatingaleh, Undip, Cheng-Ho, Pantai Tirang, Gramedia, Stadion Diponegoro, dan Lokalisasi Sunan Kuning, sudah itu selebihnya aku kurang tahu. Kedangkalan informasi tentang jalan ini otomatis membuatku agak canggung ketika mengendarai motor, bahkan seperti orang yang beru belajar mengendarai motor, apalagi tujuan kali ini adalah Jl. Thamrin, dimana itu???. Di Sampangan aku kehilangan jejak teman-teman yang telah cepat mendahului, ikatan rombongan kami terputus oleh Traffic Light.


Ah pasrah saja. Selama mulut masih bisa berbicara, kita bisa tanya-tanya ke orang. Beruntung motor Vera yang ku pakai ini berplat K, Kab Rembang, jadi kita tidak malu tuk bertanya. Yang ditanyai akan memaklumi ketidak tahuan ini karena kami bukan orang Semarang. Coba seandainya motor yang kupakai berplat H, Semarang pasti kami akan diketawai sampai terpingkal-pingkal oleh mereka yang ditanyai. Di sekitar pertigaan RS. Dr. Karjadi kami bertanya ke seorang tukang sapu “Nuwun sewu pak, menawi badhe teng Jl. Thamrin, niku kados pundhi?”. “Oh, jalan Thamrin mangke Tugu Muda belok kanan terus kiri”. Akhirnya kami lanjutkan di trafic light  Tugu Muda aku tersadar lupa menanyakan sesuatu kepada bapak-bapak tadi, kalau yang dimaksud belok kanan itu maksudnya ke Jl.Pandanaran ke Jl.Pemuda atau ke Jl.Diponegoro, Tugu Muda banyak sekali persimpangan ada banyak jalan yang menuju belok ke kanan. Diantara tiga itu pilih yang mana?? Tanpa pikir panjang aku akhirnya memilih jalan yang ditengah, yaitu Jl.Pemuda, nah lurus terus habis itu ke kiri. Begitu hendak belok ke kiri tiba-tiba kami kaget karena disitu tertulis Jl.Tanjung akhirnya kami ambil lurus saja tetap di Jl.Pemuda kemudian berhenti di depan BRI menanyakan kepada Sopir Taksi. Ternyata pertigaan tadi kita tinggal belok ke kanan. Wah berarti yang dimaksud belok kanan sama bapak tukang sapu tadi adalah Jl.Pandanaran yang tentu lebih dekat menuju Jl.Thamrin, ketimbang berputar lewat Jl.Pemuda tadi. Ah akhirnya kami tiba di Nglaras Rasa.


Kami langsung diantar ke lantai dua. Sebagian teman sudah menunggu, tapi beruntung kami bukan yang terakhir, masih ada lagi di belakang kami.


Jarang sekali aku masuk ke restoran megah seperti ini. Sesekali mungkin hanya ketika KKL. Terbiasa hanya makan di warteg bu Dewi, warung makan bu Kiss (Setanjung), bu Yayuk (Cempakasari Timur), kucingan depan MI, kucingan Meong Jay belakang MIPA, kucingan depan MUA, kucingan tikungan Kalimasada, Pecel Kalimasada, atau warung makan mba Kiss yang ‘manis’ samping kontrakan Ar[t]my. Semuanya tak berbintang. Tapi kali ini berbeda. Pihak jurusan nyatanya telah membuat skenario Happy Ending untuk kami semua, untuk makan-makan di restoran berkelas Bintang Lima. Subhanallah.

Rumah Makan Nglaras Rasa
Rumah Makan Nglaras Rasa


Sebenarnya ruangannya tidak terlalu luas. Sepertinya arsiteknya sangat memahami ilmu Feng-Shui, dimana dinding interiornya hampir semuanya berlapis cermin. Dalam filsafat Feng-Shui, cermin yang ditempatkan di ruang makan itu akan menghasilkan energi Chi yang sangat baik, itu akan menandakan pengharapan besar akan keberlipatan hoki. Selain itu cermin akan memberikan efek ruangan yang terasa luas. Energi Chi ruangan itu rasanya telah terkonfigurasi dengan baik oleh tata fengshui yang tepat, lalu energi itu masuk melalui indera dan masuk ke otak orang-orang disitu, kemudian menekan hormon kortisol. Pantas saja, efek ruangan ini terasa membawa efek ceria dan sepertinya tidak ada orang yang merasa stres disini apalagi sedih, semuanya bergembira. Makanan daging-daging lezat sepuasnya, cocktail, dessert, coffee, tea, organ, biduan, Waw.
****


Yang menarik adalah acara setelah makan. Dosen-dosen turut mengucapkan selamat kepada teman-teman wisudawan yang telah berpasang-pasangan buah cinlok, antara lain kepada: Angga dan Uly, Agung dan Ida, Deni dan Kholis, Lissa dan mas Adhimas, dan tentu yang telah bersuami istri ada mas Khikam dan mba Evi.


Mungkin ini adalah hari yang begitu berkesan bagi mereka. Seperti buah pisang, dari bunga yang sama dan saling terpisah. Setelah berbuah menjadi pisang, dalam satu tundun beberapa diantaranya ada yang tumbuh berdempetan. Itulah mereka. Bukan produk langka, bukan pula produk spesial. Kebanyakan orang hanya menilai di awal dan di akhirnya saja, tanpa ingin melihat prosesnya. Padahal setiap mahasiswa memiliki mahzab dalam pencarian cintanya masing-masing. Ada mahzab yang hanya memprioritaskan pasanganya berasal dari tanah kelahirannya, aku menyebutnya native oriented. Ada juga mahzab intuitive oriented, mereka benar-benar mengutamakan perjuangan atas rasa sukanya yang muncul tiba-tiba, tidak memandang apapun, entah sebelumnya sudah dikenal atau belum. Dan yang terakhir adalah mahzab witing tresno jalaran soko kulino, inilah mahzab yang dipakai oleh teman-teman diatas.


