Monday, May 26, 2014

Aris Fajar Yulianto: Dari Budak Menjadi Kadiv SosBudAg

21 November 2013 at 18:31


Aku sudah lupa mulai dari titik mana aku mulai akrab dengan Aris. Dan aku juga tak menyangka, orang sependiam dan sekalem aku tiba-tiba bersahabat akrab dengannya. Aku sendiri pernah berprediksi akan berteman dengan kawan sesama kalem atau bahkan rohis. Betul, awal semester aku giat ikut mentoring KAP dan sempat akrab dan dididik oleh gembong rohis nomor wahid di Unnes seperti mas Luqmanul Hakim (Sekjen KAMMI) dan mas M. Nur Sodiq (Eks Presma Unnes). Sementara pergaulanku di kampus juga memilih teman yang kalem seperti: Bagas kembar, Yudha, Harry (waktu masih jadi orang kalem), Puji Slamet dan Dwi Setyo.

Dari hati aku pernah mem-black list Aris sebagai calon sahabat. Dia orangnya cerewet dan banyak komentar, terutama untuk hal-hal yang tidak serius. Persis seperti karakter tokoh “Sid” dalam film ICE AGE. Aku punya pengalaman, sebagai orang cupu dan kalem jika bergaul dengan orang yang banyak omong, biasanya hanya akan dikucilkan, djaili, dikerjai. Makanya awalnya aku agak malas bergaul dengan orang seperti Aris.  Namun sebaliknya jika yang mendominasi adalah orang yang serius, maka orang seperti Aris adalah sasaran empuk untuk dijaili. Siapa maba 2008 yang tidak kenal Aris saat PPA?. Karena kecerewetannya, ia menjadi maba paling heboh saat di C7 lantai 3. Semua risih mendengarnya, Aris sebagai maba yang paling cemlang-cemlong (ceplas-ceplos bahasa mBanyumasan). Tak salah, ia sering kena tunjuk mas Fatkhan (Ketua BEM FIS) untuk berdiri di depan, dihukum, dipermalukan. Dalam hati aku puas mengumpat “Mampus!, Mampus!, Rasakanlah itu Ris!”
***

Tapi Tuhan berkehendak lain, mungkin sang pencipta tidak ingin aku terus menerus menjadi orang yang datar dan lurus. Maka Dia menjadikan Aris sebagai kawan akrabku agar aku bisa sedikit agak gila, seperti sekarang ini. Aris menjadi salah satu teman yang ikut membentuk karakterku, otomatis aku sepakat dengan teori tabula rasa. Aris secara tidak langsung telah mengajarkanku tentang empat hal.

Pertama, sebagaimana manusia itu seharusnya Pde, tidak menutup diri, tidak mengurung diri dan tidak malu-malu, ada kalanya kita harus berani melepaskan ekspresi kita agar dunia ikut tersenyum, disini kita akan menemukan makna keceriaan. Kedua, Aris salah satu teman yang menyadarkanku akan hukum kekekalan energinya Einstein bahwa energi yang dikeluarkan akan sama dengan energi yang didapat. Ketika kita mengeluarkan energi untuk membantu seseorang maka energi itu akan kembali pula kepada kita. Aku pernah membantu Aris mengerjakan tugas kuliahnya sementara dirinya hanya epleh-epleh atau berleha-leha, ternyata suatu saat dia mau membantuku membawakan pindahan seabrag barang-barang kosku dari Setanjung ke Kalimasada bagai kuli. Juga ketika dia meminta bantuan hutang, setelah dilunasi ternyata dia mau membantuku jelan-jalan ke Gramedia menjadi ojeg gratis, dsb. Itulah yang dinamakan teman sejati. Sederhananyanya itu adalah inisiatif balas budi. Ketiga, Aris mengajariku bahwa sikap merendah diri dan pura-pura bodoh adalah cara untuk memperoleh dan disukai banyak teman.

