Monday, August 15, 2011

NASYID: ANTARA SENI DAN MEDIA DAKWAH ISLAM

[Seni Musik sebagai Unsur Kebudayaan Islam]

Sebuah Pengantar
Bagi kaum muslimin yang bergerak di garis ekstrim tentunya tidak begitu toleran dengan apa yang disebut seni musik. Bagi mereka musik adalah bagian dari rencana kaum kafir yang ingin mengacak-acak dunia. Segolongan kecil ini seringkali memaknai seni music sebagai semacam candu yang membuat orang malas beraktifitas, gelisah atau sebaliknya membentuk karakter manusia yang brutal.
Seni musik sebenarnya memiliki nilai kenikmatan tersendiri bagi mereka yang terbuka dan mengamati. Ini akan menjadi minat banyak orang dalam hal hiburan dan mempopulerkan diri di kalangan masyarakat. Musik membuat banyak orang terpesona karenannya.
Seni merangkai nada ini tentunya memiliki sejarah sendiri di berbagai bangsa. Banyak melahirkan aliran-aliran di dalamnya yang menunjukan budaya dan bahasa mereka masing-masing. Selain bergerak di bidang budaya, seni musik juga tentunya bergerak di bidang agama. Bahkan seringkali untuk melantunkan puji-pujiannya kepada Tuhan telah disisipi unsure rangkaian nada yang membuat lantunan itu lebih indah karena berirama.
Islam sendiri juga ternyata mengadopsi seni musik dalam mengambangkan agamanya. Awal perkembangan kesenian Islam mencapai puncak keemasaanya pada zaman Dinasti Ummayah hingga akhirnya menempatkan Baghdad sebagai pusat peradaban dunia. Dalam Islam pada masa itu, kesenian bukan hanya sebagai hiburan, tapi sudah menjadi ilmu pengetahuan yang terus diselidiki dan bagian dari ritual ibadah. Bahkan beberapa alat musik yang sekarang banyak digunakan di dunia berasal dari dunia kesenian Islam dan banyak karya dari seniman dunia Arab masa lalu yang menjadi acuan bagi Seniman dunia barat dan belahan dunia lainnya. Di Nusantara, awal kedatangan Islam sempat mengemas baik ajaran Islam menggunakan seni musik oleh para walisanga. Mereka menggunakan seni music sebagai media dakwah menyebarkan Islam sebagai agama yang indah hingga orang-orang turut masuk di dalamnya.
Seni musik tak selamanya menggunakan alat music yang merepotkan. Akan tetapi sebagai penggantinya bisa memanfaatkan suara manusia itu sendiri yang manirukan bagaimana suara dentiman atau petikan dari alat musik itu sendiri. Sebagian masyarakat dunia menamakan teknik ini sebagai “Akapela”. Akapela pada mulanya sering dipakai si gereja-gereja kecil yang keterbatasan alat music. Namun hal ini memberi sensasi yang berbeda hingga dianggap sebagai inovasi dalam hal seni musik dan terus dilestarikan hingga sekarang. Lirik dan nada dari Akapela boleh berbeda-beda dikemasnya. Namun ketika Akapela ini mulai merambah ke niat konstruktif dari para muslimin tanah Arab/untuk menyampaikan pesan dan nasehat Allah SWT maka nampaknya istilah “Akapela” dirubah dengan istilah bahasa Arab yang disebut dengan “Nasyid”. Nasyid menjadi sebuah Trend baru dalam unsur kebudayaan Islam, dan masih terus berkembang hingga kini serta tentunya kesenian ini memiliki sejarah tersendiri.
Sejarah Musik Islami di Nusantara
Seni dan peradaban ibarat dua sisi mata uang. Tenggelam dan bersinar beriringan. Inilah salah satu teori yang tercantum dalam risalah Al-Muqadimah karya Ibnu Khaldun. Teori ilmuwan muslim yang hidup pada abad ke-14 Masehi itu tepat berlaku pada perkembangan seni Islam, terutama seni suara dan musik.
Musik Arab yang awalnya sangat sederhana, berkembang menjadi musik yang kaya warna seiring dengan kemajuan pemerintahan Islam di masa Dinasti Ummayah. Ketika itu, Madinah dan Damaskus menjadi pusat kebudayaan Islam. Dari kedua kota ini, kegiatan penerjemahan kitab-kitab seni musik Persia dan Yunani ke dalam bahasa Arab gencar dilakukan.