Lalu aku.
 Yang membedakan aku yang sekarang dengan ketika awal datang adalah jumlah pori-pori pipi dan janggut yang ditumbuhi rambut, sudah itu saja?. Pacar? Tidak. Tak pernah aku memacari sesama teman Sejarah.


Semenjak tinggal di Setanjung hampir-hampir aku menyumpahi kalau kamarku jangan sampai dimasuki kaum hawa. Titik. Tidak sekompleks masalah larangan agama. Tapi sederhana, aku hanya tidak ingin kamar berantakanku dilihat apalagi disinggahi oleh mereka. Alasan lain, aku tidak ingin mereka melihatku yang sedang dalam keadaan mengantuk, mata merah, dan rambut acak-acakan baru bangun dari tidur siang. Ketiga, aku tidak ingin mereka melihat kebiasaanku bertelanjang dada setiap siang di kos yang panas seperti di pantai Karibia.



Cukup, sumpah itu buyar ketika kawan sekamarku Noval baru memiliki pacar. Tiap pagi datang membangunkannya, tiap pagi mereka sarapan bareng sepiring berdua di kamar. Siang makan bareng lagi. Malam baru sepi. Bukan iri aku melihat mereka berdua. Tapi harga diri terinjak-injak karena akhirnya ada kaum hawa yang menyaksikan kesemrawutan aku dan kamarku. Tapi untungnya mereka hanya bertahan beberapa bulan saja.


Sepertinya menjelang akhir kuliah, ada yang tertarik denganku. Sebut saja iX. Tanpa pendekatan, tanpa proses matang tiba tiba ia ingin ke kosku. “Sebentar, sebentar, yang benar saja ada cewek yang berani coba-coba ingin ke kamarku. Tak semudah itu kembali menghancurkan rekor No Female at My Room yang sudah kusumpahi semenjak aku menduduki Setanjung. Harus ada alasan yang kuat. Untuk urusan pinjam meminjam barang saja aku biasanya hanya memperkenankan mereka hanya menunggu di pintu gerbang. Untuk urusan belajar bareng aku juga lebih sering meminta bertandang. Urusan apa yang dia inginkan di kamarku. Aku menaruh curiga jangan-jangan dia adalah spionase yang ingin mensurvei, memata-matai kerapian kamarku, setelah ia dapatkan informasi tentang kamarku, lalu ia mengabarkan kepada teman-teman cewek yang lain kalau kamarku semrawut, kemudian aku akan menjadi bahan tertawaan di kampus. Wah jangan sampai, jangan sampai, dan aku akan mempersulitnya”.


Setelah ngobrol aku mendapatkan penjelasan. Kalau ia ingin diajari aku tentang cara menghitung validitas, reliabilitas, normalitas, linearitas, korelasi dan regresi. Iya, ini soal skripsi. Skripsi kami punya metode yang sama. Ia memiliki feeling yang tepat kalau aku memang memiliki kemampuan alamiah menaklukan rumus itas-itas seperti diatas. Ia mungkin pernah mendengar sendiri statemenku kalau aku tidak akan pernah memasrahkan skripsiku ke “tukang”, seperti teman-teman yang lain, dan aku ingin 100% murni garapan sendiri. Rasanya iX juga ingin ketularan.


Untuk menghindari kesan “memanfaatkanku” maka ia yang ingin ke kosku. Atau istilahnya “butuh ya mérêk”. Sore ia mengabari, dan malamnya ingin ke kosku. Arghh, gimana yah. Kalau dipikir-pikir si, dia memang cantik. Tercantik nomor dua malah, dari teman teman wanita seangkatanku. Itulah yang manjadi daya dorong. Teman-teman yang lain pasti akan sangat iri aku mendapatkan kesempatan seperti ini. Oke lah kalo begitu, aku terima tawarannya.


Secepat kilat dan seefektif mungkin aku membersihkan dan merapikan kamarku. Bak anak-anak PKM FIS yang akan kedatangan Rektor. Barang-barang kecil kumasukan semua ke dalam wadah. Semua perabot ku lap semua, termasuk cermin lemari, dispenser dang mejikom. Peralatan makan ku masukan semua ke lemari kecil. Sepatu ku taruh di luar agar tidak tercium bau apek kaos kaki. Pakaian kotor ku rendam sekalian di kamar mandi. Buku-buku bagus sengaja ku pajang di ruangan, sisanya ku masukan dalam lemari, kamudian beberapa majalah ku taruh sembarang, siapa tahu dia nanti bosan dan ingin santai melihat majalah. Juga ku siapkan meja belajar lipat untuk menyangga laptop miliknya nanti. Ah ini baru cerminan kamar kos yang pemiliknya elegan, dinamis, klimis dan kalis.


Datang juga malam itu, aku sambut dia dari belakang gerbang. Aduh, kami ketahuan Deni dan Kholis yang sedang berpacaran di kamar depan. Mereka seketika melongo melihat kami berdua dan tak banyak tanya. Langsung menuju kamarku. Ada rasa heran dan merasa bersalah, Kok mau-maunya dia ke kamarku, padahal dia bukan pacarku. Kok mau-maunya ia bertandang ke sarang kumbang, apa dia tidak takut kalau nanti, “disengat”?.


