Ekspedisi Sejarah Indonesia (Exsara)

Exsara merupakan organisasi terbesar di Jurusan Sejarah Unnes. Aku dirikan bersama teman-teman jurusan sejarah Unnes angkatan 2008. Mereka semakin maju

Catatan Hidupku

Aku sangat suka menulis. Termasuk membuat catatan hidupku. Biar nanti aku mati, tapi pikiranku seolah terus hidup sampai anak cucuku

Petualangan Hidup

Setiap hidup, pasti menyempatkan berkunjung ke tempat unik, berkenalan dengan orang baru. Semua itu akan mendidik kita jadi manusia besar

Sejarah Nasional dan Dunia

Basis pendidikanku Sejarah. Aku sangat menyukai kisah masa lalu. Ada yang kuanggap sebagai sastra ada yang kuanggap sebagai guru kehidupan

Pola Hidup Sehat

Sejak SMP aku sudah punya bakat pemerhati gizi. Aku sangat mencintai pola hidup sehat. Tanpa kita sehat, semua yang kita miliki tak ada gunannya

Wednesday, June 11, 2014

Tak ada puasnya

Semua orang ingin enaknya saja, tanpa ingin merasakan pahitnya awal perjuangan. Hari ini akhirnya teman lamaku jujur, dia ingin kembali jadi wartawan. Janwar Priadi.

Dia dulu keluar tak tahan betapa pahitnya masa-masa pendidikan awal jadi wartawan. Berangkat pagi, pulang jam 11 malam.Akhirnya ia sesekali mbolos, dan gajinya dikurangi. Dia keluar, sedikit marah dengan tidak mengembalikan caz kamera titipan perusahaan. Dia tak tau, selepas beberapa hari kemudian bos Feldi yang feodalis itu selesai mendidik kami. Kemudian kami bebas lepas jadi wartawan, bebas tentukan tema berita sendiri. BanPres sudah minimalisir impor berita dari RadarMas.

Janwar tengah kesulitan lagi bekerja di tempat lain. Ingin jadi wartawan lagi, tapi kali ini ingin jadi koresponden Banjarnegara, biar tak bertemu Feldi lagi mungkin. Wartawan biasanya harus betul-betul punya SDM tinggi dan berkarakter. Dia mungkin sudah tak dipercaya lagi. Kenangan lama.

Aku dengar pepatah. "Kau putuskan berhenti di tengah jalan, tak tahu padahal selangkah lagi ada kebahagiaan". Ini doktrin, agar kita pantang menyerah. Ada nyatanya ada tidaknya.

Betul apa kata kawanku, Fajar. Kerja di swasta seperti dikebiri tak lagi berminat wirausaha. Hilang semangat tuk mandiri. Aku jadi bingung, mau usaha apa yang sekiranya bisa ungguli gajiku sekarang.

Orang tua selalu sepelekan wirausaha untukku. Padahal mereka wirausaha bisa punya penghasilan lebih dariku. Apa mereka inginkan aku lebih rendah daripada mereka?.LUCU!!!

Dua elemen itu telah mengkebiri aku dari kewirausahaan. Sebenarnya yang paling dibutuhkan adalah melawan arus. Salah satu ikhtiarnya adalah semangat subuh dan jauhi maksiat. Aku yakin itu pintunya. Tapi sekali lagi itu butuh doktrin dan asupan sugesti-sugesti hypnosis yang masuk ke pikiran kita. Siapa yang bisa???

Hidayah

Tuesday, June 10, 2014

Sejarah Bali dengan Budaya Asing

Oleh: IDG Windhu Sancaya, Fakultas Sastra Unud


SETELAH membahas tentang subak secara mendalam dan sistematis, Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul “Negara, The Theatre State in Nineteenth Century Bali” (1980) sampai pada suatu kesimpulan, bahwa di seluruh dunia tidak ada organisasi sosial pengairan yang seefektif subak. Demikian pula halnya dengan V.E. Korn dalam bukunya “Het Adat Recht van Bali” (1938) menyatakan kekagumannya kepada kepandaian dan kehebatan orang Bali dalam membuat saluran-saluran air di bawah tanah (bhs. Bali: aungan). Korn menyebut mereka sebagai para insinyur Bali. Kehebatan orang Bali dalam bidang arsitektur bangunan tradisional juga sudah diakui luas oleh para ahli arsitektur modern.