Menurut Ali Hasmy dalam bukunya, Sejarah Kebudayaan Islam, tradisi pengkajian dan permainan musik semakin berkembang pada era Dinasti Abbasiyah, terutama ketika khalifah Al-Ma`mun berkuasa. Para khalifah Abbasiyah (650 M -1256 M) mensponsori para penyair dan musisi. Kesultanan mendirikan sekolah-sekolah musik di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang bagus dan berkualitas tinggi adalah yang didirikan oleh Sa`id `Abd-ul-Mu`min (wafat pada 1294 M).

Ali Hasmy menjelaskan, salah satu alasan pengembangan banyak sekolah musik oleh Daulah Abbasiyyah adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, serta dayang-dayang di istana dan di rumah pejabat negara, untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu, telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik.

Hasilnya, teoritikus musik, pakar-pakar estetika, dan sastrawan masyhur bermunculan. Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal adalah Yunus bin Sulaiman al-Khatab, yang tercatat sebagai pengarang musik pertama dalam Islam. Kitab-kitab karya pengarang yang meninggal 785 M banyak menjadi rujukan musisi-musisi Eropa.

Lalu ada Khalil bin Ahmad, yang mengarang buku teori musik mengenai not dan irama. Tak ketinggalan, Ishak bin Ibrahim al-Mausully, yang berhasil memperbaiki musik Arab jahilliyah dengan sistem baru sehingga mendapat julukan Imam-ul-Mughanniyin (Raja Penyanyi). Juga ada matematikawan dan filsuf muslim terkemuka, Al-Kindi, yang mengarang 15 risalah tentang musik. Bahkan Al-Kindi adalah orang pertama yang menyebut kata musiqi dalam judul bukunya.

Munculnya seniman dan pengkaji musik di dunia Islam menunjukkan jika umat Muslim tidak hanya melihat musik sebagai hiburan. Melainkan musik menjadi bagian dari ilmu pengetahuan yang dikaji melalui teori-teori ilmiah. Mereka juga mengarang kitab-kitab musik baru dan melakukan penambahan, penyempurnaan, serta pembaharuan, baik dari segi alat-alat instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.

Buku-buku yang ditulis para cendekiawan muslim itu mencakup masalah pengertian yang luas tentang musik, asas-asas estetika Islam, dan teori musik. Ada juga yang mengurai instrumen musik dan penggunaannya, tilawah dan qira`fah, hingga tata tertib sama` (konser musik kerohanian).

Para sastrawan masa itu banyak melahirkan karya besar. Bahkan, mereka juga memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra pada masa pencerahan di Eropa. Tak mengherankan bila Baghdad, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah, tak hanya tampil sebagai pusat kebudayaan Islam, melainkan juga pusat peradaban dunia.

Para penguasa pemerintahan Islam di Baghdad pun pergi ke Kordoba, Spanyol, untuk memberikan dukungan kepada musisi dan perkembangan musik di sana. Alat musik pun banyak bermunculan. Bahkan, berkembang di luar wilayah Islam. Misalnya oud, yang berbentuk setengah buah pir, berisi 12 string. Di Italia, oud menjadi il luto. Di Jerman, alat musik ini menjadi bernama laute. Di Prancis disebut le luth dan di Inggris dinamai lute. Rebab, yang merupakan bentuk dasar biola, menyebar dari Spanyol ke Eropa dengan nama rebec.

Rebana, instrumen musik asli Arab, juga diadaptasi dunia Barat. Rebana terbuat dari kayu dan perkamen. Hingga saat ini, rebana masih digunakan di berbagai belahan dunia saat bermusik. Perkembangan musik dan alat musik ini ditopang pula oleh kegiatan yang biasanya diselenggarakan di istana.

Masa keemasan peradaban Islam terbentang selama kurang lebih 500 tahun, sejak abad ke-8 Masehi hingga abad ke-13 Masehi. Wilayahnya meliputi Eropa Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Setelah itu, peradaban Islam mulai mengalami kemunduran seiring dengan kehancuran Baghdad sebagai pusat kebudayaan Islam oleh bangsa Mongol. Juga oleh Perang Salib yang menandai peralihan pusat peradaban ke Eropa.

Saat bersamaan, dakwah Islam di Nusantara mulai berkembang intensif. Berbeda dengan penyebaran di wilayah di masa keemasan yang kental dengan motivasi politis dan penguasaan wilayah, penyebaran Islam di Nusantara dimotori oleh para pedagang. Selama berniaga, para pedagang dari daratan Timur Tengah ini hidup membaur dengan penduduk setempat.