Kemudian yang Keempat, adalah pelajaran tentang kisah cinta Aris. Jika kekalahan Rusia atas Jepang 1914 telah menginspirasi nasionalisme orang Asia bahwa mereka juga memiliki kesempatan sama untuk menang melawan penjajah ras Eropa. Maka kemenangan cinta seorang Aris kepada Normanuel telah menginspirasi pemuda-pemuda lain bahwa tampang bukan lagi menjadi alasan minder untuk memperoleh wanita cantik. Melalui Aris, seolah para seniman cinta telah menemukan teori baru. Kini kita tidak usah lagi terheran-heran melihat fenomena “beauty and the beast” (si cantik dan si buruk rupa) kalau lagi jalan-jalan di tempat rekreasi. Tidak perlu dibahas disini, langsung saja tanyakan ke orangnya.

Tingkahnya yang cukup cerewet itu membuat lama-lama teman-temannya menganggap dia memang humoris. Tak ayal saat menjadi peserta Kemas 2008 ia bersama teman-teman segrupnya menampilkan parodi acara Empat Mata dimana Aris berperan sebagai Tukul nya. Sebenarnya ia bukan orang yang banyak omong. Frasa “banyak omong” barangkali sering berkonotasi negatif, karena biasanya diartikan sebagai menyombongkan diri melalui kata-kata yang omong kosong. Sementara Aris bukan tipe orang yang menyombongkan diri, melainkan dia cerewet berbicara tentang hal yang justru merendahkan diri sendiri. Tak salah, hingga kini ia mengoleksi banyak nama panggilan hina untuk dirinnya, ada yang memanggilnya: Kethék, Blék, Coro, Celengan. Lantas itu tidak membuatnya terhina, berontak, ataupun marah justru dia merasa nyaman karena baginya itu adalah indikasi akrabnya persahabatan. Tapi nampaknya ada satu panggilan yang tidak disukainya yaitu “Dabor” atau harfiahnya berasal dari kata “Dandhang Bocor”. Filosofinya bermula gara-gara dia terus menerus nyerocos ketika mendaki Gunung Ungaran di ultah Exsara ke-2. Saking banyaknya kata-kata yang dikeluarkan di perjalanan sampai-sampai ia membocorkan aib kisah cintannya Harry, aib kisah cintanya Sastro juga aib kisah cintanya Aji, dan semua ceritanya didengar semua adik kelas dan maba. “Wah, bocor iki Aris!” kata Harry. Sedangkan Dandhang adalah alat masak yang berwarna gelap dan nyaring bunyinya jika dipukul, memang mewakili personifikasinya Aris. Jadilah Dabor atau dandhang bocor. Bahkan Sastro pernah memposting foto kepalanya Aris yang di-crop dan tubuhnya diganti dengan dandhang. Nemun berhubung sepertinya Aris tidak antusias dengan julukan barunya ini. Maka Dabor tidak seabadi julukan-julukan hinanya yang lain. Aris benar-benar orang yang dowo ususe, soal ini.  Namun bermula dari rasa rendah dirinya inilah yang kemudian menjadi suatu cikal bakal munculnya mental mental “budak” dalam dirinya.

Entah mulai kapan ia bersekutu dengan Sastro. Semester awal Aris diajak Sastro untuk ikut Menwa. Setidaknya mereka hanya iseng karena bila diterima di Menwa mereka akan memperoleh penghidupan gratis di markas. Siapapun memang sulit menolak jika sudah jatuh dalam pengaruh bujukan Sastro, apalagi Aris yang masih bagai air di atas daun keladi. Ikutlah mereka dalam pradiksar. Sastro justru gugur di tengah jalan, perkara tidak kuat dan kapok. Sementara Aris justru telah terperangkap dalam kubangan kedisiplinan karena telah kuat melewati ujian dan cobaan. Terdengar lucu memang, yang mengajak malah gugur dan yang diajak malah berhasil padahal penuh dengan keterpaksaan. Soal fisik memang pemuda berkulit hitam ini saat itu cukup kuat dan agresif seperti Yaya Toure atau Claude Makalele eks pemain Madrid.

