Monday, August 15, 2011

Kronologi Jatuh Bangunnya Sistem Pemerintahan di Indonesia

Oleh: Ganda Kurniawan (3101408093)

Tanggal 19 Agustus 1945 adalah fase ketiga bagi RI dalam hal penyelenggaraan Negara setelah fase pertama Proklamasi Kemerdekaan dan fase kedua mengesahkan dasar dan pemimpin Negara. Pada tanggal 19 Agustus 1945 inilah tahapan ditentukannya mengenai batas daerah, mengenai pemerintaan adanya 12 kementerian serta kebijakan mengenai pertahanan negara. Hari itu telah dibentuk Kabinet Presidensiil dengan puncak pimpinan Soekarno dan Moh. Hatta serta telah ditentukan PNI sebagai partai tunggal untuk mencerminkan manifestasi gelora kemerdekaan sebagai partai yang anti penjajah.Ketentuan-ketentuan diatas penuh dengan nilai “kesementaraan”, artinya bahwa kebijakan tanggal 19 Agustus diatas umumnya hanya sebagai formalitas untuk memenuhi syarat sebagai Negara belum mencakup ke hal-hal yang bersifat mendetail.
Negara-negara bekas jajahan yang baru merdeka kebanyakan memilih system demokrasi untuk pemerintahannya. Sementara pada awalnya Indonesia justru menerapkan Presidential dan Partai Tunggal yang mencerminkan sentralistik dan dinilai kurang demokratis. Buktinya adalah lahirnya Maklumat Wakil Presiden (Wapres) X pada 16 Oktober 1945. Isi maklumat Hatta itu adalah membangun sistem banyak partai dan menggusur kekuasaan rangkap presiden--sebagai penguasa eksekutif dan legislatif sekaligus--sebelum MPR dan DPR dibentuk. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pun difungsikan sebagai lembaga legislatif. Salah satu cirri penerapan system demokrasi adalah adanya Dewan Perwakilan Rakyat. Sejak sutan Sjahrir diangkat menjadi Perdana Menteri, system presidensiil berubah menjadi kabinet parlementer yang bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pola yang dianut adalah penerapan demokrasi di Nedherland yang didasarkan pada multi partai. Pengambilan pola ini mudah dipahami karena pandangan kaum intelektual Indonesia diarahkan ke Nedherland, sesuai dengan pendidikannya. PNI yang pada mulanya berdiri di puncak sendirian, telah muncul pesaing-pesaing disampingnya seperti Partai Sosialis (PS), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan lain-lain.
Sistem Parlementer multi partai ini terus berlanjut dan masih dipandang sesuatu yang wajar meski banyak instabilitas. Mundurnya Kabinet Sjahrir dan digantikan oleh Kabinet Hatta masih mewarisi sistem Parlementer ini bahkan hingga Hatta duduk di Perdana Menteri Indonesia dalam wajah Republik Indonesia Serikat. Kabinet Hatta awal lebih sering diceritakan menganai kasus Pemberontakan PKI di Madiun sarta posisi Indonesia yang sedang memuncaknya parade perjuangan diplomasi serta perang pertumpahan darah. Sedangkan Kabinet Hatta dalam konteks RIS merupakan hal yang sementara, yakni hanya akan memerintah sampai terbentuknya Dewan Konstituante yang akan membuat konstitusi tetap, sekitar sampai bulan September. Terkait dengan tuntan rakyat tentang Pembubaran RIS usia Kabinet tidak mencapai jangka waktu yang ditentukan.
Kemudian setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberkalukan kembali pada 17 Agustus 1950, terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidnag politik. Menurut amanat UUDS, pemerintahan RI berdasarkan sistem demokrasi parlementer dengan kabinet dan menteri-menteri yang bertanggung jawab ke parlemen. Perdana menteri pertama.