Lewat pergaulan ini, musik ala padang pasir mulai dikenal di Indonesia. Rebana, menjadi alat musik paling dominan dalam memunculkan kesenian Islam Nusantara beraroma Arab seperti terbangan, gambus, kasidah, dan hadrah.

Selain rebana, rebab juga ikut mewarnai kesenian Nusantara dengan ditambahkan sebagai pengiring gamelan yang mulai berkembang di Jawa sejak masuknya agama Hindu dan Budha. Malah, dalam gamelan Jawa, fungsi rebab tidak hanya sebagai pelengkap untuk mengiringi nyanyian sinden, melainkan menjadi pembuka dan menuntun arah lagu sinden.

Menurut penyair dan pengamat seni Islam, Abdul Hadi WM, pemakaian rebab dalam gamelan Jawa menandai pengaruh musik sufi, yaitu instrumen nay, seruling vertikal dengan lubang tipan di ujungnya. Seruling ini bila ditiup mengeluarkan bunyi seperti ratapan pokok bambu di hutan yang tertiup angin.

Ratapan itu berperan membuka selubung jiwa dari kepiluannya dan membawanya menuju keriangan spiritual. Ini, misalnya, dapat disaksikan dalam upacara sama` tarekat Maulawiyah, sering disebut dengan julukan The Whirling Dervish, yang didirikan Jalaluddin Rumi. Fungsi nay sebagai pembuka inilah yang diperankan rebab dalam gamelan Jawa.

Abdul Hadi menjelaskan, adalah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang menerapkan asas-asas estetika sufi ke dalam penggunaan instrumen gamelan. Sunan Bonang menjadikan gamelan sebagai sarana kontemplasi (tafakur) dan pembebasan jiwa (tajarrud) dari kungkungan dunia material. Pemakaian asas-asas inilah yang lantas membedakan gamelan Jawa dan Madura dengan gamelan Bali yang bertahan sebagai gamelan Hindu.

Sembilan tokoh penyebar Islam di Jawa atau Wali Sanga memang dikenal dengan model dakwah yang memanfaatkan budaya lokal. Tak mengherankan bila para wali ini juga mempunyai kemampuan seni tinggi. Ensiklopedi Musik Indonesia menyebutkan Sunan Kalijaga sebagai seniman paripurna, karena selain mubalig ia juga ahli wayang, ahli karawitan, dan pencipta gending.

Kiai bernama asli Raden Mas Said ini menciptakan empat tokoh punakawan Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong, yang berasal dari bahasa Arab yaitu Simar, Fatruk, Nalagarin, dan Bagha. Ia juga membuat perangkat gending, yaitu kenong, kimpul, kendang, dan genjur. Kemampuannya mencipta lagu untuk sarana dakwah Islam pun tak diragukan. Tembang Ilir-ilir dan Dandanggula adalah bukti kepiawaiannya merangkai syair tentang ajaran Islam di Jawa.

Jejak pemakaian kesenian sebagai sarana penyebaran Islam juga terekam di tanah Sunda, yang memiliki musik tradisional angklung. Sekitar abad ke-16, warga Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut, Jawa Barat, memanfaatkan kesenian angklung gubrag badeng untuk menyebarkan Islam. Warga desa ini baru pulang dari belajar Islam dari Kerajaan Demak.

Sebelumnya, kesenian dengan sembilan angklung sebagai alat musik utama, dimainkan sebagai pemujaan untuk Dewi Sri dalam ritual penanaman padi. Pengaruh Islam tampak dengan pemakaian dua terbang (rebana) dan penambahan bahasa Arab d dalam syairnya. Isi syairnya juga memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik. Lagu-lagu badeng yang terkenal, antara lain, Lailahaileloh, Ya`fti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, dan Solaloh.

Selain melalui seni musik dan seni suara, pengaruh Islam di Indonesia juga terlihat melalui seni tari. Salah satu wilayah yang paling banyak mempunyai ragam tarian bernapaskan Islam adalah Aceh. Tarian paling populer adalah saman, ciptaan Syekh Saman, seorang ulama penyebar Islam di Aceh abad ke-14 Masehi. Awalnya, tarian itu hanya berupa permainan rakyat yang disebut pok ane-ane. Melihat permainan yang amat populer di tengah masyarakat kala itu, Syekh Saman pun menyisipkan ajaran tauhid dan nilai-nilai Islam ke dalam syair-syairnya.