Resmi sudah Aris menjadi menwa, bukan gadungan, bukan jadi-jadian dan bukan sekedar mengaku-aku saja. Memang sangat cocok sekali Aris sudah berbalut seragam hijau militer satuan 902, dan mengenakan baret ungu. Bisa dibayangkan lah tentu ia lebih sangar dari Sintong Panjaitan, lebih garang daripada kolonel Alex Kawilarang dan kebringasannya seakan lebih bringas daripada tampang perompak Somalia. Menwa sebenarnya tak lebihnya seperti Cakrabirawanya kampus, ia adalah pasukan pengawal pejabat-pejabat kampus, tapi disisi lain ia juga terkadang seperti Banser atau Kamtibmas yang selalu menertibkan setiap acara-acara besar di kampus. Merekalah prajuritnya kampus. Menjadi Menwa keuntungannya adalah menjadi terkenal oleh semua pejabat kampus dan tentu lebih dimurahkan soal IP nya. Aris bisa jadi lebih dihormati oleh pak Subagyo sendiri ketimbang mas Fatkhannya.

Aris (Tengah, hitam)
Aris (Tengah, hitam)


Menjadi Menwa adalah peningkatan harga diri bagi Aris. Tapi di sisi lain ia mengalami penderitaan di dalamnya. Setiap kali saja mbolos tidak ke markas untuk satu hari saja, esoknya dipanggil komandan, diinterogasi dan dikenakan hukuman fisik. Ia menjadi sedikit tertutup dengan teman-teman kampus, terlalu banyak kegiatan didalamnya seperti lari sore, pencak silat. Bahkan seringkali dibengisi oleh aktivis. Kedisiplinan selama di markas sangat ketat, ia bolak balik merasakan ditendang, dimaki, dihukum. Ia diperlakukan lagi bukan selayaknya kesatria tapi seperti tawanan perang. Merasa tersiksa. Inilah kemudian menjadi titik jenuh bagi Aris. Kapok betul dia, menjadi Menwa sebenarnya sama halnya dengan militer, ia tidak diperkenankan untuk keluar dari organisasi selama masih terikat dengan administrasi kampus. Aris memutuskan untuk desersi atau kabur dari Menwa. Metode desersi baginya lebih terhormat daripada metode di-persona non grata-kan. Kembalilah Aris ke alam bebas, keluar dari perbudakan militer di kampusnya.

Bulan-bulanan ia menjadi buron. Dicari-cari komandannya. Ketika sedang berkeliaran di Unnes Ia selalu menghindar dari eks markasnya yang waktu itu lokasinya masih di samping BRI. Jika berurusan ke rektorat atau auditorium lebih baik lewat Banaran atau lewat Patemon ketimbang lewat samping MIPA. Pernah akhirnya ia ketahuan ketika kosnya di Cempakasari Timur, untungnya mereka tak menemukan Aris, bodohnya mereka tidak mencoba datang lain waktu tapi malah menitipkan sebuah surat kepada temannya Aris di kos. Aris selalu menyembunyikan dan tidak mau menceritakan apa isi surat itu kepada kami, yang jelas ia terlihat begitu cemas bukan main seperti orang yang divonis hukuman mati. Sehingga ia pindah kos ke tempat yang lebih terpencil. Amanlah dia. Beruntung, Menwa tidak ada kuasa semisal meminta ijin kepada pak Arif untuk menangkap Aris ketika sedang kuliah atau mencabut status kelulusannya perkara berurusan dengan Menwa.