Pasca penyerahan kedaulatan itu adalah Mohammad Natsir, dari Masyumi. Sedangkan, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) merupakan kelanjutan dari DPR RIS, yang kebanyakan anggotanya adalah orang Federal yang mewakili daerah atau negara bagian pada masa RIS. Pada masa ini, terjadi satu pesta demokrasi yang pertama di Indonesia, yaitu pemilihan umum yang berlangsung secara bebas dan rahasia. Pada masa ini pula Hatta menyatakan mundur sebagai wakil presiden di mana jabatan ini akan terus kosong sampai sekitar awal dekade 1970-an setelah pemilu yang kedua. Mundurnya Hatta sebagai wakil presiden menjadi salah atu dinamika politik yang menunjukkan kurva menanjak. Hatta yang pada masa itu adalah satu dari sedikit pendukung sistem parlementer, menjadi kaum yang minoritas ketika terjadi euphoria menuju demokrasi terpimpin. Sistem kabinet seperti yang telah dijelaskan di atas adalah sistem parlementer, di mana kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Pada masa itu ada beberapa kabinet yang pernah memeirntah di Indonesia, yaitu kabinet Muhammad Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951), Sukiman (April 1951- Februari 1952), Wilopo (April 1952 -Juni 1953), Ali Sastroamidjojo (Juni 1953-Juli 1955), Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Ali Sastroamidjojo (Maret 1956-Maret 1957), dan Djuanda sampai Juli 1959.
Setelah Pemilu menghasilkan DPR dan Konstituante, keadaan ternyata bertambah buruk, tak seperti yang diharapkan rakyat. Pertikaian antarmiliter, pergolakan daerah melawan pusat, dan ekonomi yang semrawut tetap membuat masa depan tampak suram. Masalah yang menghadang Kabinet itu datang dari para panglima daerah, yang menuding pusat tidak memperhatikan kesejahteraan prajurit daerah. Mereka pun didukung Masyumi dan PSI. Lalu pada tahun 1956, timbul beberapa pemberontakan militer yang gagal, yang diatur bekas Pejabat KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Para pendukungnya mengkritik bahwa Kabinet telah melalaikan negara, dan mereka mengarahkan perlunya diktator militer. Akhir tahun 1956, keadaan pun bertambah buruk. Panglima militer di beberapa daerah mengambil alih kekuasaan dari pimpinan sipil. Mereka menilai Jakarta terlalu sentralistis, korup, mengabaikan luar Jawa, serta banyak tuduhan lainnya. Mereka juga memaksa Kabinet Ali mundur, dan mendukung kembalinya Hatta--yang mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1 Desember 1956--untuk memimpin kabinet baru. Kelompok itu disebut-sebut berhubungan dengan militer kelompok Zulkifli Lubis, Masyumi, PSI, dan Parkindo. Inti tuntutan mereka sebenarnya adalah kembalinya dwitunggal Soekarno--Hatta ke kekuasaan. Pada tahun itulah, Soekarno sudah mulai mendesak dikuburkannya demokrasi liberal dan diganti dengan demokrasi terpimpin. Konsep Soekarno itu kemudian diumumkan secara luas di halaman Istana Merdeka pada 21 Februari 1957. Intinya adalah demokrasi terpimpin, perlunya Kabinet Kaki Empat, dan pembentukan Dewan Nasional. Konsep itu menjadi perdebatan sekaligus pertentangan di DPR. Soalnya, hanya Konstituante yang berwenang mengubah sistem pemerintahan dan susunan ketatanegaraan secara radikal. Cuma, dalam pandangan Soekarno, Konstituante terlalu lambat menyelesaikan rancangan UUD, dan sepertinya akan gagal.