Di bidang ilmu pengobatan tradisional (usada) misalnya, Wolfgang Weck (1976), seorang ahli kedokteran berkebangsaan Jerman, memberikan perhatian yang khusus tentang usada. Dalam bukunya yang berjudul “Heilkunde und Volkstum auf Bali”, disebutkan bahwa tata cara pengobatan tradisional Bali memberi sumbangan yang penting bagi metode pengobatan dalam ilmu kedokteran modern, yang perlu mendapatkan perhatian kita. 

Semua penyataan tersebut di atas menunjukkan adanya landasan yang kuat dan segi-segi positif dari kemampuan orang Bali dengan kebudayaannya yang masih bersifat tradisional, untuk maju dan dikembangkan dalam dunia modern serta globalisasi saat ini. Memang tidak semua nilai-nilai budaya tersebut dapat hidup dan berkembang dengan baik dalam kemajuan zaman saat ini, dan tidak semua nilai-nilai yang bersifat tradisional bersifat positif. Namun seringkali nilai-nilai budaya tradisional yang positif tersebut justru terdesak oleh kuatnya arus modernisasi dan globalisasi, karena kurangnya pemahaman terhadap makna tradisi dan modernisasi. Dunia pendidikan modern misalnya, seringkali “menyingkirkan” nilai-nilai budaya tradisional tersebut, sehingga tidak mendapatkan tempat yang sepantasnya dalam sistem pengajaran dan pendidikan, sehingga proses transmisi dan transformasi budaya sering mengalami hambatan. Meskipun arus modernisasi dan globalisasi melanda begitu kuat, sejumlah pengamat dan ahli mengakui bahwa Bali sampai saat ini masih diakui sebagai tempat di mana tradisinya masih hidup dan berkembang dengan baik.

Dualitas tradisi dan modernitas Bali misalnya dikatakan oleh MacRrae (2005:5), “Bali sudah terkenal sebagai pulau yang sangat tradisional, akan tetapi kenyataannya Bali juga menjadi pulau yang sangat modern bila dibandingkan dengan wilayah Indonesia pada umumnya”. Di sisi lain Michel Picard (2006) mengemukakan: dalam sejarahnya orang Bali tampaknya telah memperlihatkan suatu bakat istimewa dalam menyerap secara selektif pengaruh-pengaruh luar, dengan hanya memilih unsur-unsur yang cocok dengan nilai yang ada pada mereka, kemudian dipadukan dengan selaras dalam sistem budaya mereka. Hasilnya bukanlah pelapisan berbagai strata budaya yang terpisah-pisah melainkan suatu perpaduan yang orisinal dari benda-benda dan citra-citra dari parktik-praktik dan kepercayaan yang meskipun berbeda asalnya, namun lambat laun mengambil wujud menjadi sesuatu yang bersifat khas Bali.

Dalam kaitannya dengan kebudayaan Bali pada umumnya dan sastra Bali pada khususnya, setidak-tidaknya untuk saat ini, tradisi dan modernitas dapat hidup saling berdampingan dan saling melengkapi, sebagaimana diungkapkan Diana Askovic, seorang antropolog berkebangsaan Amerika. Pandangan Askovic tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa di satu sisi Bali tetap bisa menjaga kebudayaan tradisional yang dilestarikan selama berabad-abad di tengah cepatnya arus modernisasi yang sedang berlangsung saat ini, namun di sisi lain kehidupan kesenian Bali menunjukkan suatu dinamik perubahan bentuk artistik dan gaya yang konstan (terus-menerus). Pernyataan Askovic memang lebih ditujukan untuk menyebutkan tradisi dan modernitas dalam kaitannya dengan seni pertunjukan Bali (Balinese Performing Arts). Meskipun demikian, konsep dan kerangka pemikirannya tersebut dapat juga digunakan untuk memahami aspek realitas sosio-kultural kehidupan masyarakat Bali yang lebih luas, yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan tradisi dan modernitas. Walaupun masyarakat Bali telah mengalami gelombang terpaan kebudayaan yang datang dari Timur dan Barat, yang telah menimbulkan terjadinya perubahan-perubahan, menurut Prof. Ngurah Bagus (1995) pada hakikatnya perubahan yang diakibatkan oleh pertemuan budaya tersebut belum begitu berarti, karena masyarakat Bali masih bercorak kolektif, komunal dan ritualistik. Namun seiring dengan makin kuatnya terpaan konsumerisme dan materialisme, kini orang Bali juga sudah menjadi semakin individualistis dan asosial.