Ketika telah aman tinggal di Kos barunya, komandan yang terus memburu Aris kebetulan telah lulus kuliah dan komandan yang baru adalah sekutunya sendiri sebagai kawan seangkatannya, dulu. Pulas sudah tidur Aris. Semenjak tinggal di kos barunya, dadanya yang tadinya bidang dan terukir karena saking banyaknya push-up, lama lama kembali kendor. Perutnya apalagi, yang tadinya six-pack karena kebanyakan sit-up sekarang berubah menjadi one-pack bahkan cenderung buncit.
***

Perkara desersi dari Menwa belum sepenuhnya menuntaskan tantangan hidup yang dialaminya. Sebagai pelarian dari Menwa ia masuk ke Hima, tetapi bukan sebagai fungsionaris melainkan tenaga sukarela untuk membantu kepanitiaan Kemas 2009. Peralihan dari Menwa menjadi aktivis adalah produk langka. Aris ditunjuk mba Diyah Ari sebagai Disman, ia lakoni tugas ini bersama mba Ika van Persie. Ia benar-benar giat mengikuti rapat persiapan Kemas maupun simulasinya. Lebih giat ketimbang aku sendiri yang membolos berhari-hari karena hampir kehilangan gairah. Penampilannya sebagai juru bentakpun menurutku masih cukup terlihat ganas sebagai seorang ekspatriat Satuan 902. Tapi entah mengapa mba Diyah masih kurang puas dan selalu meliputi tawa ketika Aris sedang memaki maba. “Ris, koe dadi dadi Disman kui ojo koyo Tukul!!” tukasnya ketika sedang evaluasi. Mungkin saja karena mba Diyah masih teringat-ingat terus penampilan parodinya Aris saat digembleng Kemas 2008.

Tak sudah-sudahnya Aris merasa puas dalam pelarian. Ia seperti orang yang habis mentas dari neraka kemudian terbirit-birit lari bumi, sebagai rasa penyesalannya maka ia rela hidup miskin menyerahkan semua hartanya demi jihad fisabillilah. Atau seperti TKI yang melarikan diri dari majikan jahatnya di Malaysia kemudian pulang ke kampungnya rela bekerja apa saja apakah itu sebagai tukang becak atau sebagai penarik gerobak asal ia tidak kembali menjadi TKI. Itulah gambarannya, Aris ingin menyembunyikan diri dari Menwa dengan menyibukkan diri dengan aktivitas kampus. Setelah rela diperbudak menjadi Disman dalam acara Kemas 2009, Aris melanjutkan pelariannya tetap di Hima sebagai tenaga sukarela lagi untuk acara Kompetisi Sejarah. Tapi kali ini lebih parah, akupun tidak nenyangkanya. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa ditempatkan di posisi itu dalam sebuah event. Suatu saat kami semua dibagi tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing, semua terhening mendengarkan baik-baik mba Diyah sebagai Ketua Hima membacakan putusan penugasan untuk anak buahnya. Ketika tiba gilirannya untuk Aris, sang Ketua Hima pun bertitah “Aris, ketika acara berlangsung nanti kamu saya tugaskan untuk mengatur parkir!”.
***

Persis sebelum rezim Diyah Ari berakhir. Ini adalah masa-masa kejayaan kami. Mudah saja menaklukan hati Aris untuk ikut muncak ke Gunung Ungaran kemudian ikut semangat mendirikan Exsara. Aku benar-benar pusing memikirkannya betapa Aris adalah orang yang tidak bisa diam selama naik maupun turun gunung. Ia selalu nyeplos sekenanya sendiri, meski tak ada yang bertanya atau mengajaknya bicara, atau bahasaku menyebutnya dengan “ngromed dewek”. Seperti tidak tahan untuk diam. Sudah hampir seperti orang autis, dan seringkali mengucapkan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Saat itu Aris ngoceh sendiri kurang lebih begini:
“Brimob, brindil mobat-mabit. Brimob, brindil mobat-mabit. Adhem-adhem koyo ngene enake nandur munthul. Ngerti nandur munthul po ora, Gan??”
“Iya, mudheng aku, Ris!” jawabku ringan karena dalam kondisi capek
“Iya, Iya, IYO!!!, Iya PaK, Iya PaK, PaK Sodiq, PaK SodiQ, Gondho. . . . Gondho” tiba-tiba Aris ngoceh sendiri seperti robot Arale yang sedang konslet, menirukan gaya dialek bahasa mBanyumasan ku dengan mengucapkan kata “Pak” dimana huruf “K”nya dilafalkan sangat jelas. Benar-benar tidak penting.
Kemudian dilanjutkan ia menyanyi sendiri “Ya, Allah Gusti paringono bojo ingkang seksi”, itu adalah lagu ngarang yang diplesetkan sendiri, padahal yang sebenarnya nada itu dimiliki oleh lirik “Tombo Ati ono limo perkarane”.
Begitulah serba-serbi ketidak jelasan Aris yang patut kami tertawakan, hingga gelak canda tawa kami mendaulat keheningan hutan pinus Gunung Ungaran sore itu.
***

