Monday, February 28, 2011

Intisari buku Bom “JW Marriot: Jihad yang Disalahkan” menenai Intervensi Politik dalam Penanganan Terorisme di Indonesia

Oleh: Ganda Kurniawan, Mahasiswa pendidikan Sejarah
(NIM: 3101408093)
Sejarah Indonesia tidak akan terlepas dari yang namanya “kekerasan” dimana seringkali politik juga ikut mem-backing dibalik itu semua. Intervensi politik tidak hanya karena alasan mengikuti paradigma politik luar negeri akan tetapi kepentingan personal penguasa Negara juga turut memberi andil. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Ketika politik berjuang menjaga eksistensinya itulah biasannya suatu kekuasaan menjadi buta akan keadaan yang sebenarnya terjadi, apapun bisa dilakukan demi mencapai tujuan tertentu sekalipun di dalamnya terselipkan suatu tindakan “kekerasan”.
1. Pengaruh Paradigma Politik Luar Negeri
Kekerasan juga bisa dijadikan sebagai factor atau langkah awal dalam dunia perpolitikan. Hal yang khusus dimaksud dalam buku ini adalah “kekerasan agama”. Ketika kita dihadapkan pada sejarahnya, kita pernah dihadapkan pada peristiwa 11 September 2001. Tragedy yang memakan banyak korban dan kerugian besar itu dijadikan sebagai langkah awal politik Amerika Serikat untuk “mengacak-acak” Islam. Dimana setelah runtuhnya komunis Uni Soviet kemudian Amerika Serikat hendak membuat tatanan dunia baru yang berporos pada kebijakan politiknya yaitu “single super-power”. Politik ini jelaslah hendak meruntuhkan segala yang akan dianggap sebagai tandingan atas kekuatan tunggal tersebut khususnya yang paling popular saat ini adalah perlawanan terhadap Islam radikal, Islam militant, atau Islam Fundamentalis yang kemudian mendeklarasikan kepada dunia bahwa paham tersebut disamakan dengan “Terorisme”. Dimana istilah “terorisme” ini memiliki makna negative sehingga semua pihak seharusnya membencinya bahkan orang Islam sendiri.
Sampai akhirnya istilah “terorisme” tersebut sampailah di Indonesia dimana negeri ini juga mayoritas penduduk adalah Islam. Sementara Amerika serikat juga jelas menancabkan hegemoni politiknya disini guna melawan istilah “terorisme” yang belum lama datang. Bom bali I seolah menunjukan kepada pemerintah Indonesia bahwa gerakan teroris memang ada di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus tegas dakam menghadapi musuh-musuh yang begitu radikal dan harus segera menghentikan gerakan tersebut secepatnya, jika tidak ingin menghadapi resiko.
Pasca Bom Bali I, AS dan Indonesia berkerja sama untuk melawan teroris. Hal ini dibuktikan dengan datangnya direktur FBI Robert Muller menemui pejabat Indonesia untuk kerjasama dalam pemberantasan terorisme. Itu sungguh mencerminkan upaya yang sangat serius dari Pemerintah Amerika dalam memberantas Jaringan Terorisme di asia Tenggara.
Serangan terhadap Gedung Kembar WTC, 11 September 2001 menjadikan alasan Amerika melancarkan “perang melawan terorisme” padahal pada dasarnya peristiwa tersebut mengandung banyak kesanksian. Banyak kalangan AS sendiri, maupun sekutu dan pihak asing lainnya meragukan kalau aksi tersebut disebabkan ulah orang Islam. Kemungkinan besar ini hanyalah rekayasa dan bagian dari politik AS saja. Sesuatu yang besar, yang pantas untuk menjadi dalih yang besar pula yaitu serangan kepada Islam, kepada Al-Qaeda, kepada Taliban Afghanistan.
Ditambah lagi Amerika serikat juga menebarkan ancaman kepada dunia atas Negara-negara yang tidak mau bergabung bersama dengannya. Dalam sebuah kesenpatan George W. Bush mengatakan, if you are not with us, you are against us (jika anda tidak bergabung dengan kami, maka anda adalah musuh kami). Negara yang tidak punya nyali menentang AS umumnya ikut kerja sama di dalamnya sekalipun itu juga Negara Islam, termasuk Indonesia.
Implementasi dalam pelaksanaan kebijakan ini di Indonesia justru membuat rakyat merasa tidak tenang bahkan tokoh-tokoh besar islam seringkali menjadi korban. Ketika terjadi ledakan beberapa bom di Indonesia maka pemerintah otomatis menuding atau mencurigai organisasi Islam yang bergaris keras, padahal ajaran agama islam yang ini secara teori justru bersifat puritan/ murni/ sesuai dangan syari’at yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW. Hal ini justru mendorong rakyat memahami dan menjalankan Islam yang njawani (terselip budaya lokal) dari pada Islam Puritan yang seringkali dituduh sebagai tempat berkembangnya terorisme. Hal ini berakibat agama islam sudah tidak murni lagi bahkan didalamnya saling berbeda pendapat. Hal ini jelaslah bagian dari keberhasilan Politik Amerika Serikat untuk mengacak-acak Islam, sebuah konspirasi barat sebagai kealnjutan dari perang salib.