Pertemuan dengan Budaya Asing

Hubungan dan interaksi orang Bali dengan kebudayaan asing bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Jauh sebelum bangsa Eropa menginjakkan kakinya di Nusantara masyarakat Bali sudah dipengaruhi secara mendalam oleh pengaruh-pengaruh luar, khususnya yang dibawa oleh kebudayaan India dan Jawa—tanpa melupakan pengaruh lebih tersamar dari kebudayaan China (Gde Agung, 1987; Picard, 2006). Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dikemukakan oleh Hildred Geertz (1988), bahwa orang Bali telah sejak dahulu kala berkenalan dengan budaya asing dan sudah bersifat internasional. Hildred Geertz selanjutnya mengatakan, masyarakat desa-desa di Bali pada zaman kuno bukan tertutup dan terpencil, malah bersifat ‘internasional’. Hal itu terbukti dari adanya lalu lintas orang-orang dari luar desa (malah mungkin dari luar Bali), adanya beberapa bahasa dan sastra, adanya orang-orang terpelajar, adanya perbedaan sosial yang ditunjukkan dari gelar-gelar, adanya pembuatan perahu dan layangan, adanya emas, perak dan lain-lain barang-barang diimpor dari luar Bali. Semua ciri-ciri itu berarti bahwa dari zaman purbakala sampai sekarang ini penduduk Bali sudah biasa dan lancar mengadakan hubungan-hubungan dengan pendatang dari luar lingkungannya sendiri (Geertz, 1988).

Proses Indianisasi misalnya telah melahirkan sejumlah kerajaan yang pada mulanya betul-betul menjadi negeri-negeri serupa dengan di India, kemudian berubah mengikuti lokal jenius tersendiri akibat kebudayaan setempat (Coedés, 2010). Berkat pengaruh agama Hindu, berkembanglah sistem pertanian yang tangguh, sistem sosial-politik, bahasa dan sastra, serta seni lainnya sehingga mencapai tingkat yang tinggi (Bagus, 1995). Melalui pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan luar tersebut Bali diperkaya dengan berbagai ciri yang selanjutnya digabungkan dalam subtrat Austronesia melalui suatu proses sinkretis yang khas dan mempesona (Picard, 2006).

Pada abad ke-7 Masehi orang-orang Cina telah mengenal Bali dan memberi nama pulau ini dengan sebutan Dva-pa-Tan (Gde Agung, 1989). Pernyataan-pernyataan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa hubungan kebudayaan Bali dengan kebudayaan asing bukan baru terjadi pada abad ke-18, melainkan jauh sebelum itu. Akibat adanya hubungan kebudayaan tersebut menyebabkan kebudayaan Bali juga mengalami perkembangan dan perubahan. Selain mendapat pengaruh dari kebudayaan India dan China, kebudayaan Bali juga mendapatkan pengaruh yang sangat intensif dari kebudayaan Jawa, terutama setelah ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit. Sebelum ditaklukkan oleh kerajaan Singhasari tahun 1284 Masehi, dan oleh Majapahit tahun 1343 Masehi, Bali telah mengalami masa keemasannya. Raja Bali Kuna terakhir yang gilang-gemilang adalah Jaya Pangus, yang membuat tiga puluh buah prasasti, prasasti terbanyak dari raja-raja Bali Kuna yang lain (Goris, 1974). Setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, dan Sri Astasura Ratnabhumi Banten, raja Bali terakhir dikalahkan, menurut Zoetmulder (1984),