Dahulu, tari saman biasa digelar di kolong-kolong meunasah alias surau yang berbentuk bangunan panggung. Para penarinya awalnya semua kaum lelaki. Tujuannya, agar mereka dapat salat tepat waktu. Belakangan, kaum perempuan juga menarikannya dengan mengambil tempat di atas meunasah atau di bagian khusus masjid tempat salat kaum Hawa.
Sejarah dan Perkembangan Nasyid sebagai Seni Musik Islami
Nasyid merupakan cabang seni yang bersendikan Islam, kerana ia mengandungi lirik yang merangkumi pesanan, ingatan,kisah para nabi , seruan dakwah Islamiah dan meniupkan semangat dalam proses pembangunan bangsa dan negara.
Perkembangan nasyid yang terus mendapat tempat dihati masyarakat Islam Nusantara telah diasaskan oleh lembaran sejarah yang terpahat usaha padu pelbagai pihak dalam memartabatkan nasyid sebagai wadah seni yang mampu membawa misi dakwah Islamiah ke tengah masyarakat dalam memenuhi tuntutan fitrah berhibur dalam diri manusia.
Jika diteliti perkembangan semasa, dunia hari ini diwarnai dengan hingar-bingar alunan lagu dan irama muzik serba glamour, ini menyebabkan industri nasyid melalui satu persaingan yang sengit untuk terus bertahan sebagai wadah penyebaran dakwah.
Kenyataan ini menuntut agar seniman nasyid terus bijaksana dalam meniti perjuangan nasyid tanpa mengabaikan garis panduan yang telah ditetapkan oleh syarak dengan mengambilkira sejarah perkembangan nasyid di Nusantara dan sumbangannya sebagai medium penyebaran dakwah.
Definisi Nasyid
Nasyid merupakan nyayian yang biasanya bercorak keagamaan Islam dan mengandungi kata-kata nasihat, kisah para nabi, memuji Allah dan yang seumpamanya.
Nasyid ialah lagu yang biasanya dinyayikan secara kumpulan yang mengandungi seni kata yang berunsurkan Islam.
Hj Jalidar Abdul Rahim menjelaskan masyarakat Arab pada zaman dahulu melagukan syair yang bertemakan Munajat dan Selawat dan kerap memilih lagu Arab Misri. Sumber maqam lagu Arab yang digunakan untuk membaca ayat suci Al-Quran dan nyayian lain berunsurkan Islam yang terdengar melalui nasyid dan qasidah sekarang kebanyakkanya datang daripada aliran Arab Iraqi, Hijazi dan Misri disamping tujuh lagi maqam iaitu Banjakka, Hijaz, Musyawaraq, Ras, Jaharka, Sika dan Dukah.
Istilah nasyid menurut masyarakat Indonesia , adalah ganti dari kata qasidah sebagaimana yang dimaklumi di daerah Sumatera dan Kalimantan. Bahkan di daerah-daerah lain ada yang menyebutnya sebagai Tagoni, Samrahan dan sebagainya. Namun jika ditinjau dari bahasa Arab nasyid berasal dari kata nasyada yang bermaksud membangkitkan, memberikan semangat, meneriakkan dan lain-lain.
Sesungguhnya istilah Nasyid telah muncul dalam kebudayaan Arab Islam sejak abad 3H/9M dan terus berkembang dari masa ke semasa.
Sejarah Perkembangan Nasyid di Nusantara
Kedatangan Agama Islam ke Nusantara membawa bersama Seni dan Kebudayaan Arab yang menarik hati masyarakat Islam khususnya pada keindahan lagu-lagu Arab yang didengar dan diterima melalui bacaan Al-Quran dan alunan lagu Qasidah Tawasyih, Ibtihal dan nasyid serta selawat dari nuzum syair marhaban dalam memuji dan mengucapkan selawat kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Lagu Arab tersebut dibawa secara langsung oleh pendakwah Arab yang datang ke Nusantara untuk mengembangkan Islam . Masyarakat Islam di Tanah Melayu telah menjadikan nasyid Tawasyih[7], Qasidah Majrur[8] dan bacaan Rawi berzanji dan Marhaban sebagai satu kesenian dalam setiap Majlis Perkahwinan, Majlis Khatam al-Quran, Majlis Berkhatan , Majlis Menyambut Kelahiran Bayi dan Majlis Menyambut Maulidur Rasul S.A.W.
Sejarah Perkembangan Nasyid di Indonesia
