Thursday, July 26, 2012

Dari Setanjung ke Kalimasada [Part 1]

Tiga belas hari sudah aku tinggal di Jl.Kalimasada. Ini adalah catatan kecilku tentang perubahan lingkungan tempat tinggal yang aku jalani selama di Semarang. Ini adalah cerita-ceritaku yang muncul dari permukaan saja, karena pengamatan temporal yang tidak seimbang, di Jl.Stanjung aku telah menempuh hidup selama setengah windu, sementara di di Jl.Kalimasada baru dua minggu.

Empat belas Juli 2008. Rasanya bapakku lebih mencintaiku sebagai anak laki-laki yang tidak memegang kendaraan selama tinggal di Semarang. Bukan maksud ia untuk menghalangiku tuk bisa berkeliaran kemana-mana sekehendak hati. Tapi ia tak tega nanti motor yang ku pakai juga sering dipakai oleh teman-temanku yang lain. Tak hanya kekasih saja yang diperlakukan demikian, tapi sepeda motorpun bisa membuatnya tidak ikhlas jika dipakai oleh bukan pemiliknya. Mempertimbangkan alasan itu aku hanya menganggukan kepala saja, akhirnya bapakku memilihkan kos yang terdekat dengan kampusku, Kos Dian-Ratna Jl.Setanjung.

Empat belas Agustus 2008. Bapakku mengantarkan aku ke Semarang untuk yang terakhir kalinya. Aku bertemu dengan kawan baruku yang akan menjadi teman sekamarku, Purnomo Ponco Nugroho. Perasaanku tenang, melihatnya pertama kali sedang sholat. “artinya ia anak baik-baik” kata bapakku. Tak dapat dipungkiri, bapakku paham betul saat itu aku adalah seorang remaja yang masih manja, sungguh sayang jika berpisah dengan orang tua. Mentalku seperti kuda-kuda yang dimiliki oleh seorang kusir, hanya terbiasa berlari di jalan umum yang rata dan dalam rentang pendek. Tidak seperti remaja lain yang sudah terbiasa mencoba hidup liar, seperti kuda-kuda yang dimiliki oleh kepala suku yang sudah terbiasa mendaki dan menuruni bukit, hutan, menyeberang sungai. Ketahananku jelas berbeda dengan mereka. ku akui aku memang tipe orang yang haus ilmu pengetahuan, hal ini sering membuatku melihat potret diri sebagai lelaki yang culun yang tidak pernah mengerti penampilan keren dan pergaulan bebas ala anak muda. Orang culun kadang identik dengan anak pintar atau anak pintar itu pasti culun? Aku tak mengerti. Yang jelas aku tak terlalu pintar tapi aku begitu culun.

Pagi itu bapakku hendak meninggalkanku ke Purbalingga. Rasa takut bercampur sedih menghinggapi diriku. Bapakku juga pulang berbekal rasa khawatir tentang keberadaan diriku. Mau tidak mau aku harus menempuh hidup mandiri ini, di Kos Dian Ratna Kamar no.40. Lalu aku menyadari, tinggalah Ponco yang ada dihadapanku. Seseorang yang akan aku anggap sebagai saudara sehidup sekamar. Aku dapat melihat nampaknya dia adalah seorang yang lincah, cerdas namun tetap sederhana. Pertama saling berkenalan ia berbahasa Indonesia, namun setelah saling menyadari bahwa ia adalah orang Brebes dan aku Orang Purbalingga akhirnya kami sepakat untuk berkomunikasi dengan bahasa Jawa Ngapak. Hanya saja studi kami saling berbeda, Ponco belajar di Jurusan Fisika, sementara aku Jurusan sejarah.

Satu persatu aku mulai dikenalkan ke teman-teman yang lain. Aku mulai berkenalan dengan Marham, dari Tanjung Redeb, Kalimantan, kemudian Arifandi Jayanegara (Ipan) dari Lampung. Mereka berdua dari ilmu Geografi. Satu lagi yang aku kenal adalah Deni, dari Demak belajar di Jurusan Matematika, tubuhnya paling besar, namun ia paling muda diantara kami. Kami berlima adalah kelompok persahabatan paling fundamental ketika aku berada di Dian-Ratna. Setelah menyusul kemudian aku berkenalan dengan Dimas (kawan sekamar Deni), Idris (Hukum), Akib (Fisika), Setiawan Wibisono (BK), Sudharmono (Geografi), Agung (Ekonomi). Seorang pendatang baru sebagai kawan di sebelah kamarku adalah Gilang (BK) yang diantar seromobongan keluarganya disitu. Kami adalah segerombolan penghuni Dian-Ratna dari kamar no.37 hingga no.44. Berselang beberapa bulan aku dapat menilai bahwa mereka juga anak baik-baik, sama sepertiku yang belum banyak mengenal tentang nikmatnya rokok, miras, judi dan lain-lain.

Hal paling berat yang pernah menimpaku di Dian Ratna adalah, aku terserang penyakit cacar air. Sungguh menyengsarakan tertimpa penyakit ini di umurku yang sudah 18 tahun ini. Betapa gatal dan demam, cacar tumbuh disekujur tubuhku. Aku tak tahu harus mengobatinya dengan apa. Ponco, aku minta ia sementara tinggal bersama Gilang, agar penyakitku tidak menularnya. Orang tuaku tidak sempat datang menjengukku disini, membiarkanku unutk memecahkan masalah ini sendiri. Tubuhku menjadi sangat kurus dan yang membuat aku stress adalah cacar yang tumbuh di mukaku. Berulang kali aku bercermin memandang betapa buruknya mukaku, cacar yang begitu gatal membuatku kesal dan pecah-pecah. Sebuah rasa yang amat sangat pesimis menimpaku, memiliki muka sehancur ini mungkin setara dengan bagaimana perasaan memiliki satu tangan saja. Ketika terserang penyakit ini pula bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah alis tebal nan panjangku ini berantakan, terpotong-potong oleh pecahan cacar. Selama satu minggu itu aku tidak berani keluar kamar. Menanggung malu wajahku yang hacur, mengurangi ketampananku hingga 80%.

Ponco banyak membantuku untuk membelikan makanan, dan Gilang juga sangat berjasa membantu membelikanku obat di apotik. Selama itu aku tidak pernah mencoba berkunjung ke dokter. Dokter terdekat berada di Patemon, sekitar 2 KM dari kosku, ditambah lagi saat itu kawan-kawan akrab di kos ku tidak memiliki kendaraan disini. Tinggalah berdoa saja, resep-resep obat aku dapatkan dari penjual obat di Apotik lewat Gilang. Bagiku ini adalah ujian sekaligus bencana terbesarku ketika di semester awal di Dian Ratna.
(bersambung)

PKM FIS, 26 Juli 2012

0 comments:

Post a Comment