Les privatpun dimulai, aku ajari dia dasar-dasarnya dulu. Belum sampai pada pengolahan data menggunakan SPSS. Sebatas memasukan hasil penelitian ke dalam form MS Excel dan trik menghitung Validitas menggunakan formula ‘=PEARSON(RANGE-X;RANGE-Y)’. Kebanyakan langsung praktek. Aku memandunya dari belakang. Tut wuri handayani. Malam itu untung Noval tidak pulang ke kos. Suasana kosjuga sepi, tak seperti biasa yang selalu gaduh musik dan setiap koridor dipenuhi teman-teman kos yang sedang nongkrong kepanasan bertelanjang dada hingga malam hari. Yang terdengar hanya sebuah musik dari kamarku, dari laptopnya iX. Belajar sambil diiringi lagu-lagunya Agnes Monica. Dan pintu kamar ku biarkan terbuka lebar, agar setan tidak terlalu nyaman berada di dalam.


Dan lagi.
Berselang sehari iX memintaku kembali giliran bertandang ke kosnya. Kosnya tak seperti kosku, disana ada ruang tamunya dan kami tak perlu repot ngumpet di kamar. iX tahu sendiri kalau aku adalah infanteri alias pejalan kaki, makanya dia jemput aku siang itu di kosku. Seumur hidup baru sekali ini aku dijemput oleh seorang gadis. Aku menghampirinya didepan, datang dengan motor kerennya. Benar dia terlihat begitu cantik. Pantas saja teman-teman pria seangkatan paling sering berbisik kalau iX memiliki paras yang mirip sekali dengan Revalina S Temat. Di kampus ia terbiasa berpenampilan layaknya perempuan, kali ini iX berpenampilan layaknya seorang Cewek. Berkaca-kaca ia merapikan rambut lewat spion, dan setiap kibasan geraknya tercium aroma parfum yg girlly.


Ada rasa sesal ketika keluar menghampirinya, karena aku hanya mengenakan pakaianlobroganLobrogan dalam bahasaku adalah pakaian yang super nonformal yang terbiasa dipakai untuk dolan, ngebolang, atau mancing di pinggir sungai, biasanya pakaian berupa T-shirt yang sudah agak luntur warnanya karena dilekang waktu. Mengapa aku tak mengimbanginya saja, mengenakan pakaian yg casual tapi keren??. Ah wis kelanjur, masa balik kamar maning, wis mayuh gari mangkat bae. Aku menjadi joki hingga ke kosnya.


Alih-alih aku tadi yang ingin mengimbanginya dengan berpenampilan bagus. Tapi ketika di kos iX malah mengimbangiku berganti pakaian lobrogan. Aku menunggunya di ruang tamu. Begitu dia muncul kemudian duduk bersebelahan denganku. Jantungku deg deg ser karena ada pemandangan yang tak terbiasa ku sanding. Kalau lihat mungkin sering, kalau kusanding mungkin baru sekali ini, bahkan mantan-mantaku sekalipun tidak pernah seperti ini disampingku. iX mengenakan Hot Pants, dan beberapa teman kosnya yang bersliweran juga mengenakan komponen yang sama. Inilah serba serbi di Semarang, ketika datang ke markas Kumbang kita bisa melihat para lelaki yang selalu bertelanjang dada, namun ketika datang ke taman bunga kita bisa melihat para cewek yang bertelanjang paha. Inikah seni lobrogan dari anak-anak kos cewek??.

Kami duduk bersebelahan dengan kepala saling mendekat, menatap satu tujuan, “Layar Laptop”. Pelajaranpun dimulai setelah aku berhasil menggenggam menenangkan jantungku yang tadi berdetak begitu cepat. Pertama aku mengajarinya tentang trik-trik manipulasi data agar antar variabel berkorelasi positif. Sebenarnya inilah trik yang banyak dicari oleh maniac skripsi agar tidak terlalu sering bolak-balik melakukan uji Validitas atau penelitian ulang. Secara ilmiah aku akui ini adalah trik curang, bahkan hasil penelitian bisa rusak mutlak. Tapi secara peraturan kelulusan trik ini jelaslah dihalalkan karena tidak menggangu metode. Ini adalah trik yang dipakai oleh segala jenis “tukang” jasa olah data skripsi. Pelajaran moralnya, jangan sekali-kali mempercayai hasil penelitian skripsi kuantitatif. Semuanya adalah bull shit. Tapi bolehlah meniru metodenya. Bahkan menurutku metode skripsi kuantitatif jauh lebih sistematis dan terarah ketimbang skripsi kualitatif.

Trik kedua, aku menyarankan iX agar menghitung reliabilitas menggunakan rumus Spearman-Brown saja atau lebih dikenal dengan R11. Ini adalah rumus super mudah, dan hasilnyapun sama ketimbang harus menggunakan rumus Alpha Cronbach yang sok sokan main rumit. Sebenarnya banyak hal yang mudah dalam skripsi, tapi kadang mahasiswa suka mempersulit diri, yang tidak lain gunanya adalah membuat tipu daya kerumitan agar yang membaca (terutama dosen penguji) akan bingung sendiri dan mengakui kehebatan mahasiswa yang bisa menaklukan kerumitan itu. Padahal mahasiswanya juga bingung, dan 90% mereka penganut kuantitatif akan menyerahkan ke “tukang” olah data dengan rela membayar Rp.100.000,- per olahan atau Rp.350.000,- jika satu Bab.