Kraton-kraton di Bali sejak saat itu mengalami suatu proses “Jawanisasi� yang sistematis; demikian juga masyarakatnya. Para Brahmin dari Jawa kemudian menetap di Bali dengan membawa serta ajaran dan praktek keagamaan Hindu-Jawa yang berbeda dengan Hindu-Bali, memperkuat pengaruh India yang telah aktif sejak berabad-abad sebelumnya. Sejak pertengahan abad XIV Bali telah masuk ke dalam lingkup pengaruh “Hindu-Jawa� seperti terasa lewat berbagai pusat kebudayaan dan religi, di mana bahasa dan sastra Jawa Kuna dipelajari, ditiru, dan dikembangkan. Sejak saat itu Bali harus dipandang sebagai bagian dari dunia kebudayaan Hindu-Jawa.

Hubungan Bali dengan kebudayaan Barat baru mulai lebih mendalam sejak abad ke-18. Meskipun demikian, hingga awal abad XX hubungan kebudayaan Barat dengan kebudayaan Bali belum banyak membawa pengaruh perubahan terhadap kebudayaan Bali, karena hubungan tersebut lebih banyak diwarnai dengan peperangan dan penaklukan. Pengaruh intensif kebudayaan Barat terhadap kebudayaan Bali baru terjadi ketika Bali telah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Kolonial Belanda sejak awal abad XX, ketika seluruh kerajaan di Bali telah dikuasai pada tahun 1908. 

Semakin dikenalnya Bali sebagai daerah tujuan wisata menyebabkan hubungan Bali dengan dunia Barat menjadi semakin intensif masuk ke dalam berbagai aspek kebudayaan Bali. Interaksi dengan dunia luar melalui pariwisata tersebut di satu sisi dapat memperkaya, namun juga memperlemah posisi kebudayaan Bali, tergantung dari kemampuannya menyaring masuknya pengaruh budaya luar. Ida Bagus Mantra (1995) mencatat bahwa dalam periode modern ketika Bali belum lama mendapat pengaruh dari budaya Barat, pada tahun 1930-an generasi pada saat itu telah berhasil menyaring unsur-unsur yang baik dari kebudayaan luar, sehingga seni dan budaya Bali mendapatkan potensi yang lebih besar untuk memperkaya masyarakatnya, baik dari segi rohani maupun rohani.

Diskusi-diskusi tentang modernisasi masyarakat Bali tergambar dalam tema-tema yang dikenal dengan baik dalam perdebatan akademis yang lebih luas. Pusat pembicaraan mereka tentang modernitas saat ini telah bergeser dari pembahasan tentang pengaruh budaya Barat yang dibawa oleh bangsa Eropa yang diidentifikasikan sebagai subalter dari modenisasi yang bersifat plural, sebagaimana dikemukakan Picard (1996), Vickers (1996), Vickers dan Darma Putra (2000). Diskusi-diskusi tersebut kini secara keseluruhan berkisar pada pertempuran serta perdebatan mengenai pengaruh modernisasi pada zaman Kolonial sebelum Perang Dunia II, atau ketegangan-ketegangan yang terjadi pada abad XX, yaitu ketegangan antara keinginan untuk berpatisipasi dalam realita kehidupan modern dan rasa kepedulian masyarakat Bali terhadap pelestarian tradisi dan budaya, serta kehidupan keagamaan mereka. Bagi masyarakat Bali sendiri, menjadi modern, sebagaimana halnya dengan masyarakat lain yang pernah dijajah, lebih merupakan sebuah proses daripada sebuah perwujudan final. Sebagaimana pernah dikhawatirkan oleh Vickers (1996), perkembangan modernisasi tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang terhubung secara mudah antara budaya Barat dengan budaya Bali. Vickers mengakui bahwa perubahan dan modernisasi telah terjadi dalam masyarakat Bali sebelum mereka bersentuhan dengan Kolonial Belanda, yang telah mengambil alih kehidupan sosial, politik dan kebudayaan masyarakat Bali. Meskipun demikian, banyak ahli berpendapat bahwa proses modernisasi yang terjadi dalam masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari pengaruh datangnya dan intervensi kolonial Belanda di Bali. Sebuah periode perubahan kehidupan sosial dan budaya yang signifikan telah terjadi dalam masyarakat Bali setelah Bali ditaklukkan sepenuhnya oleh Belanda tahun 1906 melalui Puputan Badung dan 1908 melalui Puputan Klungkung.