Kemenangan Sastro dan Anggoro menjadi ketua HIMA 2009 membawa angin sejuk bagi Exsara. Termasuk bagi pendiri-pendirinya. Harry, Feby, Marwan, termasuk Aris diangkat derajatnya oleh Sastro. Harry memang kelanjutan dari rezim lama, sedang aku, Nanang dan Aji memilih tidak bergabung di HIMA demi fokus menghidupkan Exsara. Sementara Feby, Marwan dan Aris adalah eks relawan yang dinaikan pangkatnya. Ibarat sebuah kompi militer, mereka bertiga sebenarnya adalah warga sipil yang mendaftarkan diri sebagai relawan tukang-tukang pijat prajurit. Namun semenjak Sastro jadi Komandan justru mereka resmi direkrut menjadi satuan militer bukan lagi warga sipil, tidak cukup sampai disitu bahkan Komandan Sastro menaikan pangkat mereka meloncat menjadi Letnan Dua. Bisa dibayangkan, meski mereka berasal dari golongan relawan tapi justru mereka kuakui memang lebih kontributif ketimbang staf-staf ahli di HIMA sendiri termasuk aku. Pantas saja Sastro mengangkat mereka menjadi Kadep-Kadep dan Wakadep di HIMA.

Melalui Exsara seolah-olah Sastro membabi buta ingin mengangkat derajat rekan-rekan seperjuangannya tinggi-tinggi. Ini adalah kesempatan baginya untuk meninggikan mereka yang selalu tertindas. Terutama Aris, Sastro menunjuknya sebagai Kepala Divisi Sosbudag (sosial, budaya dan agama). Tidak hanya itu, sebenarnya Aris juga telah ditunjuk sekaligus sebagai Pimpinan Redaksi Buletin Exsara untuk sepanjang masa jabatan kami. Hal ini sebenarnya ditujukan untuk menjungkirbalikan perasaan rezim Hima kemarin yang terlalu merendahkan Aris. Kita bisa lihat ketua HIMA kemarin melongo termangu-mangu melihat Aris yang pernah ditunjuk sebagai tukang parkir olehnya kini berposisi sebagai PimRed Buletin Exsara yang telah tersebar luas di jurusan sejarah maupun di PKM seuniversitas. Aku sebagai Ketua Divisi Merpati, bukan malah iri dengan posisi Aris akan tetapi tertawa terpingkal-pingkal membayangkan bagaimana perasaan orang yang telah menginjak-injak Aris itu. Sebagai pimpinan redaksi saat itu Aris sebenarnya hanya berperan sebagai pencari iklan, dan berhasil memperoleh sekitar seratus ribu rupiah, masalah kebijakan dan isi tetap berada di tangan kami sebagai Divisi Merpati.

Bolehlah Aris sedikit bisa menaikan dagu. Berkat Sastro ia telah bebas dari “perbudakan”. Namun sayang sekali aku tak mengikuti persis perkembangan politik HIMA di era kepemimpinan Sastro. Tapi konon pemerintahan mereka pecah secara damai antara golongn Exsara dan non-Exsara, sehingga personil HIMA banyak berkurang. Mereka harus mati-matian melanjutkan program-program departemennya, dan semua bisa ditangani dengan lancar tanpa hambatan yang berarti.