Selanjutnya aku menginstalkan software SPSS v.17 ke laptopnya iX. Ilmu memanfaatkn SPSS (Statistic Program for Social Science) tergolong masih langka, kalau diamati, hanya segelintinr “tukang” saja yang baru mengadopsi. Padahal manfaatnya besar, SPSS bisa menghemat berlembar-lembar halaman skripsi. Berapa banyak uang yang bisa disisihkan? Berapa banyak kontribusi kita mengurangi penebangan kayu guna pembuatan kertas?.Beruntung aku sedikit menguasai ilmu ini, berkat nafsu keingin tahuan sebelumnya. Hanya saja kita harus pandai-pandai menterjemahkan tabel outputnya yang cukup rumit, banyak istilah-istilah bahasa alien, matriks, atau bahkan perlu mempelajari ilmu Kriptologi seperti yang dipelajari oleh detektif. Beruntung lagi aku juga cukup memahaminya. Aku mengajari iX mulai dari memperkenalkan operasi tentang normalitas hingga koefisien determinasi. Kita juga harus mengenal istilah-istilah dari bahasa sebangsa alien disini seperti: Kolmogrov-Smirnov, ANOVA, signifikansi, batas probabilitas, Guilford Empirical Rulesi, Uji-t, Uji-F, dan R square. Tapi kuakui kehebatan SPSS yang bisa menghitung seperseratus kali lebih cepat ketimbang kalkulator. Ini adalah tanda-tanda kehancuran ilmu matematika di masa depan.

Terkait iX paham atau tidak tentang yang ku ajarkan, aku tak tahu. Tapi yang jelas aku telah membantunya bagaimana cara memecahkan masalah dan bagaimana trik-trik menjawab pertanyaan soal rumus. Tinggal saatnya aku merebahkan badan ke sandaran kursi. Ahhhh. . . . . . . .


Begitu bahu sudah tersandar sempurna di kursi. Sekonyong-konyong aku seperti orang yang tersambar petir, JEDERRRR!!!. Setengah kejang-kejang. Kaget setengah mati, tapi bercampur rasa yang aneh. Seperti sehabis tersenggol ulat bulu hijau? Ah bukan, itu si menyakitkan. Seperti sehabis meremas kotoran kerbau? Yah hampir mirip, sama-sama hangat, lainnya tidak sama. Seperti adonan kue bakpao? Nah iya mirip sama lembutnya. Lembut sama hangat? Apa itu?. Apakah itu hewan? Bukan. Tumbuhan? Bukan. Manusia? Ya bisa jadi. Rambutnya? Bukan. Kulit? Ya bisa jadi. PAHA??!! Betul!!!.


Ya ampun aku tak sengaja menyentuh paha mulusnya iX, berbarengan ketika sedang menyandarkan badan. Padahal aku sudah melupakan tentang paha, dari awal tak ada niat 15% pun, maaf yang benar tak ada niat 0,015% pun aku memiliki niat itu. Seolah itu telah menjadi magnet bagi tanganku. Akhirnya tersentuh juga. Asal tahu saja terkadang ada organ lelaki yang bisa reflek bergerak sendiri tanpa kendali dari otak. Maka ketika ada kasus pemerkosaan, jangan sepenuhnya menyalahkan pihak laki-laki. Ingin rasanya aku membangun organisasi Forum Komunikasi Kaum Pria yang memprotes dan meminta pengadilan ulang terhadap para terdakwa pria pemerkosa, agar diusut kembali, apakah ini betul pria itu sedang kesetanan atau malah wanitanya yang memancing-mancing. Biar bagaimanapun otomatisasi lelaki itu adalah karunia Allah. Ini tak banyak diketahui wanita. Makanya Islam menasehati bahwa sebaik-baiknya lelaki adalah dia yang bisa menjaga pandangannya dan sebaik-baik perempuan adalah dia yang bisa menjaga auratnya. Padahal situasi ini di kedua belah pihak sudah bocor, pandanganku sudah bocor dan auratnya dia juga sudah bocor. Tapi beruntung, kasusnya hanya secuil ini. Sebobrok-bobroknya cerita ini, tapi masih ada pesan moralnya.

Persis sehabis menyentuh paha dan ketika hati masih trataban, ingin rasanya aku menghentikan waktu sejagat raya ini agar ia memberiku kesempatan memprediksi tentang apa yang akan terjadi di detik dan menit selanjutnya pasca penyentuhan itu. Sebuah percakapan tiba-tiba terbit di kepalaku, Apakah nanti begini?

“Upps maafff”
“Apa yang barusan kamu lakukan, Gan! Berani-beraninya elus pahaku!  Bejat nian tingkahmu, Gan! Sekarang rasakanlah ini: Ciaaaaat! Dizeg! Dizeg! Buk! Buk!Buk!Plak!”
“Iya, iX ampun!, ampun! Maaf tadi aku tak sengaja! Ampun! Ampun!, baik aku akan pulang iX! Ampun! Aku gak akan ulangi lagiiiiiii!”
“Awas!”