Sumber: Bali Post


Gadis Bali apa adanya di masa lalu ...

Awá, Suku Hutan Amazon Terancam Punah

Kampanye internasional oleh kelompok advokasi Survival International berharap untuk menyelamatkan suku yang "paling terancam di dunia" — suku Awá di Brasil — dari orang luar yang berusaha mengambil tanah mereka.



Orang-orang suku Awá hidup dari berburu dan berkumpul. Mereka berperjalanan dalam keluarga besar sekitar 30 orang. Mereka akan pergi berburu dalam ekspedisi selama beberapa minggu. Meski begitu, kelompok kecil ini menjadi rentan terhadap serangan orang-orang bersenjata yang disewa oleh para pembuka hutan dan penebang kayu.



Pria-pria Awá adalah pemburu yang membuat sendiri panah serta busur mereka. Kehidupan suku ini sangat tergantung pada hutan dan gaya hidup berburu-berkumpul mereka.




Hemokoma'á berdiri di antara hutan yang terbakar di teritori suku Awá territory - 31% persen kawasan mereka sudah dibakar dan dirusak oleh pembuka hutan ilegal.



Apãranã ("Kupu-kupu kecil") berayun dari akar liana melewati sungai tempat anak-anak mandi dan bermain. Orang-orang suku Awá memancing ikan di sungai di kawasan mereka dan menyukai daging kura-kura.



Seperti banyak suku Indian lain di Amazon, Awá menggendong bayi mereka - biasanya gendongan ini terbuat dari serat palem namun kini terbuat dari kain.



Suku Awá di Brasil kini terlibat dalam proses hukum untuk melindungi tanah mereka dari pembalakan liar dan pembuka hutan. Amerintxia kemungkinan adalah orang Awá tertua. Dia hidup sendiri dinaungi pohon palem, bersama dengan banyak hewan peliharaannya. Dia masih mengumpulkan sendiri makanannya di hutan.









Sumber: Viva

Hanya ada di Novel dan Film

Surya Esa, berambut gondrong


"dr Istanto itu orangnya lurus. Tapi lurusnya kemana dulu, kalau menyimpang ya salah sasaran. Lebih baik kita tempuh jalan berliku tapi tepat sasaran," kata bapak Keluarga Kembang Cahaya (KCa), Surya Esa

Itu yang akan selalu aku ingat dari wawancara tadi siang dengan dia. dr Istanto, dinkes dikecam olehnya karena dinilai mendiskreditkan para pecandu narkoba yang ingin sembuh. Mereka disamakan dengan perilaku bunuh diri sehingga pemerintah tak sudi membantu, bahkan katanya tarif IPWL justru dimahalkan khusus mereka.

Hari ini pak Esa nampak puas. dr Istanto jadi kena tegur Bupati. Dan kedamaianpun kembali mengalir. Kita harus terima berlikunya jalan. Seribu satu orang seperti pak Esa ini. Dia terlalu disegani karena mau sukarela membantu rehab sos pasca pemulihan para pecandu narkoba, yang kini terus bertambah menjadi 30 orang.
Kusebut dia Lokal Hero. Hanya baru ku temui orang seperti dia di novel, atau film. Tak ada yang sia-sia pengabdian dari orang orang seperti itu.

