Friday, July 27, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 2]


Semenjak hidup di Dian Ratna dalam beberapa hal kami selalu bersama. Ketika musim awal-awal kuliah, kami selalu makan siang dan makan malam bersama di Warteg Bu Dewi yang letaknya di kompleks depan jl.Setanjung. Sebenernya tidak karena murah tapi karena kami belum mencoba pilihan lain selain warteg itu. Namun ketika Ramadhan menjelang kami mencoba beranjak ke warteg lain yang berada di belakan Fakultas Mipa ketika sahur. Kami hampir selalu konsisten tuk terus berada di situ, karena ada menu yang khas yaitu kering kentangnya yang tidak membosankan, selain itu di akhir-akhir bulan ramadhan kami menjumpai pelayan wateg ini ada yang baru, ia mungkin masih SMA dan wajahnya mengingatkan ku pada Acha Septriasa. Ia menjadi ikon kekompakan kami tuk terus bersama dan memilih makan berada disitu. Yang berbeda dari kami ketika makan hanyalah ketika sarapan. Beberapa dari kami seringkali malas untuk sarapan. Diantara sekian anak, hanya aku yang terus mendisiplinkan diri tuk sarapan sebelum jam 7. Aku melakukan ini karena nasehat ibuku agar aku jangan sampai meninggalkan sarapan pagi. Sarapan pagi adalah hal yang sangat penting, agar tidak lemas dan bisa konsetrasi ketika kuliah. Kawan-kawanku yang masih malas umumnya sering kali nitip juga membelikan sarapan kepadaku.

Dalam satu tundun pisang tidaklah semuanya baik. Dari berpuluh-puluh kamar kos Dian Ratna tidak aku sangka, didalamnya terdapat “tikus-tikus kotor” yang menciptakan sejarah kelam penghuni Dian Ratna. Mereka tidak lain adalah mahasiswa-mahasiswa tua yang frustasi tak kunjung lulus, solusinya adalah dengan sering berpesta minuman keras. Bukan hanya dirinya saja yang melakukannya, tapi dia juga mengajak generasi-generasi muda Dian Ratna lain yang respek dengan dirinya. Hampir dua hari sekali mereka tidak lepas dari miras ini. Celakanya lagi para “tikus-tikus kotor” ini kamarnya tepat di koridor utama menuju kamar-kamar putera dan mereka selalu melakukannya diisitu.

Pesta miras itu sering dilakukan sekitar pukul 22:00. Suasanannya terdengar ada sebagian mereka yang sedang tertawa-tawa, ada yang sedang berbicara mencurahkan rasa kekesalan yang ada di dalam hati ia berbicara makin panjang dan nada bicaranya makin meningkat dan tiba-tiba ia dengan sendirinya marah-marah berapi-api, memanggil-manggil nama orang yang dibencinya itu. Kalau bertemu bisa langsung ditantang untuk berkelahi, dan aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu. aku hanya mendengarnya saja dari dalam kamar. Pesta miras diiringi dengan music dengan volume tinggi, dan para peminumnya terdengan sedang kesetanan. Sesungguhnya ketika mereka sedang mabuk itu berada dalam dunia kesadaran yang lain. Mereka sering terpancing oleh amarah ketika dia sedang mengungkit-ungkit masa lalunya sendiri, dan berbicara ngelantur. Saat itu seolah-olah kos ini tengah dijaga oleh setan-setan yang sedang siap mengamuk, berwajah dan bermata merah. Ketika kita pulang ke kos terlalu malam dan menjumpai mereka tengah berpesta di koridor utama, lebih baik jangan pulang sekalian untuk sementara itu. Pulanglah untuk numpang tidur di kos teman. Itu kalau tidak ingin dicegat pesta miras itu yang bisa saja mereka memalak, meminta uang dengan jumlah yang tidak sedikit atau kalau tidak ya bakal turut diajak terbang dan larut bersama pesta bodoh itu.

Beberapa yang sedang kesetanan itu, merasa mentang-mentang dirinya sedang mabuk dan mengira dirinya ditakuti orang lain ini mencoba berkeliling ke kamar-kamar lain. Tentunya kamar-kamar lain sudah terkunci rapat dan lampu dimatikan, seolah-olah penghuni kamar tengah tidur meskipun kadang hanya berpura-pura tidur saja. Mereka mengedor-gedor kamar kami, aku tahu apa yang akan dia minta dari kami yaitu kontribusi berupa uang. Namun sering kali kami tak sudi membukakan pintu kamar kami untuk mereka. Tetaplah kami berpura-pura tidur lelap, hingga mereka pesimis tuk membangunkan kami dan berpindah mengetuk pintu kamar yang lain.