Betul aku benar-benar rela digebugi seperti itu, tak mengapa. Jasaku mengajarinya tentang statistik tadi tentu tak sebanding dengan dosaku menyentuh pahanya.
Atau mungkin sebaiknya begini:

“ih, hehe ngapain sih kamu, Gan!,wh ooo”
“ups, bener-bener sori banget iX, aku gak sengaja. Betul-betul gak sengaja” (sambil pasang tampang memelas)
“gak, papa, yuk kita lajutin aja skripsinya”
“Hmmm ;)”

Itu kemungkinaan yang bisa membuatku tenang.  Atau lebih membuatku tenang jika percakapannya begini:

“Ihh, hehe Gan! Nakal juga kamu yha!” (memarahi tapi sambil tersenyum)
“ups, bener-bener sori banget iX, aku gak sengaja. Betul-betul gak sengaja” (sambil pasang tampang memelas)
“Halah jangan munafiiik, sebenarnya kamu suka khan????”
“Hehe (senyum-senyum malu tapi mau)”
“Senyam-senyum huhhh, sebenarnya kamu pengin sentuh lebih lama lagi kan???”
“Hehe (senyum-senyum malu tapi mau, lagi)”
“ Yaudah, mending kita pindah ke kamar ajah yuk Gan, yang lebih sepi”
“Aseeek   :D”
Itu sih bukan hanya membuatku tenang, tapi membuatku terbang.


Diantara tiga kemungkian itu mana yang akan aku hadapi, sekiranya telah membuatku siap. Jika dia menggebugi aku, itu tak masalah. Atau jika dia menghargai jasaku mengajari dia ilmu statistik itu, mungkin terasa impas baginya kalau aku memang layak mendapatkan sentuhan itu. Ataukah mungkin terjadi suatu distorsi yang seharusnya secara wajar ia akan marah kepadaku, tapi fakta akan berputar sebaliknya malah semakin memanjakan aku.


Tapi probabilitas yang terakhir itu sebaiknya dilupakan saja, lagipula aku memang bukan pacarnya. Dia sudah memiliki pacar dan aku dengar itupun iX sengaja diam-diam menyelundupkan aku ke kosnya. Inilah intrik dari penganut LDR. Kalau dibilang iX sengaja memanfaatkanku tuk datang kesini, rasanya itu kurang tepat, karena aku tidak diperbudak olehnya untuk mengerjakan skripsinya. Aku hanya mengajarinya untuk memecahkan masalah. Sepenuhnya skripsi digarap sendiri olehnya. Apapun konsekuensinya sekarang aku harus berani kembali menekan tombol “Play”, setelah beberapa menit tadi aku mem- “Pause”.


Selamat datang di dunia nyata.
Detik-detik kembali berjalan seperti sediakala, aku menunggu reaksi.
Aku masih menunggu reaksi.
Kemudian detik-detik itupun berlalu.
Dia masih konsen dengan laptopnya, mempraktekkan apa yang kuajarkan.
 Aku mulai lega, ternyata tidak ada reaksi apapun darinya. Tiga hipotesis diatas akhirnya gugur juga. Realitas justru membuat hipotesis sendiri, atau hipotesis ke-4. Kali ini kita dapat mempercayai ucapan-ucapan para motovator yang berdalil “Seringkali apa yang kita takutkan padahal belum tentu terjadi dan ketakutan adalah dinding penghalang terbesar menuju kemajuan”.


Padahal sebelumnya aku sudah clingusan waktu itu, seperti seorang pemain yang menjatuhkan lawan di kotak penalti. Merasa bersalah, wajah memerah malu, tapi juga merasa beruntung. Kemudian muncul tiga kemungkinan, apakah wasit memberiku kartu kuning dan mendapat hukuman tendangan penalti? Apakah wasit justru berpihak kepadaku, memberi kartu kuning kepada lawan karena ia melakukan diving. Dan kemungkinan ketigalah yang benar, wasit tidak bereaksi apapun terhadap jatuhnya pemain lawan dan membiarkan bola menggelinding  tanpa peluit peringatan.


Beruntung pahanya tak sesensitif teknologi touch screen. Atau mungkin juga pahanya telah mati rasa dan diproteksi Gorilla Glass yang anti gores macam Motorola Defi. Aku tak tahu, apa yang sebenarnya ada di pikirannya. Bisa juga dia sengaja pura-pura diam, kalau hal itu sudah tidak asing baginya, atau mungkin diam karena menganggap aku pantas mendapatkan itu. Hanya dia dan Allah yang tahu.


Acara les privat sukarela ini akhirnya berakhir tepat maghrib. Aku meminta pulang, kembalikan aku ke Setanjung. Tapi di penyetan malam dekat toko Dinasti kami berhenti, iX membalas jasaku dengan sebungkus nasi dan telur dadar bakar, aku kembali membalas dengan senyum. Dan misi hari itupun berakhir.

Sekarang aku mengembalikan jasad dan pikiranku ke acara pesta wisuda jurusan. Kini iX telah lulus bahkan sidangnya mendahului sidangku. Dan di pesta wisuda ini dia sedang ikut memegang microphone, berani tampil di depan menyanyi bersama teman-teman dan diiringi organ tunggal. Aku benar-benar bisa melihatnya bahagia, bisa lulus bersama, bisa berpesta bersama. Aku melihat senyum merekah indahnya  dari kejauhan dalam acara penuh keceriaan ini. Tak disangka, bahwa aku  turut menjadi arsitek  akan terbitnya senyum indah itu. Berkat Les paha, eh maaf salah, Les privat statistik.

Ini adalah cerita realita yang hampir saja aku sensor di catatan “Dari Setanjung ke Kalimasada”. Tapi kali ini entah kenapa ingin mempublikasikannya. Rasanya ada yang ganjil jika aku melewatkanya. Cerita ini bagaikan missing piece dalam bingkai kisah hidupku. Dan aku pasang kembali menjadi lukisan fresco yang utuh.

Dalam lamunan itu, entah kenapa aku tiba-tiba teringat Harry, temanku. Harry tidak ada hubungannya sama sekali dengan iX. Tapi aku memang sedang ingin mengenang Harry, kini ia tengah pergi ke Landak Kalimantan Barat,
apa kabarnya kau disana Harry??