Ada yang nyaris mirip. Sahabatku Winarso juga punya kepedulian yang tinggi kepada mereka yang tersingkirkan. Hanya saja dia terlalu ingin terekspos, dipamerkan, pencitraan. Bahkan kadang ada yang palsu dan dibuat jadi 'seolah-olah'.

Kawan yang lain juga ada yang mirip. Ialah mas Wanto, guru mengaji di kampungku, dia terlampau peduli dengan anak-anak kecil dan pemuda disini. Mendidik tanpa ada imbalan. Hanya saja dia terlalu fanatik dengan keNU-annya.

Mereka punya tujuan mulia, untuk banyak orang dengan cara cara mereka sendiri. Tak seperti aku, meski banyak yang mengenalku. Tapi pergerakanku begitu individu. Hatiku masih keras untuk luluh tapi ketika bertindak reaksioner aku masih kalah telak kerasnya dengan perjuanjuangan mereka.

Dinkes vs BNK

Sunday, June 8, 2014

Mengenal Ratna Sari Dewi Soekarno

Kisah Cinta Soekarno dengan Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi)



"Dewiku tercinta, Saya dalam keadaan baik dan sangat sibuk dengan konferensi bersama semua panglima militer untuk menyelesaikan konflik di kalangan militer. Jangan khawatir, sayang!, Sayang dan 1000 ciuman, Soekarno." 

Untaian kata cinta itu dilayangkan oleh Soekarno kepada pujaan hatinya, Ratna Sari Dewi. Surat singkat itu dikirim melalui kurir Sang Presiden pada 2 Oktober 1965. 

Situasi yang memanas di dalam tubuh militer setelah peristiwa 30 September 1965 nampaknya meluluhkan hati Soekarno yang keras. Cintanya membuat Soekarno tak melupakan Dewi, tak lupa melayangkan seribu ciuman kepada wanita Jepang itu. 


Lahir Dengan Nama Naoko Nemoto Nemoto Naoko Di Tokyo





Naoko Nemoto adalah nama aslinya. Perkenalan dan kisah cintanya dengan Sang Proklamator membawanya ke Indonesia, kemudian menjelma menjadi Ratna Sari Dewi, ketika Indonesia baru saja lahir. 

Naoko dilahirkan dalam keluarga sederhana pada 6 Februari 1940. Keluarganya menetap di Tokyo, Jepang, tepatnya di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho. 
Dialah geisha yang begitu sempurna di mata Sukarno. Kecantikannya begitu mempesona, sehingga tak kuasa Sukarno meredam hasrat cintanya yang berkobar-kobar. Gadis Jepang ini lahir tahun 1940, sebagai anak perempuan ketiga seorang pekerja bangunan di Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Naoko harus bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada tahun 1955.



Empat tahun kemudian, nasib mengubah hidupnya. 
1956 ia mengundurkan diri, dan menekuni profesio geisha Akasaka’s Copacabana yang megah, salah satu kelab malam favorit yang sering dikunjungi para tamu asing. Ke kelab inilah Sukarno datang pada 16 Juni 1959. Bertemu Naoko, dan jatuhlah hatinya. Setelah itu, Bung Karno masih bertemu Naoko dua kali di hotel Imperial, tempat Bung Karno menginap. Akan tetapi, versi lain menyebutkan, pertemuan keduanya terjadi setahun sebelumnya, di tempat yang sama.
Usai lawatan dua pekan, Bung Karno kembali ke Jakarta. Tapi sungguh, hatinya tertinggal di Tokyo… hatinya melekat pada gadis cantik pemilik sorot mata lembut menusuk, sungging senyum yang lekat membekas. Seperti biasa, Bung Karno mengekspresikan hatinya melalui surat-surat cinta. Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Isyarat itu ia tangkap melalui surat balasan Naoko.
Tak lama, Bung Karno segera melayangkan undangan kepada Naoko untuk berkunjung ke Indonesia. Sukarno bahkan menemaninya dalam salah satu perjalanan wisata ke Pulau Dewata. Benih-benih cinta makin subur bersemi di hati keduanya. Terlebih ketika Naoko menerima pinangan Bung Karno, dan mengganti namanya dengan nama pemberian Sukarno. Jadilah Naoko Nemoto menjadi Ratna Sari Dewi. Orang-orang kemudian menyebutnya Dewi Soekarno.
Tanggal pernikahan keduanya, ada dua versi. Satu sumber menyebut, keduanya menikah diam-diam pada tanggal 3 Maret 1962, bersamaan dengan peresmian penggunaan nama baru: Ratna Sari Dewi berikut hak kewarganegaraan Indonesia. Sumber lain menyebut mereka menikah secara resmi bulan Mei 1964. Agaknya, sumber pertamalah yang benar.