Tetapi tahun 1957, percobaan demokrasi mengalami kegagalan, hal itu disebabkan karena dasar untuk dapat membangun demokrasi perwakilan hampir tidak ditemukan. Penyebabnya antara lain karena kebanyakan rakyat indonesia kebanyakan masih buta huruf, miskin, terbiasa dengan kekuasaan yang otoriter 11 dan paternalistik, dan tersebar di kepulauan yang sangat luas/dalam posisi yang sulit untuk memaksa pertanggungjawaban atas perbuatan para politisi di jakarta. Selain itu pada tahun 1957, korupsi tersebar luas, kesatuan terancam, keadilan sosial belum tercapai, msalah-masalah ekonomi belum terpecahkan dan harapan dari revolusi belum tercapai. Ada berbagai masalah yang dihadapi juga terjadi dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan militer. Pada bidang ekonomi ada kepentingan-kepentingan non-indonesia mempunai arti penting, misalnya saja belanda dan cina. Selain itu karena lambatnya pemulihan ekonomi menyebabkan terjadinya inflasi, sehingga biaya hidup melinjat sampai 100% dan sektor kemasyarakatan menderita. Dalam bidang demografi jumlah meningkat tajam sehingga produksi pangan meningkat tetapi tidak cukup. Sehingga untuk mengatasi itu pemerintah melakukan impor. Dalam bidang perdagangan jaringan perdagangan luas tetapi tidak mempunyai dukungan politk dan sebagian kaum borjuis indonesia masih berpegang teguh kepada agama islam yang jaringan perdagangannya tidak begitu luas dan dukungan politiknya terbatas. Dalam bidang pendidikan ini diberi prioritas utama dan jumlah lembaga pendidikan meningkat luas. Sementara itu dalam bidang militer terdapat perpecahan dalam tubuh tentara.
Demokrasi terpimpin terlahir atas dasar inisiatif Presiden Soekarno menjadi pemimpin, dan secara otomatis telah mengubah sistem pemerintahan dari Parlementer menjadi Presidensiil. Hal ini didasarkan pada pandangan Demokrasi Liberal yang membawa petaka. Sementara bung Karno adalah tokoh yang memiliki obsesi persatuan nasional dan charisma pemimpin. Bung Karno lah yang mengkaji ulang berbagai kasus pemberontakan dalam negeri. Sehingga ia berinisiatif atas Demokrasi Terpimpin, yaitu demokrasi yang dilandasi upaya mewujudkan kepemimpinan politik terpimpin dan terarah.
Sistem Presidensiil pun rasanya tidak mau diutak atik lagi untuk berubah sistem. Meski terjadi crush politik ketika peralihan rezim namun system ini masih dipertahankan. Perbedaan pemerintahan hanya berbeda ideologi saja. Jika demokrasi Terpimpin dibawah Rezim (dominasi) Nasakom, sementara di Orde Baru dibawah rezim Pancasila (lebih tepatnya kolaborasi Sipil-Militer). Lencana Presidensiil masih dikenakan hingga sekarang sebagai Era Reformasi.
Ketidakefektifan Sistem Presidensiil masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Proses pemilu secara langsung merupakan konsekuensi dari kesepakatan untuk menggunakan sistem pemerintahan presidensial, dalam demokratisasi menuntut adanya partisipasi publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintah. Termasuk mengenai banyaknya partai politik (multi partai) yang tidak lagi dibatasi. Proses politik multi partai sebenarnya bukan suatu jaminan kepastian adanya partisipasi dan pendapat rakyat.
Multipartai ini kemudian mencalonkan wakil-wakilnya untuk duduk dalam DPR. Dapat dikatakan bahwa partai politik ini sebenarnya melakukan mobilisasi rakyat untuk mencapai tujuannya di perpolitikan. Jelas dalam hal ini kepentingan rakyat menjadi kambing hitam. Jika terjadi hal semacam ini maka partai politik telah berjalan dengan langkah yang salah sehingga menghasilkan politik kelompok yaitu suatu kehidupan politik yang tidak didasarkan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan afiliasi kelompok yang menentukan pilihan politik.
Lebih lanjut, di banyak negara berkembang, perebutan pemerintahan dalam langkah-langkah substansial termasuk juga perebutan perekonomian. Dalam sistem politik tersebut pelaksanaan politik yang demokratis seperti itu dapat mengarah pada marjinalisasi tiada henti terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Menurut pengalaman beberapa negara yang telah mempraktikkan sistem pemerintahan presidensial dengan multipartai, sistem tersebut akan menimbulkan apa yang disebut coattail effect, yaitu kecenderungan pemilih memilih presiden dari partai yang sama sehingga akan menghasilkan system presidensial yang mempunyai dukungan politik di parlemen. Tentu saja gagasan ini masih perlu diperdebatkan secara luas dan konstruktif dalam masyarakat agar proses demokratisasi ke depan menghasilkan pemerintahan yang relatif efektif, tetapi demokrasi juga berkembang dengan baik.
