Tuesday, June 21, 2011

Catatan seorang Pendiam 21 Juni 2011


Hari ini aku dapatkan referensi yang saling menyatu dari pertanyaan apa “apa sebenarnya makna dari diamku?”. Paradigma seolah telah menandatangani suatu pakta bahwa “Orang pendiam umumnya dia adalah orang yang cerdas”. Akupun tak tahu ini riset entah dari Universitas mana. Yang jelas kebanyakan orang telah mematuhi perjanjian ini. Aku juga tak heran, seringkali tak sengaja aku membaca Buku, majalah, atau artikel di Internet tentang bagaimana menaklukan pria pendiam, maka ia harus mengerti dulu watak-watak dari si pendiam itu. Ya salah satunya mereka mengatakan bahwa sebenarnya pria pendiam itu makhluk yang cerdas dan penuh pertimbangan.

Bukan kelahiran diamku ini berasal dari kesengajaan sebagai aktualisasi kalau aku ingin dikira orang pintar atau orang yang ingin paling dihormati. Justru sebaliknya, kelahiran diamku adalah bawaan dan telah membuatku sangat nyaman dengan pribadi ini. “Tak ada yang lebih puitis selain berbicara seperti malam yang dingin”.

Waktu SMP aku pernah dikatain sombong sama teman SD ku kalau aku jarang menyapa, memanggil dengan seruan atau dengan senyuman. Lebih parah lagi, ketika aku menginjak semester 4 kemarin. Aku sempat disukai sama adik kelas dia juga mengatakan hal yang sama hanya karena tidak menyapa ketika aku sedang berjalan. Atau contoh kemarin sajalah, Aris tak berbeda, ketika ia sedang ngobrol dengan seorang wanita di kosku, aku tak melirik dan menyapanya, aku hanya berjalan lurus. Hanya tubuh saja yeng bergerak. Paginya Aris marah. Itu poin pertama persepsi orang bahwa Diam=sombong.

Akan ku jelaskan bahwa seringkali sebenarnya tiap lamunanku, atau di tiap melakukan sesuatu yang membutuhkan fokus pikiran (seperti berjalan, menyapu, mandi dsb) tak lain otaku sedang terbang kea lam pikiran bawah sadar, atau berkhayal. Lebih eksplisitnya begini, ketika aku sedang berjalan otaku sedang memikirkan sesuatu. Aku kembali sadar ketika ada yang tiba-tiba menyapaku.

Tadi siang, pakta diatas benar-benar dietrapkan oleh temanku (sebenarnya sudah lama terdahulu). Aku yang etrkenal tak banyak bicara mendapat tanggung jawab bertubi-tubi demi lancarnya pengerjaan tulisan untuk diseminarkan KKL senin nanti. Pertama aku ditunjuk sebagai ketua tim penelusur riwayat Hotel Yamato 1910-1945. Kedua, aku ditunjuk sebagai arsitek Karya Ilmiah KKL ini. Ketiga, aku ditunjuk menjadi salah satu tim pencari referensi/ pustaka. Keempat, aku diberi mandat untuk melakukan bimbingan kepada pak. Arif maupun pak Fahmi (menggantikan ketika penseminar tidak bisa menemuinya). Segala tugas ini dituturkan oleh ketua Penseminar kelas, tak lain dia adalah Nadia Ayu Kusuma. Itu poin kedua yang menyiratkan bahwa Pendiam=cerdas (belum lagi pengalaman serupa ini ketika aku masih SMA, baik oleh guru maupun teman).

Aku mulai menuai kritik dari teman-temanku semenjak SMP kalau aku adalah orang yang terlalu kaku dengan wanita. Kaku disini kadang bisa diartikan grogi, kadang bisa diartikan dingin. Kalau aku grogi itu pertanda bahwa aku sebenarnya suka dan takut salah tingkah. Dan ketika aku dirasa dingin itu pertanda kalau aku tak ingin berlama-lama dan menginginkan orang itu sebaiknya cepat pergi. Itu poin ketiga bahwa pendiam=kaku.

Aku seringkali kurang begitu percaya dengan ramalan watak. Missal bahwa pria berbulu biasanya memiliki nafsu seksual yang tinggi, atau pria yang berambut kriting memiliki watak ini, dan pria berambut lurus memiliki watak seperti itu. Tapi kali ini aku cukup tersentak ketika aku sedang memeriksa beranda FB ku, ada suatu halaman yang mencoba menjelaskan perkirakan watak seseorang dilihat dari golongan darahnya. Golongan darahku “O” menjelaskan bahwa salah satu wataknya yaitu “orang bergolongan darah O lebih suka tidak punya teman, ketimbang harus masuk lingkungan pergaulan yang buruk”. Meski ada benarnya juga tapi bagiku ini begitu berlebihan, aku suka punya teman tapi ia adalah teman yang tenang. Begitu banyak bukti kebenaran tentang teori itu kepadaku. Misalnya: aku lebih senang di dalam kos, mendengarkan radio, browsing atau membaca buku daripada bercanda bersama teman-teman diluar. Aku juga kadang pernah pergi sendirian ke Telaga Sunyi sendirian tanpa seorang teman satupun, disana berkontemplasi menikmati alam, membaca buku dan menggigit coklat sendirian. Bahkan tentang kasus putusnya kisah cintaku dengan kekasih pertamaku juga hampir menyerupai hal yang sama, tak ada pihak ketiga disitu hanya saja aku lebih baik putus menjadi jomblo yang kesepian ketimbang diperlakukan tidak nyaman seperti itu. Nampaknya gambaran tentang “sepi” juga tak terbatas pada diriku saja akan tetapi juga dengan kota kelahiranku. Andrea Hirata dalam novel “Edensor”, novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi, ia mendeskripsikan bahwa sifat orang yang pendiam disamakan dengan Kota kecil Purbalingga ketika jam 10 malam. Mungkin sifat pendiamku juga terilhami sepinya kota kelahiranku itu. Ini poin keempat bahwa pendiam=penyendiri.

Rasanya dari keempat poin itu yang mendekati kebenarannya adalah poin keempat.
Poin yang lainnya aku anggap relative bahkan sama saja seperti orang-orang lain, aku tak begitu cerdas, kaku, sombong/ atau mengekslusifkan diri. Jangan terlalu menganggap mutlak poin 1 sampai tiga diatas. Aku tak pernah menyukai itu. . . . . 

0 comments:

Post a Comment