Friday, September 28, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 10]


Kenalan satu kontrakanku yang lain aku kurang begitu akrab. Entah mengapa, aliran penampilan saja sudah berbeda, apalagi soal pola pikir dan selera. Begitulah mungkin yang ada dalam pikiran mereka. memang benar selama ini aku tidak pernah berdandan neko-neko atau paling tidak sedikit semrawut lhah, tapi satu hal yang sama dari diriku dengan mereka adalah kesederhanaan. Aku tidak membawa barang yang lebih mewah dari laptop, dan merekapun memilikinya, sedangkan sepeda motorpun tak aku bawa. Persamaan kesederhanaan akan mencegah kesenjangan social, dan membuat orang disekitar kita enggan untuk “menjaili” kita, coba jarang sekali orang miskin dijaili, kemalingan atau dirampok. Meskipun dirampok mungkin hanya sekala kecil saja, dan menjadi orang kaya adalah sebaliknya. Selain menjadi incaran para maling juga kerap menimbulkan rasa kesenjangan social dari kalangan lebih rendah.

Sebalah kamarku ada mas Dedi satu peraduan dengan mas Londo (aku tak tahu nama aslinya). Mas Dedi tampak paling dewasa, tinggi. Soal pergaulan di kontrakan mungkin dia sama halnya dengan pemain sepak bola bernomor punggung 10 dalam suatu kesebelasan. Pemain bernomor 10 biasanya adalah orang yang paling sering mandapat bola, sering diberi umpan dan paling sering memberi umpan, yaitu menjadi tumpuan serangan. Begitu juga dengan mas Dedi, nampaknya ia adalah orang yang paling sering ditongkrongi oleh kawan-kawannya. Mas Londo terlihat paling menakutkan, karena ia berambut gondrong dan menggunakan anting, paling keren dibanding yang lain. Begitu juga dengan mas Sis, juga berambut gondrong.

Aku juga sering bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa para seniman, seringkali berambut gondrong. Entah itu pelukis, penyanyi, penulis novel, sastrawan, bahkan sejarawan pun kadang-kadang juga gondrong. Namun, aku juga sering menjawab pada diri sendiri bahwa menurutku gondrong adalah cerminan orang orang yang bebas dogma (aturan hukum), artinya ia merasa bahwa dalam dirinya tidak ada yang mengekang ataupun yang menyetir dirinya, semua yang dilakukan dan dipikirkannya adalah berasal dari diri sendiri. Lawan dari gondrong adalah rapi, siapakah yang menjadi representasi orang rapi? Jawabannya adalah Tentara, Polisi, Guru. Yah itulah orang rapi, sehingga orang rapi sering di interpretasikan sebagai orang-orang yang dogmatis (taat aturan). Perhatikan, mana mungkin tentara, polisi, atau guru membangkang aturan dari atasan, kecuali djika dirinya ingin dipecat. Jadi orang rapi adalah gambaran orang-orang yang jiwa dan raganya disetir dan dikomandoi dan seolah-olah pasti dia punya atasan. Berbeda dengan seniman (gondrong), jika ingin berkarya tentu mengikuti suara hatinya, jika dipaksa oleh kehendak orang lain tentu hasilnya kurang bagus.

Itulah aku, aku berpenampilan rapi dan seolah-olah kebalikan dari pikiran mereka. Soal gondrong Vs rapi ini sebenarnya bukanlah sebuah patokan yang nyata akan tetapi menurut sosiologi ini hanya sekedar “Labeling”, atau “pemberian cap”. Padahal kenyataan sebenarnya banyak juga seniman yang tak berambut gondrong seperti Volakis S.I.D, Bondan, sastrawan Nugroho Notosusanto, Sartono Kartodirjo dll dan masih banyak pula orang gondrong yang ternyata dogmatis, misalnya para intellijen, tokoh agama, bahkan orang-orang jaman nabi seringkali digambarkan berambut gondrong, termasuk nasi Isa juga gondrong, serta tentara-tentara Taliban juga gondrong, bukankah semua orang-orang ini adalah orang-orang dogmatis??.

Mungkin hal pertama yang mereka lihat dari sisi dogmatisku adalah Sholat pergi ke mushola. Ku akui diantara mereka tidak pergi ke mushola. Inilah perbedaan adat yang pertama, namun aku tidak pernah takut akan perbedaan ini, justru dengan sholat kadang malah menjadikan diri ditakuti dan dihormati, yang terpenting adalah selalu sama-sama positif thinking dengan mereka. Soal sholat untung saja tidak aku saja yang melakukannya, tetapi Agus juga, bahkan seringkali Agus yang membangunkanku tuk sahur atau mengajak untuk berjamaah di masjid. Yah setidaknya sikap Agus yang seperti ini membuat hatiku lebih lega, dia bagaikan perisai keduaku disini. Mas Eqy juga kerap berangkat jumaatan. Hatiku lebih tenang lagi.

Gazebo Perpus Pusat, 28.09.2012

0 comments:

Post a Comment