Harry, masa-masa KKN di Brebes
Harry, masa-masa KKN di Brebes



Padamara, 26 september 2013

Thursday, August 1, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 23]


Tidak ada alasan lagi untuk meninggalkan Semarang, aku akan melewati babak semi final wisuda. Menyerahkan berkas kelengkapan di pojok gedung H, mengambil Samir serta membayar member Ikatan Alumni, membayar sewa Toga, membayar tiket pesta wisuda jurusan, dan membayar tiket agung wisuda untuk paripura dari UNNES.

Aku banyak menyempatkan hari-hari terakhirku di sini bersama Aris, Eko dan Heraldi. Nanang, harry dan Aji tengah diklat SM3T. Winarso juga kadang sedang tekun menggarap skripsi pesanan orang. Feby tengah asyik dengan pacar barunya, Pinky. Ya sudah, tinggal mereka bertiga. Pembayaran Wisuda aku sempatkan bersama Eko, mengantri di BNI hingga kami duduk di teras. Ketika nomor antri masih lama, Eko menancapkan modemnya ke netbooknya. Browsing lowongan pekerjaan. Entah guyon atau serius, tapi Eko menanyaakanku dengan tawa “ono lowongan dadi gigolo po ora yo Gan ihiihihie”. Dicarilah, ternyata ada, “kiro-kiro iki tenanan po ora yo”. “Nek gelem iku yo tenanan ko” jawabku, sepintas canda untuk mengalihkan kejenuhan dalam antrian siang itu.

Mungkin dulu pernah kuceritakan tentang Eko Nurrohmad, yang topengnya mengalami pelapukan hingga terlihat wajah aslinya. Aku tetap setia bersahabat dengannya dalam bentuk kamuflase apapun. Dalam fitrahnya ia sangat mencintai wanita dengan segala lekuk tubuhnya yang indah. Maka pikirannya pun sulit dibendung jika sudah dikaitkan tentng acara silaturahmi tubuh antara kelelekian dengan kewanitaan. Akupun tidak pernah pura-pura polos ketika membicarakan tentang itu. Hingga menjadi diskusi menarik, dan juga menambah kecintaan ku terhadap tubuh wanita. Sehari penuh aku bersama Eko si pemuda multidimensi ini. Mengurus administrasi wisuda bersama-sama ke BNI, BRI, Bank Jateng.

Esoknya Heraldi, kemudian Aris. Jarang ada yang menyangka kalau Aris akan lulus tepat waktu, teman-teman yang mengejeknya justru tertinggal di belakang. Ketika Aris kesulitan melengkapi SISkripsinya aku juga turut membantunya membobol akun milik Pak Jimmy, agar semua bisa dipercepat. Tibalah waktunya ketika aku menemaninya membayar sewa Toga di Bank Jateng Unnes. Vera, sahabatku sejurusan juga datang kesana dengan maksud yang sama. Dan akupun terkejut buset naudzubilah himindalik dibelakangnya diikuti sodaranya sendiri yaitu Sodikin. Orang sekampus tahu tentang mahasiswa BK yang satu ini, Sodikin. Ingin rasanya tiba-tiba aku menghilang “tuing!!” dari tempat itu.

 Aris, Vera dan Sodikin adalah sama-sama orang Rembang ketika bertemu mereka bersatu dalam canda. Aku berusaha diam tidak memandang mereka dan pura-pura bukan sebagai teman Aris. Namun hari naasku tidak bisa dihindari, tiba-tiba Aris mengatakan pada Sodikin “dik diki, koncoku ono sing pengin kenalan karo kowe ki” sambil aris mengacungkan jarinya ke arahku. Wasem asu buntung! Makiku dalam hati, ingin rasanya aku menjambak rambut Aris hingga kepalanya lepas, menunjuk aku dari Sodikin. Akhirnya datang juga tuh Sodikin sepaket dengan bahasa tubuhnya yang bencong dan menjulurkan tangan minta bersalam kenalan, “kenaliiin aku Dikii”. Untung jiwa malaikatku belum terbang meninggalkan jasadku sehingga aku masih mau membalasnya ramah “Ganda”. Orang bencong masih mending daripada Gay. Meski sama-sama suka sesama jenis tapi bencong tidaklah misterius dan masih bisa diajak becanda, beda dengan Gay yang misterius, bahkan ada yang psikopat, layaknya masih seperti lelaki tulen tetapi kenyataanya ia tidak nafsu dengan kaum hawa tapi ia merindukan kasih sayang dari sesama lelaki bahkan bila perlu ia bisa minta disodomi. Aku masih dalam posisi elegan bahkan sedikit takut sebenarnya tapi Sodikin malah merayunya sambil memegang-megang tanganku “waduh kowe grogi yha neng jejerku, waaah pipine dadi abang, duh jan”. Arsi dan Vera terkekeh menertawaiku. Sebelahku lagi sebenarnya ada wanita cantik, mereka juga sedang menertawaiku yang sedang dirayu Sodikin, aku pasti akan jadi bahan pembicaraan mereka di kos mereka nanti, dan itu akan terdengar dari telinga ke telinga untung saja mereka tidak mengenalku sehingga siklus dari telinga ke telinga itu otomatis akan terputus di jalan.