Lahir Di Tokyo Jepang 6 Februari 1940 Dengan Nama Naoko Nemoto Lahir

Saat itu, Juni 1959, Soekarno melepas lelah di salah satu kawasan kenamaan di negeri Sakura, Akasaka's Copacabana. Sang Presiden merasa perlu melepas penat di sela kunjungan kerjanya yang padat, menguras tenaga dan pikiran. 

Tanpa rencana, pandangan mata Soekarno menghampiri Naoko Nemoto yang anggun dan gemulai. Melalui perantaraan kolega di Jepang, Soekarno akhirnya berhasil bercengkrama dengan sang dara. 

Hari berganti, keduanyapun semakin akrab. Semakin lama Soekarno memandang Naoko, semakin luluh hatinya, dan jatuhlah hati itu dalam dekapan dara Sakura. Bukan Soekarno kalau tidak melakukan hal yang di luar kebiasaan. Dia boyong Naoko ke Tanah Air. Sejumlah literatur menyatakan keduanya sempat berkelana ke Pulau Dewata, hingga akhirnya bersanding di pelaminan pada 1962. 


Jadilah Naoko dara nusantara, Ratna Sari Dewi, lengkap dengan status kewarganegaraan Indonesia. Jadilah dia Ibu Negara, bersama empat Ibu Negara lainnya yang telah disunting oleh Soekarno sebelumnya.

Cinta Soekarno kepada Ratna Sari Dewi meluap-luap. Ia ceritakan semua seluk beluk pekerjaan kepada Dewi. Dalam setiap surat yang dia kirim di tengah sibuknya aktivitas sebagai petinggi negeri, Soekarno selalu menyapa Dewi dengan sebutan "Dewiku" atau "Sayang". Saking dekatnya hati mereka, para wartawanpun berusaha mendekati Dewi dengan satu alasan, hanya Dewi yang mengetahui apa yang dilakukan oleh Soekarno.

Begitupun Dewi. Dia menyayangi suaminya sepenuh hati. Meski kadang fisik mereka terpisah samudera, hati Dewi melayang menghampiri Soekarno di tanah air. Hatinya menyertai Sang Presiden dalam setiap pekerjaan, sampai akhir hayatnya.

Secara fisik, Dewi datang ke Indonesia pada 20 Juni 1970, malam hari, sekitar pukul delapan. Bersama anak buah kasihnya dengan Soekarno, Kartika, yang saat itu masih berumur empat tahun. Dewi langsung menuju Wisma Yaso. Dewi mendampingi suaminya menghembuskan nafas terakhir dalam kekuasaan Orde Baru. 

Kepustakaan Presiden yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia menyebut Soekarno menambatkan hati kepada Dewi bukan hanya karena kecantikannya, namun karena cita rasa Indonesia yang tertanam dalam diri wanita itu. 

Kepustakaan tentang para presiden Indonesia itu menyebut Dewi fasih melantunkan tembang "Bengawan Solo" saat hati dan mata mereka petama kali bertemu di negeri Sakura. Sampai kini, 65 tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Dewi tetap merasa sebagai warga negara Indonesia (WNI).


"Saya lebih lama jadi WNI daripada Anda, ya. Dari 1959. 51 tahun saya WNI," kata Dewi ketika ditemui di Istana Merdeka setelah upacara penurunan bendera untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Foto Masa Tua












Sumber: Cuy Cuya