Friday, August 19, 2011

Catatan seorang Pendiam 18 Agustus 2011


Tiap pagi satu-per-satu kami melewati koridor gelap tak berpintu sepanjang 10 meter, berpakaian rapi menuju garasi merapatkan tangan memegang motor masing-masing, dengan satu tujuan yang sama (pak Kusnarto menyebutnya dengan istilah “Kawah Candradimuka ” / tempat praktekan). Terbiasa mengalir lurus seperti sungai konsekuen (dalam istilah geografi), sudah terbiasa.

Sebuah kedisiplinan, awal sekali aku setidaknya masuk kelas. Melarutkan diri bersama mereka, murid-murid menemani tadarusan dan menyanyikan Asma’ul Husna. Aku diam, memandang lugunya mereka dan meyakinkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan ini tidaklah sia-sia.” Tuhan memang satu, kita yang berbeda” begitulah aku mendidik mereka agar mangindahkan toleransi antar umat beragama. Sekolah ini bernuansa Islam, tapi aku sering melihat beberapa dari mereka (kristen) ceria belajar agamanya bersama gurunya di Perpustakaan. Ini adalah sekolah yang harmonis.

Sesuatu yang berlebihan tidaklah nyaman. Detik ini masih dijerat krisis kehangatan.  Aku jadi jarang membaca, terbelenggu ketidaknyamanan rasa dingin ini. “Buku, Pesta, Cinta di alam Bangsanya” setebal 500an halaman itu masih kutinggal di kos. Kajian filsafat ajaran Syekh Siti Jenar bernasib sama, terbengkalai di sebelah bantal sana.

Tak jarang pandanganku kosong ketika di depan pintu besi di samping kamarku, hanya untuk melihat dunia luar. Jika aku membukanya hanya terlihat hamparan tanah kosong yang ditumbuhi alang-alang muda. Bagiku menyendiri adalah cara yang ampuh membangkitkan kesadaran diri, mata hatiku lebih terbuka ketimbang harus ditampar 10kali.

0 comments:

Post a Comment