Tragedi Bank Jateng tadi membari pelajaran bagiku, jika bertemu bencong segeralah menjauh. Seandainya aku sahabatnya Hitler di Nazi Jerman maka aku akan setuju sekali dengan tindakan pasukan “SS” yang menangkap orang Gipsi, Yahudi, Cacat termasuk orang Homoseksual untuk dimasukan dalam kamp dikunci rapat dan dialiri gas beracun, matilah semua. Perjumpakan dengan sodikin bukan kali pertamaku berinteraksi dengan sosok Gay Oriented. Pertama dengan Om Rudy di Pasar Bandarjo Ungaran dan yang kedua adalah Sodikin atau Diki dan yang ketiga FBku kadang dicolek oleh orang laki-laki yang belum berteman dan jika ditelusuri diyakini dia juga pengidap Gay Oriented.

Apapun pertanyaanya, aku adalah lelaki normal, aku adalah lelaki yang tidak berlebihan, aku adalah lelaki yang masih punya kadar ketaatan dalam agama. Dan berkat teman-temanku, aku adalah laki-laki yang sangat mencintai lekuk tubuh wanita sebagai mahakarya indah dari sang Masterpiece al khaliq.


Padamara, 1 Agustus 2013 (memperingati 1 tahun ujian skripsiku)

Wednesday, June 12, 2013

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 22]


Menghindari tarif lebaran aku berangkat lagi ke Semarang H+8. Pagi benar aku menghadang bus disebuah halte ilegal di tepi jalan menuju Kalikabong. Tapi menurutku ini lebih baik daripada menghadang bus di timur patung Jend. Sudirman dekat terminal Purbalingga, dan itu adalah hal bodoh yang pernah kulihat mereka manaikkan dan menurunkan penumpang di tepi traffic light.

Aku terus menunggu duduk di tepi jalan dan kerap kali masih ditemani bapakku. Pandanganku terlepas pada ratusan bahkan ribuan Prawan Pabrik berkendara menuju industrinya masing-masing. Kecantikan dan pesona mereka tidak kalah dengan mahasiswi yang pernah ku lihat di kampus, bahkan menurutku mereka lebih sederhana atau nrimoandengan menaiki minibus, angkot atau motor yang agak ketinggalan jaman. Kawasan Kalikabong – Mewek hingga Kedungmenjangan adalah kawasan Industri di Purbalingga. Tepikir betapa hebatnya angka pengangguran yang ada di Purbalingga jika investor Korea Selatan tidak menanamkannya disini. PT. Indo-Kores, BooYang, Yuro, BMT, Sung-Cang, Sung-Shim, Sin-Han, Interwork, dll  mereka banyak menghidupi kami jarang ada yang berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji, kecuali soal asosial dan ketidak adilan penetapan tarif lembur.
 Lamunan semua itu pecah kala bus Maju Makmur datang dan petualangan ke Semarangpun dimulai. Penumpang tampan, penumpang cantik, penumpang kaya, penumpang miskin, penumpang manja ada dalam satu bus yang tergolong pernah mewah di tahun 90an ini. Jarang ada bus Patas untuk rute Purwokerto-Semarang via Wonosobo. Meskipun ada namun tidak bisa adu balap cepat dengan bis ekonomi karena jalan berliku dan sempit.

Maju Makmur: Armada Bus Sederhana Purwokerto - Semarang
Maju Makmur: Armada Bus Sederhana Purwokerto - Semarang


Kadang aku hafal dimana dan orang seperti apa pengamen yang datang. Dari empat tahun silam pertama ke Semarang hingga kini wajah-wajah mereka tetap. Di sekitar Mrican Banjarnegara pengamen yang datang adalah pemuda berkulit gelap dan berkuncir agak panjang bertampang preman, lagu-lagu yang sering dinyanyikan adalah tembang campursari, atau entah lagu apa tapi berbahasa mbanyumasan. Antara tampang dengan lagu, benar-benar tak cocok.

Ketika bus berhenti lama di alun-alun Wonosobo, pengamennya adalah sosok tunanetra tapi bisa bermain gitar, menekan chord nya pun tidak pernah salah, aneh memang. Ia juga punya asisten yang fungsinya sebagai penuntun arah. Kadang jika tak dikasih ia suka menyindir.

Ada lagi pengamen wanita masih agak muda, seksi pula, yang sudah berpoles kosmetik bermodalkan microphone yang disambungkan minitape dan speaker bertenaga accu dibungkus dalam kotak kayu berukuran 30x30x30 Cm. Memutar lagu-lagu karaoke. Teknologinya memang ketinggalan jaman, suaranya cukup keras tapi kualitas kejernihan audionya masih sekelas format (.amr). Satu lagi pengamen yang nampaknya ia memang asli Wonosobo dan juga paling sering muncul di alun-alun Wonosobo ini. Kulit dan potongan rambutnya garang, tapi mukanya kalem. Alat musiknya adalah gitar listrik bikinan sendiri dari kayu mungkin juga menggunakan tenaga accu speakernya entah ditaruh sebalah mana yang jelas gitarnya sudah bisa mengeluarkan suara elektik, lengkap dengan microphone kecil yang mencongok mengarah ke bibirnya, sehingga pengamen yang satu ini cukup menarik perhatian. Hanya saja mungkin dia Cuma hafal satu lagu itu saja, yang kurang lebih liriknya begini: “kau, slalu jaga hatiku . . . . saat aku kembaliii”   

Ketimur sedikit lagi, tepatnya di terminal Mandala Wonosobo. Yang masuk adalah pengamen bapak kurus berkisar 50 tahunan. Berkacamata bulat mengenakan topi diputar ke belakang, kancing baju paling atas biasanya dibuka sehingga dada kerempengnya cukup kelihatan. Umumnya pengamen lain menggunakan alat musik Gitar, atau Ukulele alias Kencrung namun dia menggunakan Guitarlele. Cara memainkannya pun cukup kukagumi, karena dia menggabungkan 2 metode bermain gitar yaitu Chord dan Fingerstyle. Apalagi ketika kumelihatnya sedang fingerstyle, jarinya menari-nari menekan string bak permainan gitar ala Carlos Santana atau Antonio Banderas pokonya lah. Tapi sayang sungguh disayangkan. Lagu-lagu yang ia nyanyikan hanya lagu dangdut saja, terutama lagunya Bang Haji. Seandainya saja dia bisa cukup berakustik dengan fingerstyle nya untuk lagunya Richard Marx – Right here waiting, atau More than word nya Westlife pastilah ku kasih Rp2000 lah untuk dia.