Semangat Exsara takkan pernah mengempis, meski diperas untuk mengelola dua organisasi sekaligus. Exsara telah tumbuh cukup kompleks terdiri dari berbagai divisinya yang dibentuk mulai tanggal 5-6 Desember 2009. Boleh diakui, variasi divisi-divisi ini tidak lain adalah bentukannya Sastro sendiri yang disetujui oleh para pendiri, dimana salahsatunya terdapat divisi SosBudag (Sosial, Budaya dan Agama). Arislah yang ditunjuk sebagai pemegang tanggungjawab misi divisi ini. Sebagaimana organisasi ekspedisi sejarah seharusnya juga peka terhadap kondisi sosial sekitar, menghindari segala keangkuhan dengan masyarakat dan budayanya serta menghormati multikulturalisme beragama. Makanya Exsara membutuhkan sebuah inisiatif hal-hal seperti ini, yaitu memanusiakan sesama manusia dibawah semangat Exsara. Prinsipnya sebenarnya hampir mirip dengan Departemen C di HIMA. Oleh karena itu, divisi ini kurang begitu berperan besar di Exsara karena semua gagasan dan gerakannya seolah telah di-merge dengan Departemen C. Apalagi kondisi saat itu dominasi HIMA berada di pihak Exsara, sehingga divisi Sosbudag tidak usah disibukan memikirkan program kerjanya. Mereka lebih senang melakukan aksi sosialnya dengan mengatasnamakan Departemen C ketimbang Sosbudag. Mungkin cerita akan banyak berbeda di divisi Sosbudag jika HIMA bukan dibawah dominasi Exsara.

Semenjak kenaikan pangkat, peran Aris baik di HIMA maupun di Exsara sedikit tersamarkan. Yang terlihat hanyalah dia yang rajin berangkat rapat-rapat dan mengikuti agenda tour Exsara serta pandai menasehati, menyemangati anggotannya. Aku, Sastro dan Aris adalah sama-sama pengagum militer. Namun diantara kami bertiga mungkin hanya Arislah yang benar-benar berjiwa militer, mungkin karena kerakter ke-Menwa-anya belum hilang. Sastro menyukai militer, tapi manifestasinya sebatas menyukai produk Army Look saja, sifat disiplinnya tidak ada. Semantara aku menyukai militer terutama kehebatan dari peran Nugroho Notosusanto yang mampu mendoktrin bangsa selama Orde baru hanya melalui historiografi, manifestasinya aku suka menulis memberi makan pikiran-pikiran orang. Namun Aris memang berbeda, ia menyukai peran-peran para tokoh militer yang sempat berperang melawan penjajah maupun pemberontak, aktualisasinya ia sangat mencintai RI apapun keadaannya, meski ia bermental budak namun pola hidupnya termasuk disiplin jarang begadang, kamar rapi, ketakwaannya stabil, serta sifat tegasnya cukup membuat orang enggan mendebatnya. Arislah satu-satunya orang yang mampu menentang kehendak Sastro, misalnya saja saat diksar 2010 (angkatannya Gesang, dkk) dimana Sastro mengusulkan konsumsinya sebungkus nasi untuk berdua. Alasannya untuk mendidik dan menguji kemampuan survival serta sifat solidaritas dan kepedulian sesamanya, namun Aris menentangnya lantang-lantang “Ilmu dari mana itu, Tro!. Apa itu bukan yang namanya penganiayaan? Kita tidak sedang mengajari mereka untuk tirakat. Saya yang pernah dididik di Menwa yang militeris itupun mereka selalu menjamin ketersediaan pangan dan gizi!!”. Meskipun Aris orangnya humoris, bermental budak dan suka ceplas-ceplos tapi ada kalanya dia menunjukan ekspresi diri yang ditakuti orang.