2. Intervensi Politik dalam Negeri
Kaitanya dengan politik dalam negeri ini jelas tidak jauh tujuannya dengan apa yang menjadi tujuan AS. Hanya saja jika politik AS ego ambisinya mencakup antar Negara, sedangkan politik dalam negeri ini lebih banyak mengenai perjuangan menjaga eksistensi dan citra penguasa di mata rakyat. Persamaan diantara keduanya yaitu sama-sama memanfaatkan suatu citra radikalisme kelompok tertentu sebagai usaha untuk mencapai tujuan politiknya.
Strategi politik melalui pemanfaatan label radikalisme suatu kelompok di Indonesia ini dimulai dari masa rezim Orde Baru. Strategi ini bertujuan agar ideology Orde Baru ini masih tetap berdiri tanpa ada paham lain yang menandingi. Bagi pemerintah Orde Baru pada saat itu yang paham yang masih meresahkan pemerintah akan terjaganya eksistensinya yaitu dengan masih adanya golongan yang masih mendambakan NII (Negara Islam Indonesia) yang pernah didirikan SM Kartosuwirjo.
Memang realita ada beberapa eks pejuang NII yang berusaha untuk membangkitkan kembali semangat mendirikan NII. Semangat yang masihkuat dari mereka sempat dimanfaatkan oleh penguasa Orde Baru dengan memancing simpatisan NII untuk keluar dari “persembunyiannya”, dan kemudian setelah keluar akhirnya diberangus. Beberapa tokoh NII berhasil dipancing keluar antara lain : Ateng Djaelani, Zaenal Abidin, Moch Danu Hasan, Nasucha, Kadar Solichat, Hispran dll. Darri sekian tokoh itu yang kemudian paling popular adalah Hispran (Ismail Pranoto), ia adalah orang yang begitu gigih dalam mmenawarkan berdirinya NII. Kegigihannya disebabkan oleh adanya perjanjian dengan Ali Moertopo (Asisten Pribadi Presiden Soeharto) bahwa pemerintah juga akan mendukungnya. Karena dukungan pemerintah itulah Hispran menjadi aktif mendatangi aktifis-aktifis Islam agar bergabung dalam gerakannya yang dinamakan Komando Jihad (Komji).
Kasus ini merupakan kasus yang begitu menyakitkan bagi para aktifis Islam pada saat itu. Banyak diantara mereka yang tergabung dalam Komji tadi harus berhadapan dengan aparat keamanan dengan tuduhan berencana melakukan makar dengan mendirikan kembali NII. Hal ini berarti bahwa Hispran tidak lain telah dimanfaatkan Ali Moertopo untuk menghancurkan dakwah Islam.
Hal diatas bisa kita lihat bahwa itu merupakan salah satu strategi licik pemerintah untuk terus menjaga eksistensinya. Sehingga semua harus dibawah control pengawasan pemerintah sehingga tidak ada organisasi social politik yang diperbolehkan memakai asas selain Pancasila. Gambaran pemerintahan yang seperti ini sudah bisa dikatakan sebagai penganut totaliter, system yang bertentangan dengan demokrasi. Dalam pemerintahan orba sesungguhnya telah ada perangkat pendukung yang mencerminkan demokrasi, namun dibalik itu ternyata perangkat tersebut tidak difungsikan semestinya.
Hal yang sejenis namun berbeda pola terjadi pada masa pemerintahan SBY yang ke II. Dua buah Boom meledak di hotel JW Marriot dan Ritz Charlton pasca pemilu yang menandakan kemenangan kembali SBY sebagai Presiden RI. Tidak hanya itu, presiden juga tampak marah ketika foto dirinya dijadikan sasaran latihan tembak oleh orang-orang yang diduga akan menyerangnya. Dari peristiwa tersebut SBY langsung memvonisnya sebagai suatu tindakan “radikal” dengan menyatakan bahwa peristiwa tersebut kemungkinan besar hal yang menandakan bahwa ada ancaman untuk menggagalkan pelantikan SBY menjadi presiden periode kedua. Yang lebih mengejutkan statement presiden akan adanya revolusi seperti di Iran jika SBY menang dalam pilpres.
Prasangka melalui statement yang dibengkokan ini jelas mempunyai maksud politiknya. Pertama, hal ini menandakan kondisi presiden dan Negara dalam kondisi tidak aman, dengan begitu maka presiden bisa memperoleh penjagaan yang ketat. Kedua, bahwa peristiwa terorisme tersebut jelas membuat ketakutan kepada rakyat, rakyat akan cenderung menghindari apa yang disebut dengan label “teroris” dan segalanya akan merasa harus dilakukan secara hati-hati agar tidak dianggap radikal atau terorisme. Pernyataan SBY telah membuat tetap berdirinya ideology pemerintahan SBY dan mengurangi efek radikal yang ditujukan kepada pemerintahannya.

0 comments:

Post a Comment