Di Tamanggung hampir-hampir tidak ada pengamen. Meskipun ada tapi ia bukan pengamen langganan yang tetap dan khas seperti pengamen-pengamen diatas. Biasanya adalah pengamen yang asal masuk saja karena ada kesempatan.

Begitu juga di terminal Bawen kab. Semarang, pengamennya tidak bisa dihafalkan karena terus berganti-ganti. Menurutku terminal Bawen memang gudangnya para pengamen, karena Bawen lokasinya cukup strategis berada di pertigaan besar, simpang Utara menuju Kota semarang dan kota-kota di Pantura, sementara ke selatan adalah arah menuju Solo sedangkan simpang ke barat adalah jalan menuju Jogja dan Purwokerto. Namun yang unik dari pengamen-pengamen di Bawen ini adalah semacam ada lagu khas atau mungkin lagu wajib. Hampir dipastikan pengamen disini pasti menyanikan lagu itu. Aku tak tahu judulnya apa tapi aku hafal sedikit potongan liriknya, seperti ini:
. . . . . . . Rodo papat rupo menungso, jujugane omah tuwo,
Tanpo lawang tanpo jendelo, tanpo bantal tanpo kloso,
Ditutupi anjang-anjang, siramane banyu kembang,
Tonggo tonggo podo nyawang, podo nangis koyo wong nembang,
Sing neng ngomah rebutan warisan, direwangi paten-patenan.
. . . . . . tondo-tondone wong pelit, wong ngamal wae yo ora tau.
paribasan weruh pengamen, lha koq deweke etok-etok turu
eto-etok turu, ben duwite ora metu. Dst

Perjalanan selama 200 Km itu tidak selesai hanya keluar dari pintu bus, masih harus naik angkutan umum warna hijau yang biasa berkoloni di pojok luar terminal Ungaran. Paling sering mayoritas penumpangnya adalah mahasiswi, semuanya juga tidak pernah kukenal. Jadinya saling diam, saling lempar pandang. Atau minimal kadang melihat Kirana, atau Kristin.

Suasana capek dan panas belum berhenti menyiksa, karena kami harus mengetem atau menunggu hingga angkutan penuh penumpang, kira-kira selama 30 menit. Bagiku mengetem mungkin berasal dari kata inggris: steam, yang artinya “dikukus”, karena ketika mengetem kami serasa sedang dikukus, keringat semua penumpang mengucur. Inilah spa alami. Bau parfum berubah menjadi bau ketek. Yang tidak pakai parfum baunya berubah menjadi bau kain kafan yang telah terkubur bersama jenazah selama 1 tahun. Ingin muntah rasanya.

Penumpang laki-laki paling sering mengalah ditempatkan di tepi pintu, dimana ketika sedang berada di tikungan, kocokan penumpang menekan ke arah ke luar pintu, jadi yang di tepi pintu harus selalu siaga menahan tekanan penumpang yang ada di dalam, otot yang digunakan untuk menahan penumpang adalah otot deltoid (lengan atas) dan otot quadriceps (paha). Sekali lengah saja mungkin yang di tepi kedorong keluar jatuh tersungkur, apalagi jalan Ungaran – Sekaran ada sekitar 10 titik tikungan. Belum lagi ditambah kalau lagi nyalip kendaraan lain.  

Ini adalah kepulangan pertamaku semenjak tinggal di Kalimasada. Ada rasa yang berbeda ketika angkutan sudah memasuki Jl.Taman Siswa, biasanya aku bilang “KIRI PAK!!” tepat ketika angkutan sedang melewati depan Gang Setanjung. Namun kali ini aku hanya terdiam saja, melewatkan gang Setanjung. Seperti tereinkarnasi di jaman yang berbeda, antara jaman hidup di Setanjung dan Kalimasada. Seperti Ken Arok yang dalam legenda Pararaton merupakan penduduk Kampung Jiput. Karena kelakuannya yang tidak senonoh, ia dijadikan tumbal oleh pendeta sakti Tawapangkeng sebagai pengganti kambing. Ia kemudian lahir kembali di desa Pangkur sebagai anak Ni Ndok. Mungkin saja bagaimana Ken Arok melihat Kampung Jiput, sama saja bagaimana aku melihat gang Setanjung.

 Tak perlu bilang “Kiri” sekalipun. Aku mengikutinya hingga berhenti, tepat di bawah pohon Waru sebelah timur laut  Masjid Ulul Albab. Aku turun, langsung masuk ke gang Cokro, turun belok ke Utara, ini adalah jalan yang paling sering ku tempuh ketimbang langsung lewat depan gang Kalimasada karena jalan ini langsung mem by-pass ke Kontrakan Ar[t]my. Suasananya juga lebih rindang dan sejuk oleh pohon-pohon bambu spasies Schizotachyum caudatum ini. Tibalah aku di ar[t]my, dan bersalaman dengan mas-mas senior disini.


Padamara, 12 Juni 2013