Itulah gambaran suasana-suasana mencekam di Dian Ratna yang bisa saja terjadi setiap dua hari sekali. Kawanku Ipan pernah menjadi korban akan kemurkaan salah satu dari mereka yang kesetanan itu. Padahal masalahnya hanya sepele yaitu soal join rokok saja yang sedikit dianggap tidak sopan, dan itupun terjadi siang sebelumnya ketika mereka belum dalam kondisi mabuk. Iphan menjadi buronan salah seorang dari pemabuk itu untuk dihajar, padahal Ipan adalah teman yang sama polosnya denganku. Akhirnya sebelum kontraknya habis di Dian-Ratna, Ipan lebih memilih untuk hengkang. Sahabat baikku itu entah lagi pindah kemana dan hampir aku tidak pernah berjumpa dengannya lagi saat itu, ia menjauhi Jl.Setanjung. Marham sebagai kawan sekamarnya pun memilih untuk pindah kamar. Barang-barang milik Ipan di kamarnya sudah dibawanya pergi, akupun tak tahu kapan barang-barang itu diselundupkannya dibawa oleh pemiliknya. Kini kamarnya telah kosong tinggalah dihuni oleh debu-debu yang tidak pernah tahu sejarah kelam pemilik kamar itu.

Akhir tahun ajaran 2008-2009 kami mulai sedikit terpisah. Iphan entah kemana, Marham kini berganti kamar yang sedikit terpisah, Idris, Deni, dan Akib mulai memikirkan untuk pindah kos, Setiawan Wibisono (alias Pak Guru) akan segera diwisuda. Sementara Dimas dan Agung bersahabat baik dengan para pemabuk itu, meskipun mungkin mereka berdua tidak terlibat di setiap pesta itu. Mas Wahid, penghuni kamar lain datang dan akrab bersama kami di sekitar semester 2, ia adalah kakak kelasku, orang NU yang rajin beribadah diapun sudah tidak tahan lagi dengan lingkungan seperti itu, dan sudah mempersiapkan untuk pindah. Kawan sekamarku, Ponco mungkin telah bersepakat dengan Sudharmono juga unutk meninggalkan kos ini, mereka memilih kos bersama di belakang Masjid al-Mutaqqin Jl.Waru. Meskipun Dimas telah bersahabat baik dengan orang-orang koridor itu, tapi Dimas tetap memutuskan untuk pindah dan meyakini ada yang lebih baik daripada kos ini. Yang masih mencoba menetap tinggalah Aku,Gilang, Marham dan Agung.

Sejarah kelam Dian-Ratna nampaknya tercium oleh ibu Kos yang ada di Boja. Ia terlambat menyadari ini, bahwa beberapa anak kosnya telah memperburuk citra kosnya itu. Jika eksistensi para “tikus-tikus kotor” itu masih dibiarkan, maka cepat atau lambat kos ini akan tidak diminati lagi oleh mahasiswa-mahasiswa baru yang lain. Tinggalah menjadi bangunan megah yang kosong dan dihuni oleh “tikus-tikus kotor” itu saja. Akhirnya ibu kos melakukan sebuah REVOLUSI yaitu dengan ritul, pemecatan atau pengusiran terhadap “tikus-tikus kotor” itu, mungkin tanpa peduli apakah mereka sudah lunas tagihan atau belum. Langkah ini berhasil ditempuh ibu kos sebelum ajaran baru berlangsung, sehingga sejarah kelam itu tidak sempat terdengar oleh mahasiswa-mahasiswa baru yang hendak meminati kos ini.

Aku, Gilang, Marham dan Agung yang masih menetap di kos ini penuh harap, semoga Revolusi yang telah dilakukan oleh Ibu Kos kemarin akan membawa dampak baik ke depannya. Kami juga berharap semoga tidak muncul lagi embrio-embrio “tikus-tikus kotor” di kos ini. Tahun ajaran baru 2009-2010 nanti benar-benar penuh harap.
 Semoga mentari pagi terbit tak tertutup mendung kelam lagi. . . . . .

(bersambung)

Jl.Kalimasada, 27 Juli 2012

0 comments:

Post a Comment