Friday, May 27, 2011

Catatan seorang Pendiam 27 Mei 2011


Tak sesekali ini aku salah mengambil buku. Bukan cover, tapi popularitas buku yang kulihat. Benar, Max Havelaar rasanya sulit ku pahami, tuk sementara aku malas membacanya. Mungkin sastrawan Belanda saja yang mampu menangkap dengan cermat.

Aku senang hari ini. besok hampir seminggu aku libur. Akhirnya bisa menikmati novel-novel lagi atau acting slow motion dengan proposal skripsiku. Atau bisa juga kesempatan buat membayang-bayangi dia tentangku, tentang sosok penganut calm-isme modern.

Feby agak kecewa aku masuk bis C, mengira aku tak setia kawan. Aku tak mengenal geng disini, tentunya aku bebas bergaul dengan siapa saja, sealiran atau tidak, seagama atau tidak, satu pemikiran atau tidak, dasarnya aku tak diskriminasi. Hanya saja kali ini aku memilih bersama kawan satu etnis meski pada dasarnya aku tak sealiran dengan kebiasaan mereka. Misterius diantara kami (Banyumasan dengan Banyumasan), tapi aku benci dibilang rasialis… apa lagi disamakan dengan sifat orang Israel mengaku sebagai orang pilihan Tuhan, rasanya mustahil. Aku manusia biasa. Bahkan dari fisik terlihat aku sangatinlander, orang pribumi yang coklat dan kurus (untuk sekarang).

Kami satu etnis memang kuranglah tampan dan kurang proporsional dimata cewek, apa lagi jika dibandingkan dengan orang medan. We are just wanna say “I think WoW” buat mahasiswi. Kami tidaklah arogan. Kalo aku si sekedar turunan dari kaum ploretar, tapi yang paling aku suka adalah independent. Yusak, Aan dan Anggit (kawan seetnisku) sudah terlanjur dapat respect yang kurang baik gara-gara sering mbolos kuliah itu ketegasan mereka akan rasa ketidaksesuaian, dan rasanya kami semua sedikit pandai berbahasa Inggris. Bagiku sebuah penghianatan besar ketika etnis kami tak bangga dengan bahasanya sendiri. Ah rasanya sok amat orang-orang diantara kami mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Mereka tak sadar akan warisan nenek moyang, kalo begitu lama-lama bahasa ini bisa hilang. Sama halnya seperti Bibel Perjanjian Lama, ini menggunakan bahasa yang sudah lenyap di dunia ini. Rasanya Yusak terlalu mendarah daging (bukan fanatic) dengan Bahasa Banyumasan hingga dia masih saja kesulitan berbicara dengan bahasa Indonesia, apa lagi ketika pdkt dengan cewek yang berbeda bahasa, aku rasa kelak ia sangat cocok jika Endogami ketimbang Eksogami. Sedangkan aku si bebas saja, asimilasi bagiku bukan masalah.

Pernah aku debat secara minim pengetahuan dengan mereka orang Jawa tentang bahasa dan tulisan. Bagaimana tulisan Jawa di daerah ku? Bagiku kata dasar yang benar tetaplah “Ha. Na, Ca, Ra, Ka. . . . . . dst“ tapi bagi mereka “Ho, No, Co, Ro, Ko. . . . . . .”. dia salah besar. Untuk masalah tulisan, nenek moyang kita masih satu/ sama yaitu Prabu Ajisaka, maka segala kaidahpun sama. Untuk merubah vocal menjadi “O” tentunya ada aturannya yaitu dengan memasangkan “taling-tarung”. Benar mereka yang salah.

Etnis Banyumas bukanlah Ras Banyumas. Tapi kami punya peradaban sendiri, lihat Babad Pasirluhur, Babad Wirasaba I, Babad Pasirbatang, Babad Wirasaba II. Babad-babad itulah yang mempertemukan kami dengan nenek moyang kami yang sesungguhnya. “Banjoemas Civilization”. Siapakah yang disebut sebagai orang Banyumas? Pertama, orang-orang yang masih dan merasa dan mengakui memiliki kakek-nenek moyang (leluhur) sampai dengan bapak ibunya dilahirkan, meninggal dunia atau seumur hidupnya tinggal menetap di wilayah dalam nama babad-babad diatas. Kedua, orang-orang yang sampai saat ini masih merasa bangga menjadi anak-putu-buyut-canggah-wareng . . . . .dst sampai galih asem dari orang Banyumas, apa lagi yang bisa berbahasa Banyumasan. Ketiga, siapa saja yang pernah tinggal menetap di wilayah Eks Residentie Banjoemas ini, merasa hidup tentram manurunkan keturunannya disini dan terlanjur jatuh cinta pada kehidupan social-budaya, logat bahasa dan budayanya.

0 comments:

Post a Comment