Monday, May 30, 2011

Catatan seorang Pendiam 30 Mei 2011


Wajah-wajah asing berkeliaran disekitarku. Wajah-wajah pembaharu. Tentunya jauh lebih muda dari aku dan sementara ini mereka masih digandeng ayahnya menemani kesana kemari. Sekedar berjalan jalan mencari kursi dimana besok mereka duduk bergelut dengan soal. Bertarung mati-matian demi mendapatkan kursi di PTN yang mereka inginkan.

Aku masih ingat akan masa-masa itu. Masa-masa ketika berjuang di SNMPTN. Pagi-pagi aku berangkat ke SMPN 9 Purwokerto. Aku merasa mantap, dan memasukan persneling satu-per satu Yamaha Jupiter Z biru ku yang paling aku banggakan. Menempuh jalanan yang masih sepi dikala embun tipis turun serasa di belahan bumi beriklim subtropis. Melaju dengan lancar dan melewati tikungan demi tikungan dengan cepat bak pembalap moto GP. Berpakaian rapi menggunakan hem hijau muda lengan panjang dan celana warna hijau tua. Aku tampak paling cupu dibanding yang lain. Penampilanku lebih tepatnya seperti guru agama, atau seperti mereka yang bekerja di Depag. Tak peduli tentang semua ini, aku menganggap diriku tak dilihat oleh orang lain sehingga aku tak merasa sedang ditertawakan akan penampilanku yang bodoh ini. Ujian berjalan lancar, dan rasanya aku maksimal di IPS. Kelak hasil tes ini adalah harapan besar orang tuaku. Mereka menginginkan aku bisa duduk di PTN berbasis pendidikan agar aku tercetak menjadi seorang guru. UNNES, UNS, UNY atau UPI.

Profesi guru adalah doktrin terbesar dari orang tuaku. Karena orang tuaku merasa mampu maka merekapun berani memasukan kami ke Perguruan Tinggi. Kakakku adalah proyek pertamanya, ia gagal SNMPTN dan kembali ke dalam kemurnian cita-citanya menjadi sastrawan bahasa Inggris, akhirnya Masuk ke jurusan Sastra Bahasa Inggris di UNSOED. Namun di tengah jalan ia malah kembali pindah haluan manjadi apa yang menjadi rel keinginan orang tua, “Guru”, Guru Bahasa Inggris.

Sedang aku berminat pada sejarah. Sama-sama sebagai bagian dari sastra. Akhir-akhir SMA aku senang pergi ke perpus. Aku hanya tertarik pada fenomena paling tidak berprikemanusiaan sepenjang sejarah, Pembantaian Masal abad 20, The Mass Killers at Century XX. Rasanya aku ingin tahu banyak tentang sejarah. Ternyata dibalik itu dunia ini pernah mengalami zaman yang tidak beruntung, zaman yang tidak senyaman sekarang aku hidup, zaman ketika nyawa bisa dibayar dengan sangat murah hanya karena perbedaan konsepsi. “Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemerasan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir?? Seolah jika kita membagi sejarah maka yang kita jumpai ialah pengkhianatan. Solah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup diatasnya. Yahh betapa tragisnya. Hidup adalah penderitaan (Kata Budha) dan kita tidak dapat lepas daripadanya” ungkap GIE.

Semakin aku sangat realistis semakin aku merasa putus asa. Masa depan berputar berbeda dengan masa lalu. Peluang guru sejarah tidaklah seberapa. Hawa positif dalam tubuhkupun menguap dibawa hasutan-hasutan pragmatis. Apakah benar siswa mempelajari Perang Dunia II akan menjadi lebih bijak? Apakah benar siswa mempelajari sekitar revolusi 45 akan termotivasi akan nasionalisme? Apakah benar belajar sejarah akan menjadikan kita menjadi kaya?. Ahh itu Cuma judul skripsi dari temen-temen saja. Sekalipun ada efeknya paling presentasenya Cuma seberapa. Untuk apa berdebat soal siapa dalang G 30S PKI kalau kelak kita hanya melakukan persuasi dengan pelanggan/ konsumen agar tertarik dengan produk kita? Atau berdebat tarik menarik tawaran harga dalam bisnis perdagangan kita?.

Bagiku penghayatan terbaik dari Sejarah adalah sebagai sastra. Seperti yang sedang saya nikmati sekarang ini, yang kadang begitu pilu, kadang begitu romantic, kadang begitu mesra. Aku hanya bermain-main di jurusan ini, aku hanya sedang bermabuk-mabukan atau seperti orang yang menikmati putau dengan puitisnya Sastra Sejarah. Aku sungguh mencintaimu “Sejarah”. . .
Setidaknya aku masih punya Mimpi

0 comments:

Post a Comment