Dewasa ini, kita tentu telah sering melihat Aris tidak seperti apa yang aku ceritakan diatas. Tentu ia kini telah banyak berubah. Lebih kalem, lebih mandito (mendekatkan diri kepada Tuhan). Tentu hal ini ia lakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan-tantangan hebat di depan: skripsi, kelulusan dan karir. Aris tiba-tiba menjadi pengamat politik dan militer paling jeli. Ia sekarang bisa diajak berdiskusi tentang persoalan bangsa dengan sangat serius. Mungkin tidak akan cukup memalukan jika Aris dikirim untuk ikut berkomentar di acara Indonesian Lawyers Club. Inilah nilai plus dirinya dibanding Nanang maupun Harry. Setiap kali nongkrong hotspotan aku amati hal yang paling Aris cari adalah berita-berita politik, dan yang kedua adalah mengunduh video dangdut koplo.

Penampilan fisiknya pun banyak berubah, tidak lagi fashionable dan neko-neko. Akhir-akhir itu Aris selalu berpenampilan sopan dengan celana hitam, kemeja dimasukan, sepatu pantofel, mengenakan jam tangan, serta membawa tas jinjing. Benar-benar seperti pegawai yang pulang baru saja di PHK. Atau malah ia seperti sedang merindukan masa lalunya yang pernah menjadi Menwa, dimana selalu terlihat disiplin, rapi dan gagah.
***

Segenap kisah Aris bersama kami, justru mengingatkanku akan kisah tokoh Bilal bin Rabah, sahabat Rasulullah. Dia adalah seorang muslim, tapi dia seorang budak negro milik kafir Umayyah bin Khalaf. Bilal selalu diinjak-injak harga dirinya bahkan selalu disiksa sekeras-kerasnya oleh Umayyah  hanya karena Bilal mengikuti ajaran Rasulullah. Namun keajaibanpun datang ketika Abu Bakar memerdekakannya dari perbudakan dengan membayar 10 keping emas kepada Umayyah. Ia menjadi tokoh muslim yang sangat inspiratif, dari budak hingga dimuliakan menjadi sahabat yang dicintai oleh Rasulullah, menjadi muadzin terindah, ikut berjihad dll. Aris memang takkan bisa dibandingkan dengan Bilal, akan tetapi pesan hidupnya memperjuangkan diri dan Exsara seolah sama dengannya yang ikut memperjuangkan Islam. Dari Budak menjadi Kadiv SosBudAg.

Periode pemerintahan HIMA dan Exsara oleh angkatan kami lambat laun digantikan oleh generasi-generasi baru. Pengaruh kami lambat laun menghilang, dan yang selalu terkenang adalah sejarahnya. Dan sejarahpun juga memiliki keterbatasan. Ada sebuah jawaban dari Aris yang cukup filosofis dan menggugah mata hati dari diri saya sebagai penulis, yaitu ketika ia ditanya “Ris, gebrakan apa yang pernah kamu lakukan selama di HIMA maupun di Exsara?”. Aris hanya menjawab “Gerbakan opo, Gan, aku ga pernah gawe gebrakan opo-opo?”. Akupun bingung, apakah ini yang dimaksud dengan keterbatasan sejarah, dimana Aris sudah tidak mengingat lagi apa yang telah ia lakukan. Ataukah ia sedang mengujiku dengan kalimat isyarat seperti itu bahwa sebenarnya ia sedang tidak ingin memamerkan dirinya sendiri menutupi pencitraan. Namun cukup berbahaya juga bagi mereka yang tak tahu apa-apa tentang Aris, jawaban tadi itu hanya akan memperpanjang presepsi mental “budak” nya. Makna “budak” disini tidaklah sekotor konotasinya, bagiku ia bermakna: ekspresi rendah diri. Begitulah memang Aris, ia adalah orang paling rendah diri sedunia.
***




Padamara, 17 November 2013



0 comments:

Post a Comment