Di Indonesia Qasidah Rebana telah mula berkembang di sekitar Pulau Jawa khususnya di Jakarta dan sekitarnya selepas tumbangnnya Parti Komunis Indonesia sekitar tahun 1966/1967, dikatakan hampir seluruh lingkungan wilayah dan kampung mempunyai kumpulan Qasidah Rebana. Pada kebiasaanya Qasidah Rebana hanya diiringi dengan alat rebana dan tamborin.
Pada awal tahun 1970-an Qasidah Gambus mula berkembang seiring dengan Qasidah Rebana. Qasidah Gambus diiringi dengan alat muzik yang biasanya terdiri dari Gambus, Biola, Seruling, Gendang, Tabla dan sebagainya dan biasanya mereka membawakan lagu-lagu dakwah atau lagu yang bertemakan keagamaan, dengan melodi dan irama ala Timur Tengah. Pada masa yang sama juga wujud Orkes Gambus yang biasanya membawakan lagu-lagu asli Timur Tengah.
Diantara Orkes Gambus yang amat terkenal pada awal tahun 70- an ialah Orkes Gambus El-Surayya di bawah pimpinan Almarhum Prof Ahmad Baqi yang terus mengembangkan sayap seni nasyid di sekitar Indonesia. Allahyarham Prof Ahmad Baqi yang dilahirkan pada tahun 1920 adalah tokoh terkenal yang membangunkan seni nasyid bukan sahaja di Indonesia tetapi di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Orkes Gambus El-Suraya yang amat terkenal dengan lagu Selimut Putih yang telah dinyayikan oleh Ibu Atikah Rahman terus mendapat tempat hingga ke hari ini kerana liriknya yang amat menyentuh hati dan mampu menitiskan airmata bagi yang mengamatinya.
Sekitar tahun 70-an juga wujudnya kumpulan Qasidah Pop, namun ia hanya diminati oleh golongan elit. Sementara pada pertengahan tahun 80-an perkembangan Qasidah Indonesia turut menyaksikan Qasidah Dangdut yang telah diperkenalkan oleh kumpulan Nasidaria dari Samarang dan pada tahun 1990 Qasidah Rebana Plus turut menyajikan lagu-lagu nasyid dengan diiringi alat muzik seperti gitar, piano dan sebagainya disamping wujud juga Qasidah Salawatan iaitu lagu yang berintikan selawat yang diiringi dengan instrumen muzik yang lembut seperti nasyid yang dipopularkan oleh Hadad Alawi dan Sulis.
Muzik dan Irama nasyid terus berkembang di Indonesia dengan wujudnya Festivel Nasyid Indonesia (FNI), Festivel Nasyid Nusantara (FNN) dan gerakkan kebangkitan nasyid Indonesia yang digiatkan oleh Fatahillah Manajemen Indonesia(FMI).
Sumbangan Nasyid Sebagai Media Dakwah Islam
Kecenderungan masyarakat pada hari ini yang gemarkan kepada hiburan perlu dipandu dengan pengisian yang betul dan tepat dalam mengharungi arus hedonism yang terus berleluasa.
Meneliti perkara ini, nasyid dilihat amat signifikan berperanan sebagai hiburan alternatif yang juga boleh mengajak manusia kepada kebaikan. Prof Dr Ismail al-Faruqi mengatakan, tidak ramai umat Islam yang menyedari akan betapa pentingnya seni suara dan musik sebagai suatu bentuk seni yang mengungkapkan pandangan alam (world view) Islam dan tentang kemesraan yang terdapat diantara seni tampak dan seni dengar (visual and aural arts) di dalam kebudayaan Islam. Begitu juga tidak ramai yang sedar tentang pentingnya seni dengar digunakan untuk tujuan-tujuan sosial dan dakwah.
Sehubungan dengan itu nasyid yang merupakan salah satu cabang ilmu handasat al-Aswat (seni suara) dan seni dengar yang telah berkembang dengan pesatnya di Nusantara telah menjadi medium dakwah khususnya dalam penghasilan lirik lagu yang mengandungi nilai dalam mendidik masyarakat agar memperteguhkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, ketaatan kepada Rasulullah S.A.W, menginsafi kebesaran Allah, mengajak manusia menjadikan Sunnah sebagai panduan dan meletakkan kebenaran sebagai pedoman serta kebaikan dan keindahan wasilah dalam mencapai matlamat keredhaan Allah S.W.T.
Nasyid juga telah menjadi medium melestarikan dakwah secara berhikmah, ini selaras dengan maksud Firman Allah dalam Surah an-Nahl ayat 125:
“ Serulah kepada jalan Tuhan-Mu dengan penuh hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”