Hal yang patut diperdebatkan adalah akankah kebijakan umum yang dihasilkan akan mencerminkan kepentingan umum? Mengingat partai politik Indonesia telah salah melangkah seperti yang dibahas diatas. Selain itu jika parlemen juga dikuasai oleh partai politik yang sama dimana presiden berasal maka yang terjadi adalah seluruh kebijakan presiden merupakan representative dari partai politik tersebut dapat lebih ekstrim lagi dikatakan bahwa presiden tidak bebas dari intervensi partai politik.
Apalagi jika dilihat dari pasal 6A ayat (1) yang mengatakan bahwa ”presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsungoleh rakyat” dan ayat (2) yang mengatakan bahwa ”pasangan calaon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, maka besar kemungkinan presiden dan wakil presiden tidak berasal dari partai politik yang sama dan tentu saja jika bukan berasal dari partai poltik yang sama didalamnya terdapat kesepakatan-kesepakatan politik antara partai politik tersebut.
Wakil-wakil partai politik yang dipilih oleh rakyat secara langsung tersebut maka akan menjadi anggota parlemen yaitu DPR dan DPD. Hal tersebut diatur dalam pasal 19 ayat (1) meneyebutkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum142 dan pasal 22C ayat (1) menyebutkan anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.143 Selain itu pasal 2E ayat (2) menegaskan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.144 Dalam parlemen tersebut maka wakil-wakil tersebut akan melebur menjadi satu. Bagaimana dengan partai politik yang hanya mendapatkan minoritas suara sehingga hanya memperoleh satu kursi? Jawabanya adalah dengan koalisi yang membentuk fraksi. Muncul pertanyaan lagi mengapa harus membentuk fraksi? Fraksi dapat dikatakan sebagai gabungan partai-partai yang memperoleh suara minoritas suara untuk bergabung sehingga mendapatkan kursi yang lebih banyak bagi wakil-wakil mereka. Jika fungsi dari fraksi hanya untuk memudahkan pembagian kursi berarti suara rakyat yang dititipkan dalam partai politik tersebut dapat dikompromikan dengan partai lain. Hasilnya adalah partai politik bukan lagi menyuarakan keinginan rakyat melainkan menyuarakan keinginan politik kelompoknya yang dapat pula dikatakan hanya untuk mempertahankan penguasaan pemerintahan bagi wakil-wakil mereka yang telah duduk di parlemen.
Penulis membahas hal tersebut karena pada sistem pemerintahan presidensial, presiden tidak memerlukan dukungan yang kuat karena kekuasaan legislatif dan eksekutif dipisahkan sehingga keduanya bebas dalam menjalankan kekuasaannya tanpa ada intervensi dari manapun. Tidak ada hubungan antara mayoritas suara yang ada di parlemen dengan kebijakan yang dibuat oleh presiden seperti yang terjadi saat ini.
Kekuasaan eksekutif yang dipilih melalui pemilihan umum secara langsung berbeda dengan eksekutif yang dipilih melalui dewan dalam perspektif politiknya. Dalam sistem pemilihan secara langsung, calon presiden memiliki dorongan untuk mengidentifikasi pemilih pada tingkat menengah melalui penyampaian program nasional yang lebih moderat yang kadangkala bertentangan dengan kepentingan partai dan fraksi. Dengan begitu kecenderungan untuk berada dalam konflik sangatlah memungkinkan.
Disinilah peran dari UUD sebagai konstitusi untuk membatasi pemerintah, bahkan pemerintah yang telah dipilih secara langsung, termasuk batasanbatasan kekuasaan legislatif, eksekutif, peranan partai, hak-hak asasi dan otonomi daerah.

0 comments:

Post a Comment