Hikmah boleh ditafsirkan dengan kata-kata yang lembut, tidak dilakukan secara paksaan dan tidak terkecuali daripada menggunakan kata-kata berseni dan lagu yang meruntun jiwa, yang boleh memberikan kesan mendalam kepada jiwa manusia. Malahan, bantahan dan kritikan sekalipun boleh disampaikan dalam bentuk seni, ini amat sinonim dengan kehidupan masyarakat Melayu yang turut menghasilkan syair dan pantun bagi tujuan kritikan tajam.
Nasyid juga turut mengajak manusia untuk berzikir kepada Allah S.W.T di mana unsur-unsur zikir dan doa turut menghiasi seni nasyid, disamping dijadikan sebagai kaedah yang boleh membantu memudahkan hafalan Asmaul Husna, nama-nama nabi, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, dan nama-nama surah yang terdapat dalam Al-Quran. Seni ini juga telah dijadikan sebagai alat bantu dalam proses pengajaran dan pembelajaran.
Nasyid dan Marhaban, telah menjadi aktivitas alternatif sebahagian remaja Islam masa kini, khususnya dalam mengimarahkan masjid dan surau serta mengisi pelbagai aktiviti hidup dengan perkara yang bermanfaat. Ini dapatkan mengelakkan remaja dari terjebak ke dalam aktiviti gejala sosial yang kian berleluasa.
Nasyid juga telah menjadi medium penyebaran dakwah dalam dunia penyiaran, di mana lagu nasyid telah menjadi salah satu bentuk seni hiburan yang disiarkan di kaca televisyen dan radio, Rancangan Nasyid Minggu (NMI) ini yang diterbitkan oleh Bahagian Media Elektronik dan Penyiaran JAKIM sejak Mac 2004 menjadi satu pendekatan kepada muda-mudi untuk memilih hiburan yang lebih baik dan bermanfaat. Selain daripada hiburan, rancangan ini juga banyak memaparkan petikan ayat-ayat al-Quran dan Hadith sesuai dengan tema siaran.
Perjalanan seni nasyid Nusantara tidak terlepas dari tuntutan dan tanggungjawab berdakwah pada jalan Allah . Adalah menjadi tanggungjawab ahli seni untuk terus mengajak manusia kepada kebaikan dengan tidak melupakan etika dan akhlak Islam yang perlu menjadi pakaian diri sepanjang masa agar nasyid mampu menjadi agen yang mengajak manusia kepada amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Kesimpulan
Usaha memartabatkan nasyid secara profesional dalam bentuk program pembelajaran secara konsisten amat perlu dalam usaha melahirkan seniman nasyid yang berkaliber.
Penggiat nasyid nusantara harus mengembeleng tenaga dalam mewujudkan institusi nasyid yang boleh melahirkan seniman nasyid seperti Prof Ahmad Baqi yang mampu menghasilkan lirik lagu yang memberi kesan dalam mendidik jiwa berteraskan ajaran Islam .
Olahan kreatif penulisan lirik mestilah tidak meninggalkan tujuan asal nasyid, iaitu untuk berdakwah dan memberi tarbiah Islamiah kepada pendengar samada secara langsung atau secara tidak langsung.
Penulisan berkaitan sejarah nasyid nusantara wajar diperbanyakkan dalam mendorong peminat dan pengamal nasyid mampu memasyarakatkan dan meneruskan kegiatan seni nasyid untuk generasi akan datang.
Sumber
Alwi, Noordianah. 2006. Sejarah Perkembangan Nasyid di Nusantara dan Sumbangannya sebagai Medium Dakwah. Online: http://randyabdurahman.wordpress.com/category/kesenian-islam/ [accessed: July, 06, 2011]
Yanuarti, Astari. 2010. Dari Madinah Hingga Nusantara. Online: http://www.bunyu-online.com/2010/09/perjalanan-sejarah-kesenian-islam.html [accessed: July, 06, 2011]

2 comments:

  1. mohon maaf, penulisan ayat dalam quran surat an-nahl salah bukan 135, tetapi 125 yang bunyi artinya begini "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk"

    ReplyDelete
  2. Terimakasih banyak atas koreksinya. . . :)

    ReplyDelete